[Prolog]
[]Kota yang Tidak Pernah Tidur[]
Kabut malam turun perlahan, menelan setiap sudut kota tua itu dalam keheningan yang ganjil. Lampu jalan berpendar lemah, seolah kelelahan menahan waktu yang sudah lama berhenti di tempat ini. Dari kejauhan, lonceng gereja berdentang tiga kali—padahal jarum jam baru menunjuk pukul sebelas.
Di jalan sempit berbatu, langkah kaki seseorang terdengar tergesa. Arula Prisha Askara menggenggam koper kecilnya erat-erat, napasnya berpacu dengan udara dingin yang menusuk. Ia baru tiba di Korea Selatan sore tadi, dan perjalanan menuju rumah bibinya seharusnya sederhana—tapi sopir taksi yang mengantarnya menolak masuk lebih jauh ke kota ini. Katanya, “setelah jembatan itu, bukan tempat untuk orang luar.”
Arula sempat mengira itu hanya takhayul, sampai ia mulai mendengar bisikan samar di sela kabut.
Satu suara… lalu dua… semakin banyak.
Bukan bahasa yang ia pahami, tapi nadanya seperti doa yang diucapkan terbalik.
Ia berhenti sejenak di depan papan kayu bertuliskan huruf Hangul yang nyaris pudar:
“Hwanghae—Kota yang Terlupakan.”
Angin berembus dingin. Dari kejauhan, terlihat siluet gereja tua berdiri di puncak bukit, salibnya miring seperti hampir patah. Di bawahnya, lampu rumah-rumah redup, seperti mata yang memandangi setiap langkahnya.
Tiba-tiba, di ujung jalan, ia melihat sosok perempuan berdiri diam. Rambut panjang, gaun putih, wajahnya tertutup bayangan.
Arula terpaku.
Perempuan itu menatap ke arahnya—lalu perlahan mengangkat tangannya, menunjuk lurus ke depan.
Dan di saat yang sama, Arula mendengar suaranya untuk pertama kali:
“Kau akhirnya datang, Arula…”
Suara itu lembut, tapi menggema di seluruh jalan seperti datang dari dalam kepalanya sendiri.
Lampu jalan padam seketika.
Kabut menelan segalanya.
Dan malam itu, kota tua Hwanghae kembali bernafas—setelah tidur selama dua puluh tahun.