Bayang-bayang kematian menggantung dengan berat di penjara bawah tanah tempat Camilla di tahan.
Sudah beberapa hari dia tak melihat cahaya matahari karna ruang tersebut tertutup rapat, hanya lentera dari luar saja yang meneranginya.
"Buka pintunya!"
Camilla yang membuka matanya secara perlahan ketika mendengar derap langkah kaki yang mendekat ke arahnya.
"Aiden?"
Siapa yang tidak kenal dengan pria yang ada di depannya, dia adalah pemimpin pasukan perang yang di segani di kerajaan mereka.
"Ya, saya Aiden, Tuan Putri.."
Aiden berlutut, membuka tali yang mengikat tangan dan kaki Camilla lalu memberikannya sedikit air dari gelas kaca yang dia bawa.
"Maaf Tuan Putri.." tiba-tiba pria itu berkata dengan nada lemah sambil menundukkan kepalanya.
Camilla tahu, ada sebuah kabar yang di bawa olehnya dan itu pasti bukan kabar yang baik.
"Katakan padaku, apa aku akan segera di eksekusi?"
Aiden mengangguk, itu sudah cukup untuk membuat Camilla tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.
"Besok, setelah fajar menyingsing, Tuan Putri akan di bawa ke depan untuk meminum racun di depan rakyat yang hadir"
Eksekusi itu cukup manusiawi meski memalukan karna disaksikan oleh banyak orang, namun setidaknya tidak ada darah yang menetes nantinya.
"Tapi.."
Ternyata penyampaian itu belum selesai, Camilla menatap Aiden yang tak pernah menatap balik padanya, seolah tak tega.
"Sekali lagi, maafkan saya Tuan Putri.."
Baru saat itulah, Camilla bisa melihat dengan jelas raut wajah Aiden, sahabat masa kecilnya yang sekarang tumbuh dengan baik, memiliki kemampuan menggunakan pedang yang di inginkan banyak pria lain.
"Katakan saja.. lagi pula aku memang akan segera m*ti bukan?"
Camilla tidak berharap bisa keluar dengan selamat, apalagi kejahatan yang di perbuatnya adalah membu nuh wanita yang sangat di cintai oleh Putra Mahkota Arthur.
"Putra Mahkota menyuruh saya menyampaikan pesan Biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendirian di sel "
Aiden mengeluarkan sebuah belati dengan lambang kerajaan, ujungnya begitu lancip.
Camilla mengambil benda itu lalu tersenyum pedih, dia berkata "Aiden.. sampaikan pesanku padanya.."
Helaan nafas terdengar sebelum Camilla melanjutkan perkataannya.
"Aku, Putri Mahkota Camilla El Barak, mencintai Arthur dengan tulus, namun.. jika di matanya aku bersalah, maka hari ini, yang memb*nuh diriku bukanlah aku meski tanganku yang menusuk sendiri jantungku.."
Camilla memposisikan belati yang di pegangnya di depan dada kirinya dengan ujung yang menempel di sana namun belum melukai kulitnya.
Kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur m*ti di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia men*suk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jan tungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membu nuh Arthur.
'Ya.. lain kali aku akan membiarkannya'
°°°
Camilla, anakku yang malang..
Sebuah suara yang halus bergema di telinga Camilla di ikuti dengan selimut angin sepoi-sepoi yang seolah meredakan rasa sedihnya.
Perlahan Camilla mengangkat kepalanya, memandang ke sekelilingnya hanya untuk mendapati hamparan rerumputan kosong yang menyambutnya
"Bukankah aku sudah mati?," tanya Camilla entah pada siapa, karna suara tadi bahkan tidak memiliki wujud apapun.
Bodoh..
Sangat menyedihkan..
Kau mati tanpa menerima cinta?
Lalu apa yang harus aku lakukan padamu Camilla?
Mendengar suara itu sekali lagi membuat Camilla secara alamiah bisa mengetahui siapa yang berbicara padanya.
".. Jadi, Tuhan memang ada ya?"
Jika benar, apa kau menyesal karna aku tak pernah menjawab doa mu?
"Untuk apa aku menyesal? Toh aku sudah mati.." Camilla tertawa pedih mengingat aksi bunuh dirinya sebelum datang ke tempat ini.
Dia menghela nafas berat dan melanjutkan perkataannya, "Apa gunanya menyesal, aku bahkan tidak bisa mengubah masa lalu.."
Masa lalu?
Tiba-tiba Camilla di bawa melihat masa lalunya, semua kesalahan yang pernah dia lakukan hingga pembunuhan Annette yang membawanya menerima hukuman mati.
"Bagus.. setidaknya aku sudah membunuh orang yang akan membunuh Arthur bukan? Kenapa kau memperlihatkan semua ini padaku?"
Kekuatan Ilahi tak sampai di sana, ada kabut yang menebal lalu menghilang secara perlahan.
Camilla buru-buru melihat sekelilingnya, kali ini bukan masa lalu, melainkan masa depan Arthur, pria yang dia cintai seumur hidupnya.
Bagaimana Camilla tahu bahwa itu masa depan? Karna di samping meja kerja Arthur, ada baju penobatan yang menurut Camilla akan segera di pakai oleh pria itu.
"Yang Mulia, sekarang sudah larut, silahkan kembali ke kamar anda.."
"Sepertinya aku tidak bisa tidur, sedikit lagi.. aku akan kembali setelah menyelesaikan ini"
"Tapi besok adalah hari penobatan Yang Mulia.."
"Aku tahu.."
Camilla tersenyum senang, akhirnya pria itu akan menjadi matahari kekaisaran.
'Arthur, kau pasti akan menjadi Raja yang hebat, pasti tuhan memperlihatkan hal ini agar aku bisa melepaskan perasaanku yang tersisa dan beristirahat dengan tenang'
"Apakah Yang Mulia ingin saya membawakan anggur?"
Arthur menganggukkan kepalanya lalu menaruh pena, dia memijat kepalanya yang pusing.
Di depannya, gelas berisi anggur sudah tersedia, dengan perlahan dia meneguk isinya.
Uhuk uhuk....
Pelayan yang baru saja membawa anggur tersebut menjadi panik.
"Apa ini?" Camilla tak tahu apa yang sedang terjadi, dia mencoba mendekati Arthur namun terhalang karna itu hanyalah sebuah kilasan masa depan yang akan terjadi.
"Seseorang tolong panggil tabib istana!," teriak pelayan lainnya.
Bersamaan dengan itu, Arthur terbatuk lagi, kali ini di sertai dengan darah hitam yang keluar dari mulutnya.
"Tidak.. tidak mungkin.."
Camilla merasa hatinya begitu pedih, rasa sakitnya bahkan lebih parah di banding pada saat belati menusuk jantungnya.
Perlahan air mata menetes ke pipi Camilla, dia tak mampu menahan isak tangisnya, dia membenturkan kepalanya ke tanah berulang kali.
"Tidak.. ini tidak benar.. aku sudah membunuh wanita jahat itu! Kenapa?! Kenapa Arthur harus mati.."
Bayangan masa depan pun menghilang.
Setelah kau meninggal, Ibu Suri bersumpah membalas dendam dan akhirnya membunuh Putra Mahkota, karna pilihanmu, banyak yang menderita.
Camilla menggeleng kepala berulang kali dan berkata, "Tolong.. lakukan sesuatu.."
Bukankah sebelum meninggal, kau bersumpah akan membiarkannya mati di tangan Annette?
Mendengar itu membuat Camilla berhenti menangis, dia menyadari bahwa suara berasal dari di depannya.
Dan benar, di sana ada sesosok wanita yang para pendeta ilustrasikan sebagai Dewi Gaia, sosoknya memakai gaun putih tanpa alas kaki, langkahnya ringan dan lembut.
Kini, dia berdiri di depan Camilla yang masih berlutut, kemudian dia membungkuk dan berkata,
Apa kau bersedia menanggung akibat dari permintaan mu?
Camilla menganggukkan kepala, tidak peduli konsekuensi apapun, karna ternyata hatinya tidak bisa lepas dari Arthur.
Seharusnya kau membiarkannya saja.. lagi pula dia tidak mencintaimu..
Dewi Gaia meraih kedua tangan Camilla, membantunya berdiri.
Merubah masa depan akan membuat mu menerima konsekuensi yang menyakitkan, tapi ingat.. jika kau tidak menerima cinta darinya dalam 1000 hari, maka kau akan mati sepenuhnya.
Dewi Gaia mengecvp lembut kening Camilla, saat itu juga sebuah cahaya menyebar dari dari hingga tubuh Camilla.
Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan di kesempatan ini..
Itu adalah bisikan terakhir yang Camilla dengar sebelum kembali membuka kelopak matanya dan terkesiap dengan pandangannya.
"Ini benar-benar nyata.."
Tidak salah lagi, Camilla sudah kembali ke Kediaman Keluarganya, tempat dia pernah tinggal dulu.
Camilla membuka matanya dengan terengah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja ditarik kembali dari jurang kematian.
Namun apa yang tampak di depan matanya bukan lagi dinding batu lembap penjara bawah tanah. Tidak ada belenggu, tidak ada bau darah besi yang menyesakkan.
Sebaliknya, dia mendapati dirinya berada di kamarnya sendiri di Kediaman Duke Leontinus Barak, kamar yang penuh dengan tirai sutra putih, permadani tebal, dan harum wangi bunga melati yang diletakkan di vas kristal.
Tangannya gemetar saat menyentuh tempat tidur berlapis bulu angsa. “Tidak… ini tidak mungkin… aku… aku sudah m*ti…” bisiknya pelan.
Namun cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar di kamarnya terasa terlalu nyata. Hangat. Menyilaukan. Menampar kesadarannya bahwa dia benar-benar kembali.
Detik berikutnya, cermin besar yang ada di sudut ruangannya mencuri perhatiannya, jelas sekali dia bisa melihat pantulan wajahnya yang masih muda tanpa guratan kusar disana.
Karena tak dapat mempercayainya, dia menyentuh wajahnya lama sekali.
"Apa ini? Apa aku benar-benar kembali ke masa lalu?"
Mungkinkah ini mimpi?
Mustahil.. ini terlalu nyata untuk menjadi mimpi.
Dalam keadaan tak sadarkan diri, dia melepas pakaian yang dikenakannya, mendapati bahwa tidak ada luka bekas tusukan pisau.
Sebaliknya, hanya ada sedikit goresan kecil di dekat dadanya.
Sekilas, itu tampak seperti bekas luka, tetapi dalam bahasa kuno yang terutama digunakan di kuil-kuil, itu berarti angka 1000.
Saat Camilla menelusuri angka itu di kulitnya dengan ujung jarinya, ia tiba-tiba tersadar dan segera mengambil serta mengenakan pakaiannya.
Aku akan memberikanmu waktu seribu hari.
Kata-kata Dewi Gaia terlintas di benaknya, dan ia dengan hati-hati menekan titik di mana angka itu terukir, jantungnya mulai berdebar tak terkendali. Camilla harus menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menerima situasi ini.
“Dewi Gaia… apa yang kau lakukan padaku?” gumamnya. Air matanya menetes, kali ini bukan karena duka, melainkan kebingungan.
Suara ketukan di pintu terdengar, diikuti dengan suara lembut yang familiar.
“Lady Camilla? Apakah Anda sudah bangun?”
Camilla tertegun. Itu suara Mary, dayangnya yang setia, wanita yang.. kalau tidak salah, akan meninggal beberapa bulan setelah dirinya memasuki istana, akibat keracunan yang tidak pernah terbukti sumbernya.
“Masuklah,” ucap Camilla terbata.
Mary masuk, menunduk sopan. Rambutnya dikepang rapi, wajahnya masih muda tanpa kerutan, berbeda dengan kenangan terakhir Camilla tentang dirinya, saat tubuhnya terbujur kaku di ruang obat.
“Oh syukurlah Lady sudah bangun. Anda tidur lebih lama dari biasanya,” kata Mary sambil tersenyum tulus. “Saya akan menyiapkan air hangat untuk mandi pagi.”
Camilla hanya bisa menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mary.." bisiknya lirih, membuat dayang itu bingung.
“Ya?”
Camilla bangkit, berjalan cepat, lalu mendekapnya erat. Mary terkejut, bahkan hampir menjatuhkan nampan yang ia bawa.
“Lady? Apa yang terjadi? Mengapa Anda menangis?”
Camilla tidak menjawab. Baginya, hanya bisa memeluk Mary kembali sudah cukup membuatnya ingin menangis lebih keras. Dia benar-benar hidup kembali, sebelum semua tragedi terjadi.
Jika benar dia kembali pada 1000 hari sebelum kematiannya, maka beberapa hari yang lalu pasti keluarganya sudah mendapatkan informasi mengenai pemilihan Putri Mahkota yang akan segera di selenggarakan.
"Apa Lady baik-baik saja? Haruskah saya panggilkan tabib?" Tanya Mary yang masih khawatir dengannya.
Camilla menghapus air matanya, satu gelengan kepala cukup membuat Mary tidak bertanya lebih lanjut, wanita itu dengan cekatan lebih memilih membantu membukakan pakaian tidur yang Camilla kenakan.
"Lady.. apakah anda membuat mahakarya asing yang sedang terkenal itu?"
Mendengar hal aneh dari Mary membuat Camilla sadar bahwa angka dalam bahasa kuno yang ada di dadanya telah terlihat oleh sang dayang.
Astaga, aku lupa..
"Oh iya.. keren bukan? Mereka menyebut ini tatoo"
Setidaknya dia tidak tahu apa arti gambar ini..
Mary menganggukkan kepala lalu menjalankan tugasnya untuk membantu Camilla membersihkan diri, memakai gaun dan menata rambutnya.
"Selesai.." ucap Mary dengan senyuman, dia selalu memuji wajah cantik Camilla yang memiliki hidung tinggi, mata almond dengan warna pupil coklat terang hingga alis tegas yang Camilla miliki.
"Saya permisi dulu Lady, nanti saya akan kembali memanggil anda jika Duke, Duchess dan Lord sudah menuju ruang makan"
Kebiasaan keluarga mereka adalah tidak pernah melewatkan sarapan pagi bersama, setiap hari mereka akan duduk di meja makan sebelum melakukan aktivitas.
Camilla berdiri mematung di depan cermin setelah Mary keluar, jemarinya menggenggam erat pinggiran meja rias. Bayangan dirinya yang muda dan segar menatap balik, seolah mengejek semua kenangan pahit dari kehidupan sebelumnya.
Seribu hari.. berarti aku memiliki kesempatan. Tapi apa yang harus kulakukan lebih dulu?
Suara langkah kaki di luar pintu mengingatkannya bahwa ia tak punya banyak waktu untuk termenung. Mary pasti akan kembali memanggilnya ketika keluarga sudah berkumpul di ruang makan.
Dengan satu tarikan napas panjang, Camilla melangkah keluar dari kamarnya, membiarkan sepasang pelayan menunduk hormat saat ia lewat.
Lorong kediaman Duke Leontinus Barak menjulang megah, dinding dihiasi lukisan keluarga dan lambang singa emas, simbol kejayaan keluarga Barak.
Aroma kayu pinus dan dupa lembut mengisi udara, menambah kesan agung yang kadang justru terasa menyesakkan.
Begitu tiba di ruang makan besar, ia melihat sosok ayahnya yang sudah duduk di kursi utama.
Tubuhnya tegap, bahu lebar, rambut mulai memutih di pelipis namun wajahnya tetap memancarkan wibawa seorang pria yang telah bertahun-tahun mengabdi sebagai tangan kanan kerajaan.
Di sisi lain meja duduk Duchess Helena Eve Barak, ibunya. Gaun sutra biru muda membalut tubuh rampingnya, dengan rambut hitam berkilau disanggul tinggi.
Wajahnya tenang, cantik, tapi mata kelamnya menyiratkan jarak yang tak pernah bisa ditembus Camilla, bahkan di kehidupan sebelumnya.
Dan di kursi sebelah kanan, duduk kakaknya, Lord Cedric Xavior Barak, putra sulung keluarga, dia mengenakan seragam pelatihan ksatria, wajah tampan dengan garis rahang tegas, mata birunya setajam pedang.
Cedric adalah pewaris gelar Duke setelah ayah mereka, sosok yang dulu selalu memandang Camilla dingin.
Mary menunduk hormat di belakangnya sebelum mundur, meninggalkan Camilla berdiri sejenak di ambang pintu.
“Selamat pagi, Ayah, Ibu, Kakak.” Camilla menunduk anggun.
“Duduklah,” suara Duke Leontinus dalam dan berwibawa, tak memberi ruang untuk banyak ekspresi.
Camilla mengambil tempat duduknya dengan gerakan terlatih. Pelayan segera menuangkan teh herbal ke dalam cangkir porselen putih di hadapannya, lalu meletakkan sepiring roti, buah, dan daging asap.
Suasana hening menyelimuti meja, hanya suara sendok garpu dan denting porselen yang terdengar. Sama seperti yang Camilla ingat, aturan keluarga Barak, tidak ada percakapan selama santap berlangsung.
Namun kali ini, hati Camilla berdegup keras. Ia menatap satu per satu wajah keluarganya, wajah-wajah yang dulu jarang menoleh padanya kecuali untuk menuntut lebih banyak kesempurnaan. Ada perasaan aneh di dadanya, kerinduan sekaligus luka lama yang kembali terbuka.
Beberapa menit kemudian, Duke meletakkan peralatan makannya, tanda bahwa sesi makan telah berakhir. Para pelayan segera menyingkirkan piring. Inilah saat singkat untuk berbincang.
“Camilla.” Suara ayahnya membuatnya tersentak. “Sudahkah engkau mempersiapkan diri untuk seleksi Putri Mahkota?”
Pertanyaan itu bagai kilat yang menyambar.
Di kehidupan sebelumnya, itulah awal kejatuhannya, dimana terjebak dalam perebutan posisi, cinta dan dihancurkan oleh intrik Annette, serta ditinggalkan Arthur.
Kini Camilla mengangkat kepalanya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Ya, Ayah. Aku akan mempersiapkan diri sebaik mungkin.”
Duke Leontinus menatapnya lekat-lekat, seolah ingin menembus pikirannya. Lalu ia mengangguk pelan. “Bagus. Jangan membuat malu nama Barak.”
Helena, sang Duchess, menyesap tehnya perlahan. “Camilla, beberapa hari lagi perwakilan kerajaan akan mengunjungi kediaman kita. Mereka akan menilai kecakapanmu dalam tata krama dan seni. Ingat, satu langkah keliru bisa mencoreng segalanya.”
Cedric menyeringai tipis, matanya menatap Camilla dengan nada meremehkan. “Semoga kali ini kau tidak gemetar seperti kelinci di hadapan singa, Adikku.”
Camilla merasakan darahnya berdesir. Di kehidupan sebelumnya, ia selalu terdiam ketika Cedric mele cehkannya dengan kata-kata sinis. Tapi kali ini berbeda.
Ia mengangkat dagunya sedikit, menatap lurus ke arah kakaknya. Senyum lembut namun penuh makna menghiasi bibirnya.
“Tenang saja kak. Aku bukan lagi kelinci. Mungkin.. aku akan mengejutkanmu.”
Pagi itu, kediaman megah Duke Leontinus Barak diliputi ketegangan yang jarang terjadi. Para pelayan sibuk membersihkan halaman, mengganti tirai, dan menata bunga segar di setiap ruangan.
Kabar sudah menyebar bahwa utusan kerajaan akan datang untuk mengetes Lady Camilla, putri Duke, dalam rangka seleksi Putri Mahkota.
Mary, dayang pribadi Camilla, hampir tidak berhenti berlari-lari kecil sejak fajar. “Lady, duduklah sebentar! Anda sudah berjalan bolak-balik sejak tadi,” pintanya cemas.
Camilla hanya tersenyum tipis sambil memandang cermin. “Tenang, Mary. Aku sudah terbiasa dengan semua ini.. lebih dari yang kau tahu.”
Ia teringat kehidupan sebelumnya, ujian ini adalah tahap awal, namun dulu ia menghadapinya dengan terlalu polos. Ia percaya semua pertanyaan akan adil, semua tes akan jujur.
Kini, ia tahu bahwa ini bukan sekadar tes kemampuan, melainkan ujian politik yang dirancang untuk menjatuhkan atau mengangkat seseorang.
Tak lama kemudian, derap kuda dan roda kereta berhenti di depan gerbang utama. Suara terompet singkat menggema. Para pelayan segera berbaris rapi menyambut.
Masuklah rombongan kerajaan: Lady Debora, seorang bangsawati tua yang dipercaya langsung oleh Ibu Suri Elenora, ditemani seorang guru besar tata krama, serta seorang penasihat istana. Mereka semua dikenal berhati tajam, sulit disenangkan.
Duke Leontinus sendiri menyambut mereka di aula utama. “Kediaman Barak merasa terhormat atas kunjungan Yang Mulia,” ucapnya dengan sopan.
Lady Debora hanya tersenyum tipis. “Kami datang atas perintah Ibu Suri. Hari ini, kami ingin melihat sendiri kemampuan Lady Camilla. Bukan sekadar kecantikan, melainkan otak, sopan santun, dan.. daya tahan.”
Kata terakhir itu ia ucapkan dengan tekanan halus, membuat beberapa pelayan saling pandang dengan gugup.
Camilla kemudian dipanggil masuk. Ia berjalan perlahan melewati aula besar dengan gaun sederhana berwarna putih gading. Setiap langkahnya mantap, setiap gerakan tubuhnya penuh kendali.
Lady Debora memperhatikan dengan saksama, lalu tersenyum miring. “Lady Camilla, mari kita mulai dengan sesuatu yang mudah. Bagaimana Anda menilai peran seorang Putri Mahkota dalam kerajaan ini?”
Camilla menatap mata sang bangsawati tanpa gentar. Dalam kehidupannya dulu, ia menjawab dengan naif, mengatakan bahwa seorang Putri Mahkota hanya perlu mendukung suaminya. Jawaban itu membuatnya tampak lemah. Kini, ia sudah belajar.
Ia menunduk sopan lalu menjawab, suaranya tenang namun penuh keyakinan:
“Seorang Putri Mahkota bukan sekadar pendamping. Ia adalah jembatan antara rakyat dan istana, cahaya yang memberi keyakinan pada bangsawan maupun rakyat jelata. Tugasnya bukan hanya mendampingi Putra Mahkota, melainkan menjaga keseimbangan istana, menenangkan hati rakyat, dan memastikan stabilitas yang diwariskan kepada generasi berikutnya.”
Ruangan hening sejenak. Para utusan saling pandang, jelas terkejut dengan kedalaman jawaban itu.
Guru besar tata krama berdehem, mencoba menggoyahkan: “Kata-kata indah, Lady. Namun kecantikan sering lebih berbicara daripada pikiran. Bagaimana jika Putra Mahkota hanya menginginkan seorang permaisuri yang cantik, bukan yang pintar?”
Camilla tersenyum samar. “Kecantikan akan memudar seiring waktu, Tuan. Tapi kecerdasan, kesetiaan, dan kekuatan hati.. akan bertahan lebih lama daripada wajah yang rupawan.”
Duke Leontinus yang duduk di kursinya menatap putrinya dengan bangga, meski wajahnya tetap tenang.
Lady Debora mengetuk kipasnya pelan, menahan senyum tipis. “Menarik.. sangat menarik.”
Tes berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan sulit: mulai dari strategi mengatur jamuan kerajaan, mengomentari politik luar negeri, hingga menguji pengetahuan sastra klasik. Camilla menjawab semuanya dengan tenang, tak satu pun membuatnya goyah.
***
Di ruang kerjanya, Arthur menuliskan laporan perang. Lilin sudah hampir habis, namun tangannya tetap bergerak cepat.
Aiden berdiri di samping, memberi laporan tambahan. “Beberapa keluarga bangsawan sudah mulai mendekati Ibu Suri, Yang Mulia. Saya mencium ada aliansi yang terbentuk.”
Arthur mengangguk singkat. “Awasi mereka, aku ingin tahu siapa yang di pilih oleh wanita tua itu.”
“Tentu, Yang Mulia.”
Di sisi lain dari istana, tepatnya di Paviliun Seraphine, kediaman resmi Ibu Suri Elenora, malam berjalan dengan cara yang berbeda.
Tidak ada tumpukan laporan perang, tidak ada bau lilin habis terbakar. Yang ada hanyalah harum teh melati yang mengepul dari cangkir-cangkir porselen, suara lembut kecapi yang dimainkan pelayan, dan cahaya lentera yang membuat ruangan berkilau keemasan.
Ibu Suri Elenora duduk anggun di kursi tinggi berlapis beludru ungu. Usianya sudah melewati lima puluh, tapi wajahnya masih memancarkan kecantikan yang terjaga dengan baik. Senyum tipisnya jarang sekali tulus, kebanyakan hanyalah selubung untuk menutupi pikiran yang berlapis-lapis.
Di hadapannya tergeletak daftar panjang nama-nama gadis bangsawan yang dinominasikan untuk menjadi Putri Mahkota, calon pendamping Putra Mahkota Arthur.
Elenora mengetuk-ngetukkan ujung kipas gadingnya di atas daftar itu, matanya menyipit penuh perhitungan.
“Putri dari keluarga Marquis Valmont.. terlalu lemah lembut. Akan hancur begitu saja di tengah intrik istana.”
“Putri Countess Almare.. cantik, tapi keluarganya tidak memiliki cukup pengaruh.”
“Ah… dan ini… Camilla El Barak.”
Ibu Suri berhenti di nama itu. Senyum samar terbentuk di wajahnya.
“Putri dari Duke Leontinus Barak. Cerdas, terdidik, tapi… keluarga Barak terlalu berpengaruh. Menyatukan mereka dengan takhta mungkin akan membuat neraca kekuasaan condong terlalu jauh ke satu sisi.” Ia menutup kipasnya perlahan. “Menarik, tapi berbahaya.”
Seorang dayang tua yang berdiri di dekatnya memberanikan diri bertanya, “Apakah Yang Mulia mempertimbangkan Lady Camilla, Ibu Suri?”
Elenora menoleh sekilas, tatapannya tajam meski bibirnya tetap melengkung manis. “Aku mempertimbangkan semua. Tapi memilih Putri Mahkota bukan sekadar memilih pendamping untuk cucu tiriku. Ini tentang siapa yang akan kuizinkan berdiri di sisinya… dan siapa yang akan kuizinkan memegang pengaruh di sekitarnya.”
Tangannya kembali bergerak menyusuri daftar. “Ada pula gadis baru yang datang dari garis keturunan jauh kerajaan utara.. Annette.”
Nada suaranya terdengar berbeda saat menyebut nama itu. Senyum Ibu Suri melebar tipis, seperti menemukan permata tersembunyi.
“Tidak banyak yang tahu asal-usulnya, namun justru karena itu.. dia mudah dibentuk. Tidak terlalu banyak beban politik di belakangnya. Wajah polos, senyum manis, hati lembut. Anak seperti itu mudah dikendalikan.. dan yang terpenting, tidak akan menyaingi kekuasaanku.”
Dayang tua itu menunduk. “Apakah Ibu Suri akan memilih Lady Annette, maka?”
Elenora menggerakkan kipasnya pelan, menutupi sebagian senyum liciknya. “Bukan memilih.. belum. Aku hanya akan mengamati. Biarkan mereka semua saling bersaing, saling menjatuhkan. Dari sana, yang paling cocok akan muncul dengan sendirinya. Dan saat itu terjadi, aku akan memastikan Putri Mahkota yang terpilih adalah yang sesuai dengan kepentinganku.”
Ia berdiri, gaun ungu gelapnya bergemerisik menyapu lantai marmer. “Sampaikan undangan padaku. Aku ingin menghadiri sesi penilaian berikutnya. Akan menarik melihat bagaimana gadis-gadis itu berusaha menarik perhatian.”
Lilin di paviliun padam satu per satu, menyisakan cahaya bulan yang menembus jendela besar.
Di dua sisi istana yang berbeda, dua permainan tengah dimulai, Arthur di ruang kerjanya mengawasi pergerakan bangsawan, sementara Ibu Suri Elenora menyusun bidak-bidaknya di papan catur politik.
***
Keesokan paginya, Istana Kerajaan tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berlarian membawa vas bunga, kain sutra, serta peralatan perjamuan. Aula timur akan dipakai untuk sesi penilaian pertama para kandidat Putri Mahkota.
Camilla berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengenakan gaun biru pucat yang dipilihkan Mary. Gaun itu sederhana dibandingkan milik para putri bangsawan lain, namun justru menonjolkan kecantikan alami dirinya. Rambut coklatnya digelung tinggi, menyisakan beberapa helai tipis yang jatuh lembut di sisi wajahnya.
Mary menatapnya dengan kagum. “Lady.. Anda terlihat menawan sekali hari ini. Semua mata pasti akan tertuju pada Anda.”
Camilla tersenyum samar. “Semoga saja, Mary. Tapi bukan hanya keindahan yang harus mereka lihat.. melainkan kekuatanku.”
Ia tahu benar, di kehidupan sebelumnya, inilah awal segalanya. Ia memasuki aula itu dengan hati penuh kepolosan, percaya bahwa keanggunan dan pendidikan yang dimilikinya sudah cukup. Nyatanya, satu senyuman manis Annette mampu membalik segalanya.
Kini, Camilla sudah berbeda. Ia tidak akan membiarkan dirinya lagi menjadi pion.
Sementara itu, di Paviliun Seraphine, Ibu Suri Elenora bersiap menuju aula. Ia mengenakan gaun beludru ungu tua dengan hiasan mutiara, mahkota tipis berkilau di atas rambut peraknya. Dayang-dayangnya sibuk menata detail kecil, sementara Elenora menatap ke cermin perunggu.
“Biarkan gadis-gadis itu datang dengan ambisi mereka,” ucapnya pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. “Hari ini aku akan melihat siapa yang sekadar bunga, dan siapa yang memiliki duri tersembunyi.”
Aula timur akhirnya dipenuhi oleh para bangsawan tinggi, keluarga para kandidat, serta duta asing yang ingin menyaksikan proses seleksi. Musik lembut dari harpa terdengar, sementara cahaya matahari masuk melalui kaca patri, memantulkan warna emas dan biru di lantai marmer.
Arthur hadir dengan pakaian resmi militer, berdiri di samping tahta cadangan di bawah bendera kerajaan. Wajahnya tenang, dingin, nyaris tanpa ekspresi, namun sorot matanya penuh pengamatan.
Aiden mendekat sedikit, berbisik, “Yang Mulia, para kandidat sudah memasuki aula.”
Arthur mengangguk singkat. Pandangannya menyapu ke arah pintu besar, menunggu.
Satu per satu para gadis bangsawan masuk dengan gaun indah, senyum penuh percaya diri, dan tatapan yang berusaha merebut perhatian.
Namun ketika Camilla El Barak melangkah masuk, suasana seakan berubah. Gaun biru pucatnya memang tidak paling mewah, tapi cara ia berjalan tenang, mantap, penuh wibawa membuat banyak pasang mata terpaku.
Arthur mengernyit tipis. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Bukan hanya keindahannya.. tapi aura yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Tak lama setelahnya, Annette masuk. Gadis berambut pirang lembut itu tersenyum manis, matanya bersinar polos. Para bangsawan berbisik-bisik, kagum akan keanggunan alaminya.
Ibu Suri Elenora tersenyum di kursinya, menyipitkan mata menatap kedua gadis itu. “Menarik,” bisiknya. “Satu bunga yang sudah mekar indah, dan satu tunas segar yang mudah dibentuk. Mari kita lihat.. siapa yang akan bertahan lebih lama di taman penuh racun ini.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!