Malam menuruni pegunungan Jingluo seperti kabut yang memiliki nyawa.
Udara dingin membawa bau besi, abu, dan dupa yang terbakar setengah.
Langit gelap tanpa bintang; hanya satu bulan pucat yang terpantul di genangan air perak di kaki kuil tua.
Di tengah reruntuhan itu berdiri seorang pemuda berambut hitam panjang.
Tubuhnya penuh luka, matanya tenang tapi asing, seolah ia baru saja kembali dari dunia yang bukan milik manusia.
Namanya Shen Wuyan.
Ia menatap pantulan dirinya di air.
Namun yang menatap balik bukan wajah yang sama.
Bayangan itu tersenyum, padahal bibirnya sendiri tetap diam.
“Siapa kau?” gumamnya.
Bayangan itu menjawab dengan suara yang rendah dan berat, seperti berasal dari dalam bumi.
“Aku adalah wajah yang kau buang, Shen Wuyan.”
Seketika air di bawahnya beriak, danau itu bergemuruh lembut seperti jantung yang berdetak.
Dari dalamnya muncul wajah demi wajah—tua, muda, lelaki, perempuan, manusia, iblis—semuanya hidup.
Sebagian menatapnya dengan kebencian, sebagian menangis, sebagian tersenyum gila.
Wuyan mundur selangkah, tapi wajah-wajah itu mengikuti gerakannya.
Setiap langkahnya menimbulkan gema aneh di udara, seolah dunia mengulang waktu yang pernah ia lupakan.
Di kepalanya, suara-suara asing mulai muncul: jeritan perang, doa biksu yang terbakar, tawa seorang wanita yang kehilangan anaknya, bisikan pria yang mati menyesali hidupnya.
Ia menutup telinga, tapi suara itu bukan datang dari luar.
Mereka datang dari dalam jiwanya sendiri.
Kenapa aku bisa mendengar ini? pikirnya.
Siapa mereka?
Bayangan di air itu membuka mata perlahan.
Tatapannya sama dengan milik Wuyan, tapi dalamnya tidak manusiawi.
“Karena kau bukan satu jiwa. Kau adalah seribu.”
Suara itu bergema di udara, mengguncang reruntuhan kuil.
Wuyan menatap ke sekeliling, dan batu-batu tua mulai retak seperti sedang bernapas.
Di langit, kilat berkelebat, menerangi gunung-gunung jauh di utara—tempat sekte Langit Murni menyalakan obor suci mereka.
Sekte itu percaya, di antara semua makhluk hidup, hanya mereka yang berhak menentukan apa yang disebut ‘kebenaran’.
Dan malam itu, mereka sedang memburu sesuatu yang disebut sebagai reinkarnasi Sang Sage Iblis.
Wuyan menggenggam dadanya, napasnya berat.
“Reinkarnasi? Itu… mustahil.”
“Mustahil?” Bayangan itu tertawa kecil.
“Seribu tahun lalu, ketika Sage Iblis dihancurkan oleh langit, jiwanya terpecah menjadi ribuan fragmen.
Masing-masing wajah terlahir kembali di tubuh manusia biasa, membawa sisa ingatan masa lalu.
Namun satu wadah dipilih untuk menampung semuanya. Dan wadah itu… adalah dirimu.”
Petir menyambar di kejauhan, menerangi wajah Wuyan yang kini pucat.
Seketika, bayangan-bayangan di air mulai bergerak.
Mereka berbicara dalam bahasa yang tak ia pahami—campuran jeritan, bisikan, dan doa.
Namun maknanya jelas: mereka semua menginginkan tubuhnya.
Rasa sakit tiba-tiba meledak di kepala Wuyan.
Gambaran asing memenuhi pikirannya: ia melihat peperangan yang belum pernah ia alami, membunuh dengan tangan yang bukan miliknya, mencintai seseorang yang tidak ia kenal, lalu mati ribuan kali di dunia yang berbeda.
Semua itu terasa nyata.
Setiap wajah adalah dirinya.
Setiap diri adalah dosa yang tidak bisa dihapus.
Bayangan di air memandangnya dengan tatapan kasihan.
“Begitulah nasib Sage Iblis. Ia menanggung wajah seluruh manusia, agar tak satu pun dari mereka dilupakan.”
Shen Wuyan memejamkan mata.
Ia ingin menolak, tapi setiap kali ia menolak satu wajah, rasa sakitnya bertambah sepuluh kali lipat.
Ketika ia menerima satu wajah, rasa sakitnya mereda—namun kenangan yang datang bersamanya membuatnya semakin hancur.
Langit bergetar, dan hujan turun.
Tetes-tetes air jatuh ke permukaan danau, tapi tidak menimbulkan riak.
Seolah hujan pun takut menyentuh laut jiwa itu.
Dari kejauhan, bunyi terompet perang menggema.
Sekte Langit Murni telah tiba di kaki gunung.
Mereka membawa ribuan biksu bersenjata, mantra penyegel, dan pedang yang bersinar dengan kekuatan surgawi.
Di mata mereka, Shen Wuyan bukan manusia—ia adalah sisa kutukan dari masa lalu, sesuatu yang harus dimusnahkan demi “kedamaian dunia”.
Namun di mata Wuyan, kebenaran terasa berbeda.
Ia mulai melihat kenangan di balik setiap wajah:
Seorang murid sekte yang dibunuh karena berani mencintai iblis.
Seorang pemimpin yang memerintahkan pembantaian demi “kesucian”.
Seorang anak yang mati dibakar karena lahir dengan tanda di dahi.
Dan seorang pria berpakaian hitam yang berdiri sendirian di tengah medan perang, menatap langit sambil berkata:
“Menjadi iblis sejati berarti menerima semua wajah manusia yang kau benci.”
Kata-kata itu berputar di benak Wuyan.
Ia merasakan sesuatu bergetar di dalam dadanya—bukan rasa takut, tapi semacam kesadaran yang selama ini terkunci.
Ia menatap bayangannya lagi, dan kali ini, bayangan itu tidak tersenyum.
Mereka menatap satu sama lain dengan tenang, seolah dua sisi cermin yang akhirnya saling mengenali.
Jika menjadi manusia berarti berpura-pura suci, maka apa bedanya dengan dusta?
Jika menjadi iblis berarti menanggung dosa semua manusia, bukankah itu justru bentuk paling murni dari penerimaan?
Shen Wuyan menarik napas panjang.
Petir menyambar di belakangnya, menerangi wajahnya yang kini setengah manusia, setengah sesuatu yang lain.
Matanya memantulkan ribuan wajah di danau, semuanya menatapnya dengan harap dan ketakutan yang sama.
Dengan suara tenang, ia berbisik,
“Jika menjadi iblis berarti menerima semua sisi manusia… maka aku akan menjadi iblis sejati.”
Permukaan danau bergetar keras.
Bayangan itu tersenyum lagi, kali ini dengan senyum yang sama seperti dirinya.
Cermin air pecah menjadi serpihan cahaya, berubah menjadi pusaran perak yang terbuka seperti mata raksasa.
Tanah berguncang, gunung bergetar, langit terbakar merah.
Pasukan Langit Murni yang mendaki gunung melihat ledakan cahaya itu dan membeku.
Dari dalam kabut perak, suara-suara bergema—jeritan, tawa, tangisan, dan doa—menyatu menjadi satu suara yang mengguncang seluruh lembah.
“Selamat datang kembali, Sage Iblis.”
Dan malam itu, dunia berubah.
Bukan karena iblis bangkit,
tetapi karena satu manusia akhirnya berhenti berpura-pura menjadi suci.
Kabut malam menggantung tipis di antara pepohonan gunung Langit Tenang. Udara dingin menempel di kulit Shen Wuyan, menusuk lapisan jubahnya hingga terasa getir di ujung jari dan punggung. Batu datar tempat ia duduk menjorok di tepi jurang. Di bawahnya, lembah tertutup kabut, sunyi, hanya suara angin dan gemerisik daun yang menembus keheningan malam.
Sejak kecil, Shen Wuyan menyadari sesuatu yang aneh tentang bayangannya. Di cermin, ia tampak anak laki-laki biasa. Tapi di luar cermin, bayangan itu kadang tersenyum sendiri, kadang bergerak sebelum ia bergeser. Malam ini, bayangan itu sudah menunggu. Tipis, memanjang, diam, tapi terasa penuh maksud. Detak jantungnya berirama dengan ketegangan yang merayap perlahan dari leher ke punggung.
Ia menarik napas dalam. Qi mengalir di pergelangan tangannya, berputar, menyebar hingga ujung jari. Hun–Po Refinement bukan sekadar meditasi. Ini latihan menyatukan fragmen jiwa yang tersebar, menghadapi potongan-potongan diri yang asing. Setiap helaan napas menyingkap lapisan dirinya yang belum dikenal. Ia menutup mata, membiarkan udara dingin menembus paru-paru, menyalakan kesadaran penuh akan tubuh dan jiwa.
Kabut menempel di wajahnya, lembut namun dingin. Sunyi menekan, menekankan setiap detik yang berlalu. Bayangan muncul perlahan di sampingnya, senyum tipis melengkung di wajah gelap. Shen Wuyan menelan rasa penasaran yang mencekam. Ia bisa merasakan bayangan itu hidup, mengintai dari dunia lain.
Angin malam berdesir, dedaunan bergetar, dan bayangan bergerak selangkah lebih dekat. Tubuhnya kaku, matanya terpaku pada gerakan yang tak masuk akal. Setiap gerakan menimbulkan rasa penasaran dan ancaman bersamaan. Ia mencondongkan badan sedikit, mencoba merasakan energi yang memancar dari bayangan. Hun–Po Refinement mengajarkannya merasakan qi di sekeliling, bukan hanya dalam tubuh sendiri. Bayangan itu teka-teki, potongan dirinya yang belum dikenali.
Tiba-tiba, bayangan itu tertawa. Suara ringan, jernih, asing, memecah keheningan. Shen Wuyan menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat. Suara itu bukan dari mulutnya, bukan dari angin. Itu berasal dari bayangan itu sendiri, hidup dan sadar.
Ia membuka mata perlahan. Bayangan berdiri tegak, menatapnya. Bibir bergerak, tapi tak bersuara. Energi yang dipancarkan terasa menembus kulit, menembus jiwa. Qi dalam tubuhnya bergetar mengikuti ritme baru yang asing.
“Siapa… kau?” bisiknya, nyaris tersedak oleh hawa dingin dan ketegangan. Bayangan tetap tersenyum, menatapnya, menantang. Penasaran bercampur takut, tubuhnya bergetar halus. Ia menurunkan badan lebih dalam ke batu, mencoba memusatkan energi jiwa.
Hun–Po Refinement mengajarkannya menerima fragmentasi jiwa. Tapi bayangan ini terasa asing. Meski lahir dari dirinya sendiri, ada sesuatu di luar kendali. Setiap gerak bayangan menimbulkan rasa penasaran dan ancaman sekaligus. Shen Wuyan merasakan denyut qi menuntunnya lebih dalam ke kesadaran diri, ke potongan-potongan jiwa yang belum tersatukan.
Kabut semakin tebal. Angin menusuk lebih keras. Bayangan bergerak sedikit, tetap menatap, mengirim getaran energi samar tapi kuat. Shen Wuyan menarik napas dalam, mencoba menyatukan diri dengan dunia, mengalirkan qi dari bumi melalui tubuh. Hun–Po Refinement memaksanya menghadapi bayangan bukan dengan kekuatan, tapi dengan kesadaran penuh. Perlahan, ketegangan di tubuhnya mereda, mengalir selaras dengan getaran bayangan.
Bayangan mencondongkan tubuh lebih dekat, tersenyum lebih lebar. Tanpa gerak tangan atau kaki, ia melayang beberapa sentimeter di atas batu. Shen Wuyan menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan pantulan biasa. Ini sesuatu yang hidup, menunggu. Rasa takut hanyalah permukaan rahasia yang lebih dalam.
Shen Wuyan menutup mata untuk ketiga kalinya. Ia mencoba menyatukan fragmentasi energi dalam diri. Ia merasakan bayangan memasuki aliran Hun–Po Refinement yang baru ia bentuk, menyatu tanpa campur tangan, seolah bagian dari dirinya sendiri yang menunggu untuk dikenali. Ketegangan berpadu rasa penasaran. Ia sadar: bayangan ini adalah cermin dari dirinya yang belum dipahami.
Ia membuka mata, bayangan masih berdiri lebih dekat, senyum melengkung misterius. Energi yang keluar darinya lembut tapi menekan. Shen Wuyan merasakan hawa gelap yang belum pernah ia rasakan, tapi anehnya, ketakutan dan ketertarikan bercampur.
Angin berdesir melalui jurang, membawa aroma tanah basah. Shen Wuyan menelan ludah, mencoba mengatur napas, menyesuaikan aliran qi dengan getaran bayangan. Hun–Po Refinement mengajarkannya untuk menerima, bukan menolak. Ia menatap bayangan itu, mencoba memahami maksud dari senyum itu, dari tawa yang muncul tiba-tiba.
Waktu terasa melambat. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar, dan desah kabut yang melewati pepohonan. Bayangan itu bergerak sedikit ke samping, menyesuaikan diri dengan energi Shen Wuyan. Ia bisa merasakan perlahan bahwa bayangan itu adalah bagian dari dirinya, namun tetap asing. Ada kesadaran lain, sesuatu yang lebih gelap.
Ia mencoba menarik energi bumi lebih dalam. Qi berputar di pergelangan tangannya, menyebar ke tubuh, menenangkan denyut jantung, menyeimbangkan energi yang tidak stabil. Bayangan itu mengikuti gerakannya, seakan bermain dalam harmoni yang tidak bisa dijelaskan. Ketegangan dan rasa ingin tahu bercampur.
Tiba-tiba, bayangan itu tertawa lagi, kali ini lebih panjang, memecah kesunyian malam dengan nada ringan tapi menembus. Shen Wuyan tetap diam, tubuhnya kaku, tapi pikirannya bergerak cepat, menafsirkan gerakan-gerakan halus bayangan itu. Setiap senyumnya seolah mengundang dan menantang sekaligus, menariknya lebih dalam ke misteri yang belum pernah ia temui.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang cepat. Hun–Po Refinement mengajarkannya mengendalikan fragmentasi jiwa, tapi malam ini ujian itu terasa nyata. Bayangan itu tidak hanya bagian dari dirinya; ia adalah cerminan energi yang menolak dikendalikan, memaksa Shen Wuyan menyesuaikan ritme qi-nya, menerima kehadiran asing tanpa ketakutan.
Kabut berputar di sekitar mereka, menari di udara dingin. Shen Wuyan merasakan aliran energi yang tidak stabil, menembus kulit dan tulang, berputar di sekeliling tubuhnya. Bayangan itu melayang selangkah lebih dekat, tubuhnya samar tapi jelas, dan mata gelapnya menatap seolah membaca setiap fragmen jiwa Shen Wuyan.
Rasa takut bercampur rasa penasaran. Ia menegakkan punggung, mencoba menyeimbangkan energi dengan napas panjang. Qi mengalir dari bumi, melalui kaki, naik ke pergelangan, menyebar ke seluruh tubuh. Hun–Po Refinement menuntunnya untuk tetap sadar, mengamati bayangan, menerima keberadaannya tanpa reaksi berlebihan.
Bayangan itu mencondongkan kepala sedikit, senyumnya semakin lebar. Tubuhnya bergetar halus, menyesuaikan diri dengan energi Shen Wuyan. Perlahan, ia melangkah mengitari Shen Wuyan, namun tetap menjaga jarak yang cukup untuk menimbulkan ketegangan. Setiap langkah bayangan itu menimbulkan getaran tipis di udara, seperti gelombang yang tidak terlihat tapi terasa.
Shen Wuyan menahan napas, merasakan setiap detail: aroma lembab tanah basah, embun yang menempel di jubahnya, desau angin yang menusuk, bahkan getaran energi bayangan itu yang samar tapi nyata. Ia menyadari bahwa malam ini, keheningan bukanlah kosong; ia penuh dengan kehidupan, dengan energi yang menuntutnya untuk memahami, bukan hanya melihat.
Bayangan itu berhenti di depan Shen Wuyan, senyum tetap menempel, matanya menatap tajam. Perlahan, ia menunduk, seolah membungkuk hormat, tapi aura yang dikeluarkannya tetap menegangkan. Shen Wuyan bisa merasakan energi asing itu merambat melalui udara, menyatu dengan Hun–Po Refinement dalam dirinya, menuntut pengakuan dan penerimaan.
Detak jantung Shen Wuyan menjadi lebih teratur. Ia menarik napas dalam, memusatkan diri, menyatukan aliran qi, dan merasakan setiap fragmen jiwa yang tersebar mulai bergeser, menyesuaikan diri dengan kehadiran bayangan itu. Hun–Po Refinement mengajarkannya bahwa penguasaan bukan tentang memaksa energi, tapi menerima fragmentasi yang ada, memahami bagian yang asing, dan menyeimbangkan diri di tengah kekacauan.
Bayangan itu tersenyum, menatapnya dengan intensitas yang membuat Shen Wuyan merasakan campuran takut dan kagum. Tubuhnya ingin bergerak, mundur atau menyerang, tapi pikirannya menahan setiap impuls. Ia tahu: di sini, malam ini, ketenangan dan kesadaran lebih penting daripada kekuatan fisik.
Seiring kabut bergerak pelan di sekeliling mereka, Shen Wuyan merasakan napasnya sendiri, detak jantungnya, energi yang mengalir melalui tubuh. Ia menyesuaikan diri, mengalirkan qi secara perlahan, membiarkan bayangan itu merasakan kesadaran dirinya, membiarkan energi mereka saling menyatu tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Waktu seolah berhenti. Angin berhenti berdesir, dedaunan menahan gemerisik. Bayangan itu mencondongkan tubuh sedikit, menatap, senyum tetap melekat. Shen Wuyan merasakan ketegangan mencapai puncaknya: bayangan itu bukan musuh, bukan ancaman yang jelas, tapi kekuatan yang menantang dan memaksa dirinya berkembang.
Ia menelan ludah, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum tipis, mengakui kehadiran bayangan itu. Energi qi di sekitarnya bergetar, bersatu dengan fragmen bayangan yang hidup, membentuk pola harmonis namun penuh ketegangan. Shen Wuyan menyadari, malam ini, ia tidak hanya bertemu bayangan; ia bertemu potongan jiwa yang menuntut pengakuan dan pemahaman.
Bayangan itu tertawa lagi, ringan tapi menembus jiwa, lalu bergerak selangkah ke depan. Shen Wuyan tetap diam, menahan napas, menyatu dengan energi. Dan di saat itu, bayangan itu melayang tepat di depannya, menatap dalam-dalam, bibir bergerak perlahan dan berbisik:
“Akhirnya, kau melihatku.”
Kata-kata itu menempel di udara, membekukan napas Shen Wuyan sejenak. Kabut malam terasa lebih pekat, namun tenang. Bayangan itu hadir sepenuhnya, menunggu reaksi, menghadirkan ketegangan dan rasa penasaran yang tak terpecahkan.
Shen Wuyan menarik napas panjang, tubuhnya lelah, tapi pikirannya jernih. Ia menatap bayangan itu, menyadari bahwa bagian dari dirinya sendiri kini menunggu untuk diterima, dimengerti, dan mungkin… dihadapi. Hun–Po Refinement mengajarkannya menghadapi diri, dan malam ini adalah ujian pertama yang nyata.
Keheningan menutupi gunung lagi. Hanya desau angin yang bergerak, namun malam ini berbeda. Ada sesuatu yang bangkit, sesuatu yang menunggu di bayangannya sendiri. Shen Wuyan menunduk perlahan, matanya tetap menatap bayangan itu, tahu bahwa perjalanan sebenarnya baru dimulai.
Batu datar di mana ia duduk terasa hangat oleh energi yang mengalir di sekitarnya. Bayangan tetap menempel, tersenyum misterius, diam tapi hidup. Shen Wuyan menarik napas terakhir sebelum malam berakhir, menyadari satu hal: malam ini, ia telah melihat bukan hanya bayangan, tapi permulaan dari sesuatu yang tak bisa ia hindari.
Dan dengan senyum samar di wajah bayangan itu, malam pun menutup tirai kabutnya. Keheningan terasa berat, penuh misteri, dan janji akan perjalanan yang belum pernah dilalui. Shen Wuyan tahu, setiap langkah berikutnya akan diwarnai bayangan itu — cerminan dirinya, teka-teki jiwa, dan ujian pertama Hun–Po Refinement yang sebenarnya.
Malam di gunung Langit Tenang lebih pekat daripada sebelumnya. Kabut menebal, membungkus setiap batu dan pohon dalam selimut putih yang menyesakkan. Udara dingin menusuk kulit Shen Wuyan hingga ke tulang, namun ia tetap duduk di atas batu datar, menutup mata dan menahan napas. Suara alam samar, dari gemerisik dedaunan hingga hembusan angin, terdengar lebih berat, lebih menyeramkan.
Bayangan di sampingnya bergerak perlahan, tipis tapi jelas, seolah menunggu sesuatu yang Shen Wuyan sendiri belum mengerti. Ia bisa merasakan energi yang berasal dari bayangan itu — tidak hanya gelap, tapi penuh kesadaran. Sesuatu di luar dirinya sendiri, namun tetap intim, dekat, seakan telah ada di dalamnya sejak lahir.
Wuyan menarik napas panjang. Hun–Po Refinement bukan sekadar latihan fisik. Ini adalah proses membedakan Hun dan Po, menyatukan fragmen jiwa yang terpecah. Hun adalah kesadaran, jiwa yang logis, yang mengarahkan, memimpin. Po adalah naluri, sisi gelap, dorongan tersembunyi yang kadang menakutkan. Bayangan itu sepertinya merupakan representasi Po yang hidup, menantang dirinya untuk menghadapi sisi yang belum ia kenali.
Desahan angin membawa aroma tanah basah dan embun dingin. Shen Wuyan merasakan tubuhnya bergetar, napasnya tersendat. Bayangan itu bergeser selangkah lebih dekat, menyesuaikan diri dengan aliran energi tubuhnya. Ia menahan ketakutan, mencoba menyatukan fragmen Hun dan Po di dalam diri sendiri, membiarkan energi mengalir tanpa terputus.
Tiba-tiba, suara samar terdengar dari bayangan itu. Tipis, seperti bisikan di tengah hening, namun cukup untuk menembus pikirannya. “…Shen Wuyan…”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menelan ludah, tubuhnya membeku. Suara itu bukan berasal dari mulutnya sendiri, bukan angin. Itu benar-benar bayangan, hidup, dan menyadari keberadaannya. Ada sesuatu yang asing, gelap, tapi juga memikat, menembus kesadaran.
Wuyan menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ketakutan ini adalah bagian dari latihan Hun–Po. Hun mengajarkan untuk tetap sadar, Po menuntutnya untuk menghadapi insting dan ketakutan terdalam. Ia menutup mata lebih rapat, mengarahkan energi qi dari kaki ke seluruh tubuh, mencoba menyelaraskan diri dengan bayangan itu.
Suara itu terdengar lagi, sedikit lebih jelas. “Kau takut…” Kali ini ada nada penuh maksud, seperti menantang, tapi juga menggoda. Shen Wuyan merasakan energi Po dalam dirinya bergetar, merespons bayangan. Ada bagian dirinya yang ingin melawan, tapi Hun menahan, mengingatkannya untuk mengamati, memahami, bukan menolak.
Kabut berputar, membentuk pola tipis di udara. Bayangan itu mencondongkan tubuh, senyum samar melengkung di wajah gelapnya. Shen Wuyan bisa merasakan arus energi yang keluar darinya, lembut tapi menekan, menuntut pengakuan. Ia menelan ludah, mencoba membedakan antara Hun dan Po.
Hun menuntunnya untuk tetap logis, tetap sadar, memahami energi yang hadir. Po menggerakkan naluri gelapnya, dorongan untuk merespons, untuk menyerang atau lari. Shen Wuyan menyesuaikan diri, membiarkan energi mengalir tanpa menahan, membiarkan bayangan itu menjadi cermin bagi dirinya sendiri.
Suara bayangan terdengar lagi, kali ini lebih jauh tapi jelas dalam kesadaran Wuyan. “Kau belum melihatku sepenuhnya…” Kata-kata itu menimbulkan getaran di tulang belakangnya. Ia menahan napas, merasakan energi di sekitar mereka berubah, seakan malam ikut menahan napas bersama mereka.
Shen Wuyan membuka mata perlahan. Bayangan itu bergerak selangkah lebih dekat, wajahnya lebih jelas dalam siluet kabut. Senyum itu tetap menempel, namun ada kedalaman di mata gelapnya, seperti rahasia yang belum pernah Wuyan temui. Ia bisa merasakan bahwa bayangan itu bukan sekadar cerminan, tapi entitas yang menantang sisi terdalam dirinya.
Wuyan menelan ludah, tubuhnya tegang. Ia memusatkan energi Hun di pikiran, mencoba menenangkan Po yang gelisah. Hun–Po Refinement mengajarkannya menyatukan kedua jiwa itu, bukan menghancurkan atau menekannya. Bayangan itu tampaknya mengerti prosesnya, menyesuaikan diri dengan energi yang mengalir dari dalam Wuyan.
Angin malam berdesir, dedaunan bergetar, dan cahaya bulan menembus kabut tipis. Bayangan bergerak ke arah sinar bulan, membuat siluetnya tampak memanjang, menakutkan sekaligus memikat. Shen Wuyan merasakan adrenalin dan rasa penasaran bercampur. Ia tahu malam ini bukan latihan biasa; ini ujian batin yang nyata.
Suara lagi terdengar, kali ini lebih intens. “Kau takut kehilangan dirimu…” Kali ini bayangan benar-benar berbicara kepada inti kesadarannya, menembus lapisan Hun dan Po. Shen Wuyan menutup mata, mencoba menyelami energi itu, merasakan setiap getaran, setiap dorongan naluri, setiap keping kesadaran.
Ia sadar bahwa bayangan ini bukan musuh. Ia adalah bagian dari dirinya, sisi yang belum ia kenali, menunggu pengakuan. Hun menuntunnya menerima, Po memaksa naluri menghadapi. Shen Wuyan menahan napas, memusatkan energi qi, merasakan integrasi fragmen jiwa yang rapuh menjadi satu kesatuan sementara.
Cahaya bulan bergeser, bayangan menatapnya lebih lama. Senyum samar itu kini terasa seperti undangan, bukan ancaman. Wuyan menelan ludah, tubuhnya tegang tapi pikirannya mulai jernih. Ia menyadari bahwa suara yang keluar dari bayangan bukan untuk menakutinya, tapi untuk memaksanya menghadapi kebenaran tersembunyi di dalam diri.
Shen Wuyan membuka mata lebih lebar. Bayangan itu menatapnya dengan intensitas yang menusuk, diam tapi penuh pesan. Kabut malam berputar di sekitarnya, menempel pada tubuh dan jubahnya. Udara terasa dingin, seolah setiap molekul mengandung rahasia. Ia bisa merasakan Po bergetar di dalam dirinya, naluri gelap yang menantang logikanya sendiri. Hun menuntunnya untuk tetap sadar, tetap jernih, tetap mengamati.
Suara bayangan terdengar lagi, kali ini lebih dalam, lebih berat. “Apakah kau masih mengenal dirimu sendiri?” Bisikan itu menembus pikiran Wuyan, memaksa setiap fragmen jiwa untuk bereaksi. Ia merasakan ketegangan di tulang belakang, jantungnya berdegup lebih cepat. Tapi ada rasa penasaran yang lebih kuat daripada takut. Ia ingin tahu, ingin memahami, ingin menghadapi bayangan itu bukan hanya sebagai cermin, tapi sebagai entitas.
Ia menutup mata, memusatkan diri. Hun menuntunnya menyadari fragmentasi: logika, kesadaran, energi jiwa. Po menuntut naluri, dorongan gelap, insting yang tidak pernah ia hadapi. Shen Wuyan mengalirkan qi dari kaki ke seluruh tubuh, merasakan energi mengisi setiap ruang antara Hun dan Po. Bayangan itu seolah membaca setiap gerakan energi, menyesuaikan dirinya, mendekat tanpa menghilangkan jarak yang menegangkan.
Desau angin membawa aroma basah dan dingin. Setiap gerakan bayangan memunculkan getaran halus di udara, membuat Shen Wuyan sadar akan setiap lapisan kabut dan cahaya bulan. Ia menahan napas, membiarkan energi mereka saling bertemu tanpa kontak fisik. Bayangan itu mencondongkan kepala sedikit, senyum samar semakin melebar, dan suara terdengar di pikirannya lagi:
“Kau takut menghadapi dirimu sendiri…”
Shen Wuyan merasakan dorongan Po meningkat. Nalurinya ingin mundur, melawan, lari dari ketegangan ini. Hun menuntunnya menahan diri, menerima, menyatukan, bukan menolak. Ia memusatkan perhatian pada energi yang mengalir di tubuhnya, mengarahkan fragmen-fragmen jiwa yang terpecah menjadi satu kesatuan sementara.
Bayangan itu bergerak perlahan, mengikuti aliran qi Shen Wuyan, seakan menari di sekitar energi yang ia lepaskan. Senyum itu tetap melekat, menembus setiap lapisan psikologis, menguji keberanian, kesadaran, dan identitas Wuyan. Ia menelan ludah, tubuhnya tegang, tapi pikiran mulai jernih. Hun dan Po bekerja sama dalam simfoni halus yang baru pertama kali ia rasakan.
Suara bayangan terdengar lebih jelas. Kali ini bukan bisikan, tapi kata-kata penuh makna dan ancaman lembut: “Kau menghindar dari dirimu… dari kegelapan yang seharusnya kau kenal.”
Shen Wuyan menutup mata lebih erat, merasakan energi yang memancar dari bayangan. Ia menegakkan punggung, merasakan setiap fragmen jiwa bergetar. Hun membimbing kesadarannya, Po menggerakkan naluri menghadapi. Ia mulai memahami bahwa bayangan ini bukan sekadar refleksi; ia adalah sisi gelap dirinya, sisi yang menuntut pengakuan.
Kabut malam berputar, menciptakan pola halus di sekeliling mereka. Cahaya bulan menyelinap di celah-celah kabut, membentuk siluet bayangan yang memanjang, menyeramkan tapi memikat. Shen Wuyan mengatur napas, merasakan aliran qi yang sebelumnya samar kini mengisi setiap ruang di dalam tubuh. Ia menyadari bahwa ketegangan malam ini bukan ancaman, tapi latihan nyata untuk menghadapi dirinya sendiri.
Bayangan itu mencondongkan tubuh lebih dekat. Mata gelapnya menatap Shen Wuyan dengan intensitas yang menekan, seakan membaca setiap fragmen kesadarannya. Suara terdengar lagi, kali ini jelas dan menembus inti pikiran:
“Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Kata-kata itu mengguncang Wuyan. Jantungnya berdegup cepat, tubuhnya kaku, tapi kesadaran mengalir penuh. Ia merasakan ketegangan, rasa takut, dan rasa penasaran bercampur menjadi satu. Bayangan itu menunggu responsnya, diam tapi hidup, menantang dan memikat sekaligus.
Shen Wuyan menelan ludah, menarik napas panjang. Ia sadar bahwa malam ini, ia tidak hanya berhadapan dengan bayangan, tapi dengan sisi dirinya yang belum ia kenali sepenuhnya. Hun dan Po bersatu, menciptakan keseimbangan rapuh yang menahan ketakutan, menyalurkan rasa ingin tahu.
Kabut malam berputar lebih tebal, menelan bayangan dan dirinya sejenak. Angin berdesir, dedaunan bergetar, dan cahaya bulan berinteraksi dengan kabut, menciptakan bayangan yang tampak hidup, bergerak di sekitar mereka. Shen Wuyan menutup mata, memusatkan energi, dan merasakan komunikasi batin yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Bayangan itu tersenyum, dan untuk pertama kalinya, bukan hanya sekadar gerakan atau bisikan: ada kehadiran yang nyata, intens, seakan hidup di luar dirinya, tapi tetap menjadi bagian dari dirinya. Shen Wuyan sadar bahwa hubungan mereka bukan sekadar latihan; ini adalah pengenalan pada sisi gelap dan sadar dari jiwa yang belum pernah ia pahami.
Ia membuka mata perlahan, merasakan napasnya, detak jantungnya, dan aliran energi di tubuhnya. Bayangan itu tetap menatapnya, diam tapi hidup, menunggu langkah selanjutnya. Shen Wuyan menelan ludah, tubuhnya tegang tapi pikirannya mulai menerima: malam ini adalah awal dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri, sisi gelap, dan sisi sadar yang harus bersatu.
Suara bayangan terdengar satu terakhir, lembut tapi menekan: “Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Malam itu menutup tirai kabutnya, namun ketegangan tidak hilang. Shen Wuyan duduk di batu datar, tubuh lelah, jiwa terjaga, dan mata tetap menatap bayangan yang diam namun penuh kehidupan. Ia tahu, perjalanan untuk memahami bayangan ini — untuk menyatukan Hun dan Po — baru saja dimulai, dan malam ini adalah ujian pertama yang mengajarkan bahwa identitas dan kesadaran bukanlah sesuatu yang pasti, tapi teka-teki yang harus dipecahkan perlahan.
Kabut menutup gunung lagi, mengaburkan bayangan dan Shen Wuyan dalam misteri malam. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar, selaras dengan getaran energi di sekitarnya. Dan di balik semua itu, bayangan itu tetap ada, menunggu langkah selanjutnya, mengingatkan bahwa perjalanan jiwa Wuyan baru saja dimulai, dan rahasia bayangan itu akan menguji batasnya lebih dalam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!