Di luar ruang, di atas waktu, di titik di mana konsep "keberadaan" itu sendiri berasal, terhampar Takhta Semesta.
Takhta itu tidak terbuat dari emas, bintang, atau batu permata. Takhta itu ditenun dari tatanan realitas. Setiap hukum universal—gravitasi, takdir, kehidupan, dan kematian—adalah seutas benang dalam permadani agungnya.
Di atas takhta itu, duduklah satu-satunya makhluk.
Long Zhu. Kaisar Dewa Semesta.
Dia bukanlah "dewa" dalam artian yang dipahami makhluk fana. Para dewa di Alam Dewa adalah ciptaannya mainan yang ia buat untuk mengurus detail-detail kecil triliunan alam semesta yang ia hembuskan menjadi ada.
Napasnya adalah penciptaan. Kedipannya adalah kepunahan.
Dan saat ini, Long Zhu menghela napas.
Helaan napas itu menggema melintasi ruang, getaran lembut yang menyebabkan seribu galaksi baru lahir di satu tempat dan memadamkan seribu matahari di tempat lain. Bagi Long Zhu, itu hanyalah helaan napas kebosanan.
Sudah berapa lama? Satu juta tahun? Satu miliar? Waktu adalah konsep yang ia ciptakan, dan kini ia menjadi tawanannya.
Dia telah melihat segalanya. Setiap bintang lahir dan mati. Setiap peradaban bangkit dari debu dan kembali menjadi debu. Dia telah menguasai setiap Dao, memahami setiap misteri. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dipelajari. Tidak ada lagi yang tersisa untuk ditantang.
Kekuasaan absolut, dia menyadari untuk kesekian kalinya, adalah kehampaan absolut.
"Mungkin," suaranya bergema, meskipun tidak ada siapa pun di sana untuk mendengar, "secangkir teh."
Dia mengangkat tangan kanannya.
Di galaksi yang jauhnya sembilan ratus juta tahun cahaya, sebuah komet yang terbuat dari es spiritual murni sisa dari penciptaan awal tiba-tiba berbelok dari jalurnya. Komet itu melesat melintasi kehampaan, melanggar hukum, dan tiba di hadapannya sebagai bola air seukuran kepalan tangan, melayang dengan tenang.
Dia mengangkat tangan kirinya.
Di jantung nebula api, sebuah bintang biru muda yang baru lahir tiba-tiba memadat. Inti energinya menyembur keluar dalam aliran tipis yang terkendali, melintasi dimensi, dan muncul di bawah bola air, memanaskannya dengan suhu yang tepat. Bukan satu derajat lebih panas, bukan satu derajat lebih dingin.
Dia menjentikkan jarinya.
Dari Pohon Dunia, yang akarnya mencengkeram ribuan alam, sehelai daun emas pucat Daun Asal Mula gugur sebelum waktunya. Daun itu melintasi batas-batas realitas dan jatuh dengan lembut ke dalam air yang kini mendidih sempurna.
Aroma teh menyebar.
Di Alam Dewa yang jauh di bawah, Dewan Langit yang agung menghentikan pertemuan mereka.
"Getaran Dao! Mungkinkah Kaisar Leluhur menciptakan hukum baru?" tanya Dewa Perang, gemetar.
Dewa Takdir memejamkan mata, mencoba membaca benang nasib. "Tidak... Ini... ini tak terduga."
Di istananya, Long Zhu meniup uap dari cangkir yang baru saja ia ciptakan dari ketiadaan. Aroma itu adalah harmoni murni dari semesta.
Dia menyesapnya.
Rasa itu adalah kesempurnaan. Setiap nuansa alam semesta manisnya penciptaan, pahitnya kehancuran, asamnya kekacauan, dan asinnya ketertiban semua ada di sana dalam keseimbangan yang sempurna.
Long Zhu meminumnya dalam sekali teguk.
"Sempurna," katanya pelan. "Dan karena itulah... ini sama sekali tidak menarik."
Dia meletakkan cangkir itu, yang segera larut kembali menjadi ketiadaan. Kesempurnaan itu bisa ditebak.
Dia kembali menatap semesta nya. Dia melihat para dewa bertengkar tentang politik. Membosankan. Dia melihat para iblis mengobarkan perang. Bisa ditebak. Dia melihat para kultivator abadi bermeditasi selama sepuluh ribu tahun. Melelahkan.
Lalu, tatapannya menembus semua alam yang lebih tinggi, menembus selubung energi abadi, dan jatuh pada satu titik kecil yang kotor, berisik, dan bercahaya redup.
Alam Fana.
Tempat di mana kehidupan begitu singkat, begitu rapuh. Tempat di mana makhluk hidup lahir, berjuang untuk hal-hal sepele, menangis karena kehilangan, tertawa karena lelucon kasar, dan kemudian mati. Mereka tidak berjuang untuk keabadian mereka berjuang untuk makanan berikutnya. Mereka tidak memahami Dao mereka hanya mencoba untuk tidak kehujanan.
Dia memperhatikan seorang wanita tua di sebuah desa kecil, marah-marah karena ayamnya dicuri rubah. Dia memperhatikan seorang anak kecil menangis karena lututnya tergores. Dia memperhatikan sekelompok pria di kedai, bertengkar hebat tentang siapa petarung terkuat di desa.
Mereka merasakan. Begitu kuat, begitu tidak efisien, begitu... kacau.
Dan di antara miliaran emosi itu, Long Zhu merasakan satu hal yang tidak pernah ia rasakan dari dewa-dewanya kejutan.
Seorang pria di sebuah kedai di Kerajaan Angin Selatan baru saja menggigit sesuatu yang merah, dan wajahnya langsung memerah, matanya berair, dan dia menyemburkan api secara kiasan. Dia mengipasi mulutnya sambil mengumpat dan tertawa pada saat yang sama.
"Rasa sakit?" batin Long Zhu. "Ketidaknyamanan yang disengaja... demi sensasi?"
Itu adalah konsep yang sangat asing. Sangat tidak logis.
Sebuah senyuman tipis, yang pertama, menyentuh bibir Long Zhu.
Dia berdiri.
Seluruh tatanan realitas bergetar hebat. Para dewa di Alam Dewa jatuh berlutut.
"Kaisar bergerak!"
Long Zhu meregangkan tubuh. Jubah Penuai Bintang yang tak terbatas, yang berisi triliunan galaksi di dalamnya, memudar dari tubuhnya. Aura semesta nya yang menekan segala eksistensi ditariknya kembali ke dalam.
Sosoknya yang tak terlukiskan mulai menyusut. Cahaya dewa nya meredup.
Dalam sekejap, wujud Kaisar Dewa Semesta lenyap.
Di tempatnya berdiri seorang pria tua.
Dia mengenakan jubah kain sederhana yang agak lusuh. Rambutnya putih tipis, diikat seadanya. Janggut putihnya yang jarang menjuntai di dadanya. Dia terlihat lelah, sedikit pemalas, dan matanya menyiratkan bahwa dia lebih suka tidur siang daripada apa pun di dunia. Kekuatannya yang tak terbatas tidak tersegel hanya tertidur, tersembunyi di balik fasad kefanaan yang sempurna.
"Zhu Lao," gumamnya, memberinya nama baru. Si Tua Zhu.
Zhu Lao melangkah dari Takhta Semesta. Dia tidak merobek ruang atau membuka gerbang. Dia hanya... melangkah.
Dia jatuh.
Melewati Alam Dewa, tak terlihat oleh para dewa yang panik. Melewati Alam Abadi, tak terdeteksi oleh para kaisar yang bermeditasi.
Dia menembus atmosfer biru Alam Fana.
Zhu Lao mendarat dengan tidak anggun di jalan berlumpur di luar sebuah desa kecil. Dia terhuyung sejenak, berpura-pura kehilangan keseimbangan.
Dia menghirup udara.
Udaranya kotor. Berbau pupuk kandang, tanah basah, dan... sesuatu yang sedang dimasak.
Dia melihat ke arah desa, dari mana asap mengepul dari sebuah kedai kecil. Aroma tajam dan pedas tercium.
Zhu Lao tersenyum, menunjukkan giginya yang (sekarang tampak) biasa saja.
"Aku dengar," katanya pada dirinya sendiri, suaranya kini serak karena usia, "cabai di Alam Fana bisa membuat lidah terbakar."
Dia terkekeh pelan. "Mari kita lihat."
Menyeret kakinya di lumpur, Kaisar Dewa Semesta berjalan perlahan menuju peradaban, mencari hal pertama yang tidak ia pahami makanan pedas.
Kedai itu bernama "Kedai Arak Harimau Mabuk". Nama yang terlalu agung untuk sebuah bangunan reyot yang separuh tiangnya miring dan berbau campuran arak basi, keringat, dan babi panggang.
Bagi Long Zhu, itu adalah simfoni kekacauan yang paling indah.
Saat Zhu Lao melangkah masuk, tidak ada yang menyambutnya. Tirai manik-manik yang kotor berdenting pelan. Di dalam, berisik. Para buruh tambang dan petani berteriak-teriak sambil membanting cangkir kayu mereka di atas meja yang lengket.
"Hei, Pak Tua! Mau minum atau menghalangi jalan?" bentak seorang pelayan wanita bertubuh kekar, membawa nampan berisi mangkuk-mangkuk mengepul.
Zhu Lao tersenyum ramah. Ini pertama kalinya ada yang berani membentaknya. Menyegarkan.
"Sebuah meja," katanya dengan suara serak.
"Cari saja yang kosong!" balas wanita itu tanpa menoleh.
Zhu Lao menemukan meja di sudut. Meja itu bergoyang. Dia duduk di bangku yang keras. Sebagai makhluk yang terbiasa duduk di atas tatanan realitas, bangku kayu yang hampir patah ini adalah sebuah petualangan.
Dia menunggu. Dan menunggu.
Di Alam Semesta, niat-nya adalah perintah. Jika dia ingin teh, galaksi akan bergerak. Di sini, niatnya untuk makan siang diabaikan demi sekelompok penjudi di meja seberang. Dia harus mengangkat tangannya dengan susah payah.
"Pelayan!"
Wanita itu akhirnya datang, mengelap tangannya yang berminyak ke celemeknya. "Ya, ya, Kakek. Mau apa? Sup nasi? Itu murah."
Zhu Lao melihat ke seberang ruangan, ke meja tempat pria yang dia amati dari luar angkasa tadi duduk. Pria itu kini sedang meneguk air, wajahnya masih merah padam, tapi dia tertawa. Di depannya ada piring berisi... potongan ayam yang tenggelam dalam lautan cabai merah cerah dan minyak cabai yang menggelegak.
"Saya mau itu," kata Zhu Lao, menunjuk.
Pelayan itu menyipitkan mata. "Itu 'Ayam Iblis Neraka'. Kau yakin, Kek? Itu bisa membakar lubang di perutmu."
"Saya yakin," kata Zhu Lao dengan antisipasi yang tulus. "Tolong buat... ekstra."
Pelayan itu mengangkat bahu. "Kalau kau mati, jangan salahkan kedai ini."
Sambil menunggu, Zhu Lao mengalihkan pandangannya ke luar jendela yang kotor. Di seberang jalan berlumpur, di lapangan kecil yang becek, seorang anak laki-laki kurus sedang berlatih.
Anak itu mungkin berusia sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Pakaiannya compang-camping, dan dia tidak memakai sepatu. Dia sedang memegang kuda-kuda dasar kultivasi Kuda-kuda Gunung posisi paling fundamental dari Ranah Perunggu Awal.
Kuda-kudanya buruk. Kakinya gemetar. Punggungnya sedikit bungkuk.
Beberapa pemabuk yang merokok di luar pintu kedai menertawakannya. "Lihat si bodoh Li Xian itu!" "Dia pikir dia bisa jadi kultivator hanya dengan berdiri di lumpur?" "Anak yatim sepertinya lebih baik belajar mencuri!"
Li Xian tidak bergeming. Keringat bercampur air hujan membasahi wajahnya yang kurus, tapi matanya... matanya tertutup rapat, fokus. Setiap kali kakinya goyah, dia menggeram pelan dan membenamkan kakinya lebih dalam ke lumpur, menolak untuk jatuh.
Zhu Lao mengalihkan perhatiannya. Menarik. Keteguhan hati yang konyol.
"Ini dia!"
BRAK!
Mangkuk keramik tebal diletakkan di depannya. Aromanya menyerang. Itu bukan aroma kosmik yang harmonis. Itu adalah bau yang agresif. Bau api, logam, dan rasa sakit. Minyaknya masih mendesis.
Zhu Lao mengambil sumpitnya.
Dia mengambil sepotong ayam. Itu dilapisi biji cabai dan minyak merah. Dia mengamatinya.
Secara analitis, dia memecahnya. Ini bukan 'rasa' melainkan sinyal 'panas' dan 'bahaya' yang dikirim ke otak. Mengapa manusia sengaja memakan sinyal bahaya?
Dia memasukkannya ke dalam mulut.
Selama satu detik, tidak terjadi apa-apa. Dia merasakan tekstur ayam yang empuk, rasa asin, sedikit rasa jahe...
Lalu, neraka meledak di lidahnya.
Itu bukan sensasi. Itu adalah serangan.
Seluruh indranya menjerit. Sinyal bahaya itu melesat ke otaknya. Dan otaknya, yang tidak pernah mengalami "rasa sakit" yang tidak diinginkan, mengirimkan sinyal itu langsung ke Jiwa Kosmiknya.
BUM!
Di dalam lautan kesadarannya, sistem pertahanan universal Long Zhu sistem yang sama yang melindungi realitas dari invasi kehampaan aktif.
ANCAMAN TERDETEKSI. SUMBER LIDAH. MEMULAI PROTOKOL PEMUSNAHAN...
Tiba-tiba, di luar kedai, langit yang tadinya cerah mendadak gelap. Awan badai hitam pekat berkumpul di atas desa kecil itu dalam sekejap. Angin melolong. Tanah mulai bergetar.
Di Alam Dewa, Dewa Petir tersentak dari meditasinya. "Apa-apaan... Niat Penghakiman Ilahi aktif?! Di Alam Fana?!"
Kembali ke kedai, sumpit di tangan Zhu Lao mulai bergetar hebat. kayu di dalamnya mulai terurai, terancam berubah menjadi debu bintang murni. Mangkuk di depannya retak.
Para pemabuk berhenti tertawa. "Gempa?"
Zhu Lao membelalak. Wajah tuanya memerah. Dia terbatuk.
TIDAK! BERHENTI! BATALKAN PEMUSNAHAN! dia meraung dalam benaknya, secara manual memaksa hukum universal untuk mundur. Ini... ini 'pedas'! Ini seharusnya... begini!
Dengan susah payah, dia menelan potongan ayam itu.
Seketika, awan di luar menghilang. Getaran berhenti. Langit kembali cerah seolah tidak terjadi apa-apa.
Di dalam kedai, Zhu Lao terengah-engah. Matanya berair. Hidungnya meler. Seluruh wajahnya terasa seperti terbakar dari dalam ke luar. Ini adalah sensasi paling mengerikan yang pernah ia rasakan.
"Hah... hah..."
Lalu, sesuatu yang aneh terjadi. Setelah gelombang rasa sakit awal reda, sensasi hangat yang menyenangkan menyebar ke seluruh tubuhnya. Sebuah keringat muncul di dahinya bukan karena tenaga, tapi karena reaksi.
"Kakek, kau tidak apa-apa?" tanya pelayan itu, sedikit khawatir.
Zhu Lao mengangkat tangannya, terbatuk sekali lagi. Air mata mengalir di pipinya yang keriput.
Dia melihat ke mangkuk. Lalu dia menyeringai lebar, menunjukkan gigi yang (tampaknya) kuning.
"Luar biasa," desahnya, suaranya tercekat.
Dia mengambil potongan kedua.
Zhu Lao meletakkan sumpitnya. Mangkuk di depannya bersih bukan hanya dari ayam, tapi dari setiap tetes terakhir minyak cabai yang membara.
Dia bersendawa pelan. Sebuah sendawa yang, jika dilepaskan di Alam Dewa, akan menciptakan aurora baru. Di sini, itu hanya membuat pelayan yang lewat mengangkat alis.
Wajah tuanya masih sedikit memerah, dan keringat membasahi dahinya. Dia merasakan sensasi hidup. Rasa sakit yang diikuti oleh kelegaan. Itu adalah urutan yang rumit dan sama sekali tidak efisien. Itu sempurna.
"Luar biasa," gumamnya. "Sepuluh dari sepuluh. Akan makan di sini lagi."
Dia merogoh jubahnya. Sebelum turun, dia telah menciptakan "kantong koin biasa" yang berisi "mata uang fana biasa." Dia meletakkan beberapa koin tembaga di atas meja jumlah yang sedikit lebih banyak dari yang seharusnya, tapi tidak cukup untuk menimbulkan kecurigaan.
"Kakek, kau menghabiskannya!" seru pelayan itu, matanya terbelalak tak percaya saat mengambil mangkuk itu. "Banyak kultivator Ranah Perunggu mencoba pamer dengan memakan itu dan berakhir pingsan!"
"Mungkin perutku sudah tua dan mati rasa," kata Zhu Lao sambil terkekeh. Dia berdiri, meregangkan punggungnya yang (sekarang tampak) kaku.
Dia berjalan keluar dari kedai, kembali ke udara yang basah dan berlumpur.
Di seberang jalan, anak laki-laki itu, Li Xian, masih di sana. Kuda-kudanya goyah hebat. Dia terengah-engah, dan jelas dia sudah mencapai batas kemampuannya. Lumpur menutupi dia dari pinggang ke bawah.
Para pemabuk yang tadi menggodanya kini tertawa terbahak-bahak. "Sudah menyerah, Li Xian?" "Kau terlihat seperti ubi jalar yang baru dicabut!"
Zhu Lao berjalan perlahan melintasi jalan, langkahnya mantap di atas lumpur yang licin. Dia berhenti beberapa langkah dari anak itu, aroma pedas dari napasnya berbaur dengan bau hujan.
Para pemabuk terdiam, penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakek aneh ini.
"Nak," kata Zhu Lao dengan suara tenang.
Li Xian tersentak, konsentrasinya buyar. Kakinya yang gemetaran akhirnya menyerah, dan dia jatuh terduduk di lumpur dengan bunyi ceplok yang menyedihkan.
Dia memelototi Zhu Lao, wajahnya memerah karena malu dan marah. "Apa?" geramnya.
"Latihanmu salah," kata Zhu Lao sederhana.
"Apa yang kau tahu, Pak Tua?" balas Li Xian, mencoba bangkit berdiri, tapi kakinya terlalu lelah.
"Aku tahu kau sedang mencoba merasakan Qi Langit dan Bumi," kata Zhu Lao. "Tapi kau hanya berdiri di lumpur, membuat kakimu pegal. Kau membuang-buang waktu."
Mata Li Xian melebar. "Bagaimana kau tahu...?" Tetua desa telah memberitahunya bahwa itu adalah langkah pertama.
"Kuda-kuda itu untuk menstabilkan tubuh," kata Zhu Lao, "tapi tubuhmu lemah. Niatmu kuat, tapi fondasimu hanyalah pasir."
Para pemabuk terkekeh. "Dengar itu, Nak? Kakek ini bilang kau lemah!"
Li Xian mengepalkan tinjunya yang berlumpur. "Aku tidak lemah! Aku akan menjadi kuat!"
"Begitukah?" Zhu Lao melihat sekeliling alun-alun desa. Tatapannya tertuju pada sebuah batu besar berwarna abu-abu lumut di dekat sumur tua. Batu itu datar di atasnya, sering digunakan oleh para wanita desa untuk meletakkan keranjang cucian mereka. Batu itu sebesar sapi dewasa, dan dikenal oleh semua orang sebagai "Batu Kura-kura" karena bentuknya.
"Kau ingin jadi kuat?" tanya Zhu Lao, suaranya terdengar geli. "Baiklah. Lupakan kuda-kuda bodohmu itu."
Dia menunjuk ke batu itu. "Pergi angkat batu kecil itu."
Keheningan menyelimuti alun-alun kecil itu.
Lalu, para pemabuk meledak dalam tawa yang paling keras. "Batu kecil?!" "Kakek, kau gila! Itu Batu Kura-kura!" "Bahkan Shen Hu, si beruang besar itu, tidak bisa menggesernya seinci pun! Mereka mencobanya saat festival musim semi!"
Li Xian menatap Zhu Lao, lalu ke batu itu. Penghinaan membara di pipinya. "Kau... kau sama saja dengan mereka! Kau mengejekku!"
"Aku?" Zhu Lao mengangkat alis. "Aku hanya seorang kakek tua yang memberikan saran. Kau bilang kau ingin kuat. Aku menunjuk ke sebuah batu. Apa yang kau lakukan selanjutnya adalah urusanmu."
Zhu Lao berbalik, tampak bosan dengan percakapan itu. "Jika kau bisa mengangkatnya satu inci saja dari tanah, latihanmu yang sebenarnya bisa dimulai. Jika tidak," dia melambaikan tangan, "pulanglah dan belajar cara menanam ubi. Itu pekerjaan yang lebih jujur."
Kaisar Dewa Semesta berjalan santai ke bawah pohon willow besar di tepi alun-alun, duduk bersandar di batangnya, dan memejamkan mata, tampak seolah-olah dia akan tidur siang.
Li Xian ditinggalkan sendirian di tengah lapangan, menjadi pusat perhatian. Tawa telah mereda, digantikan oleh tatapan kasihan dan ejekan.
Dia mengepalkan tinjunya. Orang tua gila.
Dia memandang Batu Kura-kura. Itu hanyalah batu. Berat, ya, tapi hanya batu. Shen Hu mungkin kuat, tapi dia tidak punya Qi. Li Xian, setidaknya, bisa merasakan sesuatu di dantian-nya.
Didorong oleh amarah dan sisa-sisa harga diri, Li Xian bangkit. Dia berjalan terseok-seok ke Batu Kura-kura, mengabaikan tatapan semua orang.
Dia menyeka tangannya yang berdarah dan berlumpur di celananya yang compang-camping. Dia berjongkok. Posisinya salah, tapi dia tidak peduli. Dia menyelipkan jari-jarinya yang kurus di bawah tepi batu yang basah dan berlumut.
"H... NNRRGGGHH!"
Dia menarik dengan sekuat tenaga. Wajahnya berubah menjadi ungu. Urat-urat menonjol di lehernya yang kurus.
Batu itu tidak bergeming.
Rasanya... aneh. Itu bukan hanya berat. Rasanya seolah-olah dia sedang mencoba mengangkat gunung itu sendiri. Seolah-olah batu itu terhubung dengan inti planet.
"Hah... hah..." Dia melepaskannya, terengah-engah.
Tawa kecil terdengar lagi dari kedai.
Li Xian menatap tangannya yang lecet. Dia menatap lelaki tua yang tidur di bawah pohon.
"Satu inci..." gumamnya.
Dia menarik napas dalam-dalam. Dia mengabaikan para pemabuk. Dia mengabaikan rasa sakit. Dia mengabaikan rasa laparnya.
Dia memposisikan ulang cengkeramannya.
"HAAAAAA!"
Dia menarik lagi. Otot-ototnya menjerit. Tulangnya terasa seperti akan patah.
Batu Kura-kura tetap diam, tak tergoyahkan, seolah menertawakan usahanya yang menyedihkan.
Di bawah pohon willow, Zhu Lao membuka satu matanya sedikit. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.
Tentu saja tidak bergerak, Nak, pikirnya dalam hati. Batu itu adalah paku. Aku melemparkannya ke sini sembilan juta tahun yang lalu untuk menyegel retakan ruang kecil yang mengganggu Alam Fana. Aku benar-benar lupa aku meninggalkannya di sini.
Dia mengamati Li Xian, yang alih-alih menyerah, kini duduk di depan batu itu, mengatur napasnya, matanya menatap batu itu dengan kebencian murni. Anak itu tidak pergi.
Zhu Lao menutup matanya lagi, benar-benar nyaman.
Bagus. Mari kita lihat berapa lama tekadmu bertahan melawan paku semesta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!