Tawa para penguasa pasar menggema di seluruh ruangan, diiringi dentingan gelas kristal dan aroma sampanye mahal memenuhi udara.
Bagi Aiden Aliston dan adiknya, Reyhan Aliston, itu bukanlah pesta perayaan, melainkan sebuah arena.
Setiap senyum adalah senjata, dan setiap bisikan adalah jebakan.
Di usianya yang menginjak 18 tahun, Aiden telah belajar menutupi emosinya, namun di balik mata datar itu, dia menyimpan ambisi yang membara.
Aiden tahu betul, di Keluarga Aliston, nilai seorang individu sejalan dengan kekuasaan yang dia miliki, dan dia bertekad untuk memiliki kekuasaan itu.
Reyhan, yang baru berusia 16 tahun, sudah terbiasa dengan persaingan kejam yang ditanamkan ayahnya, Henhard Aliston, membuatnya tidak jauh berbeda dari sang kakak.
Seorang pemuda bernama Leo, pewaris dari perusahaan Property, mendekat.
"Ngomong-ngomong soal pergerakan, dengar-dengar Ayahmu sedang berusaha mengunci ikatan Aliston dan Nelson secara resmi. Apa itu benar, Aiden?"
Reyhan menoleh cepat ke arah Aiden, ekspresinya sesaat goyah, sebuah celah tipis yang menunjukkan bahwa berita itu mungkin baru baginya.
Aiden menyesap sampanye-nya perlahan, membiarkan keheningan itu menggantung.
"Ayahku selalu mencari keuntungan terbaik untuk Aliston Corporation. Mengenai Tuan Nelson,"
Aiden berhenti, pandangannya beralih ke arah tempat Helena Nelson berdiri.
Bibirnya membentuk senyum tipis, dingin, nyaris tidak terlihat.
"Dia adalah mitra yang sangat berharga. Semua opsi untuk memperkuat ikatan sedang dipertimbangkan."
Saat kata 'ikatan' keluar, suaranya terdengar terlalu mulus.
Jauh di seberang ruangan, Helena Nelson memancarkan kehangatan yang kontras dengan dinginnya kristal dan marmer.
Di usianya yang sama dengan Reyhan, dia tampak seperti bunga yang mekar di tengah gurun.
Rambut cokelat gelapnya tergerai alami. Wajahnya selalu tampak sedikit merona, memiliki mata cokelat madu yang berbinar tulus.
Saat tawa para pewaris lain terdengar nyaring dan dibuat-buat, tawa Helena saat berbicara dengan ayahnya, Fedrick Nelson, dan ibunya, Calista Horrison, terdengar seperti dentingan lonceng perak yang murni.
Di tengah percakapannya, Helena terlihat mencondongkan tubuhnya ke arah seorang pelayan tua, berbisik mengucapkan terima kasih, sesuatu yang jarang sekali dilakukan di lingkaran konglomerat itu.
Helena adalah harta tak ternilai bagi keluarganya, bukti bahwa kekayaan tidak harus mengikis kebahagiaan.
Malam itu, Henhard Aliston mendekati Fedrick Nelson dengan senyum licik yang tersembunyi.
Di balik keramahan palsu. Dia mulai berbasa-basi mengenai kesuksesan kerja sama Aliston Corporation dan Nelson Corporation yang telah menjalin aliansi strategis selama lima tahun terakhir.
"Kita sudah seperti keluarga, Tuan Nelson,"
"Kurasa ini saatnya kita benar-benar mengikat hubungan ini." usul Henhard, suaranya licin seperti madu.
"Anak-anak kita bisa tumbuh bersama, mengenal satu sama lain. Kita hanya memberikan mereka fondasi, bukan memutuskan nasib mereka."
"Bagaimana kalau Aiden dan Helena bertunangan?"
Fedrick terkejut, ekspresi wajahnya berubah tegang. Dia menarik napas dalam-dalam, menolak dengan tegas.
"Aku tidak ingin melibatkan anak-anak dalam bisnis, Tuan Aliston," katanya, suaranya mengandung nada peringatan.
Bagi Fedrick, Helena bukanlah alat negosiasi, melainkan segalanya.
Calista, yang berdiri di sampingnya, mengangguk setuju, menambahkan, "Putri kami masih terlalu kecil untuk membahas pertunangan."
Namun, Henhard tidak mudah menyerah.
"Pertunangan ini hanyalah ikatan mempererat hubungan antara Nelson dan Aliston, lagi pula dimasa depan anak-anak bisa memutuskan pilihan mereka sendiri"
Henhard beralasan, menekan dengan kata-kata terakhirnya.
"Tidak ada yang akan dirugikan, Tuan Nelson. Yang terjadi mungkin hanyalah saham kita naik, bukan?"
Fedrick menatap Henhard, memahami bahwa pria itu menggunakan putrinya sebagai pion dalam permainan bisnis yang gila.
"Aku akan memikirkannya," jawab Fedrick. Dia meninggalkan Henhard dengan janji kosong di bibirnya, hatinya bergejolak.
***
Pagi berikutnya, Fedrick menerima telepon. Suara Henhard terdengar dingin dan lugas.
"Fedrick, pertunangan ini tidak akan menyengsarakan putrimu, hanya akan ada keuntungan untuk Nelson dan Aliston."
"Kau seorang pembisnis, kau tahu apa yang aku bicarakan." Henhard menutup teleponnya, seolah menegaskan bahwa diskusi telah usai.
Keesokan harinya, Aiden dipanggil oleh Henhard ke ruang kerja.
Ruangan itu dipenuhi dengan rak buku yang tinggi dan meja kerja yang besar, mencerminkan kekuasaan dan ambisi Henhard.
"Duduklah," perintah Henhard.
"Aku punya berita bagus untukmu."
Aiden duduk di kursi kulit mahal di hadapan meja, gerakannya efisien dan tanpa basa-basi, posturnya tegak.
"Ada apa," tanya Aiden dingin, suaranya datar tanpa intonasi, seolah tidak tertarik.
"Aku akan mengikat hubungan kita dengan Nelson Corporation lebih kuat lagi," ujar Henhard.
"Kau akan bertunangan dengan Helena Nelson."
Aiden mendongak, menatap ayahnya yang sedang tersenyum puas. Alih-alih terkejut atau sedih, sebuah kilatan perhitungan muncul di matanya.
Pikirannya langsung berputar, menganalisis situasi.
Dia merasa seperti bidak catur yang akhirnya ditempatkan pada posisi yang menguntungkan.
Di benaknya, Helena bukan lagi seorang gadis yang tertawa riang, melainkan sebuah gerbang. Sebuah kunci emas yang akan membuka seluruh dunia bagi seorang Aliston yang ambisius.
"Ini adalah kesepakatan bisnis. Perasaan tidak ada hubungannya di sini," Henhard melanjutkan, suaranya mengandung nada peringatan.
"Kau harus mematuhi setiap perintahku, Aiden." Henhard tidak memberikan ruang untuk negosiasi.
"Kau adalah Aliston. Kau akan hidup dan mati demi nama keluarga ini. Jangan pernah biarkan para bajingan itu mencuri apa yang susah payah aku miliki."
Aiden mengangguk pelan, mengerti apa yang dimaksud Henhard.
Meskipun Aliston kini secara resmi berada di bawah kendali Henhard dan kelak akan diwariskan kepada Aiden dan Reyhan, cabang keluarga Aliston lainnya tetap menatapnya bagaikan gunungan emas yang bisa mereka curi kapan saja.
"Aku mengerti."
Aiden menyetujui, namun bukan karena pasrah, melainkan karena dia melihat celah. kini dia akan memanipulasi takdir itu sendiri.
Bertunangan dengan pewaris Nelson bukan lagi beban, melainkan sebuah jalan pintas menuju penguatan kekuasaan yang dia dambakan.
***
Tiga hari setelah Henhard menelepon, Fedrick menemui Tuan William Harrison, sosok yang sangat dia hormati sekaligus mentor dan ayah mertuanya.
Fedrick menceritakan semua kegelisahannya dan tawaran pertunangan dari Aliston.
"Fedrick," Tuan William memulai.
"sejak dulu dunia bisnis memang tidak murni, harus ada pengorbanan di dalamnya."
"Meskipun Nelson kita menjadi salah satu dari lima naga di pasar negeri ini, tapi tembok Nelson masih rapuh, tidak seperti Aliston dan Eoscar yang sudah berdiri kokoh selama lebih dari lima generasi."
Fedrick mengangguk, memahami beratnya perkataan itu.
"Fedrick, aku mengerti perasaanmu. Helena adalah putrimu, cucuku dan dia adalah segalanya bagi kita semua," Tuan William berkata dengan nada lembut.
"Namun, aku juga melihat dari sudut pandang bisnis."
"Jika kau menolak, Henhard akan menyerang Nelson Corporation secara diam-diam."
"Tidak ada orang baik dalam bisnis. Jika itu terjadi, bukan hanya perusahaanmu yang hancur, tetapi juga reputasimu dan warisan yang telah kau bangun dengan susah payah."
"Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," bisik Fedrick.
"Kau bisa menghindari itu semua," bujuk Tuan William.
"Dengan menyetujui pertunangan ini, kau tidak hanya menyelamatkan perusahaanmu, tetapi juga mengamankan masa depan Helena."
"Pertunangan ini adalah jembatan, bukan penjara. Jika kedua anak itu tidak bahagia, mereka bisa memutuskan pertunangan ini di kemudian hari. Ini hanya sebuah janji, sebuah ikatan, yang akan memberikanmu waktu dan pengaruh untuk mengendalikan Henhard."
Fedrick merasa kepalanya pusing. Dia menatap pantulan dirinya di cangkir kopi.
Di sana, Fedrick melihat bayangan pria yang telah mengorbankan segalanya untuk melindungi putrinya.
Namun, dia juga melihat bayangan pria yang kini dipaksa untuk menyerahkan satu-satunya harta berharganya demi kekuasaan.
Pertunangan itu memang hanya janji. Tapi bagi Fedrick, itu adalah pengkhianatan terhadap hatinya sendiri.
Fedrick kembali ke rumah dengan langkah berat, beban dunia seolah berada di pundaknya.
Dia menemukan Calista dan Helena sedang menata bunga di ruang keluarga.
Helena bersenandung kecil, tawanya riang, seolah tak ada beban.
Fedrick menatap putrinya, hatinya teriris. Bagaimana mungkin dia menyampaikan hal ini pada permata hatinya?
Malam itu, setelah Helena tertidur, Fedrick duduk di samping Calista.
"Kita akan menyetujui pertunangan ini," bisiknya, suaranya parau.
Calista terperanjat, matanya memancarkan ketidakpercayaan.
"Kau janji tidak akan pernah melibatkan Helena!"
"Aku tidak punya pilihan, Sayang," jawab Fedrick, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Fedrick menceritakan ancaman Henhard yang terselubung dan menjelaskan bagaimana mereka bisa kehilangan segalanya jika menolak.
"Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan, dan dengan begitu, menyelamatkan masa depan Helena," katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Calista menunduk, air mata mengalir di pipinya.
"Dan bagaimana dengan putri kita? Dia masih kecil! Apakah itu tidak penting?"
Fedrick memejamkan mata, merasa keputusannya adalah sebuah pengkhianatan.
"Kita akan memastikan Helena bahagia. Pertunangan ini hanya di atas kertas. Ini adalah kesepakatan bisnis, bukan ikatan hati."
Fedrick meraih tangan Calista, menggenggamnya erat, berharap kehangatan dari sentuhannya bisa menenangkan hati mereka berdua.
Dua hari berlalu dan berita tentang pertunangan pewaris Nelson dan Aliston menyebar bagai api.
Majalah bisnis, koran, dan media sosial dipenuhi foto Aiden dan Helena, dihiasi judul bombastis tentang aliansi dua raksasa ekonomi.
Di kediaman Aliston, Henhard tersenyum puas.
Dia telah memenangkan permainan ini, dan juga berhasil menempatkan Aiden di posisi yang menguntungkan, sesuai dengan rencananya.
Di kamarnya, Aiden menatap layar tabletnya, membaca berita itu.
Foto Helena yang sedang tersenyum ceria terpampang besar.
Gadis kecil yang mempesona, pikirnya, akan menjadi kecantikan seperti apa saat dia dewasa nanti?
Reyhan menerobos masuk ke dalam kamar Aiden, dan langsung melontarkan pertanyaan.
"Kau akan bertunangan dengan Helena Nelson?"
Senyum pahit merekah di bibirnya.
"Selamat atas kemenanganmu."
"Aliston sepenuhnya milikmu kak."
Aiden hanya melihat datar ke arah adiknya yang masuk tanpa mengetuk pintu, tak sedikit pun terprovokasi.
Dia mengangguk pelan, seolah ucapan Reyhan adalah fakta yang sudah diketahui jauh sebelumnya.
"Bukan kemenangan," bisik Aiden, suaranya pelan namun penuh makna, sementara matanya menyala dengan api yang tak terucapkan.
"Ini baru awal."
***
Berita pertunangan itu mencapai telinga keluarga besar Aliston seperti kilat menyambar.
Di sebuah ruang makan mewah yang didominasi oleh kerabat Henhard, suasana yang biasanya penuh dengan ketenangan kini kacau balau.
Alaric dan Clara, yang selama ini selalu mengawasi Henhard, terdiam, rahang mereka mengeras.
Bisikan Clara terdengar penuh rasa tak percaya dan cemburu.
"Pertunangan? Dengan keluarga Nelson? Anak kecil itu... dia akan mendapatkan segalanya tanpa perlu berusaha."
Alaric, yang selalu menganggap dirinya lebih layak mewarisi Aliston Corporation, meninju meja makan dengan frustrasi.
"Henhard sudah gila! Mengikat Nelson dan Aliston menjadi sekutu? Dia akan membuat kerajaan bisnis yang tidak bisa kita sentuh!"
Mereka selama ini menunggu Henhard membuat kesalahan, menunggu celah untuk merebut kekuasaan.
Tapi Henhard justru mengambil langkah yang paling berani dan tak terduga.
Pertunangan ini bukan hanya aliansi bisnis, melainkan sebuah tembok baja yang mengelilingi kekuasaan Henhard.
Dengan sumber daya Nelson di sisinya, Aliston Corporation menjadi tak terjamah.
Aiden, yang tadinya hanya seorang penerus, kini memiliki status yang melonjak. Ini membuat iri dan kebencian di hati mereka.
Mereka tidak lagi bisa meremehkannya. Mereka menyadari bahwa Henhard tidak hanya melindungi kekuasaannya, tetapi juga sedang membangun dinasti yang tak bisa digoyahkan.
"Kita tidak boleh tinggal diam," kata Alaric dengan suara penuh amarah.
***
Di kediaman Nelson. Fedrick dan Calista duduk bersama Helena di ruang keluarga, keheningan terasa begitu berat.
"Sayang," Calista memulai, suaranya bergetar.
"Ada sesuatu yang harus kami beritahu."
Helena menatap orang tuanya dengan penasaran. Ayahnya tampak lelah, dan ibunya memegang tangannya erat.
Fedrick menarik napas dalam, matanya dipenuhi rasa bersalah.
"Nak, kamu akan bertunangan dengan Aiden Aliston."
"Tapi anggap saja seperti mendapat teman baru," jelas Fedrick, suaranya mencoba menenangkan.
"Ayah janji pertunangan ini tidak akan membebanimu, tidak ada yang berubah."
Calista menambahkan, suaranya lembut,
"Kau tahu Aiden Aliston yang di pesta kemarin kita hadiri? Dia anak laki-laki yang tampan."
Helena menatap kedua orang tuanya. Dia tidak terkejut. Dia telah mendengar desas-desus sebelumnya.
Helena melihat ke arah ayahnya, yang menatapnya dengan rasa bersalah yang mendalam.
Ekspresi Fedrick dan Calista yang begitu tegang membuatnya tersenyum kecil.
"Oh, jadi begitu," katanya, suaranya terdengar terlalu santai.
Fedrick dan Calista terdiam, bingung dengan respons putrinya.
"Helena, kau... kau tidak marah?" tanya Calista.
Helena menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu ini hanya bisnis. Aku adalah pewaris Nelson Corporation. Aku mengerti tanggung jawabku."
"Tapi... kau tidak sedih?" tanya Fedrick, merasa keputusannya adalah sebuah pengkhianatan.
Helena tersenyum lembut. "Sedih? Untuk apa? Hidup terlalu singkat untuk kesedihan. Aku akan mengurus ini, dan kalian tidak perlu khawatir."
Helena bangkit dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya dalam keheningan yang menyakitkan.
Fedrick dan Calista saling menatap, tidak tahu apakah harus lega atau merasa lebih khawatir.
Mereka telah berharap Helena akan marah dan menangis, tetapi sikap acuhnya yang tenang membuat mereka merasa seperti pengkhianat.
Setelah memasuki kamarnya, Helena tersenyum tipis. Dia berjalan ke arah balkon, berdiri diam menikmati hembusan angin malam yang menerpa tubuhnya.
Helena bukan hanya anak dari keluarga kaya, dia adalah pewaris Nelson Corporation, sebuah takdir yang dikenakan padanya sejak lahir.
Sejak dia bisa mengerti, Helena hidup dalam dua realitas yang bertolak belakang.
Di siang hari, dunia Helena adalah dunia yang cerah dan sempurna. Dia adalah putri yang selalu tersenyum, bergaul dengan anak-anak dari keluarga terpandang, dan difoto oleh majalah bisnis.
Helena selalu melihat orang tuanya tampak kuat, tak pernah goyah.
Ayahnya adalah sosok yang berwibawa, tak pernah kekurangan senyum, dan ibunya adalah orang yang lembut.
Mereka tampak seperti pasangan sempurna yang memimpin Nelson Corporation.
Helena mengagumi mereka, ingin menjadi seperti mereka. Dia tidak tahu bahwa senyum itu hanyalah pertahanan diri untuk menutupi rasa kecemasan.
Di balik citra publik yang mengagumkan itu, dunia bisnis yang dijalani Fedrick adalah sebuah labirin kegelapan.
Fedrick adalah seorang jenius, visioner sejati yang membangun Nelson Corporation dengan ide-ide brilian dan inovasi. Dia percaya pada bisnis yang bersih, pada integritas, dan pada persaingan yang sehat.
Tapi di setiap sudut gelap, ada predator yang menunggu, mereka yang tidak segan menggunakan cara kotor dalam kegelapan.
Fedrick, dengan kejeniusannya, selalu selangkah di depan dalam hal inovasi, tapi dengan keteguhan hatinya, dia selalu selangkah di belakang dalam permainan kotor.
Realitas kediaman Nelson terlihat di malam hari, di ruang kerja Fedrick. Di kamar itu, aura kepemimpinan Fedrick seakan digantikan oleh aura ketegangan.
Helena sering terbangun karena bisikan-bisikan cemas yang berasal dari ruang kerja ayahnya.
Helena kecil mengintip, dan dia melihat dunia lain.
Helena melihat bayangan Fedrick yang tertunduk di meja, tangannya memijat pelipis dan Calista memegang tangan suaminya, wajahnya pucat.
Mereka berbisik tentang kerugian besar, tentang saham yang anjlok, dan tentang "tangan-tangan tak terlihat" yang berusaha menjatuhkan mereka.
Helena merasakan getaran ketakutan itu, getaran yang tak pernah dia lihat di siang hari.
Suatu hari, ketika usianya baru sembilan tahun, Helena menghadiri pesta ulang tahun temannya.
Ancika, putri dari salah satu kolega ayahnya, sahabat terdekatnya.
Helena, yang masih polos, menceritakan rahasia yang dia dengar di malam hari.
Gadis kecil itu menceritakan bagaimana ayahnya khawatir tentang proyek besar yang gagal, dan bagaimana ibunya menjual perhiasan serta beberapa aset keluarga untuk menutupi kerugian.
Tak lama setelah itu, berita tentang masalah keuangan Nelson Corporation bocor ke media. Berita itu tidak hanya mengancam bisnis keluarga, tetapi juga memperlihatkan kerentanan Fedrick di hadapan pesaingnya.
Helena mendengar ayahnya berteriak, marah, kecewa dan kesal di suaranya.
Helena melihat air mata Calista saat dia berusaha menenangkan suaminya.
Fedrick tidak pernah terlihat begitu rapuh dan penuh emosi.
Helena menyadari, dia adalah penyebabnya. Kepolosannya telah merugikan orang tuanya.
Helena melihat wajah teman-temannya tersenyum tanpa dosa dan tertawa puas.
Mereka telah menggunakan informasinya, menggunakan kepercayaannya, untuk menjatuhkan ayahnya dan bisnis keluarganya.
Di malam yang dingin itu, di kamarnya, Helena kecil membuang semua mainannya.
Helena menganggap semua itu sebagai hal yang kekanak-kanakan.
Dia menatap pantulan dirinya di cermin, air mata mengalir di pipinya.
"Jangan pernah lagi," bisiknya pada dirinya sendiri.
"Jangan pernah lagi menunjukkan apa yang kau rasakan."
Sejak saat itu, dia mulai membangun kepalsuan.
Setiap senyum yang dia berikan adalah hasil latihan. Setiap kata yang dia ucapkan adalah hasil perhitungan.
Helena tahu, di dunia yang dia tinggali, emosi adalah senjata, dan kejujuran adalah kelemahan fatal.
Helena belajar untuk memakai topeng yang sempurna, sebuah topeng yang tidak akan pernah bocor, sebuah topeng yang menyembunyikan luka dan ketakutannya yang terdalam.
Helena tidak lagi menjadi gadis yang polos. Dia adalah seorang pewaris, siap untuk menghadapi dunia yang kejam sendirian.
***
Seminggu setelah pengumuman pertunangan yang mengejutkan, aroma hidangan Prancis yang mewah menyambut kedatangan keluarga Aliston di kediaman Nelson.
Pertemuan makan malam ini dirancang untuk mempererat hubungan, terutama untuk mengakrabkan Aiden dan Helena.
Ruang makan keluarga Nelson memancarkan kemewahan, piring porselen dan gelas kristal berkilau di bawah cahaya lampu kristal, sementara sampanye kelas atas telah dituangkan.
Henhard Aliston, duduk tegak dengan aura seorang raja yang baru menaklukkan wilayah. Di sisinya, Aiden tampak sopan, namun matanya yang tajam mengamati setiap detail.
Di ujung meja, Reyhan terlihat lebih santai, hanya sesekali mengangguk dan tersenyum tipis saat diajak bicara.
Di seberang mereka, Fedrick dan Calista menyambut keluarga Aliston dengan senyum yang dipaksakan, sebuah topeng tipis yang bisa pecah kapan saja.
Namun, Helena tampak tenang dan ceria. Dengan berani, dia memulai percakapan dengan Henhard.
"Paman, Anda luar biasa, persis seperti yang Helena baca di majalah," katanya.
Senyum bangga terukir di wajah Henhard.
"Kau membaca majalah bisnis?" Henhard bertanya, sedikit terkejut.
"Tentu," jawab Helena santai.
"Aku suka membaca majalah di ruangan Papa. Grafik saham, laporan keuangan, bahkan artikel tentang negosiasi bisnis, itu semua sangat menarik."
"Gadis pintar," puji Henhard, matanya berbinar.
"Mungkin kejeniusan Tuan Nelson menurun pada putrinya."
Henhard kemudian mengangkat gelasnya.
"Sampanye yang luar biasa, Tuan Nelson. Sangat cocok untuk merayakan aliansi dan pertunangan kedua anak kita."
"Tentu, Tuan Aliston," balas Fedrick, ikut mengangkat gelasnya.
Mereka bersulang, lalu kembali larut dalam pembicaraan bisnis.
Di sisi lain Aiden tetap diam, sesekali menyantap hidangan, pikirannya dipenuhi anggapan bahwa ini hanyalah transaksi yang menguntungkan.
Seolah menyadari apa yang dipikirkan Aiden, Helena meraih gelas jusnya. Karena usianya belum legal, dia belum diperbolehkan minum anggur.
"Kak Aiden, Reyhan, apakah kalian suka jusnya?" tanya Helena lembut.
"Buah-buahan ini berasal dari kebunku sendiri."
Aiden mengangguk.
"Ya, jusnya segar dan manis." Jawabnya, dan Reyhan mengangguk setuju.
Melihat interaksi itu, Henhard meminta Helena untuk mengajak kedua putranya melihat kebun buah yang Helena bicarakan.
Helena memimpin Aiden dan Reyhan keluar dari ruang makan.
Lampu-lampu taman yang hangat menerangi jalan setapak, menciptakan suasana yang magis.
Helena terlihat ceria, menjelaskan tentang kebunnya.
Aiden, seorang perfeksionis dan pikirannya dalam, menyimpulkan bahwa kebun ini bukan sekedar hobi.
Setiap tanaman ditata dengan teliti, mengingatkannya pada sebuah strategi, yang setiap elemennya harus ditempatkan dengan sempurna.
Reyhan, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara.
"Ini indah. Kau luar biasa," bisiknya memuji.
Helena menoleh, matanya memancarkan kehangatan.
"Kau menyukai tempat ini?" tanyanya.
"Tentu," balas Reyhan.
"Rasanya seperti dunia lain."
"Kamu bisa datang kapan saja. Kamu juga bisa memetik buah sendiri," tawar Helena.
Senyum tipis tulus yang jarang sekali terlihat muncul di wajah Reyhan.
Aiden terkejut melihat interaksi itu. Helena memiliki kemampuan untuk menarik Reyhan keluar dari cangkangnya.
Aiden melangkah lebih dekat, menatap Helena, mengabaikan Reyhan untuk sesaat.
Dia berbicara dengan nada datar, yang bagi orang lain mungkin terdengar seperti observasi biasa, tapi bagi Helena, itu adalah evaluasi yang terbuka.
"Ini bukan hanya hobi, kan?" tanya Aiden, suaranya rendah, langsung ke inti permasalahan.
Senyum di wajah Helena masih terlukis.
"Menurutmu begitu?"
Aiden mengangguk.
"Tentu saja. Sebuah kerajaan besar dibangun di atas hal-hal kecil, dan ini adalah hal kecil yang kau kendalikan sepenuhnya. Seperti memindahkan bidak di papan catur."
Aiden membiarkan pandangannya menyapu kebun, lalu kembali ke mata Helena.
"Setiap tanaman yang subur adalah bukti bahwa kau tahu kapan harus memberi pupuk dan kapan harus memotong yang tidak perlu. Itu bukan keahlian berkebun, Helena. Itu keahlian manajemen sumber daya yang brilian. Kau mengelolanya dengan ketelitian yang luar biasa untuk usiamu."
Helena menyeringai. Itu bukan senyum manis yang biasa dia tunjukkan, melainkan senyum manipulatif penuh perhitungan.
"Kau benar," bisiknya.
"Terima kasih, Kak Aiden. Pujianmu sangat berharga, karena aku tahu itu tidak didasarkan pada perasaan, melainkan pada analisis."
Aiden tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang jarang dia tunjukkan.
"Ada orang-orang yang bisa melihat lebih dari sekedar permukaan. Orang-orang itu... adalah mereka yang akan bertahan di dunia ini."
"Kita tidak sedetik pun berada di luar dunia ini, Kak Aiden," kata Helena.
Suaranya nyaris tak terdengar.
"Setiap hal adalah bisnis. Setiap orang adalah pion. Dan pertunangan kita... adalah permainan yang paling menarik."
Aiden terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa tertarik pada permainan ini.
Dia membalas senyum Helena dengan seringai yang sama, sebuah pengakuan tanpa kata.
Di samping mereka, Reyhan mengamati. Dia menyadari bahwa di dalam lingkungan ini, dia hanya akan bertemu dengan orang-orang seperti ini, seperti Aiden dan Helena, yang menganggap hidup sebagai permainan kekuasaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!