NovelToon NovelToon

KAMAR TERLARANG

HARI TERAKHIR

Suara gemerisik kertas dan ketukan pulpen menjadi musik yang mengiringi sore terakhir Aryan di tempat kerjanya selama tiga tahun. Ia duduk di ruang Personalia, di hadapan Bapak Rian yang wajahnya tampak netral, seolah ini adalah rutinitas yang ia jalani setiap bulan. Di atas meja, sebuah amplop tebal berwarna cokelat, berisi hasil perhitungan akhir kerja kerasnya, dan selembar surat pernyataan pelepasan.

​"Ini semua berkas yang kamu butuhkan, Yan," ujar Bapak Rian, mendorong amplop itu perlahan ke hadapan Aryan. "Cek kembali rincian di lembar ini, pastikan angkanya sesuai dengan yang kamu hitung. Pesangon, uang cuti yang belum terambil, semua ada di sana."

​Aryan mengangguk, namun matanya hanya melihat ke kejauhan, menembus dinding ruangan, seolah mencari jawab atas pertanyaan yang bersarang di benaknya: Lalu, ke mana setelah ini? Angka-angka di kertas itu—jumlah uang yang seharusnya memberinya rasa lega—kini terasa seperti beban yang mematikan. Uang ini adalah waktu, dan waktu sedang habis.

​"Terima kasih, Pak," jawab Aryan, suaranya sedikit serak. Ia mengambil pulpen dan dengan tangan yang sedikit bergetar, ia membubuhkan tanda tangan di tempat yang telah ditandai dengan stabilo kuning. Tindakan kecil itu adalah akhir dari satu babak, penutup permanen pada masa lalunya.

​"Kamu punya rencana, Yan?" tanya Bapak Rian, nadanya kini sedikit melunak, keluar dari peran profesionalnya. "Dengar, kamu staf yang baik. Cuma situasi perusahaan memang sedang tidak menentu. Aku berharap kamu segera dapat tempat yang lebih stabil."

​Aryan menarik napas panjang. "Belum ada, Pak. Baru hari ini saya resmi selesai. Tadinya saya pikir akan ada tawaran perpanjangan, setidaknya kontrak jangka pendek. Jujur, saya bingung. Saya sudah kirim beberapa lamaran daring, tapi responsnya nihil. Mungkin saya harus coba yang di luar bidang saya, ya?"

​"Jangan berkecil hati. Coba fokus ke jaringan yang kamu punya dulu. Kalau perlu surat rekomendasi, jangan ragu untuk menghubungi. Aku dan Bu Tati akan senang hati membuatnya," balas Rian. Ia berdiri, mengulurkan tangan. "Sekali lagi, sukses selalu, Yan."

​Jabat tangan itu terasa final. Aryan mengambil tas ranselnya, memasukkan amplop cokelat itu ke saku terdalam, seolah uang itu bisa menghilang jika tidak dijaga. Saat melangkah keluar dari ruangan, ia bertemu pandang dengan Mbak Sarah, rekan satu divisinya. Mbak Sarah menatapnya dengan pandangan campur aduk antara simpati dan rasa syukur karena bukan dia yang berada di posisi Aryan hari itu.

​"Mau langsung pulang, Yan?" bisik Mbak Sarah, menepuk bahu Aryan. "Aku turut sedih, lho. Kamu orang yang paling rajin di sini."

​"Ya, Mbak. Langsung pulang," kata Aryan sambil memaksakan senyum yang terasa tawar. "Mau ke mana lagi? Cari kerja? Sekarang sudah pukul lima. Toko-toko di mal sudah mau tutup, apalagi kantor."

​"Minum kopi sebentar? Biar rileks sebelum mikirin besok," ajak Mbak Sarah.

​Aryan menggeleng pelan. "Enggak usah, Mbak. Saya harus segera ke ATM, mau lihat berapa sisa saldo asli setelah uang ini masuk. Setelah itu, saya harus duduk tenang dan merencanakan pengeluaran bulan depan. Tiap rupiah penting sekarang."

​Mbak Sarah mengerti. "Baiklah. Kabari aku kalau sudah dapat kabar baik, ya. Nomor aku masih yang lama, kan?"

​"Pasti, Mbak. Terima kasih banyak," ujar Aryan. Ia berbalik dan berjalan menuruni tangga. Setiap langkah terasa berat, seolah ia membawa beban seluruh gedung di punggungnya.

​Saat kakinya menyentuh trotoar di luar kantor, keramaian jalan raya ibukota menyambutnya. Bunyi klakson, teriakan pedagang, dan lalu lintas yang padat seolah mengolok-olok keheningan dan kekosongan di hatinya. Aryan mencari bangku kosong di halte yang berjarak dua ratus meter dari gerbang kantor lamanya.

​Ia mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi perbankan, dan melihat angka yang tertera: Saldo tabungannya, ditambah pesangon, hanya cukup untuk bertahan paling lama tiga bulan, dengan asumsi pengeluaran yang sangat ketat. Uang sewa kamar kost harus dibayar minggu depan. Uang makan. Transportasi untuk wawancara.

​Ia menekan tombol panggil. Tujuannya adalah Bima, sahabatnya.

​"Halo, Bim. Kamu sibuk?" tanya Aryan, mencoba menjaga nada suaranya agar terdengar biasa saja.

​Di seberang sana, terdengar suara musik keras. "Sibuk apanya? Baru selesai main futsal. Tumben, Yan. Ada apa?"

​"Enggak, cuma mau bilang... Hari ini hari terakhir aku di kantor yang lama," kata Aryan. Kali ini, ia tidak bisa menyembunyikan getaran dalam suaranya.

​Hening sejenak. "Wah... serius? Jadi, kamu... menganggur sekarang?" tanya Bima, hati-hati.

​"Ya, bisa dibilang begitu," jawab Aryan. Ia menutup mata. Rasa malu dan takut bercampur. "Uangnya memang lumayan, pesangonnya. Tapi, aku enggak tenang. Aku udah kirim puluhan lamaran ke mana-mana, tapi kayaknya enggak ada yang nyangkut. Aku takut, Bim. Takut banget enggak bisa bayar kosan, takut ngerepotin orang tua di kampung."

​"Tenang dulu, Yan. Jangan panik," Bima mencoba menenangkan. "Tiga bulan itu waktu yang cukup. Besok, kita ketemu. Aku bantu cek koneksi. Mungkin ada kenalan Omku yang butuh staf baru. Pokoknya jangan diam. Tapi yang paling penting, malam ini, jangan pikirin itu dulu. Beri dirimu istirahat."

​"Gimana mau istirahat? Aku merasa gagal. Usia dua puluh lima, harusnya udah bisa mapan, atau setidaknya stabil. Aku malah mundur ke nol lagi. Harus mulai dari CV kosong lagi, wawancara lagi," keluh Aryan.

​"Semua orang pernah di posisi itu, Yan," tutup Bima. "Jutaan orang di kota ini juga. Besok pagi, kamu mulai cari. Malam ini, aku telepon kamu lagi. Sekarang, kamu naik angkutan, pulang, dan makan yang enak."

​Aryan mengakhiri panggilan itu, namun kekhawatiran itu tetap berputar-putar di kepalanya. Sambil menatap amplop cokelat di sakunya, ia tahu, hari esok adalah pertarungan baru. Ia harus menemukan pekerjaan apa pun—di hotel, di kafe, di mana saja—sebelum uang itu habis dan ia benar-benar terpuruk. Langkah yang ia ambil dari halte menuju stasiun kereta api terasa membawa harapan, namun juga ketakutan yang mencekik. Ia harus bergerak, dan ia harus segera menentukan arah hidupnya yang baru.

Malam merayap lambat. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan ketika ponsel Aryan bergetar, memecah kesunyian kamar kosnya yang remang-remang. Nama Bima muncul di layar. Itu adalah panggilan yang dijanjikan beberapa jam lalu.

​"Halo, Bim," jawab Aryan, nadanya terdengar sedikit lebih baik setelah sempat tidur sebentar. Ia masih terbaring telungkup di kasur, menatap kosong tumpukan baju kotor.

​"Yan, bagus kamu angkat. Aku tahu kamu lagi galau dan enggak mau diganggu, tapi aku ada ide," suara Bima terdengar bersemangat di seberang sana, jauh berbeda dari kepasrahan Aryan. "Aku lagi di 'Selasar Senja'. Kafe yang baru buka dekat perempatan sana. Kamu datang sekarang. Kita perlu ngomong empat mata di tempat yang lebih netral."

​Aryan mendesah. "Sekarang? Sudah malam, Bim. Aku malas keluar. Aku cuma mau tidur dan bangun besok pagi dengan harapan ada email panggilan kerja."

​"Justru itu! Kamu butuh udara segar. Aku enggak terima kamu cuma di kamar, mikirin nasib sambil natap langit-langit. Buruan ganti baju! Aku tunggu. Ada yang perlu kita bahas serius, dan ini soal perut kamu, Yan." Bima menggunakan nada tegas yang biasa ia pakai saat main futsal dan harus menyusun strategi mendadak.

​Aryan tahu Bima tidak akan menyerah. Setelah beberapa saat bimbang, ia akhirnya berkata, "Oke, oke. Aku datang. Beri aku waktu, satu jam setengah. Aku harus mandi biar kelihatan kayak manusia lagi."

​Bima tertawa lega. "Siap, Bos. Aku pesankan makanan favoritmu, ya. Jangan lama-lama."

​Satu setengah jam kemudian, Aryan tiba di "Selasar Senja". Kafe itu ramai namun nyaman. Musik akustik mengalun pelan, menciptakan suasana yang hangat. Dari ambang pintu, matanya langsung menemukan Bima yang sedang duduk di sudut, diapit dua cangkir kopi mengepul dan sepiring carbonara yang sudah terhidang di meja kecil.

​"Tepat waktu!" sambut Bima, tersenyum lebar. Ia menarik kursi di hadapannya. "Duduk, Yan. Sudah aku siapkan. Ini yang kamu suka, kan? Jangan protes, makan dulu. Kita bahas masa depan setelah perutmu terisi."

​Aryan menjatuhkan diri ke kursi. Ia memperhatikan piring di hadapannya. Perutnya memang lapar, tapi ada perasaan tidak nyaman yang lebih besar daripada rasa lapar itu. Wajahnya jelas menunjukkan kebingungan dan keputusasaan. Dia merasa aneh makan enak saat masa depan finansialnya buram.

​"Makasih, Bim," ujar Aryan pelan. "Tapi, kamu enggak perlu repot begini."

​"Repot apanya? Kita sahabat dari SMP. Makan dan minum. Aku enggak tega lihat mukamu yang udah kayak orang baru diputusin pacar padahal kamu cuma dipecat," canda Bima, berusaha mencairkan suasana. "Aku tahu kamu stres, Yan. Tapi percuma kalau cuma dipendam di kamar. Coba luapkan semua di sini."

​Aryan mengambil garpu, tapi hanya mengaduk-aduk pasta. "Aku enggak tahu, Bim. Aku sudah kirim lamaran ke mana-mana. Semuanya sepi. Aku rasa CV-ku ini kurang keren, atau mungkin nasibku memang lagi apes. Aku bingung harus mulai dari mana lagi."

​Bima menggeser kursinya lebih dekat. "Dengar. Omku pernah bilang, kalau kamu mau dapat pekerjaan yang cepat, jangan cuma bergantung ke portal karier besar. Coba yang namanya aplikasi perekrut online yang khusus pekerja jasa. Dia itu kan butuh staf cepat. Kamu kan sudah pengalaman di administrasi dan front desk."

​Aryan menatap Bima dengan mata skeptis. "Aplikasi? Maksudmu, yang kayak buruh harian itu? Bim, aku lulusan D3, masa harus kerja serabutan begitu? Aku mau kerja yang jelas jenjang kariernya."

​"Siapa bilang serabutan?" tegas Bima, meninggikan suaranya sedikit, namun tetap ramah. "Ini bukan buruh harian, ini platform yang menghubungkan tenaga jasa cepat. Ada banyak hotel baru, apartemen, atau bahkan penginapan besar yang butuh staff dadakan atau kontrak enam bulan. Mereka enggak sempat pasang iklan besar-besaran, mereka pakai aplikasi itu."

​Aryan masih ragu. Ia menghela napas panjang. "Aku enggak yakin, Bim. Rasanya... kayak enggak profesional."

​Bima meletakkan sendoknya. Ia menatap lurus mata sahabatnya. "Aryan. Ini darurat. Kamu bilang uangmu cuma cukup untuk tiga bulan. Kamu tidak punya waktu untuk gengsi. Kamu harus masuk ke sistem apa pun yang bisa memberimu pemasukan. Apa ruginya? Kamu taruh CV-mu di sana, dan kamu tetap cari kerja di tempat yang lebih 'profesional'. Setidaknya, ini jaring pengaman."

​"Maksudmu, aku harus pasang CV-ku di dua tempat?" tanya Aryan.

​"Tentu saja! Kamu harus punya rencana A, B, C, sampai Z. Janji denganku, malam ini juga, setelah kamu pulang dari sini, kamu unggah CV-mu di aplikasi itu. Aku kirimkan tautannya," paksa Bima, seraya mengeluarkan ponselnya. "Aku enggak mau dengar alasan apa pun. Ini jalan cepat. Paham?"

​Ketegasan Bima akhirnya memecah keraguan Aryan. Dia merasa bersalah telah membuat sahabatnya begitu peduli. "Oke, oke. Aku janji. Nanti malam aku unggah," kata Aryan, akhirnya tersenyum tipis.

​"Nah, gitu dong!" Bima menepuk tangan sekali. "Sudah, jangan mikirin itu lagi. Itu urusan nanti malam. Sekarang, fokus ke makananmu. Sambil makan, kita ngobrol yang lain. Gimana kabar kampungmu? Om Tarno masih suka mancing di sungai belakang rumah?"

​Obrolan mereka pun berubah haluan. Mereka larut dalam nostalgia masa lalu, membahas kenangan SMP, guru-guru aneh, hingga lelucon lama. Tawa Aryan mulai terdengar lagi, dan untuk sementara, beban kehilangan pekerjaan itu terangkat. Ia memakan pastanya dengan lahap, menikmati kopi yang hangat, dan malam itu, di bawah temaram lampu kafe, ia menemukan kembali sedikit harapan, meski pekerjaan barunya masih menjadi tanda tanya besar.

Panggilan Mendadak

Pagi itu, mentari belum sepenuhnya menghangatkan dinding kamar kos Aryan. Jarum jam menunjukkan angka delapan tepat ketika Aryan tersentak bangun. Ritual pagi yang biasa ia lakukan adalah mencuci muka dengan air dingin untuk mengusir sisa kantuk, lalu segera meraih ponsel yang semalam ia geletakkan di samping bantal.

​Semalam, sesuai janji yang ia buat di bawah tekanan Bima, ia telah mengunggah data dirinya—CV, portofolio singkat, dan surat lamaran umum—ke dalam aplikasi pencari kerja cepat yang direkomendasikan sahabatnya itu. Hatinya masih meragukan efektivitas platform tersebut, namun kebutuhan yang mendesak menenggelamkan gengsinya.

​Layar ponsel menyala. Ia membuka satu per satu notifikasi: pesan dari grup futsal, promosi belanja online, dan beberapa e-mail tidak penting. Ia kembali ke laman utama aplikasi lowongan itu. Nihil. Nol pembaruan. Nol pesan masuk. Nol panggilan yang diproses.

​Rasa dongkol dan sedikit rasa "sudah kuduga" menyeruak di dadanya. Aplikasi bodoh. Buang-buang waktu. Ia meletakkan ponsel dengan sedikit kasar di meja kecil. Tidak ada gunanya menatap layar. Perutnya berteriak minta diisi. Ia harus segera mencari sarapan.

​Aryan beranjak keluar. Udara pagi kota terasa dingin dan berdebu. Ia berjalan ke warung Nasi Uduk langganannya di ujung gang. Setelah mengantre sebentar, ia kembali dengan sebungkus nasi uduk hangat, tiga buah gorengan renyah, dan segelas air mineral. Itu adalah kemewahan kecil yang kini harus ia hitung pengeluarannya.

​Setibanya di kamar kos, ia meletakkan semua belanjaannya di meja. Langkah pertamanya adalah mengambil piring bersih dari tumpukan cucian piring, karena makan langsung dari bungkus kertas terasa kurang pantas.

​Saat ia baru saja meraih piring, ponselnya yang tergeletak di kasur berkedip. Bukan sekadar kedipan pesan WhatsApp, melainkan notifikasi push dari aplikasi yang sama sekali tidak ia harapkan. Awalnya, ia mengira itu hanya pesan masuk dari Bima yang menanyakan apakah ia benar-benar sudah mengunggah CV.

​Namun, sesuatu yang ganjil menarik perhatiannya. Lambang notifikasi itu berbeda, bukan logo WhatsApp. Ia segera kembali ke kasur, menjatuhkan piring dengan hati-hati.

​Layar ponselnya menampilkan pemberitahuan singkat dan formal: "Panggilan Wawancara – Posisi Staf Layanan Tamu."

​Jantung Aryan berdebar kencang, perpaduan antara terkejut dan rasa tidak percaya. Ia membuka aplikasi tersebut. Pesan itu merinci segalanya: sebuah hotel mewah yang namanya disamarkan, kita sebut saja "The Grand Elegance Residency", mengundang dia untuk wawancara kerja pada sore hari itu juga. Tepatnya pukul tiga sore.

​"Astaga! Secepat ini?" gumam Aryan, matanya memindai alamat yang dicantumkan. Itu adalah hotel yang sangat terkenal karena kemewahan dan reputasinya, terletak di kawasan elite pusat kota. Hotel yang, sejujurnya, tidak pernah ia bayangkan akan melamarnya.

​Kebingungan melanda. Apakah ini benar? Apakah ini penipuan? Begitu cepat responsnya, padahal ia baru mengirimkan CV tidak sampai dua belas jam yang lalu. Ia segera menelepon Bima.

​Panggilan tersambung setelah dering kedua. "Halo, Yan! Gimana? Udah lihat notif WhatsApp dari aku? Aku kirim link wawancara online yang lain juga," sapa Bima riang.

​"Bim, bukan itu. Aku... aku dapat notifikasi. Dari aplikasi yang kamu suruh aku pakai semalam," kata Aryan, nadanya antara tegang dan girang.

​"Oh, ya? Bagus dong! Notif apa? Sudah ada yang tertarik?" tanya Bima antusias.

​"Bukan cuma tertarik. Mereka panggil aku wawancara! Hari ini, pukul tiga sore. Di The Grand Elegance Residency, Bim. Kamu tahu kan, hotel yang itu? Yang megah banget. Mereka butuh Staf Layanan Tamu."

​Hening sesaat di seberang sana.

​"Serius, Yan? Hotel itu?" Bima terdengar terkejut, namun kemudian suaranya berubah menjadi sangat mendukung. "Gila! Aku bilang juga apa. Aplikasi itu kencang banget kalau urusan hotel dan perhotelan. Mereka selalu butuh orang cepat."

​"Tapi, Bim, ini aneh. Baru semalam. Apa aku harus datang? Aku takut ini scam atau semacamnya," tanya Aryan, nada keraguannya terdengar jelas.

​"Dengar, Yan," Bima berbicara dengan tegas. "The Grand Elegance Residency itu hotel besar. Mereka tidak akan main-main. Kemungkinan mereka sedang kekurangan staf mendadak atau ada proyek besar. Ini kesempatan emas, Yan. Kesempatan yang tidak datang dua kali. Kalau memang mereka butuh orang cepat, kamu harus tunjukkan bahwa kamu adalah orang itu."

​"Jadi... aku harus pergi?"

​"Seratus persen! Datang. Berikan kesan terbaikmu. Bawa CV cetak yang rapi, pakai baju terbaikmu. Anggap ini rezeki dari Tuhan setelah kamu dipecat. Jangan buang kesempatan ini, Yan! Aku dukung seribu persen!" semangat Bima meledak-ledak.

​Dorongan kuat dari Bima berhasil memadamkan sisa keraguan di benak Aryan. Benar. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Ini adalah jalan keluar yang sangat cepat.

​"Oke, Bim. Aku akan datang. Terima kasih banyak, serius. Aku enggak tahu harus gimana kalau kamu enggak maksa aku semalam," ucap Aryan, kini rasa syukur menggantikan kebingungannya.

​"Sama-sama. Sekarang, matikan telepon ini. Kamu sarapan dulu, tenangkan pikiran. Jangan panik. Pukul satu kamu mulai siap-siap. Nanti malam kita video call, aku tunggu kabar baik darimu!" tutup Bima.

​Aryan menutup panggilan itu. Ia memandang sebungkus nasi uduk yang mulai mendingin di atas meja. Rasa lapar yang tadi tertunda kini kembali menyeruak, namun kali ini bercampur dengan rasa optimisme yang membara. Ia mengambil piring, membuka bungkusan, dan duduk bersila. Pagi itu, sarapan nasi uduk terasa paling nikmat karena disajikan bersama harapan baru yang besar. Ia harus makan dengan tenang, mengisi tenaga, dan mempersiapkan diri untuk pintu rezeki baru yang baru saja terbuka lebar.

KEDATANGAN ARYAN

Tepat pukul satu siang, Aryan sudah berdiri di depan cermin. Kemeja putih terbaiknya disetrika licin, celana bahan hitamnya rapi, dan rambutnya disisir klimis. Ia terlihat profesional, namun di balik penampilannya, ada gelombang kecemasan yang berputar-putar. Ia menghabiskan satu jam penuh hanya untuk merapikan berkas-berkas lamarannya, mencetak ulang CV di print terdekat, dan menyusun semua sertifikatnya ke dalam map plastik yang bersih.

​Tiga puluh menit menjelang jadwal wawancara, Aryan sudah duduk di dalam angkot, pandangannya terpaku pada jendela yang bergerak cepat. Jantungnya berdebar, bukan hanya karena harapan, tapi juga karena keraguan yang ditanamkan Bima semalam: Kenapa prosesnya begitu cepat?

​Ketika angkot itu berbelok memasuki area pusat kota yang prestisius, mata Aryan langsung menangkap fasad bangunan hotel yang menjulang tinggi, The Grand Elegance Residency. Hotel itu jauh lebih megah dari yang ia bayangkan. Pintu kaca otomatisnya berkilauan, dan lobi dalamnya terlihat luas, mewah, dan hening. Aryan menelan ludah. Ini adalah hotel kelas atas, tempat orang-orang sepertinya hanya bisa melihat dari luar.

​Ia turun, merapikan kemejanya sekali lagi, dan berjalan melewati gerbang. Di pos keamanan, seorang petugas keamanan bertubuh besar dan tegap menatapnya tanpa ekspresi.

​"Selamat sore, Pak. Saya ada panggilan wawancara untuk posisi staf layanan tamu pukul tiga ini," kata Aryan, mencoba terdengar percaya diri.

​Petugas keamanan itu mengerutkan dahi. Ia mengambil buku catatan dan membolak-baliknya dengan suara gemerisik. "Wawancara? Posisi staf? Kami tidak ada jadwal penerimaan karyawan hari ini, apalagi untuk posisi front liner. Semuanya diurus oleh kantor pusat, dan kami biasanya tahu jauh-jauh hari."

​Dunia seolah berhenti berputar bagi Aryan. Sesuatu yang dingin merayapi punggungnya. Keraguan yang tadi ia singkirkan kini kembali menghantamnya dengan keras. Aku sudah menduga ini. Ini jebakan. Aku ditipu.

​"Tapi... saya dihubungi melalui aplikasi rekrutmen cepat. Dikatakan ini mendesak," Aryan mencoba menjelaskan, suaranya kini terdengar ragu. Ia menunjukkan notifikasi di ponselnya.

​Petugas itu hanya menatap layar ponsel itu sekilas, lalu menggeleng. "Saya tidak tahu menahu soal itu. Coba Bapak tunggu di trotoar. Kalau memang ada, biasanya akan ada yang menjemput dari dalam."

​Dengan perasaan campur aduk antara malu, marah, dan takut, Aryan menuruti perintah itu. Ia duduk di salah satu bangku semen di trotoar di luar gerbang hotel. Ia segera mencari kontak Bima.

​"Bim, ini gawat. Aku udah di depan hotel. Satpamnya bilang nggak ada wawancara hari ini. Mereka bilang mereka nggak tahu apa-apa soal lowongan ini," lapor Aryan, suaranya berbisik penuh kecemasan.

​"Tunggu, Yan, jangan panik dulu," respons Bima, suaranya terdengar dari jauh karena ia mungkin sedang dalam perjalanan. "Mungkin itu adalah proses rekrutmen rahasia. Beberapa hotel mewah memang sengaja tidak mengumumkannya secara terbuka di pos keamanan. Mereka pasti ingin melihat seberapa serius kamu. Pokoknya, jangan bergerak dari sana! Tunggu sebentar lagi. Waktu wawancara kan belum masuk."

​"Tapi, Bim, ini aneh. Aku merasa kayak orang bodoh duduk di trotoar sambil bawa map. Kalau memang rekrutmen rahasia, kenapa enggak ada peserta lain? Cuma aku doang," keluh Aryan, pandangannya menyapu lalu lintas yang padat.

​"Justru itu poinnya! Mungkin mereka hanya butuh satu orang, dan kamu yang terpilih. Tunjukkan kalau kamu sabar dan profesional. Jangan pergi, Yan. Tunggu saja. Palingan cuma lima belas menit lagi," Bima memaksa.

​Aryan menghela napas panjang, menuruti Bima sekali lagi. Ia kembali duduk, pikiran kacau balau. Ia merasa seperti sedang menunggu untuk dipecundangi.

​Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam mewah berhenti perlahan di depan gerbang. Petugas keamanan yang tadi sempat menolaknya kini bergegas mendekati Aryan.

​"Bapak Aryan?" tanya petugas itu, nadanya kini lebih hormat. "Silakan masuk, Bapak. Maaf, tadi saya tidak mendapat pemberitahuan. Ada yang menunggu Bapak di dalam. Silakan ikuti saya."

​Aryan bangkit, terkejut. Ternyata Bima benar. Ia buru-buru mengikuti petugas itu ke dalam lobi. Kemewahan lobi membuatnya merasa seperti alien, tapi petugas itu membawanya bukan ke front desk, melainkan ke sebuah koridor samping yang mengarah ke bagian administrasi.

​Ia diantar masuk ke sebuah ruangan kecil yang tampak seperti kantor, namun kosong. Hanya ada meja kerja besar, komputer, dan seorang wanita paruh baya berusia sekitar empat puluhan. Wanita itu mengenakan blazer hitam rapi, tampak elegan dan dingin.

​"Silakan duduk, Tuan Aryan," sambut wanita itu dengan senyum kecil yang nyaris tidak terlihat. "Saya Nyonya Lia, Kepala Administrasi. Saya yang mengurus panggilan Anda."

​Aryan duduk. Matanya berkeliling, mencari-cari peserta wawancara lain. Tidak ada. Hanya ada dia dan Nyonya Lia di ruangan itu. Keraguan kembali menyerang, namun ia berusaha menutupinya.

​"Terima kasih atas kesempatan ini, Nyonya Lia. Saya Aryan," ujarnya, menyerahkan map berkas.

​Proses wawancara berjalan cepat dan tidak terduga. Nyonya Lia tidak banyak bertanya soal pengalaman teknis. Ia lebih fokus pada kesiapan mental, apakah Aryan siap bekerja dalam lingkungan yang "menuntut keheningan" dan "tidak biasa". Aryan menjelaskan dirinya dengan jujur, tentang kebutuhannya yang mendesak dan semangatnya untuk bekerja.

​Nyonya Lia mengangguk pelan. "Kami membutuhkan seseorang yang bisa mulai segera, Tuan Aryan. Dan kami tertarik pada keseriusan Anda. Anda diterima. Besok pagi, pukul sembilan, Anda mulai bekerja."

​Aryan terperangah. Begitu mudah? Begitu cepat?

​"Besok?" tanyanya, tidak percaya.

​"Ya. Besok pagi. Ini seragam Anda. Saya harap Anda menyimpannya dengan baik. Besok pagi, Anda datang ke sini dan saya akan menjelaskan secara detail tugas-tugas Anda. Malam ini, Anda istirahat saja." Nyonya Lia menyerahkan sebuah kotak tipis berisi kemeja dan celana seragam staf.

​Aryan keluar dari hotel itu dengan perasaan melayang sekaligus tertekan. Di satu sisi, ia memiliki pekerjaan. Di sisi lain, seluruh proses ini—satpam yang tidak tahu, hanya ada dirinya sendiri, wawancara yang terlalu singkat—terasa sangat tidak wajar.

​Ia segera menelepon Bima saat ia sudah berada di luar area hotel.

​"Aku keterima, Bim! Aku mulai besok," lapor Aryan.

​"YES! Aku bilang juga apa! Selamat, Yan!" seru Bima gembira.

​"Tapi, Bim, dengerin dulu. Ini aneh banget. Nggak ada peserta lain. Cuma aku doang. Satpamnya tadi pagi nggak tahu apa-apa. Prosesnya cuma sepuluh menit, dan aku langsung disuruh kerja besok," jelas Aryan, kebingungan di suaranya tak tertahankan. "Hotel semewah itu, rekrutmennya kok kayak urgent banget dan misterius gini?"

​Bima tertawa di seberang sana. "Anggap saja kamu beruntung, Yan! Mungkin mereka ada staf yang mendadak berhenti karena alasan pribadi. Jangan cari-cari masalah. Kadang hidup itu memberikan kejutan. Kamu dapat pekerjaan! Itu yang penting. Besok kamu datang, jalani, dan jangan banyak tanya. Kamu sudah janji untuk bekerja, kan? Jangan mundur cuma karena feeling nggak enak yang nggak jelas dasarnya."

​Kata-kata Bima, meskipun terdengar pragmatis, berhasil menenangkan sedikit pikiran Aryan. Ya. Ia memang sudah berjanji. Ia butuh pekerjaan. Mau tidak mau, aneh atau tidak, besok ia harus datang. Ia harus mulai bekerja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!