Aku selalu benci hujan.
Dari kecil, setiap kali hujan turun, selalu saja ada hal aneh yang terjadi — listrik padam, aku jatuh, atau setidaknya seseorang berakhir di rumah sakit. Ironisnya, aku malah tumbuh jadi dokter. Dan malam itu, saat dunia basah dan kacau oleh badai besar, aku sadar: kebencianku pada hujan mungkin sudah jadi kutukan pribadi.
Aku sedang jaga malam di IGD rumah sakit tempatku kerja, sendirian di ruang dokter jaga yang hanya diterangi lampu neon putih. Di luar, petir menyambar seperti naga marah.
“Ah, semoga listrik gak mati…” gumamku sambil menatap layar monitor yang menampilkan data pasien.
Tapi tentu saja, alam semesta gak peduli dengan doaku.
BRAGH!
Listrik padam seketika. Lampu mati, komputer mati, dan hanya cahaya petir dari luar jendela yang menyilaukan ruangan. Suara hujan menabrak kaca jendela seperti ribuan anak panah. Aku berdiri, mau keluar cari genset cadangan, tapi saat langkahku baru dua, kilat menyambar lagi — tepat di luar jendela.
Dan entah bagaimana, kaca itu… pecah.
Aku bahkan belum sempat teriak. Angin besar menyapu ruangan, menyeretku bersama pecahan kaca dan dingin yang menembus kulit. Aku merasa seperti terhisap ke dalam pusaran air — semuanya gelap, berisik, dan dingin seperti mati rasa.
Aku berusaha membuka mata, tapi dunia berubah.
Langit… merah? Tidak, itu senja. Tapi kenapa aku bisa mencium bau tanah, rumput, dan darah?
Tubuhku terbaring di tanah basah. Hujan turun deras. Di sekitarku, suara pedang beradu, teriakan, dan suara langkah berat memenuhi udara.
“Aku… di mana ini?” suaraku bergetar, nyaris tenggelam oleh hujan.
Lalu sesuatu berkilat di sisi kananku — pedang. Seseorang dalam baju zirah hitam berlari ke arahku dengan teriakan keras, mata penuh amarah. Aku kaku. Aku gak punya waktu buat berpikir. Aku cuma seorang dokter, bukan ninja, apalagi pejuang.
Tepat sebelum pedang itu menembus tubuhku, seseorang menarikku keras dari belakang.
Aku jatuh ke tanah, menabrak dada seseorang yang keras seperti baja.
“Apa kau ingin mati di sini, wanita bodoh?” suara itu dalam, tegas, dan dingin.
Aku menatap ke atas. Di tengah hujan deras, aku melihat wajah seseorang — seorang pria muda berwajah pucat, mata abu-abu dingin, dan rambut hitam panjang yang sebagian terikat dengan pita merah.
Dia mengenakan jubah perang dengan lambang burung bangau perak di dada.
Tanpa sadar aku terdiam.
Dia tampak seperti keluar dari film samurai, tapi aura di sekelilingnya… terlalu nyata, terlalu berbahaya.
“Siapa kau? Dari mana datangnya?” tanyanya tajam.
“A-aku…”
Suara petir memotong kalimatku. Pria itu menatapku seolah menilai apakah aku musuh atau orang gila.
“Jangan bilang kau mata-mata dari utara.”
“Ha? Mata-mata apa? Aku cuma—”
Belum sempat aku menjelaskan, seseorang berteriak di belakang kami, “Yang Mulia, mundur! Panah berapi datang!”
Pria itu mendorongku ke tanah dan berbalik cepat. Panah menyala melesat, dan dengan satu gerakan elegan, ia menebasnya di udara. Percikan api menari di sekitar kami sebelum padam tersapu hujan.
Aku membeku.
Pria ini — siapa pun dia — jelas bukan orang biasa.
“Bangun. Kalau kau tetap duduk di situ, aku tinggalkan.”
Nada suaranya seperti campuran kesal dan perintah. Aku memaksakan diri berdiri walau lututku gemetar.
“Aku gak tahu di mana aku berada…” kataku pelan.
Dia menatapku, lama.
“Kau bahkan bicara aneh. Tapi matamu tidak bohong.”
“Mataku?”
“Tak ada rasa takut di sana. Kau bukan dari dunia ini, ya?”
Aku terdiam.
Apa maksudnya?
Sebelum sempat kutanya, dia menarik pergelangan tanganku dan membawaku berlari melewati reruntuhan, ladang basah, dan jalan tanah yang becek. Aku tak tahu mau ke mana, tapi langkahnya pasti dan cepat.
Kami tiba di depan gerbang kayu besar yang dijaga beberapa prajurit. Begitu mereka melihat pria itu, mereka langsung berlutut.
“Yang Mulia, pasukan pemberontak sudah mundur ke hutan!”
“Perkuat penjagaan. Dan siapkan ruang perawatan,” perintahnya tegas.
Aku mendengarnya jelas: Yang Mulia?
Aku menatapnya kaget. “Jadi kau… pangeran?”
Dia tidak menjawab. Hanya menoleh sekilas, mata abu-abunya menembusku seperti hujan dingin.
“Nama?”
“M-Mika.”
“Mika…” ia mengulang pelan, seolah mencicipi bunyi asing itu. “Nama aneh. Tapi mungkin cocok dengan wajahmu yang juga aneh.”
Aku mendengus. “Terima kasih, kayaknya.”
Mulutnya terangkat sedikit, tapi hanya sepersekian detik sebelum kembali datar.
“Mulai sekarang, kau ikut aku. Aku tidak tahu dari mana kau datang, tapi kau akan menjawab banyak hal nanti.”
Kami berjalan masuk melewati gerbang itu. Di dalamnya — sebuah istana kayu besar dengan lentera bergoyang diterpa hujan. Aroma tanah basah bercampur wangi dupa. Suara gemericik air hujan menetes dari atap jerami.
Aku menatap sekeliling, setengah kagum, setengah takut.
Ini bukan rumah sakit. Bukan Jepang abad modern. Tapi… Jepang zaman samurai?
Kami masuk ke aula besar. Lantai kayunya mengilap, dan di ujung ruangan, berdiri beberapa orang berpakaian tradisional, menatapku penuh curiga.
Salah satunya, seorang pria tua berjubah putih, membungkuk pada pangeran.
“Yang Mulia Akira, apakah wanita ini tawanan?”
Akira. Jadi itu namanya.
“Belum tentu,” jawabnya singkat. “Dia muncul di tengah medan perang, tanpa senjata, tanpa identitas. Aku ingin kau periksa.”
Pria tua itu menatapku dari atas sampai bawah.
“Kau… bukan dari sini, bukan?”
Aku menelan ludah. “Ya, bisa dibilang begitu.”
“Dari desa mana?”
“Uh… Tokyo.”
Suara tawa kecil terdengar di belakang. Seorang prajurit berbisik, “Tokyo? Desa macam apa itu?”
Aku menutup wajahku. Bagus, Mika. Sekarang kau terdengar makin gila.
Pria tua itu mengelus janggutnya. “Namamu Mika, ya? Aku Aiko, tabib istana. Aku akan memeriksa lukamu.”
“Tabib?” aku tersenyum lega. “Oh, jadi kau juga dokter.”
Dia mengerutkan alis. “Dokter? Apa itu?”
“Ah… lupa. Beda istilah.”
Aku mengikuti Aiko ke ruang kecil di sisi istana. Ia memeriksa luka di lenganku.
“Lukamu parah, tapi bukan luka perang. Kau seperti… jatuh dari langit.”
Aku tertawa gugup. “Ya, bisa dibilang begitu.”
Dia berhenti, menatapku. “Aku tidak bercanda.”
Aku menatap cermin kecil di ruangan itu, dan untuk pertama kalinya kulihat wajahku sendiri — masih sama, tapi ada goresan kecil dan rambutku kotor penuh lumpur. Di belakangku, bayangan Akira muncul di pintu, berdiri diam, menatapku lewat pantulan cermin.
“Kau tidak tampak seperti mata-mata,” katanya datar.
“Aku sudah bilang, aku bukan.”
“Lalu apa kau?”
Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menjelaskan kalau aku dokter dari masa depan yang tersedot badai waktu?
“Boleh aku jujur?”
“Coba saja.”
“Aku gak tahu aku di mana. Yang aku ingat, aku sedang di rumah sakit, ada petir besar, lalu tiba-tiba aku di sini.”
“Rumah sakit?”
“Tempat menyembuhkan orang.”
Ia menatapku lama, lalu menghela napas. “Aneh. Tapi entah kenapa aku percaya.”
Aku menatap matanya.
Untuk sesaat, aku melihat sesuatu di sana — bukan dingin, tapi luka yang sangat dalam.
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanyanya.
“Entah. Matamu seperti… menyimpan badai.”
Dia terdiam sejenak. “Kau benar-benar aneh.”
Aiko masuk, memecah keheningan. “Yang Mulia, aku sudah menyiapkan kamar untuk wanita ini.”
“Baik. Pastikan tidak ada yang mengganggunya. Dan jangan biarkan dia keluar dari istana.”
Aku memprotes, “Hei, kenapa aku dikurung?”
“Karena aku belum tahu siapa kau,” katanya tanpa menoleh.
“Kalau aku mau kabur?”
Dia berhenti di ambang pintu, berbalik pelan. “Maka aku akan mencarimu. Dan percayalah, aku selalu menemukan apa yang kucari.”
Suara hujan di luar semakin deras.
Aku duduk di ranjang kayu yang disiapkan Aiko. Lampu minyak di pojok ruangan berkelip, menari bersama bayangan dinding. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.
Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin ini cuma ilusi, efek syok karena kelelahan. Tapi udara di sini terlalu nyata, begitu juga rasa sakit di lututku.
Aku memejamkan mata.
“Hujan…” bisikku pelan.
Suara itu menenangkan dan menakutkan di saat yang sama.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar berderit. Aku pikir Aiko kembali, tapi ternyata Akira.
Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah tanpa ekspresi.
“Aku ingin tahu sesuatu,” katanya.
“Apa?”
“Hujan tidak membuatmu takut?”
Aku menggeleng. “Tidak. Kenapa?”
“Karena aku benci hujan.”
“Kenapa?”
“Karena setiap kali hujan turun… seseorang mati.”
Suara itu dingin, tapi juga sedih.
Aku tidak tahu harus bilang apa, jadi aku hanya diam.
Dia berjalan pelan ke jendela, menatap air yang menetes di kaca.
“Kau datang bersama hujan. Mungkin itu pertanda buruk,” katanya lirih.
“Atau mungkin… pertanda baik?”
Dia menatapku sebentar, lalu berbalik. “Kita lihat saja nanti, Mika dari Tokyo.”
Begitu dia pergi, aku menatap langit lewat celah jendela. Hujan masih turun tanpa henti, tapi entah kenapa… aku merasa nyaman.
Aku tidak tahu kenapa atau bagaimana aku bisa ke dunia ini, tapi satu hal pasti:
Hujan ini bukan sekadar cuaca. Ini adalah awal dari sesuatu yang besar.
Sesuatu yang akan mengubah hidupku — dan mungkin, seluruh kerajaan ini.
Malam di istana itu dingin — bukan hanya karena hujan, tapi karena semuanya terasa asing.
Bau dupa yang menggantung di udara, suara lantai kayu yang berderit setiap kali aku bergerak, dan keheningan yang bahkan bisa membuat detak jantung sendiri terdengar keras.
Aku gak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, bayangan petir yang menyambar dan wajah dingin Akira muncul di kepala.
“Hujan selalu membawa kematian.”
Kalimatnya terus berputar di pikiranku.
Aku menarik selimut, menatap langit-langit.
“Pangeran aneh…” gumamku pelan.
Dia menyelamatkanku, tapi menatapku seolah aku ancaman. Tapi di balik matanya yang dingin, ada sesuatu. Luka, mungkin. Luka yang disembunyikan di balik wibawa dan tatapan tajamnya itu.
Aku memutuskan keluar kamar. Tidak tahan dengan sunyi.
Koridor istana panjang dan diterangi lentera minyak. Hujan di luar masih turun lembut. Dari jauh, terdengar suara seruling — sendu, tapi indah.
Aku mengikuti suara itu.
Langkahku membawaku ke taman belakang istana. Di sana, di bawah atap kayu kecil yang menghadap kolam, seseorang sedang duduk memandangi air.
Punggung tegap, rambut hitam panjang, dan jubah hitam dengan lambang burung bangau perak.
Tentu saja, itu Pangeran Akira.
Dia memainkan serulingnya dengan tenang, seolah hujan dan malam hanyalah latar dari pikirannya yang jauh.
Nada-nadanya seperti bercerita — tentang kehilangan, tentang seseorang yang takkan kembali.
Aku berdiri di balik tiang kayu, mencoba tidak mengganggu. Tapi langkahku membuat bunyi kecil.
Suara seruling berhenti.
“Sepertinya kau suka menguping,” katanya tanpa menoleh.
Aku mengangkat tangan. “Aku cuma lewat. Lagipula, siapa yang main musik tengah malam begini?”
Dia menoleh sedikit. “Orang yang tidak bisa tidur.”
“Ah, sama.”
Ia menatapku, lalu menepuk lantai kayu di sebelahnya. “Kalau begitu duduklah. Daripada berdiri seperti pencuri.”
Aku menurut.
Hujan turun halus di depan kami, menimbulkan riak kecil di permukaan kolam. Di atasnya, pantulan lentera membuat air terlihat seperti berkilau.
“Kenapa kau masih terjaga?” tanyanya.
“Sulit tidur. Semua ini terlalu… nyata.”
“Masih berharap bisa bangun di dunia asalmu?”
Aku menghela napas. “Kalau aku jujur, iya. Tapi sebagian diriku juga penasaran. Dunia ini… indah, tapi keras.”
Dia tersenyum tipis. “Dunia ini tidak indah. Kau baru melihat kulitnya.”
Hening.
Angin membawa aroma bunga plum yang jatuh di sekitar kami.
“Aku dengar kau benci hujan,” kataku akhirnya.
Matanya memantul cahaya lentera. “Siapa yang tidak? Hujan menghapus jejak, menenggelamkan darah, dan menyembunyikan tangisan.”
“Bagus juga kalau mau bikin puisi,” godaku.
Dia mendengus kecil. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu.”
“Tapi aku jujur. Dan kayaknya kau butuh sedikit kejujuran.”
Dia menatapku lama. Tatapannya tajam, tapi tidak menusuk.
“Orang-orang di sini bicara dengan penuh basa-basi. Kau berbeda.”
“Karena aku bukan dari sini.”
“Ya, aku tahu. Kau dari… Tokyo?”
Aku terkekeh. “Kau ingat.”
“Sulit melupakan nama tempat yang terdengar seperti mantra aneh.”
Hujan mulai reda. Aku menarik napas panjang.
“Aku dokter, tahu? Di duniaku, kami menyembuhkan orang. Tapi di sini, kalian pakai mantra dan racikan yang baunya kayak sup basi.”
Dia menaikkan alis. “Sup basi?”
“Ya, ramuan Aiko itu. Aku hampir muntah tadi.”
Akira tertawa kecil. Suara yang baru pertama kali kudengar — rendah, tapi hangat.
“Jangan biarkan dia mendengarnya, bisa-bisa kau dilempar ke dapur kaisar.”
“Lumayan, aku lapar.”
Ia memandangku, seperti menilai apakah aku bercanda atau tidak.
“Wanita sepertimu jarang kulihat. Tak takut, tak tunduk, tapi juga… tak tahu bahaya.”
“Kalau aku terlalu tahu bahaya, mungkin aku gak akan bisa menolong siapa pun,” jawabku cepat.
Dia menatapku dengan ekspresi sulit dijelaskan — antara kagum dan khawatir.
Lalu tiba-tiba, dari arah istana, terdengar suara langkah cepat. Seorang pengawal datang dan berlutut.
“Yang Mulia, panglima Takeshi ingin menghadap.”
Wajah Akira berubah dingin lagi. “Sekarang?”
“Ia bilang penting, mengenai gerakan pasukan utara.”
Akira berdiri. “Bawa dia ke ruang utama.”
Ia menatapku. “Kau, kembali ke kamar.”
“Kenapa? Aku ingin tahu juga.”
“Ini urusan perang.”
“Aku dokter, bukan anak kecil.”
Tatapannya menusuk. “Justru karena kau dokter. Aku tidak ingin kau jadi mayat pertama malam ini.”
Aku membuka mulut untuk membalas, tapi ia sudah pergi, jubah hitamnya berayun.
Sial, pangeran itu terlalu suka mengatur.
Tapi tentu saja, aku tidak patuh.
Aku menyelinap lewat koridor belakang, mencari jalan menuju aula utama. Suara pria-pria berdebat terdengar keras.
“Yang Mulia,” suara berat itu—mungkin Takeshi—berkata, “pasukan utara sudah menyeberang sungai. Mereka tidak akan berhenti sampai menembus istana.”
“Berapa banyak?” tanya Akira.
“Sekitar tiga ribu.”
“Dan kita?”
“Seribu dua ratus.”
Hening sesaat.
“Kalau begitu, kita yang akan membuat mereka datang ke tempat yang kita pilih,” kata Akira datar. “Hujan akan jadi sekutu kita.”
Aku yang bersembunyi di balik pilar nyaris tertawa pelan. Katanya dia benci hujan.
“Yang Mulia,” Takeshi lanjut, “izinkan saya memimpin barisan depan.”
Akira menatapnya tajam. “Aku tahu ambisimu, Takeshi. Tapi kali ini aku yang akan turun.”
“Tidak pantas! Pangeran tidak boleh ke medan perang!”
“Justru karena aku pangeran. Aku tidak akan biarkan prajuritku mati sendirian.”
Suara itu dalam dan penuh keyakinan.
Aku yang mendengarnya jadi diam. Di balik dinginnya, dia punya hati yang keras kepala — dan tulus.
Setelah rapat selesai, para prajurit keluar. Aku buru-buru mundur, tapi ternyata…
“Aku tahu kau di sana, Mika.”
Sial.
Aku muncul dari balik pilar sambil nyengir. “Aku cuma lewat.”
“Lewat di ruang perang?”
“Ya, salah jalan.”
Dia menghela napas panjang. “Kau memang gila.”
“Tapi kau butuh orang gila kayak aku.”
“Untuk apa?”
“Untuk merawatmu kalau kau kena panah.”
Dia hampir tersenyum, tapi menahan diri. “Kalau begitu, siapkan peralatanmu. Kita berangkat besok pagi.”
Aku terkejut. “Apa? Aku ikut perang?”
“Kau bilang dokter, kan? Maka buktikan.”
“Eh—tapi aku bukan—”
Terlambat. Dia sudah melangkah pergi lagi.
Aku berdiri di aula kosong, mendengar gema langkahnya yang semakin jauh.
Entah kenapa, dada ini terasa campur aduk antara takut dan… bersemangat?
Pagi berikutnya, udara lembab dan berkabut. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah.
Aku diberi pakaian sederhana berwarna krem dan mantel tipis. Yuna, dayang muda yang baru kukenal, membantu mengikat rambutku.
“Kau benar-benar mau ikut Pangeran?” tanyanya gugup.
“Dia yang nyuruh.”
“Dia jarang bawa orang luar. Apalagi perempuan.”
Aku tersenyum. “Berarti aku spesial.”
“Berarti kau nekat,” balasnya lirih.
Kami berangkat tak lama setelah itu. Puluhan kuda berderap di jalan tanah. Di depan, Akira menunggang kuda hitam besar, sementara aku duduk di belakang salah satu pengawal, Riku, yang lebih ramah.
“Pertama kali ke medan perang, ya?” tanya Riku.
“Pertama kali ke masa lalu juga,” sahutku.
Dia tertawa. “Aku gak paham maksudmu, tapi sepertinya kau wanita paling aneh yang pernah kulihat.”
“Terima kasih, itu sudah sering kudengar.”
Di perjalanan, aku sempat menatap Akira dari jauh.
Dia tampak fokus, tenang, seolah sudah terbiasa dengan ketegangan ini. Tapi sesekali, saat hujan gerimis turun, bahunya menegang.
Aku teringat lagi kalimatnya: Setiap kali hujan turun, seseorang mati.
Apa mungkin… dia kehilangan seseorang saat hujan?
Kami berhenti di bukit kecil. Dari sana terlihat dataran luas di bawah, tempat kabut menggantung berat.
“Pasukan utara akan datang dari sana,” kata Riku pelan.
Aku mengangguk. “Dan tugas kita?”
“Menunggu perintah Pangeran.”
Beberapa saat kemudian, Akira menuruni bukit. Dia berjalan ke arahku.
“Jangan jauh-jauh dari tenda medis,” katanya singkat.
“Baik, Yang Mulia Dokter Hunter.”
Dia mengerutkan alis. “Hunter?”
“Lelucon. Lupakan.”
Dia menatapku sesaat, lalu menatap langit. Gerimis turun lagi, tipis, tapi cukup untuk membuat udara jadi dingin menusuk.
“Lihat?” katanya pelan. “Hujan datang lagi. Waktu kita sedikit.”
Aku memegang pergelangan tanganku sendiri, mencoba mengusir gugup.
“Aku akan di sini. Tapi kau juga hati-hati.”
Dia menatapku sekilas. “Aku selalu hati-hati. Kau yang jangan mati sia-sia.”
Dan dengan itu, dia berbalik, memberi aba-aba pada pasukannya.
Sorak-sorai prajurit menggema, mencampur dengan suara hujan.
Aku berdiri di tepi tenda medis, menatap sosoknya yang perlahan hilang di kabut — gagah, dingin, tapi entah kenapa terasa… rapuh.
Untuk pertama kalinya, aku berdoa agar hujan kali ini tidak membawa kematian seperti yang dia takutkan.
Dan dalam hati, aku tahu… pangeran itu bukan hanya benci hujan,
tapi takut pada kenangan yang datang bersamanya.
Perang ternyata tidak seheroik di film.
Tidak ada musik dramatis, tidak ada pahlawan dengan rambut tertiup angin, dan tidak ada waktu buat berdiri keren sambil menatap langit.
Yang ada cuma darah, lumpur, dan teriakan orang yang terluka.
Aku masih bisa mencium bau logam dan tanah basah saat menarik perban dari salah satu prajurit yang terluka di tenda medis. Tanganku gemetar, tapi pikiranku fokus.
“Tekan di sini,” kataku ke Riku, yang kini jadi asisten dadakan.
“Dengan apa?”
“Tanganmu! Ya Tuhan…” aku mendesah. “Kalau gak ditekan, dia bisa kehabisan darah!”
Riku menurut. Dia kuat, tapi jelas gak terbiasa dengan darah sebanyak ini.
“Dokter, kau benar-benar aneh. Perempuan biasanya pingsan melihat luka seperti ini.”
“Perempuan dari duniaku tidak mudah pingsan.”
“Dunia lagi, dunia lagi…” gumamnya. “Kau ini sebenarnya siapa, Mika?”
Aku menatapnya, lalu tersenyum samar. “Mungkin nanti aku cerita.”
Dari luar, suara perang masih terdengar — denting pedang, teriakan komando, dan sesekali ledakan kecil dari bom asap primitif mereka.
Hujan turun pelan, mencampur darah dan lumpur menjadi warna yang sulit dijelaskan.
Aku menatap ke luar tenda sesaat, mencari sosok Akira. Tapi yang kulihat hanya kabut dan bayangan pasukan.
“Dia pasti baik-baik saja,” kataku sendiri.
Beberapa jam kemudian, pasukan utara berhasil mundur. Para prajurit bersorak lemah, tapi Akira tidak muncul di antara mereka.
Aku langsung berdiri, menatap Riku. “Pangeran di mana?”
Riku terlihat ragu. “Dia belum kembali.”
“Apa?”
“Terakhir kulihat, dia mengejar pasukan musuh ke sisi timur.”
“Dan kalian membiarkan dia sendirian?”
Riku menunduk. “Dia memerintahkan kami mundur. Tidak ada yang bisa melawan perintah itu.”
Aku menatap jalan berlumpur di luar. Petir menyambar jauh di atas hutan.
Sial. Aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur, tapi hatiku tidak tenang.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil kotak perban dan berlari.
“Mika! Kau mau ke mana!?” teriak Riku.
“Nyari pasien yang paling keras kepala di dunia!” balasku sambil terus berlari.
Hutan di sisi timur basah dan sunyi. Kabut turun rendah, dan setiap langkah membuat sepatu jerami yang kupakai berat oleh lumpur.
Aku mendengar sesuatu — suara kuda, lalu suara orang mengerang.
Aku menuruni lereng kecil dan… di sanalah dia.
Pangeran Akira, bersandar di pohon, baju perangnya robek di bahu, darah merembes di antara jari-jarinya.
Seekor kuda hitam berdiri tak jauh, tampak gelisah.
“Akira!” seruku.
Dia membuka mata perlahan, wajahnya pucat. “Kenapa kau di sini?”
“Nyari pasien yang bandel.”
“Kau bodoh,” katanya lemah.
“Dan kau keras kepala. Jadi kita imbang.”
Aku berlutut di sampingnya. Luka di bahunya dalam, tapi tidak menembus. Aku mengeluarkan alat seadanya dari tas kecil yang kubawa — perban, jarum, dan… alkohol.
Ya, alkohol dari dunia modern yang selalu kubawa di tas daruratku.
“Apa itu?” tanyanya curiga.
“Obat. Ini akan sedikit perih.”
“Tidak perlu—”
Sebelum dia selesai, aku sudah menuangkan alkohol itu ke lukanya.
Akira mengerang keras. “Sialan! Itu membakar!”
“Artinya bekerja,” kataku tenang sambil tersenyum.
Dia menatapku, seolah tidak tahu harus marah atau kagum.
“Aku tidak tahu apakah kau penyihir atau tabib gila.”
“Mungkin dua-duanya.”
Aku menjahit lukanya perlahan, sementara hujan mulai berhenti. Daun-daun meneteskan sisa airnya seperti tirai halus.
“Kenapa kau selalu menantang maut?” tanyaku tanpa menatap.
“Karena aku pangeran. Kalau aku lari, siapa yang akan mereka ikuti?”
“Kau juga manusia. Pangeran atau bukan, darahmu tetap merah.”
Dia terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Kau bicara seperti ayahku dulu.”
Aku menatapnya. “Apa yang terjadi pada beliau?”
“Dia meninggal… saat hujan juga.”
Aku berhenti menjahit. “Aku—maaf.”
“Tidak perlu. Aku sudah terbiasa.”
Tapi aku tahu dari nada suaranya — dia tidak benar-benar terbiasa.
Saat jahitannya selesai, aku menatap hasilnya dan tersenyum puas.
“Lihat? Rapi. Kau bisa jadi model iklan klinik.”
“Iklan apa?”
“Lupakan.”
Dia menghela napas, lalu berkata pelan, “Terima kasih, Mika.”
Itu pertama kalinya dia memanggil namaku tanpa nada dingin.
Dan entah kenapa, dada ini terasa hangat.
Kami duduk diam beberapa saat. Hujan berhenti sepenuhnya, digantikan oleh suara serangga malam.
Aku menatap langit yang mulai cerah. “Kau sadar gak, awan itu bergerak cepat banget di dunia ini?”
Akira menoleh. “Mungkin karena kau baru menyadari dunia ini benar-benar ada.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin.”
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, beberapa prajurit muncul.
“Yang Mulia! Syukurlah kami menemukan Anda!”
Riku ada di antara mereka, menatapku lega dan sedikit kesal.
“Aku bilang jangan kabur!”
Aku mengangkat bahu. “Tapi kan aku bawa dia pulang hidup-hidup.”
Akira berdiri perlahan dengan bantuan Riku. “Dia menyelamatkanku. Jangan ganggu dia.”
Riku menatap pangerannya, lalu aku. “Baik, Yang Mulia.”
Aku menahan senyum. Nah, akhirnya dia mengaku juga.
Kembali ke istana, suasana berubah. Para prajurit menyambut kepulangan Akira dengan sorakan. Bahkan Permaisuri Mei keluar dari aula utama, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan kekhawatiran yang dalam.
“Anakku,” katanya lembut sambil menyentuh pipi Akira.
“Ibu,” jawabnya singkat.
Aku berdiri agak jauh, merasa canggung. Tapi tiba-tiba, sang permaisuri menatapku.
“Jadi kau yang menyelamatkan putraku?”
Aku menelan ludah. “E-eh… iya, sedikit.”
“Sedikit?” Riku bersuara. “Dia menjahit luka Yang Mulia seperti tabib profesional.”
Permaisuri Mei tersenyum tipis. “Menarik. Dari mana kau belajar itu, Nona Mika?”
“Dari sekolah.”
“Sekolah?”
“Tempat kami belajar menyembuhkan orang.”
Permaisuri menatap Akira. “Sepertinya kau membawa pulang orang istimewa.”
Wajah Akira datar. “Dia hanya beruntung bisa menjahit dengan benar.”
Aku menyipitkan mata. Cowok ini benar-benar gak bisa manis sedikit pun.
Permaisuri tertawa pelan. “Baiklah. Aku ingin dia tetap di istana. Mungkin takdir membawanya kemari bukan tanpa alasan.”
Dan begitu saja, aku resmi tinggal di istana.
Mereka memberiku kamar baru yang lebih dekat ke ruang tabib, dan Yuna kini jadi asistennya. Hari-hariku diisi dengan merawat luka prajurit, memberi ramuan, dan mengajar Aiko cara mencuci tangan sebelum merawat pasien (yang sempat membuatnya tersinggung berat).
“Cuci tangan? Kau pikir tanganku kotor?” katanya sewaktu itu.
“Kalau kau pegang luka tanpa cuci tangan, pasien bisa infeksi.”
“Infeksi?”
“Luka yang membusuk.”
Wajah Aiko berubah panik. Sejak itu, dia jadi orang pertama yang antre di sumur sebelum mulai kerja.
Suatu sore, saat matahari mulai condong, Akira datang ke ruang medis.
Dia tampak lebih tenang, bahunya sudah sembuh sebagian.
“Kau masih bekerja?” tanyanya.
“Ya. Banyak pasien, banyak drama.”
“Drama?”
“Cerita sedih dan lucu yang bercampur jadi satu.”
Dia memperhatikanku membungkus ramuan dengan kain kecil.
“Bagaimana kau tahu semua itu? Obat, jarum, cara menjahit…”
Aku tersenyum samar. “Dari dunia lain. Aku sudah bilang kan?”
Dia menatapku lama, seolah mencoba mencari kebenaran di mataku.
“Kalau kau benar dari dunia lain, kenapa kau tidak kembali?”
Aku terdiam. “Mungkin karena aku belum menemukan caranya.”
“Atau mungkin karena kau tidak mau.”
Aku mendongak, kaget.
Dia tersenyum tipis, lalu berbalik. “Hati-hati, Mika dari dunia lain. Kadang, dunia baru bisa membuatmu lupa dunia asalmu.”
Suara langkahnya menghilang di lorong.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasa sesuatu aneh di dada — bukan sekadar rasa kagum, tapi juga takut.
Takut kalau benar kata dia… bahwa perlahan-lahan, aku mulai lupa.
Malam itu, aku duduk di balkon kamarku. Hujan rintik turun lagi, menimpa genting kayu.
Aku menatap ke arah taman di mana pertama kali kulihat Akira memainkan serulingnya.
Sekarang aku tahu, hujan bukan musuh. Ia hanya membawa kenangan — dan kadang, kenangan itu yang menuntun kita ke masa depan.
Aku menutup mata, membiarkan suara hujan memeluk malam.
“Kalau benar aku terdampar di sini untuk sebuah alasan,” bisikku pelan, “maka aku akan menemukan alasannya. Dan mungkin… alasan itu adalah dia.”
Keesokan paginya, seluruh istana gempar.
Seekor burung hitam besar — gagak bertanda merah — mendarat di menara tertinggi istana. Di kakinya terikat gulungan kain dengan simbol asing.
Pesan dari kerajaan utara.
Aiko yang membawanya ke Akira.
“Yang Mulia, mereka menuntut pertemuan.”
Akira membaca surat itu perlahan, lalu menatapku yang berdiri di dekat pintu.
“Mereka ingin berdamai?” tanyaku.
“Tidak,” jawabnya dingin. “Mereka ingin darah.”
Dia menggenggam surat itu hingga remuk, lalu berkata lirih,
“Persiapkan semuanya. Hujan akan datang lagi.”
Dan saat itu juga, aku tahu — perang belum berakhir.
Dan mungkin, takdirku di dunia ini baru saja dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!