Perhatian. Untuk Aluna Dermawan ditunggu di ruang Tata Usaha sekarang. Sekali lagi, kepada Aluna Dermawan, ditunggu di ruang Tata Usaha sekarang. Terima kasih.
Suara itu, berat dan bergaung, memecah keheningan kelas IPA dua. Aluna mendongak, pensilnya tergelincir dari jemari. Bunyi kayu beradu lantai tak menarik perhatian siapa pun. Semua mata menatapnya. Jantungnya berdentum keras, memukul rusuk.
"Ada apa ya?" Bisik salah satu seorang gadis, yang terduduk tak begitu jauh dari Luna.
"Ya elah, palingan juga di panggil karena nunggak SPP." Celetuk teman lainnya. Lirih, namun terdengar tajam untuk sampai ke telinga Luna, gadis berkulit sawo matang itu.
"Angel...?" Sahut sang guru yang berada di depan kelas. Menggeleng pelan, seakan menyayangkan sesuatu. Sorot matanya melembut, mencoba mengurangi kegelisahan yang terpancar jelas dari wajah Angel. " Luna, kamu ke ruangan TU dulu, ya."
Luna berdiri dari bangkunya, tubuhnya terasa kaku dan berat. Kalimat teman sekelasnya tadi masih terngiang jelas di telinganya, menghantam dirinya seperti gelombang pasang yang tiba-tiba datang. Ia mencoba menelan ludah, namun tenggorokannya terasa tercekat. Sakit. Kata itu mendominasi perasaannya saat ini. Sakit karena tuduhan yang memang pasti benar, sakit karena tatapan iba atau mungkin merendahkan dari teman-temannya.
"Saya permisi dulu, Bu." Katanya mulai melangkahkan kakinya yang terasa berat, berjalan menuju pintu kelas. Setiap pasang mata yang menatapnya seolah menusuk-nusuk kulitnya. Luna berusaha tegar, mencoba menyembunyikan gejolak emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia tidak ingin terlihat lemah, meskipun hatinya hancur berkeping-keping.
Ya, ini tak sekali atau hari ini dirinya Merasakan sakit yang begitu menusuk. Sudah berkali-kali ia menghadapi situasi seperti ini, di mana kata-kata tajam dan tatapan merendahkan menjadi makanan sehari-harinya. Namun, entah mengapa, setiap kali hal itu terjadi, luka yang ditorehkan tetap terasa perih dan menganga.
"Oke, kita lanjut lagi ya anak-anak! Perhatikan semuanya...!"
"Oke, kita lanjut lagi ya anak-anak! Perhatikan semuanya...!" Ujar sang guru saat Luna keluar kelas dan berjalan sepanjang koridor. Sayup-sayup suara guru terdengar menjauh, perlahan menghilang ditelan kesunyian di sepanjang koridor melewati setiap kelas yang khidmat oleh pelajaran pertama pagi ini. Langkah Luna terasa semakin ringan, seolah beban yang tadi menghimpit dadanya sedikit terangkat.
Cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar koridor menciptakan garis-garis terang dan bayangan yang menari-nari di lantai yang dipijakinya.
Luna masih berjalan menelusuri koridor, kini langkahnya sedikit dipercepat. Ia berbelok ke kiri, dan di depan sana terpampang papan nama tata usaha dengan huruf-huruf yang dicetak tebal. Jantungnya mulai berdebar, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Inilah yang selalu Luna rasakan setiap kali kakinya melangkah ke tempat ini. Ruang tata usaha yang berdekatan dengan ruangan kepala sekolah juga ruang guru itu, baginya, ruangan tersebut bukanlah sekadar ruangan yang menyimpan data administrasi sekolah. Lebih dari itu, tempat ini adalah simbol dari segala kecemasan dan ketidakpastian yang menghantuinya.
"Masuk!"
Suara berat dari dalam menyahut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti Luna. Kenop pintu terasa dingin di telapak tangannya yang berkeringat. Dengan gerakan perlahan, ia mendorong pintu ke dalam, menciptakan celah yang cukup lebar untuk ia masuki. Suara derit engsel pintu yang berkarat terdengar nyaring, memecah keheningan ruangan.
"Luna, masuklah!" Kata seorang wanita yang duduk di balik meja sibuknya. Nada suaranya ramah, namun tetap terdengar formal. Wanita itu, Bu Rina, adalah salah satu staf administrasi yang paling sering berinteraksi dengan siswa, apalagi Luna. Ia dikenal sebagai sosok yang baik hati dan sabar, namun tetap tegas dalam menjalankan tugasnya.
Luna melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun bagi Luna terasa penuh sesak. Bukan karena meja-meja yang dipenuhi tumpukan berkas dan peralatan kantor. Bukan juga karena aroma kertas dan tinta yang khas bercampur dengan parfum ruangan yang lembut, semakin ia mendekat, menarik kursi lalu duduk dihadapan wanita itu, semakin hatinya tersayat dan sesuatu tertahan di kelopak matanya.
"Apakah kamu sudah menyampaikan pesan pihak sekolah pada orangtuamu?" Tanya Bu Rina seolah langsung pada intinya.
"Sudah, Bu." Angguk Luna dengan nada bergetar.
Bu Rina memposisikan duduknya lebih nyaman, matanya lurus mengunci gerak Luna seolah tengah menginterogasi. "Luna, Ibu tahu kondisi keluarga kamu, Ibu juga sudah menyampaikan hal ini pada pihak sekolah. Bu Rina menghela napas sejenak. "Sebenarnya, ada program dana bantuan bagi siswa tidak mampu di sekolah kita. Tapi, kuotanya sangat terbatas dan persyaratannya cukup ketat. Kami juga harus mempertimbangkan banyak faktor sebelum memutuskan siapa yang berhak menerima bantuan tersebut."
Mengapa harus mempertimbangkan? Batin Luna memberontak. Jelas-jelas, saat ini ia sedang dalam kondisi yang tidak bAik-baik saja. Apakah karena ia merasa sebagai siswa yang biasa-biasa saja? Bahkan, jujur saja, ia bisa dibilang siswa dengan nilai terendah di kelasnya. Mungkin itulah alasannya. Mungkin karena ia tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan, sehingga sekolah ragu untuk memberikan bantuan kepadanya.
Pikiran-pikiran itu berputar-putar di benaknya, menciptakan badai di dalam hatinya. Ia merasa semakin kecil dan tidak berdaya. Ia merasa seperti orang yang tidak pantas mendapatkan apapun.
"Ini," Bu Rina memberikan secarik kertas yang dilipat kepada Luna. Luna menerimanya dengan perasaan campur aduk antara cemas dan pasrah. Ia sudah bisa menebak apa isi kertas tersebut. Tanpa membukanya, ia sudah tahu isinya mencakup rincian tunggakan uang sekolahnya selama beberapa bulan terakhir dan nominalnya cukup besar. "Tolong sampaikan ini pada orangtuamu. Dan, Ibu juga ingin mengingatkan kamu, jika tunggakan ini tidak segera dilunasi, kamu tidak bisa mengikuti ujian semester ini."
Ancaman itu bagaikan cambuk yang menyentak Luna. Ia tersentak dan menatap Bu Rina dengan panik. Ujian semester adalah penentu kelulusannya. Jika ia tidak bisa ikut ujian, maka ia tidak akan bisa naik kelas.
"Baik, Bu." Angguk Luna. Ia kemudian berpamitan kepada Bu Rina lalu keluar dari ruang TU dengan langkah gontai. Ia menggenggam erat kertas yang berisi rincian tunggakan uang sekolahnya. Kertas itu terasa seperti beban yang sangat berat, namun ia bertekad untuk memikulnya dengan tegar.
Bruuuuk!
Suara keras itu memecah lamunan Luna. Tubuhnya terhuyung ke belakang, dan kertas yang berisi rincian tunggakan uang sekolahnya terlepas dari genggamannya, melayang ke udara sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Ia merasakan nyeri di bahunya akibat benturan yang tiba-tiba.
"Aduh!" Seru Luna spontan, memegangi bahunya yang terasa sakit.
Ia mendongak dan melihat seorang lelaki berdiri di hadapannya. Lelaki itu tampak terkejut dan salah tingkah. Seorang siswa yang lebih tinggi darinya, dengan rambut hitam legam yang sedikit berantakan dan mata cokelat yang tampak khawatir. Ia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Luna, namun terlihat lebih rapi dan bersih.
"Maaf, maaf banget! Aku nggak sengaja," Ucap lelaki itu dengan nada menyesal. Ia segera berjongkok dan memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai. Namun, Luna dengan sigap menahan tangannya.
"Jangan!" Seru Luna dengan nada panik. Ia segera merebut kertas-kertas itu dari tangan lelaki tersebut. "I-Ini punyaku! Ma-Maksudku... biar aku!"
Lelaki itu mengangguk dan kembali berdiri tegap, menatap Luna sambil tersenyum tipis.
"Arga?"
Suara itu memecah keheningan, membuat Luna dan lelaki itu serentak menoleh. Dari ambang pintu ruang guru, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan kacamata bertengger di hidungnya muncul.
"Ayo, Ibu tunjukkan kelas barumu."
Kelas baru, Batin Luna. Seketika, pikirannya dipenuhi rasa ingin tahu. Berarti lelaki ini murid baru di sekolah? Pantas, aku baru melihatnya sekarang.
"Ayo, Arga."
Lelaki itu menganggukkan kepala singkat, tanda mengiyakan panggilan tersebut. Sesaat sebelum ia melangkah mengikuti sang Guru yang sudah berjalan di depan, ia sempat menoleh. Tatapannya bertemu dengan mata Luna, seolah ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan.
****
Bel berdering nyaring, menandakan jam pelajaran terakhir telah usai. Suara kelegaan langsung memenuhi kelas. Bangku-bangku bergeser, tas ransel disampirkan, dan obrolan riang terdengar di mana-mana. Para siswa bergegas mengemasi buku dan peralatan sekolah mereka, bersiap untuk pulang dan menikmati waktu istirahat setelah seharian belajar.
"Baiklah anak-anak, sampai jumpa besok. Jangan lupa kerjakan tugas yang sudah Ibu berikan," Ucap Bu Sarah, guru Biologi sekaligus wali kelas Luna yang langsung melangkah keluar kelas usai membereskan buku-buku dan laptop yang ia masukkan ke dalam tasnya.
"Siap, Bu!" Jawab para siswa serentak, sebagian besar sudah tidak sabar untuk keluar dari kelas.
Begitu Bu Rini menghilang di balik pintu, suasana kelas semakin riuh. Tawa, canda, dan obrolan semakin keras terdengar, menandakan kebebasan yang baru saja diraih setelah seharian terkurung di dalam kelas.
Para siswa berbondong-bondong keluar kelas, memenuhi koridor sekolah yang ramai dengan siswa dari kelas lain yang juga bersiap untuk pulang. Suara langkah kaki, obrolan, dan tawa bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang khas dari jam pulang sekolah.
"MY GOD...!" Pekik Angel.
Sebagian siswa yang masih di dalam kelas, termasuk Luna, menoleh ke arah sumber suara. Angel berdiri mematung di ambang pintu, matanya membulat sempurna, seolah melihat sesuatu yang mengerikan.
"kenapa, ngel?!" Tanya Raisha, sahabatnya, yang berdiri di sampingnya.
"Dompet gue, Sha!" Ujarnya dengan nada setengah meninggi, panik. "Dompet gue, ilang!"
"Whaaaat?!" Ucap Bela, sahabat satunya lagi. "Dompet lo, ilang?! Kok bisa?!"
"Gue juga gak tahu, kenapa bisa ilang." Geleng Angel, raut wajahnya menunjukkan kebingungan dan sedikit frustrasi. Sementara sebelah tangannya sibuk merogoh isi tasnya yang penuh sesak. "Padahal, tadi masih ada di sini," Gumamnya.
Raisha, sahabatnya, menatap Angel dengan tatapan menyelidik. "Lo yakin gak ada di tas?" Tanyanya.
"Beneraaan, Sha! Gak ada."
"Ah!" Bela menjentikkan Ibu jari. "Apa, jangan-jangan..." Matanya menoleh ke arah Luna perlahan. Sontak, semua mata tertuju padanya. "Kan di sini ada yang baru di panggil ke TU karena belum bayar SPP. Atau, Jangan-jangan..."
Luna menelan saliva. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa semua mata menatapnya dengan penuh curiga. Pipi Luna mulai merona merah karena malu dan gugup. Ia tahu betul ke mana arah pembicaraan Bela. "Maksud kamu apa, Bel?"
Angel, Bela, dan Raisha mendekat ke arah Luna, membentuk lingkaran kecil yang mengurungnya. Wajah mereka tegang, penuh rasa ingin tahu dan sedikit curiga.
"Lo kan yang ambil dompet Angel?!" Tuduh Bela dengan nada tinggi, menunjuk Luna dengan jari telunjuknya. Matanya menyipit, penuh percaya diri dan prasangka buruk.
Sontak, suasana di kelas menegang. Langkah-langkah siswa lainnnya yang hendak keluar kelas, mendadak bisu dan memilih berdiam, bahkan sebagian siswa sengaja mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen menegangkan ini. Semua mata tertuju pada Luna, menunggu reaksinya.
"Tolong jangan asal nuduh!" Geleng Luna.
Tanpa permisi, Bela segera menarik tas Luna dengan kasar. Sementara, Raisha dan Angel, meskipun tampak ragu, ikut menahan Luna, mencegahnya untuk merebut kembali tasnya.
"Balikin tas gue!" Teriak Luna, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Angel dan Raisha.
Bela tidak Menghiraukan teriakan Luna. Bahkan, ia membuka paksa tas Luna dan mulai menggeledahnya dengan brutal. Buku-buku, alat tulis, dan barang-barang pribadi Luna berhamburan keluar.
"Kamu gak punya hak buat nggeledah tasku!" Teriak Luna. Ia meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari Angel dan Raisha, namun kedua temannya itu tetap menahannya dengan kuat.
"Oh ya...!" Sebelah lengan Bela sontak mengacungkan dompet berwarna pink bermotif kubisme cream di tengahnya. "Gak berlaku untuk seorang pencuri!" Tandasnya dengan penuh nada kemenangan. "INI APAAA?!"
Semua orang terkejut. Suasana yang tadinya dipenuhi dengan ketegangan dan kesedihan, kini berubah menjadi keheningan yang mencekam. Mata mereka tertuju pada dompet pink yang diacungkan Bela, lalu beralih menatap Luna dengan tatapan penuh tanya dan curiga.
Luna sendiri membeku di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana bisa dompet Angel ada di tasnya?
"Enggak." Geleng Luna. "Aku gak ngambil. bukan aku pencurinya..."
"Lo tuh, ya!" Pekik Angel. "Udah ada bukti, masih aja mau gak ngaku! berani-beraninya lo ambil dompet orang. kalau lo butuh uang, gak gini caranya Lun!" Beber Angel. "Lo bisa bilang ke gue, berapa banyak uang yang lo mau, gue kasih deh!"
"Tapi aku gak nyuri!" Geleng Luna.
"Oke. Kalau lo masih ngelak kalau lo bukan pencuri, terus kenapa... dompetnya Angel ada di tas lo?! ngaku!" Desak Raisha.
Luna menggeleng. "Aku gak tahu."
Angel mendesis. "Dasar lo tuh ya... emang gak tahu malu. Maling, mana ada si yang ngaku!"
"Dasar," Bela tersenyum sinis menatap lurus Luna. "Pen... cu... ri!"
****
Udah ada bukti, masih aja mau gak ngaku! Berani-beraninya lo ambil dompet orang. Kalau lo butuh uang, gak gini caranya Lun! Lo bisa bilang ke gue, berapa banyak uang yang lo mau, gue kasih deh!
Sepanjang perjalanan pulang, langkah Luna terasa berat seolah setiap tapaknya menginjak duri. Tuduhan itu—kata “pencuri” yang dilontarkan Angel di depan teman-teman—terus terngiang di telinganya. Setiap kali ia mencoba menepisnya, bayangan wajah Angel yang menatap dengan jijik itu kembali muncul, menusuk jauh ke dalam hati.
Angin sore mengibas rambutnya yang berantakan, membawa aroma debu jalanan dan rasa getir yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya mulai panas, tapi Luna menahannya. Ia tak mau menangis di jalan. Dunia sudah cukup kejam tanpa perlu melihat air matanya sebagai bukti kelemahan.
Sesampainya di ujung gang sempit, langkahnya melambat. Di sanalah rumahnya berdiri—kalau bisa disebut rumah. Sebuah bangunan kecil berdinding papan yang mulai lapuk, dengan atap seng berkarat yang berderit setiap kali angin berhembus.
Halamannya sempit, tanahnya becek karena air got yang meluap, dan hanya ada satu pot bunga layu yang masih dipertahankan di depan pintu.
Luna menuruni dua anak tangga kayu yang nyaris patah dan membuka pintu yang bunyinya berdecit pelan. Bau obat-obatan segera menyambutnya. Di sudut ruangan, seorang pria tua terbaring di dipan sederhana, selimut lusuh menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat, napasnya tersengal pelan.
“Ayah,” Kata Luna mendekat, lututnya bergetar menahan sesak di dada. “Ayah apa sudah minum obat?”
Ayahnya menoleh sedikit, tersenyum lemah. “Sudah, tapi…”
“Kenapa, Ayah?”
Herman, pria itu menggeleng. “Tidak, Nak. Ayah hanya … khawatir melihat kamu pulang terlihat sangat lelah sekali.”
Luna melempar senyum, meski senyum itu terasa berat seperti dipahat dengan air mata yang tak jadi tumpah. “Aku baik-baik saja, Ayah. Jangan khawatir.”
Herman mengangguk pelan, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi segera batuk kecil memaksanya kembali bersandar. “Kalau begitu, kamu istirahat dulu saja. Ganti bajumu lalu makan.”
Luna mengangguk patuh. “Iya, Yah.” Suaranya hampir berbisik. “Aku akan berganti baju lalu membeli makanan di luar sebentar. Ayah gak apa-apa kan, aku tinggal keluar lagi?”
“Iya, Nak.” Angguk Herman.
Luna kemudian beranjak lagi. Ia berjalan menuju kamarnya yang hanya dibatasi tirai tipis dari kain pudar. Di atas meja belajarnya yang terbuat dari kayu bekas, ia meletakkan tas dengan hati-hati. Tangannya gemetar saat membuka resleting tasnya. Dari dalam, ia mengeluarkan selembar amplop putih panjang yang sudah agak kusut di ujungnya—surat dari sekolah. Di pojoknya tertera stempel resmi dan tulisan tegas—Pemberitahuan Pembayaran Tunggakan Sekolah.
Luna menatap amplop itu lama, jantungnya berdegup tak beraturan. Seharusnya surat itu diserahkan langsung pada orang tuanya. Seharusnya ia tidak punya kuasa untuk membukanya. Tapi bagaimana bisa? Bagaimana ia tega menunjukkan surat itu pada Ayah—pada Herman yang kini terbaring lemah di kamar, bahkan untuk sekadar berdiri pun sulit?
Dengan napas bergetar, Luna membuka amplop itu perlahan. Kertas di dalamnya berisi rincian tunggakan—biaya sekolah yang sudah menumpuk berbulan-bulan. Jumlahnya terlalu besar bagi mereka. Angka-angka itu seolah menari di matanya, membentuk tembok tinggi yang sulit ia panjat.
Dulu, penghasilan ibunya sebagai buruh cuci cukup membantu untuk membiayai sekolahnya. Meski hidup mereka pas-pasan, setidaknya masih ada tawa di meja makan, dan ada aroma sabun cuci yang selalu mengingatkannya pada kasih sayang seorang ibu yang tak kenal lelah. Namun, semua itu berubah sejak penyakit merenggut sang ibu beberapa bulan lalu. Sejak kepergian itu, rumah mereka terasa jauh lebih sunyi. Tak ada lagi suara batuk lembut dari dapur di pagi hari, atau nyanyian lirih yang biasa terdengar saat ibunya mencuci pakaian tetangga. Yang tersisa hanya tumpukan kenangan dan sepi yang menua bersama waktu.
Luna menggenggam amplop itu erat, seolah menggenggam sisa kekuatan yang masih ia punya. “Bu…” Bisiknya lirih, menatap langit-langit kamar yang retak. “Kalau Ibu masih ada, pasti semuanya nggak seberat ini, ya?”
Air matanya menetes, jatuh ke ujung kertas hingga membuat tinta di sana sedikit luntur. Ia buru-buru menyekanya, takut surat itu rusak—karena surat itu adalah kenyataan yang tak bisa ia buang, seberapa pun menyakitkannya. Dengan hati-hati, ia melipat kembali surat itu, lalu menyelipkannya di bawah tumpukan baju di lemari. “Cukup aku yang tahu,” Gumamnya pelan. “Ayah nggak boleh tahu. Biarlah aku yang tanggung.”
****
Langit sore semakin meredup ketika Luna melangkah keluar rumah dengan membawa dompet kecil yang kulitnya sudah mengelupas di tepi. Uang di dalamnya hanya beberapa lembar ribuan, hasil sisa dari upah membantu Bu Sari menyapu halaman kemarin sore. Tapi bagi Luna, uang itu cukup—asal Ayah bisa makan malam dengan layak.
Udara luar terasa lembab. Jalanan kampung yang becek setelah hujan sore tadi membuat sandal jepitnya berdecap setiap kali menginjak tanah. Di kanan-kiri jalan, rumah-rumah berdinding papan tampak senyap, hanya sesekali terdengar suara televisi dari salah satu rumah tetangga.
Ketika ujung gang mulai terlihat, langkah Luna melambat. Di sana, cahaya dari jalan raya mulai memantul ke tanah basah, menandai perbatasan antara dunia kecilnya yang kumuh dan hiruk pikuk kota di luar sana. Ia berhasil keluar dari gang rumahnya. Suara kendaraan langsung menyergap—klakson bersahutan, deru mesin motor, dan aroma asap bensin yang menusuk hidung. Jalan raya itu ramai, tapi entah kenapa terasa asing bagi Luna. Di antara semua orang yang tergesa-gesa mengejar urusan masing-masing, ia merasa seperti bayangan yang nyaris tak terlihat.
“Lebih baik menjadi asing di tengah keramaian.” Gumamnya tersenyum pada dirinya sendiri.
Luna terus melangkah menyusuri deretan ruko yang tampak mulai sepi. Langit sore menurunkan cahaya jingga lembut di antara papan nama yang mulai pudar dan kaca etalase yang berdebu. Langkahnya pelan, menuju warung nasi langganan setiap harinya yang selalu buka dari sore sampai malam hari.
Namun kali ini, rasanya ada yang berbeda, saat ia selalu melewati jalan yang sama. Pandangannya tertumbuk pada sebuah spanduk yang menempel di depan toko bunga kecil di ujung jalan—Dibutuhkan Karyawan/Karyawati Pengantar Bunga. Usia maksimal dua puluh lima tahun.
Luna berhenti. Ia menatap spanduk itu lama, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Aroma samar bunga mawar dan melati dari toko itu terbawa angin, menenangkan hatinya sejenak. Perlahan, pikirannya mulai berkelana—mungkin ini tanda, mungkin inilah awal dari sesuatu yang baru.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!