NovelToon NovelToon

Darah Di Tanah Hujan

Bab 1 — Air yang Turun dari Langit

Rendra sudah terbiasa dengan kebisuan. Sebagai fotografer dokumenter dan pemburu urban legend, kebisuan sering kali menjadi kanvas tempat dia bisa melukis cerita. Namun, kebisuan yang menyambutnya di perjalanan menuju Desa Waringin ini terasa berbeda. Bukan kebisuan karena damai, melainkan karena ketiadaan.

Sudah dua jam terakhir mobil jip sewaan yang dikendarainya, sebuah Suzuki Vitara tua yang bannya sudah dicap lumpur permanen, bergerak perlahan di atas jalan tanah liat. Jalan itu sendiri terasa seperti jejak ingatan yang hampir terhapus; berkelok, curam, dan sesekali ditutupi oleh dahan pohon yang tak terawat. Pohon-pohon pinus di sisi kanan dan kiri tumbuh terlalu rapat, saling memeluk di atas, menyaring cahaya matahari menjadi keremangan konstan.

Di luar, udara dingin menusuk tulang, membawa serta aroma tajam khas hutan pegunungan: daun basah, lumut, dan sesuatu yang pahit—seperti getah yang baru saja terluka. Namun, di balik aroma hutan itu, Rendra mulai mencium bau lain yang lebih aneh. Bau yang samar-samar, seperti… besi tua.

Ia menoleh ke sopir bus tua di sebelahnya, seorang pria dengan jaket laken lusuh dan topi yang menutupi separuh wajahnya, yang ia panggil Pak Jaya. Mata Pak Jaya tampak kosong, seolah tatapannya tidak benar-benar melihat jalan di depannya, melainkan menembus ke dimensi lain.

“Pak Jaya,” Rendra memecah keheningan, suaranya terdengar terlalu lantang. Ia meraih tas kameranya, meremas kamera analog tua milik ayahnya yang terbuat dari logam dingin. Itu adalah kebiasaan yang memberinya rasa aman. “Desa Waringin… ada di peta, kan? Kenapa saya tidak bisa menemukannya di GPS?”

Pak Jaya tidak menoleh. Ia hanya menaikkan bahunya yang kurus dan berlumut. “Peta tidak suka dengan Waringin, Nak. Atau… Waringin yang tidak suka dengan peta.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, tempat itu punya caranya sendiri untuk menghilang. Kalau tidak ada yang mau kau cari di sana, kau tidak akan pernah menemukannya.” Pak Jaya menjeda, napasnya terdengar berat. “Kau bilang kau mencari adikmu, kan? Rani Adyatma. Gadis yang terlalu banyak membaca buku.”

Rendra mengangguk kaku. “Dia seorang mahasiswi antropologi. Dia datang ke sini sebulan lalu untuk penelitian, untuk meneliti budaya desa terisolasi. Pesan terakhirnya menyebutkan… hujan yang aneh.”

“Hujan memang aneh di sana.”

Saat Pak Jaya menyelesaikan kalimatnya, mereka melewati batas hutan pinus dan memasuki semacam gerbang alam—dua pohon beringin raksasa yang akarnya saling melilit, membentuk terowongan gelap. Tepat saat jip itu meluncur di bawah kanopi beringin, atmosfer berubah secara dramatis.

Hujan turun.

Itu bukan hujan biasa. Bukan rintik atau bahkan badai yang berangin. Itu adalah tirai air yang tebal, padat, dan turun lurus tanpa jeda, seolah langit tumpah. Airnya bukan bening, tapi memiliki rona yang sangat samar, nyaris tak terlihat… seperti kaca buram yang dicuci dengan karat.

Rendra harus menyipitkan mata. Ia mengamati butiran air yang mendarat di kaca depan, yang langsung diusap cepat oleh wiper yang berdecit lelah.

“Hujan ini…” Rendra bergumam, mencium udara yang langsung menyergap masuk melalui celah pintu.

Bau besi tua yang samar kini menjadi bau yang dominan dan tajam. Bau yang membuat perutnya mual, familiar, namun tak ingin ia akui. Itu bukan lagi bau besi tua di udara lembab.

Itu bau darah.

“Jangan dipikirkan,” kata Pak Jaya, nadanya berubah lebih serius, lebih dalam. “Anggap saja bau tanah yang terlalu subur. Sudah tiga puluh tahun, hujan di atas Waringin tidak pernah berhenti. Bahkan, saat musim kemarau terpanjang di Jawa. Waringin tetap basah.”

Rendra mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi sensorik, kelelahan setelah perjalanan panjang. Namun, saat sebuah petir menyambar di kejauhan, menerangi jalanan di depan selama sepersekian detik, ia melihatnya.

Di bawah cahaya kilat yang singkat itu, di kaca mobil, butiran air hujan yang baru saja turun terlihat... merah muda pucat. Seperti darah encer.

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia menoleh ke Pak Jaya, yang kini memegang kemudi dengan cengkeraman putih di buku-buku jarinya.

“Pak Jaya… airnya. Kenapa warnanya—”

“Di sini, setiap tetes punya cerita, Nak.” Suara sopir itu parau. “Kadang… baunya seperti daging busuk.”

Jip itu melambat, rodanya mencengkeram lumpur dengan bunyi hisapan yang menjijikkan. Mereka berhenti di depan gapura kayu yang reyot, berlumut, dan nyaris roboh. Tidak ada ukiran atau nama di sana. Hanya kehampaan. Di balik gapura itu, terhampar Desa Waringin.

Desa itu sunyi. Rumah-rumah kayu kelapa dan anyaman bambu berjejer, tampak rapuh dan sakit-sakitan. Dindingnya semua berwarna hijau gelap karena jamur dan lumut. Suara yang mendominasi adalah simfoni air: gemericik dari atap yang bocor, tetesan air dari talang yang tak berfungsi, dan deru pelan sungai yang mengalir di kejauhan. Desa ini tenggelam dalam kelembaban.

Tak ada orang di jalan. Tak ada suara tawa, obrolan, atau bahkan lolongan anjing. Hanya air, dan keheningan yang dingin.

“Saya sampai sini saja, Nak.” Pak Jaya mematikan mesin. Suara mesin yang mati terasa seperti organ tubuh yang berhenti bekerja. “Saya tunggu di sini. Dua hari. Kalau sudah selesai, datang lagi sebelum jam enam pagi. Setelah itu… tidak ada yang akan berani menemanimu pulang.”

Rendra membuka pintu mobil. Udara dingin yang membawa bau besi itu langsung menghantamnya. Ia menghela napas, rasa mual kembali menyeruak. Di sepatunya yang tebal, lumpur Waringin terasa lengket dan dingin, seolah tanah itu memang memiliki cengkeraman.

Ia mengeluarkan kamera ayahnya dari tas, menggantungnya di leher. Logam dingin kamera itu memberinya fokus. Ia adalah seorang skeptis yang mencari bukti, bukan seorang yang percaya yang mencari mukjizat.

“Terima kasih, Pak Jaya,” katanya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.

Sopir itu mengambil uang itu tanpa melihat, matanya tetap terpaku pada jendela jip. Ia menurunkan kacanya sedikit.

“Saya ulangi, Nak Rendra.” Pak Jaya akhirnya menoleh, dan Rendra melihat kekosongan yang nyata di mata pria tua itu—seperti sumur yang sangat dalam. “Di sini, semua yang datang… jarang pulang.”

Rendra hanya mengangguk, memaksakan senyum yang gagal. Ia mulai melangkah, menapaki jalanan tanah yang becek, menuju jantung Desa Waringin yang tampak sakit. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap tetes hujan di atasnya menekan bahunya.

Ia berjalan di antara rumah-rumah yang semuanya gelap, tirai jendelanya tertutup rapat. Ini bukan ketenangan. Ini adalah penyangkalan. Orang-orang di sini tidak hidup; mereka sedang bersembunyi.

Tepat saat Rendra berbelok di tikungan, ia melihatnya. Sosok pertama.

Seorang laki-laki kurus, mungkin berusia sekitar 19 tahun, duduk di teras sebuah rumah kayu, bermain dengan dua batu kecil. Wajahnya polos, tetapi tatapannya—saat ia mengangkat kepala dan menatap Rendra—terlalu tua untuk usianya. Mata itu membawa kesedihan yang tak terkatakan, seperti telah menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya dilihat.

Rendra mendekat, berusaha bersikap ramah. “Halo, Dik. Kamu tahu rumah Kepala Desa, Pak Darmo?”

Anak itu, yang ternyata adalah Dimas, tidak menjawab. Ia hanya terus memutar dua batu di telapak tangannya. Ia menunjuk ke arah Rendra, bukan dengan jari, tapi dengan dagunya.

“Bau kamu… seperti orang luar,” katanya lirih, suaranya hampir hilang ditelan deru hujan. “Banyak yang mencarimu.”

“Aku mencari adikku. Namanya Rani.”

Dimas tidak bergeming. Ia melihat ke arah hujan yang turun di jalanan becek, matanya menyipit, seolah sedang membaca sebuah pesan di dalamnya.

“Bukan Yang Basah yang jahat,” bisik Dimas, kata-katanya penuh kepastian yang mengganggu.

“Lalu?” tanya Rendra, mencondongkan tubuhnya, ingin menangkap setiap bisikan dari anak itu.

Dimas mengalihkan pandangannya dari hujan ke wajah Rendra, tatapannya dingin dan tajam.

“Kalau hujannya merah,” kata Dimas, dengan jeda yang dramatis, "jangan keluar, Kak.”

Rendra berdiri di sana, terdiam. Bau besi dari air hujan terasa semakin kuat di rongga hidungnya, menempel seperti memori yang kotor.

Hujan merah.

Ia menelan ludah, melihat kembali ke arah Dimas yang kini kembali asyik dengan batu-batunya, seolah Rendra tidak pernah ada. Rendra tahu, dari langkah pertamanya di desa ini, ia tidak hanya mencari adiknya yang hilang, tapi juga mencari inti dari teror yang tidak bisa ia jelaskan dengan kamera analognya. Ia telah memasuki neraka kecil yang terapung di atas genangan air mata dan darah yang tidak pernah mengering.

Ia melanjutkan langkahnya, menuju rumah Kepala Desa, dengan pertanyaan yang tak terucap menggantung di udara lembab: Bagaimana jika hujan merah itu sudah turun, dan aku hanya terlalu bodoh untuk melihatnya?

Bab 2 — Desa yang Tak Ada di Peta

Rendra berjalan menjauhi Dimas, tetapi bisikan laki-laki itu—*“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak”—*menggantung di gendang telinganya, menari bersama suara air yang menetes tanpa henti.

Ia menyusuri jalan utama yang dilapisi lumpur tebal, setiap langkah kakinya meninggalkan jejak isapan yang basah. Desa Waringin terasa seperti galeri foto yang suram. Semua rumah terlihat sama: kayu tua, basah, dan penuh dengan lumut hijau luminescent yang memantul redup di bawah langit yang redup. Tidak ada satu pun jendela yang terbuka, seolah udara luar adalah racun yang harus dihindari.

Rendra mengangkat kamera analognya, refleks seorang fotografer dokumenter. Ia mencoba membidik, tetapi suasana kelabu dan lembab membuat lensanya berembun dengan cepat. Ia mengusapnya dengan lengan jaketnya, mencium kembali aroma besi yang menempel di udara. Aroma yang kini ia yakini bukan lagi sekadar tanah liat, tetapi residu logam dari darah yang telah lama larut dalam air hujan.

Ia menemukan rumah kepala desa tepat di seberang lapangan kecil yang ditutupi genangan air. Rumah itu sedikit lebih besar dari yang lain, dibangun dari kayu yang lebih kokoh, tetapi aura ketakutan yang sama tetap menempel di dindingnya. Di teras depan, tergantung lampion kertas yang sudah basah dan koyak.

Rendra ragu-ragu sejenak di depan pintu. Ia merasa seperti seorang detektif yang hendak mengetuk pintu sarang laba-laba. Ia mengangkat tangan, mengepalkan buku jarinya, dan mengetuk dua kali. Ketukannya terdengar teredam, seperti memukul kasur basah.

Keheningan yang mengikuti terasa sangat berat, seolah waktu berhenti sejenak. Rendra hendak mengetuk lagi, ketika pintu itu terbuka perlahan, tanpa suara, hanya bunyi gesekan kayu tua yang engselnya sudah haus.

Di balik pintu berdiri Pak Darmo, Kepala Desa Waringin.

Ia adalah pria paruh baya yang tampak lebih tua dari usianya yang 58 tahun, dengan rambut yang sebagian besar telah memutih. Wajahnya adalah cetakan kekakuan; garis-garis kerutan dalam, mata yang memandang tanpa ekspresi, dan bibir yang terkatup rapat. Ia mengenakan baju batik yang rapi tetapi basah dan lembab, dan di tangan kanannya, ia menggenggam erat-erat tasbih kayu—bukan tasbih biasa, tetapi tasbih yang manik-maniknya terlihat seperti akar pohon yang dipoles, warnanya cokelat gelap, hampir hitam.

Pak Darmo tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menunggu, berdiri tegak di ambang pintu, menghalangi pandangan Rendra ke dalam rumah yang juga tampak gelap.

“Selamat sore, Pak Darmo,” Rendra menyapa, berusaha menjaga intonasinya senetral mungkin. “Nama saya Rendra Adyatma. Saya sudah menghubungi Pak RT perihal kedatangan saya. Saya datang dari Jakarta.”

Kepala desa itu hanya mengangguk pelan, gerakannya kaku seperti boneka kayu yang digerakkan oleh tali yang basah.

“Saya tahu, Nak Rendra,” suara Pak Darmo terdengar rendah, serak, seperti suara air yang mengalir di batu-batu. “Kami… jarang sekali kedatangan tamu. Terutama di musim hujan abadi ini.”

“Saya mencari adik saya, Rani Adyatma. Dia seorang mahasiswi antropologi. Dia datang ke sini sebulan yang lalu untuk meneliti budaya desa-desa terisolasi. Ini fotonya.”

Rendra mengeluarkan selembar foto Rani dari saku jaketnya. Rani tersenyum lebar di bawah sinar matahari yang cerah—sebuah kontras yang menyakitkan dengan suasana kelam di desa itu. Rambutnya terurai, matanya bersinar penuh idealisme.

Pak Darmo mengambil foto itu dengan gerakan sangat hati-hati, seolah foto itu adalah abu yang rapuh. Ia menatap wajah Rani lama sekali. Rendra bisa melihat, meskipun mata kepala desa itu tanpa ekspresi, ada sesuatu yang berkedip di sana: sedikit penyesalan, atau mungkin... ketakutan.

“Rani Adyatma,” Pak Darmo mengulang namanya, membiarkannya larut dalam kelembaban udara. “Gadis yang bersemangat. Dia sering bertanya tentang sumur tua di tengah desa. Dan tentang… Yang Basah.”

Rendra merasakan perutnya mengencang. “Bapak mengenalnya?”

“Dia menginap di rumah Bu Lurah lama, di pinggir hutan sana. Dia bilang dia tertarik pada mitos desa kami, pada alasan mengapa Tuhan mengirimkan hujan yang tidak pernah berhenti.” Pak Darmo mengembalikan foto itu, tangannya tidak menyentuh tangan Rendra, seolah menghindari kontak fisik.

“Di sini, Nak,” lanjutnya, menatap lurus ke mata Rendra, “semua yang datang… jarang pulang.”

Kalimat itu. Kalimat yang sama persis dengan yang diucapkan Pak Jaya, sopir bus tua itu. Rendra merasakan bulu kuduknya berdiri. Itu bukan sekadar peringatan. Itu adalah sebuah mantra, sebuah pernyataan fakta yang dingin.

“Tapi mengapa?” Rendra menuntut. “Kenapa Bapak tidak mencari dia? Dia mengirimkan pesan terakhir yang ambigu. Dia bilang dia menemukan sesuatu yang besar tentang sejarah desa ini, sesuatu yang berhubungan dengan darah.”

Pak Darmo menghela napas, suaranya mengandung suara air. Ia melihat ke atas, ke langit kelabu yang terus menyaring hujan.

“Kami tidak mencari, Nak Rendra. Kami hanya… menerima. Sudah tiga puluh tahun, kami belajar untuk tunduk pada hujan. Kami percaya, hujan ini bukan bencana. Itu adalah pembersihan. Air yang turun dari langit mencuci dosa-dosa masa lalu.”

“Dosa apa?”

“Dosa yang menuntut darah.”

Pak Darmo membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Rendra untuk masuk. Rendra melangkah melewati ambang pintu. Bau di dalam rumah jauh lebih kuat dari luar—campuran bau jamur, kayu lapuk, dan bau besi yang sangat pekat. Jendela-jendela ditutup rapat. Lampu minyak kecil berkedip di atas meja, memberikan cahaya yang sangat redup, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak dan menipu.

Mereka duduk di kursi kayu yang keras, suasananya terasa sesak. Pak Darmo mulai memilin-milin tasbih kayu di tangannya, gerakan itu cepat dan gugup, kontras dengan wajahnya yang tenang.

“Kami punya legenda,” Pak Darmo memulai, bicaranya perlahan, seolah setiap kata harus dipertimbangkan. “Tentang kekeringan parah tiga puluh tahun lalu. Desa kami sekarat. Para tetua desa saat itu, mereka memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk memohon air adalah dengan pengorbanan.”

Jeda yang diikuti oleh Pak Darmo terasa seperti pukulan. Rendra tidak berani bernapas.

“Mereka mengorbankan seorang gadis. Usianya 16 tahun, namanya Laras. Mereka menguburkannya hidup-hidup di dasar sumur tua—sumur yang kau lihat di tengah lapangan.”

Rendra teringat bayangan tangan yang ia lihat di hasil foto sumur tua itu. Ia meremas kamera di tangannya. “Lalu, apa yang terjadi?”

“Hujan turun. Deras, tak terhentikan. Tapi air itu tidak hanya memberi kehidupan. Ia membawa kemarahan. Arwah gadis itu bangkit. Ia menjadi… Yang Basah.”

Pak Darmo menatap Rendra dengan mata yang tampak basah, bukan dari air mata, tetapi dari kelembaban yang meresap.

“Setiap petir menyambar, satu penduduk harus hilang. Itu adalah perjanjiannya. Darah sebagai ganti air. Jiwa sebagai ganti kehidupan.”

Rendra mencoba memproses informasi itu, memilah mana yang mitos dan mana yang kenyataan. “Apakah Bapak percaya adik saya adalah salah satu korbannya? Atau dia sengaja diculik untuk perjanjian itu?”

Pak Darmo tidak menjawab langsung. Ia malah mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya menjadi bisikan yang conspiratorial, seolah takut didengar oleh hujan di luar.

“Kau bertanya tentang dosa masa lalu? Ada sesuatu yang Rani temukan. Sesuatu yang kami sembunyikan dari Yang Basah, dan dari dunia luar.”

Ia berhenti, membiarkan ketegangan itu membengkak.

“Tiga puluh tahun lalu, Nak Rendra. Di malam pengorbanan Laras. Bukan hanya para tetua desa yang ada di sana.” Pak Darmo memperlambat gerakan memilin tasbihnya.

“Ayahmu,” bisiknya, matanya tidak berkedip, “ayahmu adalah salah satu dari orang kota yang datang ke desa saat itu. Dia ikut dalam ritual itu.”

Seluruh dunia Rendra, yang selama ini dibangun di atas pondasi skeptisisme dan logika, terasa runtuh. Ayahnya. Fotografer dokumenter yang selalu memberinya nasihat untuk mencari kebenaran, yang selalu membawa kamera ini.

“Tidak mungkin,” Rendra berbisik, tetapi suaranya pecah, penuh keraguan yang menyakitkan.

“Dia tidak membunuh, tapi dia menyaksikan, dan dia menyimpan rahasia itu bersamanya. Dia tahu tentang pembantaian lain yang terjadi setelah pengorbanan Laras. Pembantaian yang membuat darah kami tidak pernah kering.”

“Pembantaian?”

“Ya. Orang-orang yang menentang ritual itu… disingkirkan. Mereka adalah korban yang tidak dicatat, Nak Rendra. Darah mereka yang meresap ke dalam tanah kami. Darah merekalah yang membuat hujan menjadi merah.”

Pak Darmo mengakhiri penjelasannya dengan tarikan napas yang panjang dan gemetar. Ia menunjuk ke tasbihnya, yang kini tampak seperti rantai gelap di tangannya.

“Saya adalah Kepala Desa yang memimpin upacara ‘pengorbanan terakhir’ sebulan lalu. Bukan Rani. Tapi… gadis lain. Rani tahu terlalu banyak, Nak. Dia mendekati Yang Basah, mencoba memberitahunya tentang kebohongan di balik pengorbanan Laras. Dan sekarang…”

Pak Darmo menggelengkan kepalanya pelan, matanya kembali kosong.

“Dia adalah perantara. Dia ada di antara kita, tapi dia bukan lagi adikmu yang kau kenal.”

Suara lonceng tiba-tiba terdengar, pelan, sayup, namun menusuk di tengah deru hujan. Satu kali dentang.

Jam 23.17.

Rendra dan Pak Darmo langsung terdiam, seolah waktu benar-benar membeku. Ketegangan di ruangan itu berubah menjadi horor yang mematikan. Pak Darmo menutup matanya erat-erat, memilin tasbihnya dengan panik.

“Jangan bergerak, Nak Rendra,” bisiknya. “Lonceng itu berbunyi… pertanda Yang Basah sedang memilih tubuh. Malam ini, ada jiwa yang akan ‘dipanggil.’”

Di luar, suara hujan tiba-tiba terasa seperti langkah kaki yang basah, mendekat, mendekat ke rumah kepala desa itu. Rendra mencengkeram kamera ayahnya, merasa bahwa alat yang seharusnya menangkap kebenaran itu kini hanyalah benda dingin yang konyol.

Ia melihat ke luar jendela yang buram. Meskipun langit gelap, ia bersumpah ia melihat rona yang lebih pekat di balik tirai hujan.

Merah muda pucat yang kini terasa lebih tebal, lebih berani.

Air yang turun dari langit… malam ini, baunya seperti darah segar.

Bab 3 — Sumur yang Ditutup Batu

Ketegangan di rumah Kepala Desa mereda perlahan, seperti kabut yang diusir oleh angin. Suara lonceng yang hanya sekali dentang itu telah berhenti, dan suara gemericik air kembali mengambil alih dominasi, terasa sedikit lebih keras, lebih menuntut.

Pak Darmo membuka matanya, wajahnya pucat pasi, namun ia kembali berusaha menata ekspresi kaku khas Kepala Desa. Ia menarik napas dalam-dalam, mengendurkan cengkeramannya pada tasbih kayu yang kini berkeringat di tangannya.

“Pergilah, Nak Rendra,” kata Pak Darmo, suaranya kini kembali serak dan dingin. “Aku sudah memberitahumu apa yang perlu kau tahu. Adikmu mencari kebenaran, dan kebenaran di sini harganya mahal. Kalau kau masih ingin hidup, lupakan adikmu, lupakan rahasia ayahmu, dan tinggalkan Waringin sebelum hujan berikutnya datang.”

Rendra berdiri. Ia tidak bisa pergi. Pengakuan Pak Darmo tentang keterlibatan ayahnya dalam ritual pengorbanan tiga puluh tahun lalu telah menancap dalam dirinya, lebih dalam daripada belati. Ia bukan lagi sekadar mencari adiknya; ia mencari penebusan untuk dosa yang diwariskan.

“Saya akan cari Rani,” ujar Rendra, suaranya mantap, meskipun di dalam dirinya ada gejolak ketakutan dan pengkhianatan. “Kalau dia di sini, saya akan menemukannya.”

Rendra berbalik, melangkah keluar ke kelembaban malam yang pekat. Hujan masih turun, tetapi intensitasnya sedikit berkurang, menyisakan rintik-rintik tebal yang konstan. Bau besi masih ada, namun kini bercampur dengan bau tanah basah yang menyengat.

Di jalan, ia melihat pemandangan mengerikan dari lonceng yang baru saja berbunyi. Beberapa orang desa, dengan wajah kosong, tengah menggotong tandu yang ditutupi kain terpal basah. Dari bentuk tandu, Rendra tahu: itu adalah mayat. Korban lonceng malam itu.

Orang-orang itu berjalan ke arah rawa, ke tempat yang Pak Darmo sebut Kuburan Air. Tak ada ratapan, tak ada air mata. Hanya penerimaan yang dingin. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam ketakutan yang telah menjadi kebiasaan.

Rendra menghindar, menyelinap di balik rumah, menuju penginapan kecil yang ia sewa—sebuah kamar sempit dan lembab di pinggir desa. Ia tidak tidur. Ia menghabiskan sisa malamnya dengan mencuci film kameranya di kamar mandi penginapan yang berbau pesing, menggunakan cairan kimia yang ia bawa dari kota.

Foto-foto itu dicetak perlahan. Lanskap Waringin yang suram, rumah-rumah kayu yang berlumut. Dan foto Sumur Tua.

Saat foto Sumur Tua itu perlahan terbentuk di atas cairan developer, jantung Rendra berdebar kencang. Itu adalah sumur yang ditutup rapat oleh batu besar yang diikat tali tambang. Namun, di antara celah batu dan air yang menggenang di permukaannya, ada sesuatu yang kabur—sesuatu yang menyerupai bayangan tangan yang mencoba meraih ke luar, dari dalam air. Bayangan itu memanjang, tipis dan pucat, seperti cakar.

Rendra menatap foto itu, udara dingin dari luar seakan merambat masuk ke pori-porinya. Itu adalah ilusi optik? Refleksi dari cahaya minim? Atau… bukti yang ia cari?

Pagi Hari di Waringin

Pagi di Waringin tidak berbeda dari malam. Langit tetap kelabu, hujan tetap rintik, dan udara tetap membawa beban ketakutan. Rendra tahu ia tidak bisa bergerak sendiri. Ia membutuhkan mata dan telinga dari dalam. Ia membutuhkan Dimas.

Ia kembali ke lapangan tempat ia bertemu Laki-laki itu. Di tengah lapangan, sumur tua itu berdiri tegak, batu penutupnya tampak lebih berat dan lebih mengancam di bawah cahaya minim.

Rendra berdiri di samping sumur, merasakan kelembaban yang keluar dari batu itu, dan aroma besi di sana jauh lebih kuat. Ia mengangkat kamera ayahnya, membidik sumur itu sekali lagi, mencari sudut lain, mencari kebenaran lain.

“Jangan coba-coba memotret Yang Basah, Kak.”

Rendra terlonjak. Dimas sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki itu muncul tanpa suara, seperti bayangan yang terbuat dari kabut. Ia masih memegang batu-batu kecilnya, memutarnya perlahan.

“Dimas, kamu mengagetkan saya,” kata Rendra, berusaha tersenyum.

“Dia tidak suka difoto,” kata Dimas, matanya lurus ke arah sumur. “Katanya, roh kami seharusnya hanya dilihat dengan mata batin.”

Rendra merendahkan suaranya. “Saya tidak percaya pada roh, Dimas. Saya hanya percaya pada apa yang bisa saya lihat, saya dengar. Dan saya dengar dari Pak Darmo… ada seorang gadis bernama Laras dikorbankan di sini.”

Dimas mengangguk kecil. “Laras ada di sana. Di dasar sumur. Tapi… bukan dia yang memanggil hujan. Yang Basah memanggil dirinya sendiri. Karena dia kedinginan.”

“Kedinginan?”

“Ya. Dia mau tubuh baru. Untuk menghangatkan dirinya.” Dimas tiba-tiba memegang lengan jaket Rendra, cengkeramannya lemah tetapi tegas. “Kak Rani… dia mendekat ke sumur ini saat malam-malam hujan terpekat. Dia meneliti tentang air dan darah. Dia bilang dia menemukan kunci yang bisa menghentikan hujan.”

Rendra merasakan harapan tipis di tengah keputusasaan. “Kunci apa?”

Dimas menghela napas, napasnya terasa hangat di tengah udara dingin. “Pak Darmo bohong. Laras memang dikorbankan. Tapi bukan hanya untuk air. Laras dikorbankan untuk menutupi kejahatan yang lebih besar. Ada darah ratusan orang di desa ini, Kak. Darah dari orang-orang yang dibunuh karena menentang kekejaman itu.”

Anak itu kemudian menunjuk ke akar pohon besar yang tumbuh di sebelah sumur—sebuah akar yang meliuk-liuk seperti ular piton raksasa.

“Ayahku bilang, akar itu adalah tangan Yang Basah. Dia menjaga lubang itu. Di bawah akar itu, ada lubang lain. Lubang rahasia.”

“Lubang apa?”

“Itu tempat mereka mengubur orang-orang yang menentang. Bukan di Kuburan Air. Tapi di sana, agar Yang Basah tidak tahu. Kalau Kakak mau tahu kebenaran tentang Rani, Kakak harus lihat apa yang ada di sana.”

Rendra melihat ke arah akar pohon itu. Akar itu tampak sangat tua, keras, dan gelap, basah oleh hujan, seolah-olah memang bernapas. Menggali di bawah akar itu tanpa diketahui Kepala Desa adalah bunuh diri.

“Bagaimana adikmu tahu tentang lubang rahasia ini?”

“Dia melihatnya dari kamera. Ayahmu juga punya foto itu,” kata Dimas, kata-katanya penuh kepastian yang mengganggu.

“Ayah saya? Kapan?”

“Dulu sekali. Saat ayahmu datang ke sini, dia memotret semua yang disembunyikan Pak Darmo.”

Rendra menatap kamera tua ayahnya. Jadi, bukan hanya keterlibatan dalam ritual. Ayahnya adalah saksi mata, mungkin jurnalis yang mencoba merekam dosa desa itu. Dan sekarang, Rani mencoba menyelesaikan tugas itu, yang malah membuatnya hilang.

Tiba-tiba, Dimas menarik Rendra menjauh dari sumur, mendorongnya ke balik bayangan pohon. Wajah anak itu tegang, penuh ketakutan.

“Ssttt! Jangan bersuara.”

Hujan di sekitar mereka tiba-tiba berhenti. Tidak ada lagi rintik, tidak ada lagi gemericik. Hanya keheningan yang mematikan. Rendra merasakan tekanan di gendang telinganya, seperti berada di ruang kedap suara yang basah.

“Kenapa?” bisik Rendra.

“Dia datang,” bisik Dimas, matanya terpaku pada sumur tua. “Kalau hujannya berhenti tiba-tiba… berarti dia ada di sini.”

Rendra menahan napas. Ia tidak mendengar apa-apa. Tidak ada suara langkah, tidak ada suara napas. Hanya keheningan.

Kemudian, ia mendengarnya.

Bukan suara. Itu adalah rasa. Rasa dingin yang menusuk, jauh lebih dalam daripada udara pagi di pegunungan. Rasa dingin yang terasa basah, menyeruak dari arah sumur.

Diikuti dengan suara: gemericik air yang sangat pelan.

Suara gemericik itu seperti napas yang tersengal-sengal, seperti seseorang yang sedang berusaha bernapas di bawah air. Suara itu bergerak, pelan-pelan, melingkari sumur.

Rendra secara naluriah mengangkat kamera ayahnya, mengarahkannya ke sumur yang ditutup batu.

Tepat saat ia menekan tombol rana, di kaca spion mobil rongsokan yang tergeletak di samping lapangan, Rendra melihatnya:

Bayangan hitam yang menjulang tinggi, terbentuk dari uap air, berdiri di atas batu penutup sumur.

Bentuknya samar, seperti asap yang ditiup angin, tetapi Rendra bisa merasakan mata di balik bayangan itu, mengawasinya. Itu tidak punya wajah, tidak punya anggota badan yang jelas. Itu hanyalah kekosongan yang bergerak.

Gemericik itu berhenti tepat di belakang Rendra. Ia merasa hawa dingin itu kini memeluk punggungnya. Jantungnya berdebar kencang, nyaris meledak.

“Jangan bergerak, Kak,” Dimas berbisik, air mata menggenang di matanya yang menahan ketakutan. “Dia tahu kamu memotretnya.”

Tiba-tiba, hujan kembali turun. Deras, tiba-tiba, seolah tirai air yang tebal ditarik kembali oleh tangan tak kasat mata. Gemericik itu kembali larut dalam deru hujan. Bayangan di cermin mobil rongsokan itu hilang.

Dimas tersengal-sengal. “Dia pergi. Tapi dia akan kembali.”

Rendra menurunkan kameranya, tangannya gemetar. Ia tahu, ia baru saja bertemu dengan Yang Basah, dan ia berhasil memotretnya.

“Lubang rahasia itu, Dimas,” Rendra berbisik, suaranya parau. “Tunjukkan pada saya. Sekarang.”

Dimas mengangguk. Matanya, yang tadinya penuh ketakutan, kini digantikan oleh tekad yang dingin. Ia meraih tangan Rendra, membawanya menembus hujan, menuju akar pohon Waringin raksasa, menuju rahasia yang jauh lebih gelap daripada legenda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!