NovelToon NovelToon

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Bab 1

Bab 1

Pagi itu, sinar mentari menembus jendela kamar Aryo Pamungkas, menyorot debu tipis yang melayang di udara. Udara masih sejuk, namun langkahnya sudah terburu-buru. Aryo tengah menyiapkan tasnya untuk bekerja, memastikan seragam rapi dan alat komunikasi keamanan di saku. Namun suara ibunya yang tiba-tiba terdengar dari ruang tengah membuatnya berhenti.

“Aryo! Tunggu sebentar!”

Ibunya keluar dengan tergesa-gesa, membawa secarik kertas yang terlihat agak kusut di tangan. Wajahnya memancarkan kombinasi antara gugup, khawatir, dan harap.

“Aryo, mama lupa beritahu. Nanti sore kamu datanglah ke restoran ini,” katanya cepat, menyerahkan kertas itu.

Aryo menatapnya, mata berbinar bingung.

“Mau ngapain, Mah?”

“Kamu akan ketemu calon istrimu,” jawab ibunya tanpa ragu, nada suaranya pasti, seperti keputusan itu sudah final.

Aryo nyaris tersedak mendengar kata “calon istri”.

“Hah? Maksud Mah… aku dijodohkan begitu saja?”

“Sudah waktunya kamu menikah, Aryo,” ujar sang ibu, lembut tapi tegas. Pandangan matanya mengandung harapan panjang yang tak ingin ia sembunyikan.

Aryo menunduk sebentar, menghela napas panjang.

“Kok bisa tiba-tiba begini, Mah? Aku bahkan belum siap mental.”

“Ini Mama bawakan baju ganti juga,” kata ibunya sambil menjejalkan kantong berisi pakaian bersih ke tas Aryo. “Biar nanti sore kamu langsung terlihat rapi saat bertemu calon istrimu.”

“Tapi tetap saja, Mah… ini seperti serangan mendadak. Tidak ada pembicaraan sebelumnya, tiba-tiba harus dijodohkan,” keluh Aryo.

“Iya, Mama lupa kasih tahu. Tapi percayalah, ayahmu sudah lama merencanakan hal ini. Jangan bikin Mama kecewa. Mama cuma ingin melihatmu bahagia, dan menikah sebelum Mama tua.”

Aryo menatap wajah ibunya yang mulai keriput, hatinya tersentuh. “Tapi bukankah seharusnya aku menikah dengan pilihan hatiku sendiri?”

“Temuilah dia dulu, Nak. Siapa tahu kamu berubah pikiran,” bisik ibunya dengan lembut.

“Baiklah, Mah,” Aryo akhirnya mengangguk. Ia mencium tangan ibunya, menahan rasa canggung, lalu melangkah keluar rumah menuju pekerjaannya.

Kejadian di Money Changer

Sesampainya di Money Changer Global Exchange, suasana masih sepi, hanya beberapa pelanggan yang berdiri menunggu transaksi kurs mata uang asing. Lampu neon berpendar lembut di kaca display, memantulkan kilau koin logam dan kertas uang yang berwarna-warni. Aryo mengamati gerak-gerik pelanggan dan pegawai, insting pengamannya segera mendeteksi gerakan mencurigakan dari tiga pria yang mondar-mandir di sudut ruangan.

Tiba-tiba, terdengar suara keras:

DOR!

Semua orang menunduk, panik, beberapa berteriak, sementara Aryo tetap menahan diri, menilai situasi. Seorang pria bersenjata memasuki ruang, pistol diarahkan ke para nasabah. Dua rekannya mengikuti dengan wajah tegang, membawa senjata tajam.

“Angkat tangan semua dan jangan bergerak!” bentak pria bersenjata itu dengan nada tegas, membuat udara seolah berhenti sejenak.

Aryo menelan ludah, menahan degup jantung yang cepat. Naluri keamanan yang terlatih memintanya menunggu momen yang tepat. Salah satu perampok melompat ke meja kasir, membentak pegawai untuk membuka laci, suara kaca dan koin berdering saat ia menodong. Kasir perempuan gemetar hebat, hampir menjerit ketakutan.

Aryo bergerak pelan ke samping, menjaga jarak aman. Namun gerakannya tertangkap, dan pistol segera diarahkan ke arahnya.

“Hei, kamu! Mau mati begitu saja? Angkat tangan!”

“Oke, oke bos! Aku angkat tangan!” Aryo pura-pura ketakutan, menunduk, mencoba terlihat lemah.

“Jangan sok jagoan! Lihat pistol ini!” bentak perampok itu, wajahnya menakutkan.

“Enggak bos, enggak!” Aryo membelakangi mereka, menunggu momen untuk bertindak.

Sekejap kemudian, dengan ketepatan yang sempurna, Aryo memutar tubuhnya, meringkus pria bersenjata yang memegang pistol, menundukkannya dengan pukulan cepat dan terukur. Dua perampok lain terkejut, salah satunya mengancam kasir dengan pisau. Aryo menembakkan pistol ke udara — peluru melesat tipis di atas kepala perampok itu, membuatnya segera menjatuhkan senjatanya. Semua perampok menyerah.

Aryo mengikat mereka menggunakan tali pembatas antrian. Tepuk tangan bergemuruh dari nasabah dan pegawai. Polisi datang beberapa menit kemudian, meringkus ketiga perampok.

Meski terlihat tenang, hati Aryo berdebar. Ada firasat yang tak bisa dijelaskannya, bahwa sesuatu akan berubah hari itu.

Restoran di Senja Hari

Sore menjelang, langit jingga menembus kaca Restoran La Ventana, memantulkan kilau perabotan mewah dan aroma makanan yang menggoda. Aryo berjalan pelan, gugup tapi berusaha tetap tegar.

Seorang pria paruh baya menunggunya di dalam, wajahnya ramah namun penuh wibawa.

“Aryo Pamungkas! Lama tak bertemu,” sapa pria itu.

“Pak Kamal Andara?” Aryo terkejut dan tersenyum gugup.

Pak Kamal tersenyum hangat.

“Silakan duduk. Kamu pasti kaget, ya?”

“Iya, Pak,” balas Aryo sambil menahan debar. Ia belum pernah bertemu putri Pak Kamal sebelumnya.

“Dulu aku dan ayahmu membuat perjanjian kecil. Jika suatu hari kami punya anak laki-laki dan perempuan, kami akan menjodohkan mereka. Dan sekarang, saatnya tiba,” jelas Pak Kamal.

Saat itu, pintu restoran terbuka, dan seorang perempuan dengan gaun merah menyala melangkah dari mobil limosin hitam. Kacamata hitam menutupi separuh wajahnya, tapi aura wibawanya terasa menekan.

“Aryo, kenalkan… putriku, Meliana Andara,” kata Pak Kamal.

Meliana melepaskan kacamata, menatap Aryo dengan tatapan tajam. Pandangan mereka bertemu, seketika dunia seakan berhenti.

“Kamu!” seru Meliana, menunjuk Aryo dengan ekspresi marah dan kaget.

Aryo garuk kepala, wajah memerah.

“Eh… kita pernah ketemu ya?”

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Pak Kamal, menatap mereka bergantian.

Aryo tersadar siapa perempuan ini. Meliana adalah CEO tempatnya bekerja, yang sebelumnya pernah mempermalukannya di lobi gedung Andara Group karena kesalahpahaman.

Pertemuan yang Membakar

Tanpa menunggu jawaban, Meliana berdiri dan berkata tajam,

“Pah, aku ingin bicara sebentar dengan dia.”

Ia berjalan keluar restoran, Aryo mengikuti dengan gugup. Begitu berada di luar, Meliana menatap Aryo dengan mata menantang.

“Otak mesum! Kamu pikir aku gak tahu niatmu? Sengaja pura-pura jadi satpam biar dekat denganku, ya?”

“Tidak, Bu Meliana. Saya cuma—”

“Diam! Sekarang tiba-tiba kamu jadi tunanganku? Mau numpang nama Papa? Mau hartaku?”

Aryo menunduk, menahan malu dan amarah.

“Saya tahu saya tidak pantas, tapi ini permintaan ayahmu juga. Saya cuma menghormati keinginan mereka.”

“Hah! Aku akan pastikan pertunangan ini dibatalkan. Aku gak akan sudi menikah dengan orang sepertimu.”

Meliana berbalik dan kembali ke restoran, meninggalkan Aryo yang hanya bisa terdiam.

“Pah!” serunya keras begitu masuk. “Batalkan pertunangan ini! Meliana tidak sudi menikah dengan lelaki cabul seperti dia!”

Pak Kamal menatap putrinya, kemudian pandangannya bertemu Aryo yang berdiri di belakang, wajah pucat, menunduk dalam-dalam. Suasana restoran hening, hanya terdengar napas tertahan dan denting sendok di meja.

Dan di antara keheningan itu, tatapan Meliana dan Aryo kembali bertemu — tajam, menantang, seolah menandai awal dari pertarungan emosi yang tak bisa dihindari.

BERSAMBUNG…

Bab 2

Bab 2

“Tolong jangan diambil hati sikap putri saya tadi,” kata Pak Kamal Andara, menatap Aryo dengan wajah yang serius namun tetap lembut. Suasana restoran yang mewah terasa sedikit hening, seolah hanya mereka berdua berada di dunia ini.

Aryo mencoba memaksakan senyum. “Tidak masalah, Pak,” jawabnya, meski hatinya sedikit berdebar mengingat ekspresi Meliana tadi.

“Kalau begitu, mari kita ngobrol saja. Silakan, mau pesan apa?” lanjut Pak Kamal, sambil menoleh ke daftar menu yang tertata rapi di meja kayu berkilau.

Aryo sudah menentukan pilihannya sejak awal, tapi matanya tetap saja sesekali menatap sekeliling, menilai situasi dan suasana restoran yang elegan. Bau aroma masakan yang menggoda dan suara gemericik gelas kaca menciptakan kesan hangat namun menegangkan.

“Yah, seperti itulah kalau membesarkan anak tapi dimanja. Semaunya sendiri. Tapi putri saya, kalau sudah maunya A, susah digoyahkan,” lanjut Pak Kamal, tersenyum sambil menyeruput jusnya. “Karena dia anak semata wayang, saya selalu mengabulkan keinginannya. Namun untuk menjadi CEO, itu semua karena kerja kerasnya sendiri, bukan hanya karena saya.”

Aryo mengangguk pelan, mencoba menahan diri memuji.

“Wanita mandiri dan tegas,” ucap Aryo dengan tulus, meski wajahnya sedikit memerah karena memikirkan kembali kejadian memalukan di restoran beberapa waktu lalu.

“Terima kasih,” kata Pak Kamal. “Kalau saja putriku mendengar itu… Ngomong-ngomong, apa yang kalian bicarakan tadi di luar?”

Pipi Aryo memerah, ia menunduk sebentar. Ingatan tentang Meliana, tatapannya yang tajam, dan insiden di mana Aryo sengaja mengintip celana dalamnya membuatnya kikuk. “Oh, bukan apa-apa, Pak,” jawab Aryo terbata-bata, mencoba tetap tenang.

Tak lama kemudian, pesanan minuman dan makanan mereka datang. Suara piring, aroma daging yang masih panas, dan wangi jus buah segar membuat Aryo sedikit melupakan kegugupannya. Namun hanya sebentar.

“Aryo, saya tahu siapa kamu sebenarnya.” Kata Pak Kamal tiba-tiba, membuat Aryo tersedak saat menyeruput jusnya. Detak jantungnya seakan berhenti beberapa detik.

“Oh, maaf,” Aryo tergagap, mencoba menenangkan diri.

Aryo sadar, inilah saatnya untuk mengonfirmasi kecurigaannya. “Tidak apa-apa, Pak. Ngomong-ngomong, kapan tepatnya Bapak dan ayah saya membuat perjanjian perjodohan ini?”

Pak Kamal menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu. Rambutnya yang mulai memutih dan wajahnya yang berkerut memancarkan kesan bijak seorang bapak. Ada secuil kekhawatiran terselip di mata beliau.

“Sekitar dua puluh tahun lalu. Ketika kalian masih kecil. Ayahmu masih bertugas di militer, sementara saya mulai merintis Andara Group. Kami membuat perjanjian yang tak bisa dibatalkan. Perjanjian darah. Agar ketika anak-anak kami dewasa, mereka akan dinikahkan,” jawab Pak Kamal.

Aryo memahami sepenuhnya. Kecuali ada perjanjian darah lagi, tidak ada yang bisa membatalkan pertunangan ini. Masalahnya, ayahnya telah meninggal beberapa tahun lalu.

“Tadinya saya ingin menyegerakan perjodohan ini, karena khawatir ayahmu akan pergi lebih dahulu. Sayangnya saat itu kalian masih terlalu kecil. Saya selalu mengingatkan ayahmu agar menjaga kesehatan dan berhati-hati dalam bertugas,” lanjut Pak Kamal, nada suaranya penuh rasa tanggung jawab.

Ayah Aryo meninggal karena serangan jantung. Aryo masih teringat, dirinya tidak berada di sisi ayah saat kejadian itu.

“Boleh saya bertanya, apakah kamu tertarik dengan Meliana?” Pak Kamal menatap Aryo, tatapannya serius. Pertanyaan itu membuat Aryo tersedak lagi.

Aryo menghela napas panjang. “Menurut saya, putri Bapak terlihat tangguh dan cerdas. Tidak salah jika dia menjadi CEO. Secara fisik maupun penampilan, saya tidak menampik, Meliana memang wanita cantik dan menawan,” jawab Aryo sopan, meski pikirannya melayang ke gerak kaki panjang Meliana saat turun dari limosin, rok merah yang dikenakannya membuatnya malu sendiri.

Pipi Aryo memerah, ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Ia sadar banyak kesalahan di masa lalu, banyak wanita yang berhasil ditaklukkannya dengan mudah.

“Kamu suka Meliana?” tanya Pak Kamal lagi, penuh selidik.

Aryo menelan ludah. “Saya… belum tahu, Pak,” jawabnya dengan suara bergetar tipis.

Pak Kamal tersenyum singkat, namun ada cahaya khawatir di mata bijaknya. Hening beberapa saat selagi keduanya menikmati makanan.

Aryo tahu, menerima pertunangan ini bisa memberinya segalanya—dari satpam menjadi seseorang yang mungkin memiliki pengaruh di Andara Group. Tapi itu bukan yang ia inginkan saat ini.

Pak Kamal mendesah panjang. “Aryo, ada satu alasan lain kenapa pertunangan ini harus terjadi sekarang.”

Aryo menatap serius, meletakkan garpu dan pisau. “Apa itu, Pak?”

“Saya tahu kemampuanmu. Karena itu saya ingin memintamu melindungi Meliana. Keselamatan putri saya sedang terancam. Ada pihak jahat yang mengincarnya,” kata Pak Kamal serius.

Aryo semakin waspada. “Siapa yang ingin mencelakainya?” tanyanya.

“Saya tidak tahu, tapi saya berharap kamu bisa membantu mengungkapnya,” jawab Pak Kamal. Aryo segera menebak, kemungkinan besar ini terkait persaingan bisnis.

“Sebetulnya apa yang Bapak ketahui tentang saya?” tanya Aryo, hatinya sedikit gelisah.

“Yang saya tahu, kamu seorang militer terlatih. Terbaik dari yang terbaik. Di dunia militer, kamu dijuluki Dewa Pembunuh,” jelas Pak Kamal.

Julukan itu membawa Aryo ke masa lalu kelam, tragedi yang selalu dihindarinya. Alasan terbesar ia memutuskan berhenti dan memulai hidup baru.

“Selain itu?” Aryo menahan napas.

“Cukup itu. Dewa Pembunuh. Itu sudah cukup,” jawab Pak Kamal, tenang tapi penuh arti.

Aryo mengetuk-ngetuk jarinya di pinggiran piring, antara percaya dan ragu. Pak Kamal menambahkan, “Meliana menolak satpam reguler untuk mengawalnya tiap hari. Jadi saya ingin kamu melakukannya secara diam-diam.”

Aryo mengangguk. Masuk akal. Inilah alasan ia direkomendasikan menjadi satpam Andara Group.

“Baik, saya akan melindungi Meliana, Pak. Mengenai pertunangan, sepertinya akan bijaksana jika ditunda dulu. Kekhawatiran saya, kalau pesta diadakan sekarang, dia malah jadi target empuk pihak jahat,” ujar Aryo.

“Sepakat. Dan selama kamu melindungi Meliana, saya berharap cinta tumbuh di antara kalian. Penting bagi saya, putri saya bahagia,” kata Pak Kamal lembut.

Aryo menelan ludah. Kesulitan sudah terlihat. Kesal, memalukan, dan terpesona pada Meliana sekaligus.

Pak Kamal melanjutkan, “Besok akan ada penyesuaian untuk tugas keamananmu di gedung. Tiga bulan adalah waktu yang saya tentukan untuk membuat Meliana jatuh cinta padamu.”

Aryo terkejut, tapi hanya diam. Ia sadar itu waktu yang singkat, hampir mustahil.

“Ini soal hidup dan mati putriku. Mari kita buat perjanjian darah.” Pak Kamal mengambil pisau potong steak dan menggores telapak tangannya.

Aryo menelan ludah, tak bisa menolak. Ia ikut menggores telapak tangannya. Darah mereka bercampur, perjanjian darah sah. Tanggung jawab Aryo kini resmi: melindungi Meliana dari bahaya dan memastikan keselamatannya.

Saat Aryo masih merenung, Pak Kamal tersenyum ringan. “Oh ya, ada hal lain yang saya tahu tentangmu selain Dewa Pembunuh.”

Aryo menatap tajam, jantungnya berdegup kencang. Apa lagi yang ia ketahui? Apakah tragedi masa lalu akan terbuka?

Pak Kamal tertawa ringan, “Kamu dikenal sebagai penakluk wanita. Jadi seharusnya ini tugas mudah. Buat Meliana jatuh cinta.”

Aryo menyeringai, “Itu dulu, Pak.”

Pak Kamal menambahkan, “Ah, tak usah merendah. Karismamu masih menyala. Lihat, perempuan di meja itu melirikmu dari tadi,” ujarnya sambil menunjuk. Aryo menoleh dan melihat seorang perempuan cantik menunduk malu ke teman-temannya.

Aryo tersadar, berpikir serius, dan bertanya, “Bagaimana jika dalam tiga bulan saya gagal membuat Meliana jatuh cinta atau malah dia membenci saya?”

Pak Kamal menanggapi enteng, “Mana mungkin dia membencimu. Tiga bulan, berhasil atau gagal, pertunangan kalian tetap diumumkan. Itu sudah tidak bisa diganggu gugat. Perjanjian darah, ingat?”

Aryo menyeka telapak tangannya, darah dari perjanjian darah tadi masih terlihat samar. Ia menelan ludah, mempertanyakan keputusan yang baru saja dibuat: apakah benar ia bisa melindungi Meliana dan membuatnya jatuh cinta, ataukah ini akan menjadi bencana yang menimpa mereka berdua.

> BERSAMBUNG…

Bab 3

Bab 3

“Bagaimana Aryo,pertemuannya berjalan lancarkah?” tanya ibu Aryo yang sedang duduk di sofa ruang tamu seraya menatap Aryo dengan mata yang penuh perhatian. Aroma kopi dan camilan ringan yang dibuatnya mengisi ruangan, sementara sore hari mulai meredup di luar jendela rumah kontrakan kecil mereka.

Aryo dengan santainya malah meneguk sebotol bir, Ibunya sebenarnya tak suka, meski ibunya tak melarang. Ia duduk di kursi kayu sederhana, sedikit lelah namun tetap menahan senyum. “Iya, Mah. Acara tadi berjalan lancar kok… lebih tepatnya, berjalan sesuai rencana.” Ia mencoba untuk tetap terdengar santai, meski di dalam hatinya masih berdebar karena interaksi yang tidak sempurna dengan Meliana.

“Iya, kamu jagalah itu calon istrimu dengan baik. Mana, Mama lihat fotonya sini,” kata ibunya sambil mengulurkan tangannya.

Aryo membuka ponsel pintarnya, mencari nama Meliana Andara di internet. Layar ponsel menampilkan berbagai berita tentang kesuksesan CEO muda itu. Meliana memang tak memiliki akun media sosial, jadi foto-fotonya hanya bisa didapat dari portal berita dan artikel bisnis.

“Wah, ini mah cantik sekali. Muda, cerdas, dan sukses. Kamu beruntung sekali jika bisa mendapatkannya, Nak,” puji ibunya sambil tersenyum. “Kamu harus menjaganya dengan baik. Kamu sudah berjanji, kan?”

Aryo tersenyum tipis, getir, menyembunyikan rasa malu akibat interaksi memalukan sebelumnya dengan Meliana. Kejadian itu jelaa tak ia ceritakan kepada ibunya, takut sang ibu malah akan menjewernya jika tahu hal itu.

“Iya, Mah. Aku janji, aku akan menjaganya dengan segenap jiwa dan raga yang aku miliki.”

“Dia pasti juga akan menyukaimu nak. Mama yakin itu.” ucap Ibu Aryo dengan hati gembira.

Aryo mendengus pelan, menyunggingkan senyum kecut. Ia malah sudah sepatutnya bersiap untuk menghadapi hari esok, menebak bahwa Meliana yang akan menolak perjodohan dan kemungkinan akan mempermalukannya secara terang-terangan di kantor. Pikirannya melayang dan berharap ke kemungkinan Pak Kamal berhasil membujuk Meliana lagi di rumahnya.

***

Di malam yang sama, seseorang baru tiba di Kota J. Sudah lama ia mencari sosok yang diagungkannya, Dibanggakan dan dijadikan panutan, dan petunjuk terakhir mengarah ke kota ini. Ia menatap gedung pencakar langit di seberang jalan, jantungnya berdebar. Nomor baru Aryo telah ia kantongi.

“Kau tak bisa terus bersembunyi dariku, Komandan,” bisiknya dengan nada dingin, menatap gedung tinggi yang memantulkan cahaya terang lampu jalan.

***

Aryo tinggal di kontrakan kecil dekat gedung-gedung pencakar langit itu. Ia berjalan kaki ke kantor, menghindari kendaraan agar tidak menarik perhatian. Ia tahu, dengan perjanjian darah yang ia sepakati semalam, masa lalunya mungkin tak bisa disembunyikan lama lagi.

Setibanya di lobi, tepuk tangan hangat menyambutnya. Para satpam antar-lantai, office boy, dan office girl berdiri, tersenyum bangga.

“Eh, ada apa ini?” Aryo tersenyum kikuk.

“Wow, keren lu, bro! Nggak nyangka bisa menggasak perampok di money changer itu,” kata Jonson, satpam lantai tiga, sambil menepuk bahu Aryo.

Aryo hanya mengangkat bahu. “Ya kebetulan aja lagi di situ. Lagian perampoknya pada cemen juga. Gampang,” jawabnya santai, meski hatinya sedikit menegang karena video perampokan itu tersebar di media sosial.

“Denger-denger lu bakal dipindahin ke Lantai 22,” Jonson menambahkan.

“Oh ya?” Aryo tersenyum tipis.

“Iya, nanti Merry, satpam cewek dari Lantai 22, yang bakal jemput lu.”

“Oke,” Aryo berusaha terdengar santai, tapi hatinya tak sepenuhnya tenang.

“Lu tuh ya, ganteng, badan bagus, tapi kenapa jadi satpam? Bisa jadi model, kan,” candanya Jonson.

Aryo tersenyum, membalas dengan santai, “Lu tahu kan misi gue di sini?”

“Apaan? Perasaan nggak pernah bilang.”

“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Misi gue sebenarnya di sini untuk… menaklukkan CEO Andara Group,” Aryo melontarkan, setengah bercanda.

Jonson tertawa panjang, “Ngimpi aja lu. CEO Andara pasti nggak bakal ngelirik lu. Lu kan cuma satpam.”

“Lihat aja nanti,” Aryo menjawab sambil tersenyum.

“Anjir, pede banget lu ya.”

“Ya udah sepaket lah. Ganteng kalau gak pede ya gimana?”

“Tapi miskin!” ejek Jonson.

Setelah rapat pagi selesai, Merry menjemput Aryo. Ia berdiri ramping, rambut pendek menambah kesan tegas, namun tetap memikat. Jonson memberi isyarat genit, tetapi Aryo hanya menggeleng kepala.

Mereka memasuki lift, melewati lobi, dan berpapasan dengan Meliana. Tatapan tajam CEO itu langsung menempel pada Aryo. Jonson menahan tawa, mulutnya membentuk O. Meliana masuk ke lift khusus CEO.

“Bakal kejadian nih,” bisik Jonson. Aryo hanya tersenyum tipis, menyuruhnya diam.

Di lift, Merry berdiri di depan Aryo. “Hai, Aryo pahlawan,” godanya, setengah serius, setengah menggoda.

“Wah, jadi geer disebut pahlawan sama seorang Merry,” Aryo balas sambil tersenyum.

Merry terkikik. “Meski aku satpam, tak ada salahnya kan kalau aku minta dijaga? Suatu malam… karena aku takut kesendirian.”

Aryo tersenyum lagi. “Boleh aja. Kamu kan punya nomorku.”

Merry bergidik senang. “Tapi aku gak punya saingan kan? Cewek-cewek di gedung ini banyak yang kesengsem sama kamu.”

“Ah, masa sih. Jadi geer,” Aryo melemparkan candaan.

Merry tertawa, lift bergerak naik.

Tiba-tiba ponsel Aryo berbunyi. Tertera nama PamungkasCorps. Aryo mengernyit. Nomor tak dikenal.

Satu kata itu membuatnya terlempar ke masa lalu: suara tembakan, teriakan, darah, dan adrenalin. Ia mengepalkan tangan, mencoba menyingkirkan ingatan itu.

Sesampainya di kantor ketua satpam Lantai 22, Aryo menutup telepon. “Halo. Siapa ini?”

“Halo, Dewa Pembunuh,” suara misterius terdengar, dibuat dengan filter.

Aryo menahan napas. Sudah pasti dari anggota tim elit militernya dulu.

“Aku tak punya waktu main-main. Katakan siapa ini,” kata Aryo tegas.

“Oh, Komandan… Mari sedikit bermain teka-teki. Bukankah itu yang kau senangi? Selain surga wanita tentunya.”

Aryo mengepalkan tangan, hatinya berdebar.

“Pisau. Perut. Benang kaos,” kata suara itu.

Tiga kata itu membawanya ke peristiwa bertahun lalu, ketika anggota timnya terluka parah, diserang jarak dekat, dan Aryo harus menjahit lukanya menggunakan benang dari kaos sendiri.

“Gaston?” Aryo menebak.

“Sudah di Kota J. Satu kota denganmu,” jawab suara itu. “Bagaimana kabarmu, Komandan?”

“Kenapa kau di sini?” Aryo bertanya, gelagat buruk terasa.

“Aku ingin silaturahmi. Sudah lama kita tak bertemu,” kata Gaston.

Aryo menghela napas panjang. “Aku sudah memilih hidup baru. Jangan ganggu.”

“Jangan salah duga. Aku juga memulai kehidupan baru. Tapi setidaknya beri aku kesempatan. Kita ngobrol sambil ngebir, mengenang masa kejayaan kita.”

Masa kejayaan itu sudah mati terkubur, batin Aryo.

“Tidakkah kau rindu PamungkasCorps?” lanjut Gaston.

Aryo menekan tombol merah di telepon. “Tidak.”

Di seberang sana, Gaston tersenyum, dingin dan penuh perhitungan. “Kita akan bertemu. Itu pasti. Takdir kita… tak terhindarkan.”

> BERSAMBUNG…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!