Nurma terbelalak saat mendapatkan kabar dari ibunya jika Ayahnya memintanya untuk segera menikah, padahal Nurma sudah merasa bahagia karena sang Ayah yang sudah hampir seminggu lamanya mengalami koma, pada akhirnya tadi pagi sang Ayah sudah tersadar, Pak Prastyo telah mengidap kanker paru stadium empat, ia sudah melakukan pengobatan kemana pun namum takdir berkata lain, penyakitnya tak bisa disembuhkan. Dan menurutnya hari ini adalah saat yang tepat untuk menikahkan putrinya yakni Nurma dengan seorang pemuda yang ia yakini bisa menjaganya dan menyayangi nya sama halnya seperti dirinya
"Bu, kenapa Ayah meminta hal yang mustahil seperti ini? Nurma masih ingin sekolah Bu! " Nurma hanya bisa menangis meratapi nasibnya kali ini, seolah ia tak bisa menolak permintaan mutlak dari Ayahnya, sedangkan Widia sang ibu tak bisa berbuat banyak selain mengatakan apa yang sudah diamanatkan oleh suaminya.
"Nduk, kau tahu kalau Ayahmu mengidap sakit kanker paru stadium akhir dan Dokter sudah memprediksi jika usia ayahmu tidak akan lama lagi, maka dari itu ini lah kesempatan terakhirmu untuk bisa membahagiakan Ayahmu di sisa akhir hidupnya, Ayahmu yang mengatakan seperti itu pada ibu Nduk!" Bu Widia tak bisa membendung air matanya, ia juga belum siap jika sewaktu-waktu suaminya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Namun jika takdir sudah berkehendak dan menginginkan sang suami tercinta menghadap sang khalik, manusia tak bisa berbuat apapun lagi.
Sambil menangis sesenggukan, Nurma meminta ibunya mengantarkan dirinya pergi ke Rumah sakit untuk menemui Ayahnya.
namun sang ibu tetap meminta putrinya yakni Nurma untuk mau di nikahkan dengan putra dari kerabat Ayahnya, dan memintanya untuk menikah hari ini juga.
"Tapi Bu...!" ucapnya lirih
"Tidak ada tapi-tapian Nurma, sudah tidak ada waktu lagi untuk mengulur-ulur waktu, demi permintaan terakhir Ayahmu Nduk, ibu mohon!" Bu Widia sampai mengatupkan kedua tangannya di hadapan Putrinya.
Nurma hanya bisa menangis, ia duduk lemas di atas lantai marmer yang dingin sampai menusuk ke dalam pori-pori kulitnya, rumahnya yang saat ini sudah tak memiliki apapun di dalamnya dan hanya menyisakan beberapa tempat tidur dan juga lemari pakaian. Kondisi perekonomian keluarga Nurma memang sedang tidak baik-baik saja semenjak Ayahnya jatuh sakit satu tahun yang lalu, usaha Ayahnya telah mengalami penurunan yang drastis dan hutang dimana-mana, sehingga memperparah kondisi kesehatannya.
Nurma menyeka air matanya, ia mengatur napasnya yang sempat tidak beraturan, sedangkan sang Ibu dengan sabarnya menanti jawaban dari putrinya.
'Jika memang ini adalah jalan satu-satunya aku bisa membahagiakan Ayah, aku rela mengorbankan segalanya termasuk kebahagiaan ku sendiri. Aku sangat menyayangi mu Ayah, semoga ada keajaiban agar Allah mengangkat penyakitmu!' Nurma berdoa dalam hati dan ia sudah mantap dengan keputusannya.
Dengan mengucap kata Bismillah, pada akhirnya Nurma memberikan jawaban kepada Ibunya.
"Baiklah Bu, aku bersedia menikah hari ini juga!" jawabnya mantap, dengan suaranya yang lantang.
.
.
Nurma menatap pantulan dirinya di jendela kaca ruang tunggu rumah sakit. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bebannya, melainkan karena makna di baliknya. Besok, ia genap berusia delapan belas tahun. Tapi hari ini, ia akan menikah.
Bukan pernikahan impiannya, bukan pula dengan pria yang ia kenal atau cintai. Ini adalah janji yang harus ia tepati, demi pria yang paling ia cintai di dunia ini, yakni Ayahnya.
Ayahnya yang selalu terlihat gagah, kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit, di ambang batas antara hidup dan mati. Dokter telah mengatakan, waktunya tidak banyak. Dan di tengah samar-samar kesadaran, Pak Prastyo hanya punya satu permintaan terakhir, yakni melihat putrinya menikah dengan Satria.
Satria merupakan pria dewasa, yang usianya lima belas tahun lebih tua dari Nurma. Ia adalah putra dari Gunawan Prakoso, sahabatnya sedari ia kecil dan sebenarnya pernikahan ini sudah ia rencanakan sedari dulu, pria yang tenang, berwibawa, dan asing bagi Nurma. Nurma mendengar bisikan perawat bahwa Satria adalah sosok pria terpercaya yang Ayahnya yakini akan mampu menjaganya dengan penuh tanggung jawab.
Pintu terbuka, sosok tinggi Satria muncul, ia mengenakan Kemeja putihnya, tampak rapi, kontras dengan ekspresi matanya yang tampak serius dan sedikit berduka. Ia membawa sebuah buket bunga lili putih, bunga kesukaan calon ayah mertuanya.
"Kita sudah siap, Nurma," suara Satria terdengar rendah, nyaris berbisik. "Ayahmu menunggumu."
Nurma mengangguk, tanpa suara. Ia menarik napas panjang, menepis rasa takut, menanggalkan impian masa remajanya, dan menggantinya dengan rasa bakti yang mendalam.
Mereka berjalan ke kamar perawatan VIP, Aroma antiseptik bercampur dengan bau bunga lili, di tengah ruangan tersebut, Pak Prastyo terbaring, selang dan monitor menjadi pemandangan yang menyayat hati. Namun, begitu melihat Nurma, senyum lemah terukir di bibirnya.
Seorang penghulu dan dua saksi telah menunggu. Suasana sakral tercipta di tengah kesibukan mesin medis.
"Nurma, putriku," suara Pak Prastyo serak dan lemah. "Tolong, kabulkan permintaan terakhir Ayah, jadilah istri yang baik untuk Satria. Ayah tahu, dia akan menjagamu lebih baik dari siapapun."
Air mata Nurma menetes, Ia berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan Ayahnya yang dingin.
"Iya, Ayah, Nurma bersedia, ini semua demi Ayah."
Di hadapan Ayahnya, dengan sisa-sisa kekuatan terakhirnya, prosesi pernikahan akhirnya dimulai. Satria mengucap ijab kabul dengan lantang dan jelas, suaranya menggetarkan seisi ruangan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nurma binti Prastyo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Saat kata-kata itu selesai diucapkan, udara terasa hening, Nurma kini telah resmi menjadi Istri dari Satria Galih prakoso. Satria berbalik, menatap Nurma, matanya bertemu, menyampaikan janji tanpa kata-kata untuk memikul tanggung jawab besar ini.
Kemudian, Nurma mendekati Ayahnya, Ia meraih tangan Satria, dan meletakkannya di atas tangan Ayahnya.
"Ayah, kami sudah menikah," bisik Nurma, air matanya terus saja membasahi wajahnya.
Ayah pun tersenyum, sebuah senyuman yang tulus, damai, dan penuh kelegaan. Sang Ayah memejamkan mata, memegang erat kedua tangan yang kini telah terikat. Ia berbisik, suara yang hanya bisa didengar oleh Nurma.
"Terima kasih, putriku..."
Genggaman tangan Pak Prastyo perlahan melemah. Monitor di belakangnya mulai mengeluarkan bunyi panjang yang monoton. Detak jantung Pak Prasetyo telah berhenti.
Pernikahan Nurma dan Satria menjadi pesta pernikahan di ujung senja, saksi dari sebuah janji bakti yang agung, dan awal dari sebuah takdir baru yang asing bagi mereka berdua.
Nurma bangkit, menatap Satria. Ia telah kehilangan pria yang dicintainya, dan kini, ia harus belajar mencintai pria yang baru saja dinikahinya.
Satria mendekat, menaruh tangan di bahu Nurma, Ia tidak berkata apa-apa, hanya kehangatan tangannya yang menyampaikan pesan, "Kau tidak sendiri, ada Aku di sini."
Di kamar rumah sakit yang penuh duka, sebuah babak baru kehidupan Nurma dimulai, di bawah bayangan janji suci dan kenangan akan cinta seorang Ayah pada putri semata wayangnya.
Bersambung...
Kini tubuh sang Ayah sudah terbujur kaku diatas tempat tidur, suara isak tangis mulai menggema, Bu Widia datang menghampiri melihat jasad suaminya, sudah tertutup kain berwarna putih.
"Mas, kenapa kau pergi?" tanyanya lirih, dadanya begitu sesak dan juga sakit, Nurma berada di sampingnya mencoba untuk menenangkan ibunya yang hampir jatuh pingsan. Sedangkan Satria, ia ikut membantu Nurma. Tak lama Pak Prakoso datang, ia juga tak bisa menyembunyikan kesedihannya, ia menatap jasad sahabatnya sudah tak bernyawa.
Kabut duka telah menyelimuti ruangan itu, semua keluarga tak ada yang tidak menangisi atas kepergian Almarhum Prasetyo Aditama, orang yang dulu dikenal sangat baik dan juga pekerja keras, kini tuhan telah memanggilnya, menyudahi kisah pilu selama setahun terakhir dimana dirinya harus bertahan dan berjuang melawan penyakitnya.
Pak Prakoso mendekat dan ia mencoba menguatkan Nurma dan juga ibunya.
"Nurma dan juga Bu Widia, saya turut berdukacita atas kepergian Almarhum, semoga segala amal ibadahnya diterima di sisinya, dan sekarang ijinkan saya untuk melaksanakan amanat dari Almarhum! "
Nurma dan ibunya sempat menoleh sejenak ke arah Pak Prakoso.
"maaf Om, apa yang sudah Ayah amanatkan sama Om?" tanya Nurma gugup
Pak Prakoso menghela napasnya sejenak, ia mengusap ekor matanya karena habis menangis.
"Almarhum meminta saya untuk menjagamu dan juga ibumu, beliau menitipkan kalian berdua padaku!" jawabnya seraya menatap jasad sahabatnya.
Nurma dan Bu Widia tak berkomentar apapun tapi dari gestur wajahnya, sepertinya mereka sudah tahu pasti akan ada perkataan seperti ini karena sebelum sakit, sang Ayah selalu mengatakan bahwa sahabatnya akan menggantikan posisinya untuk melindunginya dan juga ibunya.
.
.
Suasana duka telah menyelimuti kediaman Almarhum, banyak pelayat yang berdatangan. Sementara itu Satria dan Papahnya tidak bisa berlama-lama di sana, mereka terpaksa undur pamit karena ada hal penting yang sangat mendesak, sebelum Satria pergi, ia berpamitan dahulu terhadap istri dan juga ibu mertuanya.
"Nurma, maaf jika aku tidak bisa menemanimu beberapa hari ke depan, ada urusan pekerjaan yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja, tapi aku berjanji secepatnya aku akan kembali kesini!" ujarnya seraya menatap dalam Nurma yang saat ini terlihat terus mengeluarkan air matanya, sebenarnya Satria ingin sekali memeluknya agar Nurma bisa jauh lebih tenang namun apa daya, saat ini Nurma pasti masih merasa asing dengannya dan Satria tak mau sampai memaksakan kehendaknya, oleh sebab itu ia memilih untuk menjaga jarak dengannya.
"Iya tidak apa-apa Mas, insyaallah aku dan ibu kuat menghadapi semua ini, terimakasih juga karena sudah berada di sini menemaniku dan juga ibuku!" jawabnya tak berani menatap.
Satria tersenyum tipis padanya dan kemudian ia serta Ayahnya bergegas kembali ke kota Surabaya.
.
.
Dua minggu berlalu begitu cepat, Nurma sudah memulai aktivitas seperti biasanya, namum ia juga menanti kabar dari suaminya yang sampai sekarang ini tak kunjung memberinya kabar apapun.
'Gimana mau saling memberikan kabar, bahkan nomer ponsel masing-masing saja tidak tahu, ck! ' Nurma mengeluh dalam hati.
Di depan pintu gerbang sekolah, Nurma terasa begitu berat hari ini. Setelah dua minggu yang terasa kelam, Nurma akhirnya memberanikan diri kembali ke sekolahnya.
Kedua kakinya melangkah perlahan di koridor yang tentunya sudah familiar baginya, namun hatinya masih terasa penuh sesak. Kepergian Ayahnya dua minggu lalu telah menyisakan lubang yang menganga.
"NURMA!"
Suara ceria itu memecah kesunyian batinnya, dari ujung koridor, dua sosok wanita berlari menghampirinya.
Wina, dengan senyum lebarnya, langsung memeluk Nurma erat, dan di belakangnya, Rea menepuk lembut bahu Nurma.
"Ya ampun, akhirnya lo balik, Ma! Kami kangen banget!" seru Wina sambil melepas pelukannya, matanya memancarkan kehangatan dan kekhawatiran.
Rea mengangguk setuju. "Gimana lo? Lo kelihatan lebih kurus deh. Yuk, cerita-cerita di kelas. Kita sudah siapin tempat duduk lo, ya."
Wina langsung merangkul Nurma, mengajaknya berjalan. "Pokoknya hari ini lo nggak boleh sedih-sedih lagi, ok! Kita sudah siap bikin lo ketawa, buktinya tadi pagi aja gue sama Rea sudah joget-joget konyol biar lo semangat!"
Nurma tersenyum tipis. Kehadiran Wina dan Rea bagaikan sinar matahari yang mencoba menembus awan kelabu nya. "Terimakasih, kalian berdua memang sahabat ku yang terbaik," bisiknya, suaranya masih sedikit serak.
Mereka bertiga mulai masuk ke kelas, Suasana kelas yang ramai seketika hening saat melihat Nurma. Beberapa teman menatapnya dengan tatapan iba, beberapa lagi menyambutnya dengan senyuman. Nurma duduk di tempatnya, di antara Wina dan Rea. Kedua sahabatnya itu langsung menyibukkan diri bercerita tentang gosip terbaru, mulai dari film yang baru rilis, dan kekonyolan para guru-guru di sekolah, semua demi mengalihkan pikiran Nurma dari kesedihannya.
Tidak terasa, bel istirahat usai, menandakan jam pelajaran pertama akan dimulai yakni pelajaran yang sangat dibenci hampir sejuta umat ,Matematika.
"Oke, anak-anak. Selamat pagi!" sapa Bu Yasmin, guru piket yang masuk ke kelas mereka. "Kalian pasti sudah tahu ya, kalau Pak Agung sudah pindah tugas. Nah, kebetulan hari ini kalian akan kedatangan guru Matematika baru. Bapaknya masih muda lho, ganteng lagi!" Bu Yasmin berbisik, memancing tawa kecil di kelas.
"Nah, ini dia bapaknya, Silakan masuk, Pak, untuk perkenalkan diri."
Seorang pria tinggi, tegap, dan berwajah teduh dan memakai kemeja berwarna putih bersih melangkah masuk. Ia membawa setumpuk buku dan sebuah pointer. Seluruh kelas terdiam, termasuk Nurma, yang saat itu sedang menunduk membereskan buku-bukunya.
"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan, nama saya Satria Galih Prakoso," ucap guru baru itu dengan suara bariton yang tegas namun akrab di telinga Nurma.
Mendengar nama itu, jantung Nurma seolah berhenti berdetak. Tangannya yang memegang pulpen mendadak gemetar. Ia refleks mendongak, matanya langsung bertatapan dengan mata Satria yang juga tampak terkejut, namun dengan cepat menutupi keterkejutannya dengan senyum profesional.
Wina di samping Nurma menyikutnya pelan. "Ma, lihat deh, gurunya ganteng banget! Sumpah, kayak artis Korea!"
Rea mengangguk-angguk setuju. "Iya, Ma, lo lihat deh,tapi kenapa tatapannya kayak... kenal sama kita, ya?"
Nurma tidak bisa mendengar celotehan sahabatnya. Pandangannya terpaku pada sosok di depan kelas. Guru baru itu, yang memperkenalkan diri sebagai Satria, adalah Satria, suaminya.
Mereka menikah secara sederhana dua Minggu yang lalu, karena atas permintaan dari mendiang Ayahnya, namum Nurma samasekali tidak tahu akan profesi Satria sebelumnya, pikirnya ia adalah seorang pegawai biasa.. Kini, di hari pertamanya kembali ke sekolah setelah libur semester dan di saat yang bersamaan kehilangan ayahnya, Nurma dikejutkan oleh fakta bahwa suaminya sendiri yang akan menjadi guru Matematikanya.
Satria berdehem kecil, pandangannya mengalihkan dari Nurma ke seluruh isi kelas, ia kembali ke mode profesional.
"Saya akan menggantikan Pak Agung untuk mengajar pelajaran Matematika, Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik," katanya, kemudian ia mulai menuliskan sesuatu di papan tulis.
Beberapa murid wanita mulai berbisik membicarakan soal guru baru mereka.
"Ren, kalau guru matematika model begini sih, gue juga betah, malah seharian full belajar matematika juga gue gak bakalan boring, beda banget sama Pak Agung, si guru super killer yang tampangnya menakutkan, setiap Pak Agung ngajar di kelas, beuhhhh...entah kenapa bulu kuduk gue berdiri!" ujar Santi sambil menunjukan ekspresi wajahnya saat melihat hantu, sehingga membuat Rena melempar pulpen ke arahnya.
"yaelah terlalu berlebihan lo, tapi emang bener sih tuh guru baru gantengnya gak ada obat, kira-kira masih jomblo tidak ya?" ucap Rena seraya menatap sekilas Satria yang sedang menulis di papan tulis
Di bangku paling belakang, Nurma mematung. Matanya menatap punggung suaminya dengan campuran kaget, bingung, dan sedikit lega. Di antara rasa sedihnya, kejutan besar ini tiba-tiba saja memberikan warna baru dalam hidupnya. Wina dan Rea menatapnya bingung karena melihat ekspresi Nurma yang bercampur aduk antara terkejut dan pucat pasi.
'Bagaimana bisa? Kenapa dia tidak memberitahuku?' batin Nurma kesal
Sementara itu Satria sibuk menjelaskan materi, sesekali matanya melirik ke arah Nurma, ada sorot mata yang sulit diartikan, meminta maaf, khawatir, dan juga rindu. Hari itu, pelajaran Matematika menjadi momen paling membingungkan dan paling berdebar dalam sejarah hidup Nurma. Ia kembali ke sekolah untuk mencari ketenangan, namun malah menemukan kejutan yang tak terduga, yang akan mengubah total dinamika hidupnya di sekolah.
Bersambung...
Bel jam istirahat berdering nyaring, memecah keheningan yang tersisa setelah ketegangan menyelesaikan soal-soal trigonometri. Nurma, Rea, dan Wina buru-buru merapikan buku dan alat tulis mereka.
"Gila! Otakku serasa mau meledak gara-gara Pak Satria! Materinya berat banget," keluh Wina sambil memijat pelipisnya.
Rea mengangguk setuju. "Mana wajahnya datar banget lagi, persis kayak soal-soal yang dia kasih, padahal pas awal datang masuk ke kelas sudah seperti aktor Korea."
"sebaiknya kita pergi ke kantin, aku butuh asupan gula biar nggak pingsan."ajak Wina
Mereka bertiga akhirnya berjalan menuju pintu.
Nurma mengekor di belakang, langkahnya terasa berat, bukannya fokus pada obrolan kedua temannya tentang bakso mercon legendaris di kantin, mata Nurma justru terpaku pada satu objek yakni meja guru di ujung ruangan.
Di sana, masih berdiri Pak Satria, guru matematika baru mereka yang mendadak menggantikan sosok Pak Agung ,Pak Satria tiba-tiba saja muncul kembali, setelah dua minggu ia menikah dengannya.
"Pak Satria..." bisik Nurma, namanya sendiri terasa asing dan aneh saat digabungkan dengan titel 'Pak Guru'.
Dua minggu sejak mereka resmi menjadi suami-istri, dan selama itu pula Satria menghilang tanpa kabar. Bukan karena niat buruk, melainkan karena pernikahan mereka sangat mendadak, hanya untuk memenuhi permintaan terakhir Ayahnya Nurma yang sakit keras. Mereka menikah tanpa pacaran, tanpa kenal dekat, dan yang paling konyol, mereka bahkan tidak sempat bertukar nomor telepon sebelum Satria mendadak pergi tugas.
Pertemuan terakhir mereka adalah malam setelah pemakaman Ayah Nurma, Satria berpamitan singkat karena harus kembali ke tempat tugasnya yang Nurma tahu di kota Surabaya.
Dan kini, ia menemukan suaminya duduk manis di sekolahnya, menjadi guru matematikanya, sebuah profesi yang sama sekali baru ia ketahui.
"Ma, ngapain bengong? Ayo!" ajak Rea sambil menarik lengan Nurma.
Nurma tersentak, namun sebelum ia berbalik, Satria yang kini dipanggil Pak Satria, mengangkat kepalanya. Mata mereka bertemu, Satria terkejut, ekspresinya antara kaget, bersalah, dan panik. Ia buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura mengecek buku catatan.
"Ya ampun! Kenapa dia di sini?" batin Satria, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu ini akan terjadi, Ia seharusnya tahu! Pemindahan tugasnya ke Jakarta Selatan adalah hal yang mendadak, dan ia tidak pernah tahu bahwa ia akan ditempatkan mengajar di SMA tempat istrinya sekolah. Ia bahkan tidak tahu bahwa Nurma masih bersekolah karena pernikahan mereka yang terburu-buru pikirnya Nurma sudah lulus sekolah, namum ternyata belum.
Setelah pemakaman itu, ia harus segera kembali ke tempat tugas lamanya untuk serah terima, dan dalam kekacauan pikiran serta kesibukannya, ia benar-benar lupa meminta kontak Nurma.
Satria merasa dadanya sesak oleh rasa bersalah, Ia terlihat seperti suami yang menghilang, suami yang tidak jujur soal pekerjaannya. Padahal, ia memang tidak tahu ia akan menjadi guru. Profesi aslinya sebenarnya bukanlah seorang guru, Ia adalah seorang perwira yang sedang menjalani tugas pengabdian dan penempatan di lingkungan pendidikan, dan penugasan ini mendadak baru dua hari sebelum ia mulai mengajar di sana!
Di koridor, Nurma sudah terlepas dari tarikan temannya. Matanya memanas. Rasa sakit dan kecewa bercampur aduk.
'Pergi selama dua minggu, tiba-tiba jadi guru di sekolahku. Tiba-tiba menjadi 'Pak Satria'. Gumamnya dalam hati.
"Ma, kamu kenapa? Wajahmu pucat banget," tanya Wina khawatir.
"Nggak apa-apa, Win, kalian duluan saja ke kantin. Aku... aku ketinggalan buku di kelas," Nurma berbohong, suaranya tercekat.
Tanpa menunggu jawaban, Nurma berbalik dan melangkah cepat kembali ke kelas.
Di Dalam Kelas
Nurma berdiri di ambang pintu, sedangkan Satria masih di meja guru, pura-pura sibuk, padahal Kelas sudah kosong.
"Pak Satria," panggil Nurma, suaranya dingin dan tegas, menghilangkan semua keakraban yang pernah ada di antara mereka, meskipun keakraban itu memang minim.
Satria mengangkat kepala, kali ini, ia tidak bisa menghindar. Ia berdiri, berjalan perlahan mendekati Nurma.
"Nurma," ucapnya pelan, suaranya sarat penyesalan.
"Dua minggu," kata Nurma, nadanya penuh tuduhan. "Tidak ada kabar, tidak ada telepon, dan Bapak... tiba-tiba saja menjadi guru matematika saya. Bapak bahkan tidak pernah bilang profesi Bapak adalah seorang guru."
Satria menghela napas, ia mengerti kesalahpahaman yang terjadi. Nurma pasti berpikir ia sengaja menyembunyikan identitasnya dan menghindar.
"Saya minta maaf, Nurma, sangat minta maaf," Satria memulai bicaranya dengan hati-hati. "Saya tahu saya salah karena tidak berusaha mencari cara untuk menghubungi kamu, bahkan setelah semua yang terjadi, saya akui, itu kelalaian saya, Saya benar-benar tidak sempat meminta nomor telepon kamu, dan setelah kejadian itu, semuanya terasa kacau dan mendadak."
Ia mendekat, mencoba meraih tangan Nurma, namun Nurma mundur selangkah.
"Ini bukan hanya tentang nomor telepon, Satria," seru Nurma, air matanya mulai menggenang. "Ini tentang kejujuran. Profesi! Bapak bilang Bapak ada tugas penting di Surabaya tapi Bapak justru sekarang ada di sini, jadi guru. Kenapa Bapak tidak pernah bilang?"
Satria tahu ia harus menjelaskan semuanya.
"Dengarkan saya, Nurma. Profesi utama saya bukan guru. Saya adalah anggota TNI, dan penempatan saya di lingkungan pendidikan, ini adalah penugasan yang sangat mendadak. Saya dipindahtugaskan dari pos lama saya, dan penugasan di sini sebagai guru pengabdian, baru saya terima infonya dua hari sebelum saya mulai mengajar di sini, di sekolah ini. Saya bersumpah, saya tidak tahu ini sekolah kamu. Sejak menikah, kita belum pernah bicara banyak, dan saya tidak tahu kamu bersekolah di sini. Saya juga baru tahu pagi ini bahwa kamu adalah murid saya saat saya melihat daftar nama di kelas."
Satria berhenti sejenak, menatap mata Nurma yang terluka.
"Masalah utama saya adalah tidak ada kabar, dan itu murni kelalaian saya. Saya tidak punya alasan yang pantas selain sibuknya serah terima tugas lama dan mengurus pindah tugas yang mendadak. Saya tidak bermaksud mengabaikan kamu, apalagi menyembunyikan apa pun," Satria melanjutkan, suaranya melembut penuh harap. "Saya akan jelaskan semuanya, Nurma, tapi tidak di sini. Tolong, beri saya waktu. Kita butuh bicara serius, sebagai suami dan istri, malam ini, Kita bertemu di luar."
Nurma terdiam, mencerna rentetan penjelasan Satria, wajah Satria terlihat tulus, dan cerita tentang penugasan mendadak sebagai pengabdian di lingkungan pendidikan, sebagai anggota TNI, sedikit masuk akal. Mungkin memang ada kesalahpahaman yang besar di antara mereka.
"Bagaimana saya bisa menghubungi Bapak?" tanya Nurma, suaranya masih getir.
Satria tersenyum lega. Ia tahu ada harapan, dan Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang sudah usang.
"Ambil ini, ini adalah nomor telepon saya. Sekarang kita punya cara untuk bicara," katanya, Ia maju selangkah lagi, menatap lurus mata Nurma. "Saya minta maaf, istriku. Kita mulai dari awal, dengan penjelasan yang jujur, bisakah kita bertemu di kafe dekat taman kota setelah jam sekolah usai? Saya akan jelaskan detailnya, dan kita akan perbaiki kesalahpahaman ini."
Nurma mengambil kartu nama itu, Ia memandang Satria, suaminya, guru matematikanya, lalu Ia menghela napas panjang, kekecewaannya perlahan mulai digantikan rasa penasaran dan harapan untuk sebuah penjelasan.
"Baiklah, Pak Satria," jawab Nurma, kali ini dengan nada yang sedikit lebih lunak. "Saya tunggu, jangan sampai saya hanya mendapat jawaban dari soal-soal matematika saja."
Satria tersenyum tulus. "Tidak, Nurma, ini akan menjadi jawaban yang jauh lebih penting dari sekadar soal matematika, Saya janji."
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!