"Bukan salahku. Hanya saja mungkin memang takdir yang membawaku padamu." ~Luana Casavia.
.
.
.
"Kau siap, Luana?"
Pertanyaan yang Luana sudah tahu jawabannya. Bibirnya kelu, saat perempuan itu bahkan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Memandangi dirinya di cermin panjang nan besar, dia tampak cantik sekali. Tubuhnya tampak sempurna dengan balutan gaun pengantin berwarna putih bersih, ditambah aksen pita dan renda di sepanjang bahu yang semakin memancarkan aura kegadisannya yang kental.
Gaun itu adalah salah satu gaun rancangan dari seorang designer ternama, namun bukan diciptakan untuk ia kenakan.
Meski kini tampak pas membalut tubuh rampingnya yang memang tidak terlalu tinggi, untuk sekejap Luana hampir saja lupa bahwa ia sedang berada di ujung tanduk sekarang.
Madam Collins mendekat. Meraih jemari Luana dan meremasnya erat, dia seperti sedang memohon melalui tatapan yang terpancar dari kedua bola mata.
"Bantulah aku sekali ini saja, Luana. Setelah ini, mari kita pikirkan bagaimana cara untuk mengakhiri pernikahanmu," bisik wanita paruh baya itu dengan nada gemetar.
Luana menunduk.
Menahan buliran air mata yang hampir saja jatuh, dia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Dia tahu dia tidak mungkin mundur, saat wajahnya pun sudah dirias dengan sebegitu cantiknya.
"Maafkan aku, Luana. Aku tidak menyangka Beatric akan meninggalkan Rey seperti ini saat semua tamu sudah menunggu dan mempelai pria sudah bersedia." Memohon kembali, Madam Collins tampaknya sungguh berharap pada gadis malang itu.
Tidak pernah terpikirkan di benak Luana bahwa dialah yang akan menjadi mempelai wanitanya hari ini, sungguh.
Tetapi memang setelah mendapati keterlambatan dari Beatric yang tidak muncul sejak tadi, Luana sudah menyimpan pertanyaan di dalam hati.
Ke mana Beatric? Bukankah seharusnya dia sudah di sana dan bersanding dengan Rey Lueic?
Tetapi tampaknya sang calon pengantin wanita itu tidak akan muncul.
Di saat yang bersamaan, Rey tampak cemas sebab pengantinnya tidak kunjung tiba. Saat seorang pria berbaju hitam legam menghampirinya, lelaki yang berusia hampir tiga puluh tahun itu mengepalkan kedua tangannya seraya menahan kesal.
Tidak pernah menyangka bahwa dia akan ditinggalkan tepat di hari pernikahannya, terlebih saat semua tamu sudah berada di tempat duduk mereka.
Meradang, Rey tidak bisa memikirkan cara lain selain tetap melangsungkan pernikahan. Dia tidak boleh membuat malu keluarga besarnya yang telah datang jauh-jauh dari Swedia, apalagi begitu banyak rekan bisnis dan para sahabat yang telah hadir di sana.
Saat Madam Collins--calon mertuanya, menawarkan sebuah ide gila untuk menebus kesalahan fatal yang dilakukan oleh putrinya, rahang Rey mengeras menahan amarah.
Tetapi dia sungguh tidak bisa menolak karena waktu terus berjalan. Akhirnya, dia setuju dengan ide gila itu.
"Luana? Kau siap, kan?" Suara Madam Collins kembali membuyarkan lamunan Luana, saat beberapa detik kemudian gadis itu akhirnya mengangguk lemah.
"Baiklah, Luana. Kau akan jadi Nyonya Luiec tidak lama lagi, maka tegakkan kepalamu!"
Dan begitulah Luana berjalan menyusuri gedung pernikahan, menggantikan seseorang untuk menjadi pengantin wanita.
Melirik sekilas pada pria di sampingnya yang masih memasang wajah datar, Luana sempat menarik napas panjang tanda bahwa dia sedang frustrasi.
Apa yang kau lakukan, Luana? Kau benar-benar sudah gila!
.
.
.
~Bersambung~
Hii, selamat datang di cerita keempatku, ya! Selamat berkenalan dengan Rey dan Luana, semoga kisah ini menghibur pembaca semua 🤗
"Aku mungkin saja mencintai dia. Tetapi untukmu, jangan pernah berharap sedikit pun akan belas kasihanku." ~Rey Lueic.
.
.
.
Rey melonggarkan dasi yang terasa menghimpit leher, seketika setelah dia duduk di dalam mobil. Mobil berwarna biru metalik itu adalah mobil yang khusus dia datangkan dari Kanada, dengan hiasan pita dan boneka berukuran sedang tepat di bagian depan.
Mobil yang memang seharusnya dia naiki bersama Beatric, kekasihnya yang entah menghilang ke mana tepat di hari pernikahan mereka.
Membayangkan akan menjadi suami istri dengan wanita yang telah mengisi hari-harinya dalam dua tahun belakangan ini, Rey sudah mengatur banyak sekali hal untuk sang pujaan hati.
Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, dia ingin cepat berbulan madu dan menghabiskan malam-malam panjang nan syahdu bersama Beatric.
Bahkan dia sudah membayangkan adegan demi adegan yang akan dia lakukan saat melucuti pakaian perempuan itu, sebelum merengkuhnya menuju kenikmatan surgawi.
Apa daya, dia ditinggalkan tepat saat dia seharusnya menyebut nama Beatric di depan para saksi.
Rey tidak menoleh sedikit pun. Tidak sama sekali mencoba untuk melirik bahkan, pada sosok seorang gadis yang ternyata sudah berada di jok belakang mobil itu sebelum dia masuk ke dalam sana.
Luana.
Luana Casavia, seperti itulah Rey menyebut namanya tadi. Tidak mengenal siapa gadis itu sebenarnya, jiwa Rey sungguh tidak ingin ada perempuan selain kekasihnya berada di sana. Bahkan sekedar berbagi udara yang sama pun terasa membangkitkan amarahnya kini.
Memandangi ke luar jendela, Rey tidak melihat saat Luana ternyata terus menundukkan kepala.
Gadis itu meremas jari-jari tangannya yang dia letakkan di atas paha, memandangi heels lima sentimeter berwarna keemasan yang masih melekat indah di kakinya.
Tidak tahu apa yang mungkin dia hadapi di kemudian hari, Luana menarik napas panjang-panjang.
Mengingat pesan Madam Collins yang meluncur indah dari bibir wanita paruh baya itu, Luana menguatkan hati. Dia tahu Madam Collins tidak mungkin berbohong.
Ikutlah dengan Tuan Rey Lueic, Luana. Aku akan segera menemukan Beatric dan menyeret anak sialan itu untuk menggantikanmu menjadi Nyonya Luiec. Kau tidak perlu cemas, bertahanlah sebentar lagi, oke?
Kalimat itu penuh dengan ketidakpastian, namun setidaknya ada secercah harapan yang Luana punya di sana.
Meski dia tidak tahu berapa lama yang dibutuhkan Madam Collins untuk menemukan Beatric, dia berharap mimpi buruknya ini akan segera berakhir.
Masih bergumul dalam pikirannya sendiri, Luana sempat tersentak kecil saat mobil itu mulai bergerak meninggalkan gedung pernikahan. Memperhatikan tamu-tamu yang tersenyum dengan lambaian tangan di udara, Luana menelan ludah.
Tidak ada alasan untuk mereka berlama-lama di sana, sebab bukan dia yang seharusnya duduk di kursi mobil ini sekarang. Bukan dia pengantinnya, bukan dia yang seharusnya mengucap janji pernikahan tadi.
Samar-samar Luana dapat melihat sosok Madam Collins di antara kerumunan orang, saat manik wanita paruh baya itu tampak begitu memancarkan kekhawatiran dengan kedua tangannya yang diremas di depan dada.
Luana menegakkan kepala, mencuri pandang sekali lagi untuk melihat pada Madam Collins, saat mobil itu hampir berbelok di ujung jalan untuk benar-benar meninggalkan gedung pernikahan.
Setelah bayang Madam Collins menghilang, Luana menjatuhkan tubuhnya pada sandaran kursi, menegakkan kepala untuk menahan bulir air mata yang telah menggenang di pelupuk.
Dia sungguh tidak menyadari bahwa Rey--yang kini berstatus sebagai suaminya, memperhatikannya dengan wajah datar dan manik membara.
Mencibir, lelaki itu menggeleng pelan yang menandakan bahwa dia tidak suka Luana bersikap demikian.
"Kau menangis?!" Bentaknya kasar, meski dia tetap menjaga jarak di antara mereka.
Luana tersentak.
Buru-buru menghapus air mata yang jatuh karena kedipan yang tiba-tiba, saat sebenarnya dia berniat untuk menahan bulir itu lebih lama.
Luana terdiam. Tidak berani menjawab.
Rey memajukan tubuh, mengarahkan tangan kanannya ke arah dagu perempuan itu. Perempuan yang kini resmi menjadi Nyonya Lueic, istri sah dari Rey Lueic yang tersohor.
Rey menarik dagu Luana dengan gerakan kasar, saat Luana dapat merasakan denyutan di dagunya akibat cengraman pria bermanik hazel itu.
"Jangan menangis!" bentak Rey lebih keras kali ini. Bola mata lelaki itu membulat sempurna, dengan nyala api yang siap menghanguskan Luana saat ini juga.
"Kau hanya boleh menangis untukku, kau mengerti?!"
Gadis itu tersentak, tidak menduga akan mendapatkan perlakuan seperti itu bahkan saat usia pernikahannya belum genap satu jam. Luana ingin sekali keluar dari sana, tetapi dia tahu dengan sangat bahwa kini dia tidak bisa melakukan apa pun.
Sedetik kemudian, Rey sudah menghentak tangannya dari dagu Luana.
Seolah merasa jijik, sebab dia telah menyentuh perempuan itu. Perempuan yang tidak ia kenali, namun kini harus berada di sekitarnya untuk berapa lama waktu yang tidak ia tahu.
Rey tidak lagi melihat pada Luana, saat Luana sedang menguatkan diri sendiri sekarang.
Luana, kau benar-benar mengambil jalan yang salah kali ini.
.
.
.
~Bersambung~
"Dibalik wajah tampan dan rahangnya yang tegas, ternyata dia memiliki kebengisan. Bahkan hanya dengan menatap matanya, aku tahu aku sedang mempertaruhkan hidup kini." ~Luana Casavia.
.
.
.
Luana sama sekali tidak bersuara. Memilih untuk melemparkan pandangannya ke arah jendela, gadis itu sedang bermonolog dengan dirinya sendiri di dalam hati.
Menerka-nerka bagaimana kira-kira kehidupannya akan dia jalani kemudian, setelah kini resmi menjadi Nyonya Rey Lueic—salah satu bangsawan terpandang di kota mereka.
Tidak pernah terpikirkan dalam benak Luana sungguh, bahwa dialah yang akan menyematkan cincin di jari lelaki itu pada pesta pernikahan hari ini.
Seharusnya bukan dia. Sudah jelas-jelas bukan dia.
Tetapi menghilangnya Beatric sungguh mengacaukan semuanya, hingga membuat Luana mau tidak mau menjadi pengantin pengganti untuk anak majikannya.
Tidak sopan rasanya jika ia menolak permintaan Madam Collins yang begitu menatapnya dengan wajah memelas, sebab ketidakhadiran Beatric di sana sungguh mempertaruhkan nama baik dua keluarga besar.
Luana tidak punya pilihan.
Apa pun yang terjadi, dia berutang budi pada kebaikan keluarga Collins yang sudah bersedia menampungnya hingga ia mulai beranjak dewasa kini.
Tiba-tiba saja sekelebat bayangan tentang masa lalu itu kembali lagi, yang membuat Luana bergidik ngeri tanpa sadar.
Rey melirik sekilas ke arah perempuan itu. Tidak sama sekali melonggarkan raut wajah tidak suka yang sedari tadi ia pasang di wajahnya, lelaki itu sedang bersembunyi dalam keheningan.
Bersembunyi dari cemoohan orang-orang, bersembunyi dari rasa sakit mendalam yang ditinggalkan Beatric untuknya.
Siapa pun pastilah tidak pernah menyangka Rey akan mengalami nasib naas seperti ini, ketika pria itu sudah membayangkan Beatric yang menyambutnya dengan senyuman selebar wajah.
Tetapi yang terjadi adalah, dia dicampakkan. Tidak hanya dicampakkan, tetapi juga dibuang tanpa belas kasihan.
"Uhm, Tuan." Suara rendah Luana mengusik lamunan Rey, seiring dengan tolehan lambat lelaki itu ke arah kirinya kini.
Menahan napas ketika bola mata mereka bertemu pandang, Luana mencoba untuk mengeluarkan pertanyaan yang sudah ia timang dalam hati sejak tadi.
Tidak tahu apakah tuan muda itu akan berang padanya atau tidak, tetapi dia harus benar-benar memastikan.
"Ada apa?" balas Rey datar.
Meski tidak terbiasa mengobrol dengan pria sebelum ini, tetapi Luana dengan jelas mendapati bagaimana Rey Lueic mengintimidasinya lewat suara baru saja.
Suara lelaki itu berat, cenderung dingin seakan dia tidak berniat untuk berbicara dengan Luana. Seolah-olah perempuan yang duduk di sampingnya itu tidak bernyawa.
"Uhm, begini...," terbata Luana ketika dia berusaha untuk mengeluarkan kata-kata, disusul dengan remasan jemari yang begitu saja bertaut di bawah sana.
"Katakan dengan benar," potong Rey cepat. "Aku tidak suka menunggu, dan kau sungguh membuang waktuku!"
Luana tersentak.
Telak, tepat menohok di ulu hatinya. Belum genap beberapa jam setelah lelaki itu memasangkan cincin di jari manisnya, dan kini Rey sudah membangun tembok kokoh di antara mereka.
Tembok yang tidak bisa dilewati oleh Luana, tembok yang memisahkan kehidupan Luana dan pria itu.
"Begini, kita akan pergi ke mana?" Hampir tercekat kerongkongan Luana, hanya untuk mengucapkan beberapa kata tadi.
Rey mendelik. Seakan dia tidak menaruh atensi penuh pada pertanyaan si perempuan pengganti seperti Luana.
"Jangan bertanya lagi. Ikut saja," ucap Rey tegas. Tidak ada sanggahan, hanya ada perintah. Masih dengan nada dingin yang tidak dibuat-buat, lelaki itu menarik napas dalam.
Menoleh sekali lagi, kini Rey mendapati manik Luana yang mengerjap tanpa sengaja. Gadis itu masih tergolong muda untuk menjadi seorang istri, terlebih dia sebenarnya tidak memiliki darah bangsawan yang mengalir di dalam tubuhnya.
Bersyukur saja Madam Collins mengenalkan dia pada kolega sebagai anak dari kerabat jauh, hingga kedudukannya masih dapat diperhitungkan meski tidak bisa disamakan dengan kedudukan milik Beatric.
Memilih untuk tidak lagi menjawab, Luana hening dan tidak memberikan tanggapan atau pun sanggahan.
Melemparkan lagi pandangannya ke arah luar jendela, dia sama sekali tidak ingin mengusik lelaki itu. Meski mereka berada di tempat yang sama, tetapi Luana yakin Rey tidak pernah ingin dia berada di sana.
Hampir empat puluh menit perjalanan.
Mobil mewah itu berbelok untuk memasuki salah satu mansion dengan pagar menjulang, ketika kini Luana begitu saja meningkatkan keawasannya. Meneliti dengan lebih seksama, dia menerka dalam hati apakah ini adalah kediaman Tuan Lueic yang tersohor itu.
Melewati pagar yang dibukakan oleh dua petugas berseragam berwarna abu muda, Luana masih memperhatikan dengan jelas mansion yang mereka masuki kini.
Mungkin kata mewah saja tidak cukup untuk mendefinisikan rumah itu, ketika kini Luana hampir berdecak kagum akan bangunan yang begitu besar dan luas.
Ada sebuah kolam air mancur di tengah-tengah, yang dilengkapi dengan berbagai macam hiasan. Luana dapat melihat taman dengan bunga yang bermekaran di sisi kanan dan kiri, hingga mobil itu memelan beberapa saat kemudian.
Luana bingung. Tidak tahu harus melakukan apa, ketika melihat beberapa lelaki muda kini mendekat dan membukakan pintu untuk mereka.
Satu di sisinya, dan satu lagi di sisi Rey.
Lelaki itu—Rey Lueic, tidak sama sekali melihat ke arah Luana. Menegakkan tubuhnya, dia berkata tegas.
"Turunlah. Mare akan memberimu arahan, dan bersiaplah."
Luana menggigit bibir bawahnya dengan rasa khawatir.
Bersiap? Bersiap apa?
Rey baru saja hendak bangkit dari duduknya, ketika Luana tiba-tiba saja menahan lengan lelaki itu. Membuat manik Rey membesar, refleks menghentakkan tangan Luana yang menempel padanya tanpa belas kasihan.
"Jangan sentuh aku!" cerca lelaki itu dengan nada tinggi.
Luana menahan napas. Dia hanya ingin bertanya, tetapi begitu saja refleks tangannya ingin menahan Rey agar tidak pergi lebih dulu.
"M-maaf, Tuan."
Sang bangsawan mendengus kesal.
Rasanya terlalu lelah, dengan hati yang lebih dari cukup porak poranda. Ketidakhadiran Beatric sudah membuat kepalanya hampir meledak, saat kini ia sedang menunggu kabar dari tim terbaiknya untuk melacak perempuan itu.
Tidak lagi menghiraukan Luana yang masih duduk diam, Rey sudah bangkit lebih dulu. Lelaki itu berjalan dengan langkah besar-besar memasuki mansion, diikuti dengan seorang lelaki muda dengan potongan rambut rapi.
Lelaki muda itu mengenakan seragam dengan warna berbeda, yang menandakan bahwa ia adalah kepala tim untuk tim keamanan yang dimiliki Rey.
"Apakah aku harus membatalkan semuanya, Tuan?" Suara Jovi—sang pria muda tadi, menelusup masuk melalui gendang telinga Rey sang pengantin baru.
Tidak mengendurkan langkah sama sekali, Rey berdehem pelan seakan sedang berpikir dengan cepat. Menarik napas dalam-dalam, lelaki itu berujar kemudian.
"Tidak," katanya. "Lanjutkan sesuai rencana, dan bawa perempuan itu ikut serta."
.
.
.
~Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!