NovelToon NovelToon

ANA - Terlanjur Salah Pilih

Bab 1 - Datang ke Mess

Christiana Marie Soedibyo turun dari mobil Toyota Avanza berwarna putih. Pada kedua sisi mobil tertulis logo kotak berwarna biru muda dan coret garis lengkung kecil berwarna oranye. Sedangkan di sebelah logo tersebut bertuliskan Atlantic.

Tangannya mengangkat bagasinya yang berupa stroller bag berwarna biru muda. Setelah bagasinya menyentuh lantai, dia segera menyeret mengikuti Pak Huda.

“Itu mess nya, Miss.” 

Huda yang merupakan staff Personalia Hotel Atlantic melangkahkan kaki sambil membawa 2 buah anak kunci di tangannya. 

Dia memimpin memasuki sebuah ruko berlantai 3, melewati pintu belakang. Ana, nama panggilan dari Christiana mengikuti sambil menyeret bagasinya. 

Setelah melewati beberapa ruangan yang berpintu, Huda berhenti di sebuah kamar lalu memasukkan kuncinya untuk membuka ruangan tersebut. 

“Saat ini baru kamar ini yang siap untuk dipakai Miss. Memang agak kecil. Ada ruangan yang lebih besar di lantai 2 tapi sedang ada perbaikan. Nanti jika kamar di atas sudah siap, Miss boleh pindah ke atas.”

Ana maju sambil menggelindingkan bagasinya memasuki kamarnya, Ana menebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan berukuran 4 x 4 meter persegi itu. Dilihatnya ada single bed menempel salah satu dinding, lalu ada lemari dari kayu sederhana dua pintu. Salah satu pintunya terdapat cermin besar di depannya. 

“Ini hanya kamar sementara, Miss,” sambung Huda buru buru ketika melihat tatapan Ana pada kipas angin besar yang ada di dinding atas setengah meter dari pintu masuk. “Untuk level B seperti Miss seharusnya memang mendapatkan kamar yang lebih luas. Tapi ya begitulah, mohon maaf, mungkin butuh sekitar 1 Minggu lagi agar kamar di atas siap.”

Ana tersenyum, “Baik Pak. Ada lagi yang harus saya ketahui tentang peraturan di mess ini. Maklum Pak, ini saya pertama kali merantau. Sebelumnya saya selalu kerja di Yogya.”

Huda tersenyum ramah, “Mari saya tunjukkan beberapa fasilitas di sini.”

“Di sini tempat untuk mencuci baju.” Huda menunjukkan sebuah mesin cuci. Lalu ia berjalan tak jauh dari mesin cuci, “Di sini tempat menjemur pakaiannya. Setiap lantai akan difasilitasi 2 mesin cuci di sebelah kanan dan kiri tangga. Tapi jemurnya ya di sini untuk lantai satu ini.”

Ana agak terkejut. “Kok cuma sedikit tempat jemurnya Pak? Satu lantai ada berapa penghuni ini?”

“Empat Miss yang di sisi kiri  ini. Lantai 2 ada 3 kamar. Ada 1 mesin cuci dan tempat jemurnya sendiri di tiap sisi. Di lantai 3 hanya 2 kamar di setiap sisi. Di sisi kiri adalah kamar untuk Ass. Chief Engineer dan Housekeeping Manager. Mereka juga ada 1 mesin cuci dan tempat jemur untuk mereka berdua. Di sisi kanan juga sama seperti sisi kiri.”

“Disediakan televisi untuk bersama dengan jaringan indovision di depan, ruangan tempat kita masuk pertama kali ke dorm ini.”

“Tapi tak ada yang menonton ya,” sahut Ana karena dia tadi sudah melihat ketika baru masuk mess tadi.

“Saat ini masih jam kerja. Jam 9 malam biasanya akan ada satu dua yang menonton. Rame jika ada pertandingan bola,” cerita Huda. “Kalau tidak ada pertandingan bola memang sepi. Karena kebanyakan mereka mempunyai tv di kamar masing-masing.”

“Kok kamar saya tidak ada tv-nya,” sahut Ana otomatis.

Huda tersenyum sopan, “Tv disediakan hanya bagi yang level A saja, Miss. Tapi bagi yang level B dan C, biasanya mereka membeli televisi sendiri lalu ditaruh di dalam kamarnya. Makanya yang sering menonton di depan adalah karyawan level D ke bawah karena mereka sekamar  berdua, berempat, dan bahkan berenam. Jadi tidak ada dari mereka yang berniat membeli televisi sendiri.”

Ana merasa tertarik dengan penjelasan Huda. “Lalu dimana letak kamar mereka, Pak? Maksud saya buat yang level D ke bawah.”

“Lewat ke lorong itu, Miss.”

Saat itu kebetulan dua orang laki-laki masuk lewat pintu masuk mess. Mata mereka langsung merasa tertarik dengan kehadiran seorang wanita baru. 

“Hud, ini sekretarisnya Duncan ya?” 

“Iya,” jawab Huda sambil memutar badannya menghadap Ana. “Perkenalkan ini Hendra bagian engineering. Kalau ada masalah tentang segala hal tentang listrik atau mesin cuci ngadat gitu, bisa minta tolong pada dia. Mereka tinggal di lantai 2 sayap kanan.” Lalu Huda menambahkan, “Di mess ini ada istilah sayap kiri buat golongan karyawan level A, B dan C. Sedang sayap kanan untuk golongan D, E, dan F.”

Kedua laki-laki itu jalan mendekat.

“Kenalan Kak. Aku Hendra.” Pemuda dengan perawakan tinggi, ceking dan berkulit sawo matang mengajak untuk bersalaman.

“Kalau aku Riadi. Aku di bagian butler.” Pemuda yang tinggi besar dan sedikit berisi itu ikut menyodorkan tangannya. 

“Ana. Saya baru saja datang dari Yogyakarta. Salam kenal.”

“Kalian masuk sore, ya?” tanya Huda.

“Aku libur,” jawab Hendra. “Riadi yang masuk sore.”

Sambil melihat hpnya, “Aku ada training jam 2 nanti. Hen, kamu free nggak sekarang? Aku nitip Miss Ana ya. Sekalian bantu bantulah dia, karena dia masih baru di Batam.”

“Bolehlah.”

Huda menganggukkan sopan ke arah Ana sebelum melangkahkan kakinya keluar melewati pintu dorm yang berwarna abu abu muda.

Riadi terlihat menyesal sambil berkata, “Sebetulnya aku masih ingin lebih mengenal Miss. Sayang aku harus segera mandi dan bersiap-siap. Udah di WA sedari tadi, karena ada inventory.” Riadi memalingkan badannya sambil mendelikkan matanya  menghadap Hendra. 

“Kamu jangan ganggu lho, Hen!” Lalu  berbalik kepada Ana. “Miss, hati-hati ya sama Hendra.”

“Ah sirik lah, kamu.” Hendra terkekeh sementara tangannya bergerak-gerak seolah olah mengusir Riadi agar segera pergi. “Hush, hush!! Sana, sana pergi. Mandi sana,  cepet, siap siap!”

“Mentang-mentang cakep.” Riadi memajukan bibir bawahnya sambil mulai melangkah menjauh. Tangannya dilambaikan ke arah Ana.

Ana tersenyum sambil ikut melambaikan tangannya. Setelah Riadi menghilang ke lorong dorm, Ana melemparkan senyum ke arah Hendra. Ia tak tahu harus membuka percakapan apa lagi pada Hendra, sebab ia adalah seorang introvert yang sangat sulit untuk memulai perkenalan kepada orang baru.

Tetapi untungnya, Hendra adalah pribadi yang supel. Dengan wajah ramahnya, dia segera akrab dengan Ana. “ Miss mana kamarnya, biar sekalian saya bantu bersihkan dan cek apakah semua listrik sudah berfungsi.”

“Di sini.” Ana jalan mendahului ke kamar yang telah ditunjukkan Huda tadi.

“Wah, kok dapatnya di sini, Miss. Ini kamarnya kecil lho. Miss sekretaris Duncan kan. Level B harusnya di lantai 2.” Hendra mendecak kesal. “Mana kamar buat cewek lagi. Huda ini gimana sih.”

“Ah, tak apalah. Cukup kok buat aku. Eh, Hendra, panggil aku Ana saja. Jangan Miss miss gitulah.”

Hendra nyengir. “Yah kan baru kenal.”

“Tapi bener lho, minta ganti sama Huda, jangan mau dapat kamar ini. Udah kecil dekat tangga lagi. Maklum pasti banyak yang akan iseng mau intip orang ganti baju dari tangga.”

Ana memperhatikan kertas lebar berwarna coklat yang tertempel di dinding atas. Sepertinya kertas coklat itu ditempel untuk menghalangi agar orang orang yang naik turun tangga tak bisa mengintip orang yang di dalam kamar.

 “Iya juga ya… ventilasi itu bisa buat ngintip orang yang lagi tidur dan ganti baju. Betul juga ucapan kamu, Bang  Hendra.”

Bab 2 - Jumpa dengan Aris

Baru saja Ana menyelesaikan ucapan kekuatirannya, bunyi langkah kaki menuruni tangga terdengar.   

Seseorang lelaki berusia sekitar 25 tahun berpakaian seragam engineering melewati kamar Ana yang pintunya terbuka.

“Oh sudah terisi lagi ya kamarnya,”  kata laki-laki itu berhenti di depan pintu. Tubuhnya tinggi, berkulit cukup terang, wajahnya terlihat teduh dan cukup tampan. 

“Hendra, kamu di sini. Hari ini kamu libur kan.”

“Iya.”

“Siapa yang ngisi?” tanya laki-laki itu lagi. Ia terdiam sesaat mengamati  Ana. “Oh, pasti sekretaris Mr. Duncan ya. Yang dari Yogya, benar?” 

 “Wah, kok tau Pak,” celetuk Hendra.

“Disebut-sebut pas morning briefing.” Lelaki itu mengulurkan tangannya. “Aku Aris. Ini Mbak Christiana kan?”

Ana mengangguk dengan sedikit malu-malu. Wajah Aris yang tampan membuat Ana grogi.  

“Salam kenal.” Ana tersipu sambil menyambut jabat tangan Aris. “Saya Ana.”

Hendra mendengus, “Wah Pak Aris, tau juga ya info kalau Ana dari Yogya. Mentang mentang cewek bening.”

Aris tertawa. “Lha kan kalau pas morning briefing kan Pak Yoga atau Huda pasti menyampaikan laporan terbaru. Ya aku taulah.”

“Mbak Ana, dapatnya kamar ini ya?” tanya Aris sambil mengerutkan kening. Dia menatap tempelan kertas coklat yang sedikit robek di atas. Wajahnya tampak memikirkan hal yang sama seperti Ana sebetulnya.

“Kata Pak Huda tadi, ini kamar sementara saja karena kamar untuk saya yang di lantai 2 masih diperbaiki.”

“Oh itu kamarnya Vero dulu.” Aris mengangguk-angguk. “Buat Mbak Ana ya. Oke, nanti aku akan segera mengatur anak buah saya agar mempercepat perbaikannya. Ku usahakan dalam 2 hari, selesai.”

“Ck,” cibir Hendra. “Karena cakep terus dikebut.”

Aris menatap Hendra sambil menghela napas. Lalu dengan gerakan isyarat ia menunjuk-nunjuk ventilasi yang berhadapan dengan tangga.

“Hendra, nanti kamu yang benerin kamarnya besok pagi. Berangkatlah setelah briefing pagi. Ajak satu staf lagi. Shift pagi kan?”

“Siap bos.” Hendra segera memberi sikap hormat. “Bos kenapa ada di dorm?”

“Ambil proposal ketinggalan.” Aris mengangkat tinggi segepok kertas di tangan kirinya. “Hen, Mbak Ana aku kembali ke hotel lagi ya. Kamar atas akan ku percepat perbaikannya.”

“Terimakasih banyak buat dukungannya, Pak,” Ana menundukkan kepalanya dengan hormat.

“Aku pergi dulu.” Aris melangkah menjauh dari mereka sambil  melambai-lambaikan tangannya.

Ana memperhatikan punggung Aris yang makin menjauh. “Siapa dia? Atasan Hendra ya, karena dipanggil.”

“Dia Pak Aris, asisten Chief Engineer. Bener sih dia itu bos kecilku. Selain ada juga bos besarku Pak Syamsul.” 

Tampang Hera berubah jadi sedikit murung. “Pasti Mbak Ana naksir ya sama Pak Aris. Dia memang ganteng. Badannya pun bagus, ideal. Kaum hawa pasti tergoda.” 

Hendra menghela napas pasrah. “Nasib, nasib, baru saja mau mulai berusaha udah keok duluan dalam waktu 30 menit.”

Ana diam saja mendengarkan gumaman Hendra.

“Sudahlah, sekarang aku mau mengecek kamarmu mm eh… Mbak Ana? Boleh aku panggil Mbak Ana atau aku harus panggil Miss?”

“Panggil Ana saja. Miss miss gitu kayak panggilan buat guru TK atau SD.”

Selanjutnya dengan dibantu Hendra, Ana membereskan kamarnya sampai siap dipakai. Dari stop kontak yang kurang berfungsi, lampu kamar yg mulai menghitam sampai kunci pintu kamar yang seret.

  Ternyata  Ana dengan mudah nyaman berteman dengan Hendra. Ana yang introvert dan sulit untuk bisa membuka  pembicaraan terlebih dahulu sangat cocok dengan kepribadian Hendra yang sangat extrovert dan easy going.

“Nanti jam 6, ku ajak pergi ke warung makan yang sering anak anak Atlantis untuk makan ya. Tak jauh dari sini. Sekarang istirahat sebentar, mandi dulu. Aku juga mau mandi dulu. Jam  5.30 aku jemput ke sini.”

“Makasih banget lho Hendra. Seneng aku, baru datang sudah dapat teman sebaik kamu.”

Ana mandi untuk pertama kalinya di Batam. Setelah itu ia mengenakan celana loose jeans berwarna denim dan kemeja broken white, dengan wajahnya diberi moisturizer dan bedak.  

Ana sudah siap, jadi ia membuka lebar pintu kamarnya, menunggu kedatangan Hendra.

Singkat cerita, Ana dan Hendra berjalan kaki sekitar 10 menit dari dorm mereka ke warung makan yang menjadi langganan bagi pekerja sekitar, termasuk karyawan Hotel Atlantic.

Warung itu terletak agak masuk di jalan yang sempit. Lebar jalannya hanya cukup untuk dua mobil seukuran Avanza yang di jajar. Sedang sepanjang jalan menuju ke warung itu juga tidak mulus. Walaupun beraspal, tetapi sudah sudah banyak kerusakan, akibat hujan lebat juga kendaraan yang lalu lalang di atasnya.

Begitu memasuki warung, Ana bisa melihat ada sekitar 10 meja besar dengan 6 kursi plastik yang mengelilingi setiap meja. Di sana juga tersedia etalase dengan begitu banyak jenis masakan, sayur sayuran, lauk pauk yang diolah dengan berbagai cara, berkuah, rebusan, gorengan, bakaran. Sangat komplet.

 “Wow! Amazing!” Ana melebarkan matanya dengan cukup kagum. “Rekomendasi yang bagus sekali Hendra. Aku bener bener senang di hari pertama aku datang langsung tahu di mana aku cari makan.”

Di warung itu Hendra mengenalkan Ana kepada beberapa pengunjung sedang makan, karena mereka pun ternyata sesama karyawan Hotel Atlantic.

Di sana Ana berkenalan dengan Dita yang bekerja sebagai Coffee Shop Supervisor yang kebetulan kamarnya hanya seberangan dengan kamar milik Ana. Juga berkenalan dengan Anto yang bertugas sebagai doorman di Front Office. Ada Pak Warno  yang bertugas sebagai security hotel, dia datang bersama dengan Huda, staff personalia yang menyambut kedatangan Ana tadi.

“Wah, kamu beneran nemenin Miss Christiana sampai makan di sini ya.”

“Aku kan memang orang yang ramah, suka menolong dan baik hati, Pak Huda.” Gaya Hendra sambil menepuk dadanya. “Aku pasti akan membantu agar Ana dapat segera nyaman dan mengenal daerah ini secepatnya. Kalau butuh ke tempat tempat penting seperti bank, pos, mau belanja atau yang lain, wa aku aja Ana. Kira atur waktunya, pasti aku akan antar.”

Seketika manusia manusia yang duduk di 2 meja yang digabung itu segera memasang tampang julid dengan bibir bawah yang sedikit maju ke depan. Cih! Begitu kira-kira kata dalam hati mereka.

Hendra yang paham dengan bahasa tubuh mereka, makin nyengir lebar. “Dasar iri dengki.”

Huda tersenyum bijak, menyembunyikan rasa gelinya. “Iya, iya, Hendra nitip Miss Christiana ya agar dia cepat betah di sini. Kamu jangan macem macem lho sama miss ini. Kami susah payah membujuk agar miss ini mau pindah ke Atlantic dari hotel besar tempat sebelumnya dia bekerja.”

“Oh Miss Christiana dulu kerja di mana?” tanya Dita tertarik.

“Di hotel XXX Yogya,” jawab Ana sambil tersenyum sopan. Kepribadiannya yang pemalu memang membuatnya tidak mudah untuk berbaur di lingkungan yang baru. Ana selalu bersikap sopan dan berhati-hati pada orang-orang yang belum dia kenal dengan baik.

“Tolong panggil saya Ana saja. Jangan miss miss gitulah.”

“Oke Ana.” Dita menganggukkan kepalanya tanda langsung paham akan kepribadian Ana. “Ayo ceritakan bagaimana ceritanya kenapa bisa sampai di Batam.”

Ana menjawab dengan malu-malu. Salah satunya adalah aku mau mendekati Singapore. Aku belum pernah ke sana, bahkan aku belum pernah keluar dari pulau Jawa, sebelum ini.”

“Iya Batam dan Singapore memang dekat. Satu jam saja perjalanan dengan ferry. Tapi semoga saja Miss betah dan tahan lama di sini.”  Anto saling bertukar pandangan dengan orang-orang hotel temannya. “Kalau tidak tahan ya…. Seperti yang kemarin itu baru berapa lama?”

“Sebulan,” ujar Dita. 

“Itu aja sudah termasuk cukup lama ya. Yang Julie…. itu malah cuma sebentar sekali. Aku cuma sempat lihat sekali saja. Cuma 3 hari-kah?”

“Dua minggu,” sambung Anto lagi. “Ada yang lebih sebentar. Ingat Chika, itu yang anak Bangka. Cuma sehari, pulang kerja sambil menangis mengemasi baju dan barangnya langsung pergi setelah dijemput oleh Pakcik nya.”

Huda menggeleng gelengkan kepalanya. “Hus!! Sudah, sudah! Kalian ini,  datang-datang kok langsung ditakut-takuti. Miss Ana ini hebat lho. Resume kerja dia sangat terpuji. Mr. Duncan aja langsung acc selesai interview kemarin. Jangan dengarkan mereka, Ana. Mr. Duncan sendiri yang dengan yakin tegas milih kamu.”

Ana terdiam agak lama sambil mendengarkan celotehan mereka. “Hendra, apakah maksudnya Mr. Duncan itu bos yang sulit ya. Bikin karyawannya nggak tahan gitu? Pemarah?”

Hendra melemparkan senyuman yang adem dengan bibir agak lebarnya yang berwarna kehitaman. Dia sosok pemuda berdarah Melayu yang berwajah manis. “Memang keluar masuk sih sekretarisnya. Tapi mereka semua tidak selevelnya Ana. Ana jauh kelihatan jauh lebih mampu dan kompeten dibanding mereka.”

Perasaan bimbang dan cemas mulai merayap hati Ana. “Wah, kok aku jadi takut ya denger cerita kalian.”

“Kan aku udah bilang kalau Ana lebih baik daripada sekretaris sekretaris Mr. Duncan yang dulu dulu.” Hendra menepuk nepuk bahu Ana meyakinkan.

“Terima kasih Hendra buat dukungannya. Kamu sangat baik, baru saja kenal tetapi sudah mau membesarkan hatiku kayak sudah bersahabat lama saja.”

Bab 3 - Bertemu Teman Kerja 

Para Atlantic hotelier itu menunjukkan wajah wajah usil kepada Hendra.

“Ternyata Hendra bisa double job juga nih, engineering sekaligus personalia,” sindir Anto julid.

“Ya baguslah. Antar departemen saling bersinergi,” kata Huda.

“Aku senang kalau ternyata aku punya kru yang baik, Hendra.” Aris mendadak muncul dibelakang Huda.

Ana agak terperanjat. Entah mengapa kehadiran Aris menimbulkan sesuatu perasaan di hatinya. Ya, memang  Aris tampan. Kulitnya walau tidak sangat putih, namun sama sekali tidak bisa dibilang gelap. Struktur wajahnya tegas.  Hidung mancung, mata yang tegas, rahang yang menonjol dan tegas. Ditambah proporsi badannya yang cukup ideal dengan tinggi 170 cm.

“Hai Mbak Ana,” sapa Aris hangat. “Diajak ke sini ya dengan Hendra.”

Ana berusaha menampilkan senyumnya  senatural mungkin. “Iya Pak Aris, Hendra sangat membantu saya.”

“Duh, jangan panggil aku Pak lah. Jangan terlalu formal, di sini kan bukan tempat kerja.”

“Aku masih manggil Pak Aris lho, walau di luar hotel,” protes Hendra.

“Aku juga panggil Pak Aris,” tambah Anto. “Menyesuaikan jabatan Bapak, karena sudah masuk jajaran manajemen.”

Pak Warno yang paling matang usianya di antara mereka berenam ikut menimpali, “Kan sudah jadi aturan tak tertulis itu. Level B ke atas dipanggil dengan bapak, ibu. Buat yang orang luar, mr, ms, miss… Tapi kayaknya untuk sales secretary ada perkecualian ya.”

GRR!!!!!!!

Meledak tawa Huda disusul oleh Dita, Anto dan Hendra.

“Aduh, aduh, udah ahhh,” seru Anto sambil membungkuk memegangi perutnya. “Jangan diperjelas gitu Pak Warno.”

Huda terlihat berusaha berbicara dengan bijak dan profesional di saat ia mati-matian menahan gelak tawanya, “Sst, hei, hei, hei…… Fair play, fair play, please.” Ia merasa geli dengan persaingan antara Aris dengan krunya sendiri. Kehadiran si cantik Ana, sekretaris sales yang baru akan mengguncang bursa perburuan jodoh di antara jomblo-wan dan jomblowati di Hotel Atlantic ini.

Aris walau ikut tertawa tetapi tawanya terasa simpatik. “Ck, kalian ini. Usil kalilah. Tuh lihat, bikin mbak Ana nggak nyaman. Ya kan?” 

Ana yang pembawaannya memang pendiam apalagi di lingkungan yang tidak dikenal baik, hanya mampu tersenyum untuk menutupi kecanggungannya.

Aris bisa melihat betapa malunya Ana menjadi pusat perhatian orang orang lama hotel. Karena itu Aris berupaya membuat Ana nyaman. “Mbak Ana akan mulai masuk kerja besok?”

“Belum, Pak,” jawab Ana. “Senin baru mulai.” 

Aris berdecak. “Pak lagi….”

Dan sederetan manusia bernama Dita, Anto, Huda dan Warno kembali bersikap merapatkan bibir mereka seolah menahan tawa.

“Eh iya,” gagap Ana. Ia benar-benar merasa grogi. “Lalu saya harus panggil bagaimana. Panggil nama saja, tidak sopan kan. Kalau Mm-mas Aris, bolehkah? Eh,.... tapi bukan orang Jawa kan?”

“Kediri,” jawab Aris dengan suara lembut. “Panggil Mas Aris boleh. Aku boleh panggil Ana kan?”

Ketika Ana menganggukkan kepala, belum sempat ia menjawab karena sudah terpotong oleh siulan cukup nyaring dari Anto.

“Gercep! Gercep” Anto memukul mukul meja dengan antusias.

Pak Warno yang sudah cukup berumur, karena hampir setengah abad hidupnya pun tak luput untuk menambah bumbu suasana. Ia mengangkat telunjuk kanannya sambil membentuk huruf S di udara di depan Hendra. “Kasian deh lu…”

GRR!!

Tawa lepas dan cukup keras dari meja panjang dengan enam pengunjung yang duduk mengelilinginya.

“Sudah! Sudah! Jangan ganggu teruslah.” Aris mengangkat telapak tangannya ke atas. “Lihat Ana sampai diam tak bisa berkutik gitu lho. Ana ini orang Jogja lho. Orang Jogja itu halus halus. Jangan disamain kitalah yang sudah lama di rantau, ngomong blak blakan.”

“Wah iya bener bener.” Dita menepuk jidatnya. “Aduhhhh, maaf ya, maaf. Lupa aku kalau Ana orang Jogja. Maaf kalau kami terlalu usil.”

Anto pun buru buru bangkit dari kursi plastiknya untuk mendekat kursi tempat Ana duduk untuk menyodorkan tangannya, “ Aku juga minta maaf. Kami cuma saling bercanda. Sungguh maaf kalau aku keterlaluan. Maklum aku ini orang Medan. Kalau ngomong blak-blakan.”

Pak Warno juga menjulurkan tangannya untuk minta maaf. “Bapak juga minta maaf ya Nak Ana. Jadi ikut ikutan sama berandalan ini. Tapi kami biasa memang bercandaan seperti ini. Jangan dimasukkan ke hati ya Nak.”

Ana menyambut jabatan dari mereka sambil tersenyum. Terus terang, Ana masih bingung harus berbicara apa kepada mereka.

“Jam berapa tadi sampai ke Batam? Berangkat dari bandara Jogja jam berapa?” tanya Dita untuk semakin mengakrabkan diri dengan Ana.

  

Masih beberapa pertanyaan yang mereka lontarkan  dan Ana menjawab dengan sopan dan ramah. Lama kelamaan Ana mulai merasa nyaman bercakap-cakap dengan mereka.

Hendra tiba tiba menyela mereka. “Ana, aku sudah selesai makannya. Aku mau balik ke mess. Ana masih mau di sini?”

Ana agak terkejut. “Oh, sudah mau pergi ya? Aku ikut. Aku juga sudah habis kok makanannya. Bayarnya di mana ya?”

Hendra menunjuk meja di tengah pintu masuk. “Tapi kayaknya makanan Ana sudah dibayari oleh Pak Aris. Jadi nanti kalau misalnya Ana mau nambah, tinggal bayar makanan tambahannya saja.”

Ana terkesiap, “Eh kok dibayarin…. Aku ganti uangnya.” Ana agak menyesali tadi dia terlalu fokus bercakap-cakap dengan Dita, sehingga melewatkan momen saat pembayaran. “ Lho, mana Pak Aris….?”

Aris terlihat berdiri di depan etalase toko. Tampaknya dia sedang membeli 2 botol Aqua ukuran 1,5 liter.

“Sudah tidak apa Ana.” Aris tersenyum dengan yang menawan. “Anggap saja ucapan selamat datang dari aku.” 

Tanpa menunggu ucapan atau reaksi dari Ana, Aris membalikkan badan setelah melambaikan tangan kanannya sebagai pengganti ucapan kata selamat

Lalu ia menyalakan motornya dan berlalu.

Ana tertegun sejenak. Yah, Aris memang ganteng. Masuk dengan kriteria cowok ideal buat Ana. Tak terasa dadanya sedikit berdebar. Namun cepat cepat Ana, mengalihkan pikirannya. Jiwa introvert- nya membuat dia selalu malu memperlihatkan perasaannya terhadap orang lain. 

“Hen, udah mau pergi sekarang ya.” Ana buru-buru bangkit dari kursinya.

“Tunggu! Kita juga udahan. Yuk, kita bareng-bareng balik.”

Ana, Dita, Anto dan Hendra berjalan kaki menuju ke Mess sambil terus berceloteh satu sama lain. Huda dan Pak Warno tidak tinggal di mess.

“Tadi berapa ya makanku tadi. Aku tak enak lho dibayari oleh Pak Aris.” 

“Dia memang sering bayarin makan kok,” kata Dita. “Kita juga udah pernah dibayarin. Dia punya banyak duit tuh.”

“Oya?” Ana membeo. “Jabatannya apa sih dia, Chief Engineer?”

“Dia asisten,” jawab Hendra.   

Ana sedikit mengerutkan kening. Setahunya gaji seorang asisten hanya sekitar lima kali upah regional buat hotel sekelas Hotel Atlantic. 

“Asisten Chief Engineering? Emang banyak ya gaji asisten engineering di Hotel Atlantic?” 

Dita yang paham arah pertanyaan Ana menjawab, “Pak Aris sering dapat proyek di luar hotel. Makanya duitnya banyak.”

“Jadi Pak Aris tak hanya kerja di hotel ini saja?” Ana menegaskan.

Hendra mengernyitkan hidungnya. “Ya kira kira begitulah.”

“Oooo, boleh ya kerja di luar hotel ini? Terus shift nya gimana tuh? Tiap hari dobel shift?”

Dita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Hmmm, gimana ya menjelaskannya. Pak Aris memang sering tak terlihat di hotel, ya kan? Perasaan Pak Syamsul yang selalu ada. Aku pernah dengar pas lagi makan siang di kantin, katanya Pak Aris sedang mengerjakan restoran barunya Pak Halim.”

“Oh, jadi Pak Aris bisa ambil kerjaan  semacam kontraktor di luar sambil tetap menjadi karyawan hotel ini?” Ana agak takjub mendengar hal ini. Bisa bekerja di dua tempat sekaligus secara terbuka.

“Pak Halim adalah owner lokal hotel Atlantic. Memang sih ada beberapa pemegang saham. Pemegang saham terbesarnya orang Singapore, Mr. Ong,” jelas Hendra. “Semua hal yang berhubungan dengan electricity,  plumbing dan maintenance di semua bisnisnya, Pak Halim selalu mencari Pak Aris untuk menangani.”

Anto mendecakan lidahnya, “Dan setiap pekerjaan ekstra itu, Aris dapat uang ekstra ya.” 

Hendra mengangguk kepalanya dengan ekspresi agak mendung. “Betul dapat uang tambahan dari setiap proyek di luar hotel. Tetapi gajinya di hotel tetap utuh, walau Pak Aris jadi sering absen karena mengerjakan proyeknya Pak Halim.”

“Kau kan juga engineering, Hen,” sela Anto sambil menepuk pelan bahu temannya. “Harusnya kamu juga suka disuruh-suruh oleh Pak Halim dong. Atau jangan-jangan kamu juga sudah sering ya dapat proyek di luar gitu.”

“Huh, menuduh.” Hendra cemberut. “Pak Halim maunya hanya dengan Pak Aris. Bahkan dengan Pak Syamsul saja, Pak Halim seperti tak terlalu percaya.”

“Wah, bisa sampai begitu ya,” seru Dita dengan wajah takjub. “Padahal seharusnya Pak Syamsul kan jauh lebih kompeten dibanding Pak Aris.”

Hendra mengangkat kedua telapak tangannya mengarah ke atas. “Yaaaa, begitulah. Nasib kamilah, tidak bisa menarik hati bos. Makanya kami hanya bisa mendapat uang dari gaji hotel.”

Akhirnya mereka semua sampai di mess. Anto dan Hendra berpamitan karena mereka akan langsung ke kamar mereka di sayap kanan. Sedangkan Ana dan Dita menuju kamar mereka di sayap kanan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!