NovelToon NovelToon

Menguasai Petir Dari Hogwarts

Chapter 1 – Ethan Cross & Kekuatan Super

Awal Juli 1980, London, Inggris

Udara malam di London terasa lembap. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan jalanan yang masih mengilap di bawah sinar lampu jalan. Dari jendela tua yang cat putihnya mulai mengelupas, cahaya redup menembus tirai tipis, menari-nari pelan karena hembusan angin.

Di balik tirai itu, seorang anak laki-laki berdiri di depan cermin.

Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, namun matanya—tajam dan dalam—memantulkan sesuatu yang lebih dari sekadar anak berusia sebelas tahun.

“Ugh… aku tidak tahan,” gumamnya pelan.

Ia menatap bayangannya sendiri, mengangkat tangannya perlahan, membuka dan menutup jemarinya seolah mencoba menggenggam sesuatu yang tak tampak.

Setiap gerakan terasa penuh perhitungan.

Setiap napas disadari dengan tenang.

Sebelas tahun.

Itulah usia Ethan Cross saat ini—sebelas tahun hidup di dunia yang terasa asing. Sejak pertama kali membuka mata di panti asuhan Gereja Ellens, hidupnya seolah berhenti di satu titik waktu.

Bangunan tua berlantai kayu itu berdiri di antara rumah-rumah bata merah di pinggiran kota London, dikelilingi taman kecil yang selalu basah oleh embun pagi.

Tanpa komputer, tanpa televisi berwarna, apalagi ponsel.

Bagi seseorang yang pernah hidup di masa jauh lebih modern—seperti yang samar-samar ia ingat—semua ini terasa seperti hukuman.

Ketukan keras di pintu memecah lamunannya.

“Kenapa berisik banget? Kamu nggak takut ketahuan begadang?” suara berat terdengar dari balik pintu, diikuti dengan langkah tergesa.

Ethan membuka pintu. Seorang remaja berusia sekitar enam belas tahun berdiri di sana, memeluk kardus besar dengan napas tersengal.

Kemejanya kusut, rambutnya acak-acakan, namun senyumnya… senyum itu selalu sama—lebar dan ceroboh.

“Maaf, bos. Kardusnya berat banget, jadi agak telat,” ujarnya sambil terkekeh.

Ethan menghela napas, setengah kesal setengah geli.

“Kevin, kamu pulang larut begini, ada masalah lagi sama orang-orang Distrik Utara?”

Kevin mengangkat bahu. “Ah, nggak kok. Sejak kau ‘mendidik’ mereka, nggak ada yang berani nyentuh kami lagi.”

Ia menyeringai bangga, lalu menarik beberapa lembar uang dari sakunya. “Ini, bagianmu minggu ini.”

Ethan menerimanya tanpa banyak bicara. “Kerja bagus. Sekarang pergi tidur sebelum Ibu Asrama tahu.”

Namun Kevin tetap berdiri di sana, matanya berbinar dengan ekspresi khas anak nakal.

“Ada apa lagi?” tanya Ethan malas, sudah hafal gelagat itu.

“Hehe… karena masih pagi, gimana kalau kita—”

“Main mahjong lagi, ya?” potong Ethan cepat. Ia menunduk, menarik kotak kayu dari bawah tempat tidurnya, dan melemparkannya ke arah Kevin. “Tapi ingat, jangan berjudi. Kalau ketahuan, Ibu Asrama bakal menyitanya.”

Kevin tertawa kecil sambil menangkap kotak itu. “Santai, bos! Aku janji nggak bakal ketahuan!”

Dan seperti biasa, ia langsung kabur sebelum Ethan sempat menegur lebih lanjut.

Begitu pintu tertutup, keheningan kembali menguasai ruangan.

Ethan hanya menggeleng pelan. “Aku menyesal ngajarin mereka main mahjong,” gumamnya.

Ia berbalik, pandangannya tertuju pada kardus besar di lantai. Tangannya mengusap sisi kardus dengan lembut, seperti memperlakukan benda berharga.

“Hehe, akhirnya lengkap juga,” katanya lirih. “Kecap asin, pasta wijen, cuka, anggur masak…”

Senyumnya merekah lebar. “Kalau harus makan makanan Inggris terus, aku bisa gila.”

Kardus itu memang bukan barang biasa. Kevin membelikannya dari Chinatown atas permintaan Ethan—bumbu-bumbu dari Timur yang entah bagaimana membuatnya merasa… pulang.

Ya, pulang.

Kata itu selalu menggema di pikirannya.

Karena entah bagaimana, Ethan tahu bahwa ia bukan anak biasa.

Ada fragmen ingatan samar—tentang kehidupan lain, tentang bela diri, tentang disiplin dan peperangan. Ia tak tahu apakah itu mimpi, reinkarnasi, atau sekadar khayalan aneh di kepalanya. Tapi ia percaya… pernah menjadi seseorang yang jauh berbeda.

Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketenangan dan ketegasan yang tak lazim.

Anak-anak lain di panti mungkin lebih tua, tapi tak satu pun berani melawannya.

Ia pernah mengalahkan mereka semua saat berumur sembilan tahun—sekali pukul, sekali jatuh.

Tinju militer, Wing Chun, Tai Chi, Muay Thai… semua seolah telah tertanam dalam tubuhnya, mengalir bersama darahnya sendiri.

Kini, di bawah arahannya, Kevin dan teman-temannya menjalankan “bisnis kecil” di luar panti.

Kadang Ethan sendiri tertawa kecil. “Kalau begini terus, aku bisa jadi ketua geng yang hidup dari uang keamanan,” katanya pada diri sendiri.

Namun di balik tawa itu, tersimpan rahasia yang jauh lebih besar.

Ia mengunci pintu rapat-rapat, menutup tirai, lalu menatap sudut kamar.

Di sana, barbel besi seberat sepuluh kilogram tergeletak diam.

Ethan menatapnya tajam.

Udara di sekelilingnya mendadak hening.

Angin berhenti.

Cahaya lampu terasa menegang.

Dan perlahan—barbel itu terangkat.

Tanpa sentuhan, benda berat itu melayang di udara, berputar perlahan di atas kepala Ethan seperti planet mengorbit bintang. Tak ada suara, tak ada getaran—hanya energi aneh yang terasa menekan dinding kamar.

Ethan menarik napas dalam, lalu duduk di kursi sambil membuka buku catatan lusuh.

Ia membaca dengan tenang, sementara barbel terus berputar tanpa ia sentuh.

Bukan latihan fisik—ini latihan pikiran.

Dulu, saat berusia delapan tahun, ia pertama kali menyadari kekuatan itu.

Ia haus sehabis latihan, ingin mengambil gelas di meja.

Sebelum sempat bergerak… gelas itu melayang sendiri ke arahnya.

Sejak hari itu, dunia tak lagi sama.

Ia menamai kekuatan itu “Superpower.”

Nama sederhana, tapi cukup untuk menandai sesuatu yang hanya dimilikinya seorang.

Dan ia tahu betul—jika rahasia ini sampai bocor ke pihak gereja, hidupnya bisa berakhir tragis.

Bertahun-tahun ia berlatih diam-diam.

Ia menemukan pola-pola tertentu: semakin ia tenang, semakin kuat kekuatannya.

Meditasi, pernapasan, postur bela diri—semuanya terhubung.

Ia menyebutnya keadaan kosong, saat tubuh dan pikiran berada dalam keseimbangan sempurna.

Kini, ia mampu menggerakkan benda-benda besar tanpa berkeringat sedikit pun.

Namun dalam diamnya, Ethan tahu… ini belum semuanya.

Kekuatan itu seperti samudra luas, dan dirinya baru belajar menyentuh permukaannya saja.

Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat—menunggu untuk bangkit dari kegelapan pikirannya.

Dan malam itu, di kamar sempit sebuah panti asuhan tua, seorang bocah berusia sebelas tahun menatap benda melayang di depannya…

Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan:

takut, penasaran, dan sedikit—sangat sedikit—antusiasme akan masa depan yang belum ia mengerti.

Chapter 2 – Hogwarts

Udara pagi London terasa dingin dan lembap. Kabut tipis masih menggantung di atas atap Panti Asuhan Gereja Elrens, sementara sinar matahari yang malu-malu baru mulai menembus jendela kaca patri yang retak di tepinya. Di kamar sempit di lantai dua, seorang anak laki-laki duduk bersila di lantai, tubuhnya tegak, napasnya teratur.

Ethan Cross membuka matanya perlahan.

Di depan matanya, sebatang barbel melayang anggun di udara, berputar dalam lintasan berbentuk angka delapan. Otot-otot di rahangnya menegang; peluh menetes dari pelipisnya ke lantai kayu yang sudah kusam.

Konsentrasinya penuh.

Ia menahan barbel itu tetap di udara—tidak hanya sekadar mengangkat, tapi mempertahankan kestabilan, mengontrol setiap gerak kecil seperti mengatur detak jantungnya sendiri.

Lima belas menit. Dua puluh. Tiga puluh.

Waktu berjalan lambat.

Akhirnya, denyutan di kepalanya mulai terasa. Dunia sedikit berputar. Ia menarik napas dalam-dalam dan perlahan menurunkan barbel itu ke lantai dengan lembut, seolah benda itu memiliki berat sehelai bulu.

“Empat puluh menit penuh,” bisiknya sambil tersenyum kecil. “Semakin mudah dikendalikan.”

Ia memijat pelipisnya sebentar, lalu terkekeh pelan.

“Kapan ya aku bisa terbang dengan pedang seperti di novel wuxia?”

Ucapan itu melayang ringan di udara, tapi tidak ada yang menjawab. Di luar, hanya suara angin yang menyusup lewat celah jendela.

Ethan berdiri, meregangkan tubuhnya. Tubuh itu ramping namun padat—hasil latihan keras bertahun-tahun, meski ia masih berusia sebelas. Namun di balik kekuatan fisiknya, ada sesuatu yang lebih misterius: kekuatan pikirannya.

Sesuatu yang ia sebut “telekinesis”… tapi mungkin dunia punya nama lain untuk itu.

Dan tanpa ia sadari, jauh di langit utara Inggris, puluhan bayangan bersayap tengah menembus kabut. Burung-burung hantu, membawa surat bersegel merah, terbang cepat melewati lembah dan kota—menuju anak-anak terpilih.

Salah satu di antaranya, seekor burung hantu cokelat besar, membentangkan sayapnya melewati atap-atap tua London.

Tujuannya: Panti Asuhan Gereja Elrens.

Keesokan paginya, panti masih sunyi. Hanya suara burung gereja yang bersahut-sahutan di genteng, menandai awal hari baru. Ethan, seperti biasa, sudah bangun lebih dulu dari siapa pun. Ia membuka jendela, menghirup udara pagi yang masih beraroma embun, lalu turun ke halaman dengan pakaian olahraga sederhana.

Di sana, ia mulai berlatih satu set Tinju Tongbei—gerakan cepat dan lentur yang menuntut keseimbangan sempurna antara kekuatan dan keanggunan.

Tubuhnya meluncur, berputar, memukul udara dengan presisi nyaris sempurna.

Tak ada penonton, tak ada pelatih, tapi setiap langkahnya seolah diatur oleh irama tak terlihat—sebuah simfoni antara disiplin dan ketenangan.

“Huff…” Ia menghembuskan napas panjang setelah gerakan terakhir. Embun menempel di kulitnya yang hangat oleh keringat. Ia menatap matahari yang mulai muncul dari balik gereja tua, lalu tersenyum kecil. “Dunia ini masih terlalu lambat untukku,” katanya pelan, separuh bercanda.

Setelah menggulung lengan bajunya, ia berjalan ke kafetaria. Aroma bubur labu hangat langsung menyambut dari arah dapur.

“Selamat pagi, Ibu Triss. Aku mencium bubur labu dari luar,” sapa Ethan ceria.

“Selamat pagi, Ethan,” jawab Suster Triss—wanita tua dengan wajah teduh dan mata lembut di balik kerudung abu-abunya. Ia menuangkan bubur ke mangkuk. “Kamu selalu bangun paling awal. Andai semua anak di sini bijaksana seperti kamu, hidupku pasti lebih tenang.”

Ethan tertawa kecil, menerima mangkuk itu. “Kalau mereka sebijak aku, Ibu bakal bosan.”

Mereka tertawa sebentar sebelum Ethan duduk di sudut meja kayu besar dan mulai makan. Bubur itu sederhana tapi hangat, dan di dunia yang dingin serta penuh rahasia seperti ini, kehangatan kecil semacam itu terasa berharga.

Setelah sarapan, ia berpamitan dan kembali ke kamarnya.

Namun begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti.

Seekor burung hantu cokelat bertengger di atas meja, menatapnya dengan mata bundar berwarna kuning keemasan. Sayapnya rapi, posturnya tegak seperti prajurit dalam penjagaan.

Burung itu mengeluarkan suara rendah, lalu menurunkan satu kaki—ada sebuah amplop tebal di sana, diikat dengan pita merah tua.

Ethan membeku.

Ia menutup pintu perlahan, berjalan mendekat dengan hati-hati. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dalam mimpi yang aneh.

Burung itu meletakkan amplop di atas meja, kemudian diam di ambang jendela, menunggu… seperti tahu tugasnya belum selesai.

Ethan menatap amplop itu. Tidak ada prangko. Hanya tulisan tangan indah berwarna hijau zamrud:

Kepada Tn. Ethan Cross,

Panti Asuhan Gereja Elrens, Shaftesbury Avenue, London.

Ia membaliknya. Di bagian belakang, ada segel lilin merah bertanda perisai besar berhuruf “H”, dikelilingi empat simbol hewan: singa, elang, luak, dan ular.

Dunia seolah berhenti.

Ethan menatap lambang itu lama, jantungnya berdetak pelan tapi berat. Ia mengenal simbol itu.

Pernah melihatnya—tidak di dunia ini, tapi dalam ingatan samar, dari masa yang terasa seperti mimpi.

Ia menelan ludah.

“Tidak mungkin…” suaranya hampir berbisik. “Ini… Hogwarts?”

Angin pagi meniup tirai, seolah ikut membenarkan ucapannya.

Ethan duduk perlahan di kursi, menatap surat itu seolah takut akan menghilang bila ia berkedip. Ia membuka amplopnya hati-hati, dan sebuah gulungan kertas tebal meluncur keluar.

Tulisan tinta hitam elegan memenuhi halamannya.

Sekolah Sihir Hogwarts

Kepala Sekolah: Albus Dumbledore

(Presiden Konfederasi Penyihir Internasional, Ketua Wizengamot, Ordo Merlin Kelas Satu)

Kepada Tuan Cross yang terhormat,

Dengan senang hati kami informasikan bahwa Anda telah diterima di Sekolah Sihir Hogwarts.

Terlampir daftar buku dan perlengkapan yang diperlukan untuk tahun pertama.

Perkuliahan dimulai pada tanggal 1 September, dan kami menunggu balasan Anda paling lambat 31 Juli.

Hormat kami,

Minerva McGonagall

Wakil Kepala Sekolah

Ethan membaca daftar perlengkapan yang menyertainya:

jubah hitam, sarung tangan kulit naga, teleskop, buku-buku mantra, dan—tentu saja—tongkat sihir.

Ia mendesah pelan, antara tak percaya dan kagum.

“Jadi... ini bukan sekadar kekuatan mental biasa. Aku benar-benar… penyihir.”

Burung hantu itu masih di jendela, menatapnya dengan sabar, seperti menunggu jawaban.

Ethan mengangkat kepalanya, menatap keluar jendela—ke langit London yang mulai terang.

Pikirannya berputar cepat: Dumbledore. Potter. Voldemort. Nama-nama yang samar dalam ingatannya kembali bermunculan.

Namun satu hal membuatnya tercekat:

Film yang ia ingat berlatar tahun 1990-an.

Sedangkan sekarang… tahun 1980.

“Jadi aku berada sebelum semuanya dimulai,” gumamnya perlahan. “Sebelum Potter lahir… sebelum perang besar… sebelum segalanya.”

Ia menatap surat di tangannya lagi—simbol “H” itu kini terasa berat, seolah memanggil takdir yang belum ia pahami.

Senyum tipis muncul di wajahnya. “Baiklah, Hogwarts. Mari kita lihat… rahasia macam apa yang kau sembunyikan.”

Burung hantu itu mengeluarkan suara pelan, seolah mengerti.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya di dunia ini, Ethan Cross merasa sesuatu yang selama ini ia cari—jawaban tentang kekuatannya, asal-usulnya, dan mungkin, takdirnya—akhirnya mulai terungkap.

Chapter 3 – Profesor McGonagall

Sore itu, langit London tampak kelabu. Cahaya matahari yang lemah menembus jendela kamar kecil Ethan, membentuk garis tipis di lantai kayu.

Di atas meja, surat bersegel merah dengan lambang “H” masih tergeletak — lambang yang seolah mengubah arah hidupnya dalam semalam.

Ethan menatapnya lama-lama, jari telunjuknya menyusuri tepi amplop yang mulai kusut.

Sudah dua kali ia membaca isi surat itu, tapi pikirannya tetap berputar di tempat yang sama: Sihir. Sekolah sihir. Hogwarts.

Ia mendesah pelan. “Sihir… siapa yang sangka aku bakal percaya hal seperti ini?”

Di ambang jendela, burung hantu cokelat yang kemarin datang masih bertengger tenang, bulu-bulunya berkilau halus di bawah cahaya senja. Hewan itu menatapnya datar, tanpa suara, seperti patung hidup.

Ethan memiringkan kepala. “Kau menunggu balasan, ya?”

Tak ada jawaban. Hanya tatapan kuning keemasan yang nyaris tanpa ekspresi.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak tahu harus kasih apa padamu. Aku bahkan nggak punya makanan burung.”

Burung hantu itu tetap diam — pandangan tajamnya tidak bergeming.

Ethan tersenyum kecil. “Sombong juga, ya.”

Ia menarik selembar kertas lusuh dan pena dari laci meja. Tangannya bergerak cepat, menulis dengan huruf rapi dan kalimat singkat — ucapan terima kasih, sedikit kebingungan, dan pertanyaan sopan apakah sekolah benar-benar bisa menerima anak yatim piatu sepertinya.

Setelah menandatangani surat itu, ia melipatnya rapi dan menyerahkannya pada burung hantu.

Dengan gerakan mulus, hewan itu menggigit amplopnya, mengepakkan sayap, dan melesat keluar jendela menembus langit senja tanpa menoleh.

Ethan menatap kepergiannya, angin sore meniup rambutnya pelan. “Burung hantu sombong,” gumamnya. Tapi senyum tipis tetap menghiasi wajahnya.

Lalu, dengan nada setengah heran, ia menambahkan, “Aku benar-benar penasaran seperti apa dunia sihir itu. Voldemort sudah mati waktu ini, kan? Dan Potter… dia pahlawan, kalau aku nggak salah.”

Nama-nama itu terasa asing namun akrab, seperti gema dari masa lain. Ia tahu potongan-potongan kisah mereka — samar, buram, seolah berasal dari mimpi jauh. Tapi satu hal yang pasti: tahun sekarang masih 1980.

Artinya, kisah itu belum dimulai.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang sudah ia hafal: latihan, makan, tidur, ulang.

Ethan memperketat rutinitasnya sejak menerima surat Hogwarts. Setiap pagi ia berlari mengelilingi halaman panti, siangnya berlatih tinju, malamnya bermeditasi sambil melatih “telekinesis” — atau, seperti yang kini ia sadari, sihir tanpa tongkat.

Ia mulai mempelajari cara menyalurkan sihir dengan napas, mengontrol emosi agar kekuatan itu tak lepas kendali.

Terkadang ia berhasil mengangkat lima benda sekaligus, terkadang malah membuat lampu berkedip tak karuan. Tapi semua itu memberinya kepuasan aneh.

“Dunia mana pun sama,” katanya pada dirinya sendiri suatu malam. “Kekuatan adalah fondasi segalanya.”

Suatu pagi yang tenang, ketika kabut masih menggantung rendah di luar jendela, suara ketukan terdengar di pintu kamarnya.

Tok. Tok. Tok.

“Permisi. Kau Ethan Cross?”

Suara perempuan, tenang, dingin, dan penuh wibawa.

Ethan menoleh cepat, lalu membuka pintu.

Di hadapannya berdiri seorang wanita berumur sekitar lima puluhan dengan postur tegap dan sorot mata tajam. Rambut hitamnya disanggul rapi ke belakang; kacamata persegi menghiasi hidung mancungnya. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hijau tua yang tampak berkilau lembut di cahaya pagi.

“Selamat pagi,” katanya dengan nada datar tapi sopan. “Saya Profesor Minerva McGonagall. Wakil Kepala Sekolah Hogwarts. Saya datang menindaklanjuti suratmu.”

“Oh—Profesor?” Ethan hampir terpaku, lalu cepat menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk. Maaf, tempatnya agak sempit.”

McGonagall melangkah masuk dengan gerakan anggun. Matanya menelusuri ruangan kecil itu — satu ranjang besi, meja belajar dengan kertas bertumpuk, beberapa barbel di sudut, dan rak buku yang tampak usang.

Namun semuanya tertata rapi.

“Ruangan yang teratur,” katanya akhirnya. “Menyenangkan melihat siswa muda se-disiplin ini.”

Ethan menggaruk tengkuknya, canggung. “Maaf, cuma ada satu kursi, Profesor.”

“Tidak masalah,” jawabnya tenang. “Aku sudah membawa kursiku sendiri.”

Sebelum Ethan sempat bertanya, Profesor McGonagall mengibaskan tongkat sihir dari dalam jubahnya.

Barbel di pojok ruangan bergetar, lalu berubah bentuk dalam sekejap menjadi kursi kayu elegan dengan sandaran tinggi. Ia duduk dengan tenang, seolah itu hal paling wajar di dunia.

Ethan hanya bisa terpaku.

Melihat sihir langsung jauh berbeda dari sekadar membaca tentangnya.

“Saya kira saya baru akan dihubungi bulan depan,” katanya akhirnya.

“Biasanya memang begitu,” jawab McGonagall sambil menautkan jari. “Tapi kami mendatangi anak-anak Muggle yang belum mengenal dunia sihir lebih awal. Kasusmu agak istimewa, Tuan Cross. Kau hidup mandiri di panti asuhan, bukan hal mudah bagi anak seusiamu.”

Nada suaranya tegas, tapi ada kelembutan tersembunyi di baliknya — semacam penghargaan diam-diam.

Ethan mendengarkan dengan saksama. Profesor itu menjelaskan bahwa anak-anak penyihir biasanya mulai menunjukkan tanda-tanda kekuatan sejak usia muda, dan Hogwarts bertugas mendidik mereka agar tak kehilangan kendali.

Ethan mengangguk, lalu dengan tenang mengangkat tangannya.

Sebuah cangkir di meja bergetar, kemudian perlahan melayang ke arahnya.

Profesor McGonagall sontak menatapnya tajam, kacamata di hidungnya bergeser sedikit.

“Tanpa tongkat… tanpa mantra?” suaranya nyaris tak percaya. “Kau sudah bisa melakukannya?”

“Sejak kecil, saya sering membuat benda bergerak tanpa sengaja,” jawab Ethan jujur. “Lalu saya mulai melatihnya lewat meditasi dan kontrol napas. Saya kira itu cuma kemampuan aneh, bukan sihir.”

McGonagall menatapnya lama, penuh perhitungan, lalu tersenyum tipis — senyum kecil tapi tulus.

“Menarik,” gumamnya. “Sangat menarik. Jarang ada anak yang bisa mencapai kendali sebesar ini sebelum belajar resmi.”

Ia berdiri, jubah hijaunya berdesir lembut. “Baiklah, Ethan. Kita tak punya banyak waktu. Aku akan berbicara dengan pengurus panti, lalu mengantarmu membeli perlengkapan sekolah.”

Profesor McGonagall bekerja cepat dan efisien.

Entah bagaimana, hanya dalam waktu setengah jam, segala urusan administrasi Ethan sudah beres. Pengurus panti yang biasanya cerewet tampak seperti kehilangan arah dan hanya mengangguk-angguk patuh.

Ethan memiringkan kepala, curiga. “Profesor… Anda barusan pakai sihir, ya?”

“Sedikit Confundus Charm untuk mempercepat urusan,” jawab McGonagall ringan, dengan nada nyaris geli. “Tenang saja, mereka tidak akan dirugikan. Kau tetap bisa pulang liburan nanti.”

Ethan mengangkat alis. “Sihir yang bisa bikin birokrasi cepat? Harusnya dunia Muggle belajar itu.”

Untuk pertama kalinya, Profesor McGonagall tertawa kecil — singkat, tapi tulus.

Ia kemudian menepuk bahu Ethan. “Oh, hampir lupa. Dewan sekolah telah menyetujui beasiswa untukmu: dua belas Galleon per tahun. Dan untuk pengetahuanmu, satu Galleon setara tujuh belas Sabit Perak, dan satu Sabit Perak sama dengan dua puluh sembilan Knut.”

Ethan mendesah pelan. “Bahkan sistem uangnya pun rumit. Benar-benar Inggris.”

McGonagall tersenyum samar, lalu melangkah menuju pintu. “Ayo, Tuan Cross. Dunia sihir menunggumu.”

Angin lembut menyusup dari jendela, membawa aroma musim panas yang mulai memudar.

Ethan menatap kursi kayu yang dulunya barbel, lalu ke tangan Profesor McGonagall yang menggenggam tongkat.

Untuk pertama kalinya dalam hidup barunya, ia merasa… siap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!