Malam itu langit seakan menangis, menemani jeritan kesakitan seorang wanita yang tengah berjuang antara hidup dan mati.
“Aaaaargh....sakit sekali” teriak seorang wanita yang tengah akan melahirkan.
Seorang wanita tua senantiasa berada di sampingnya
“Sabar bu, yang kuat ya bu. Sebentar lagi anaknya akan lahir” perintah seorang wanita yang merupakan seorang bidan.
“Bi ijah, mana....mas... Arman...” Tanya wanita yang akan melahirkan itu dengan terbata-bata menahan rasa sakit di perutnya.
“Tuan sudah saya hubungi nya, beliau bilang akan segera sampai di rumah, Nyah” kata bi Ijah menggenggam tangan majikannya.
“Aku...udah...nggak kuat bi. Sakiiit banget” keluh wanita itu yang memegangi terus perutnya.
“Rianti....rianti....” terdengar suara seorang pria yang membuka pintu kamar tempat wanita yang akan melahirkan itu.
“Rianti...sayang....kamu harus kuat sayang” hibur pria itu pada wanita yang di panggilnya Rianti.
“Mas Arman...aku...nggak...kuat mas” kata Rianti yang akan menyerah karena sudah kehabisan tenaga.
“Jangan kamu berkata seperti itu sayang, kamu harus kuat demi anak kita. Mas sangat mencintaimu” Arman duduk di samping istrinya.
Darah sudah merembes keluar dari tempat jalan lahir membasahi tempat tidur. Arman ingin membawa istrinya Rianti ke rumah sakit segera namun bidan melarangnya karena kondisi Rianti yang semakin lemah.
Dengan tenaga yang tersisa, Rianti terus berusaha melahirkan anak yang sangat dia sayangi. Bidan terus menerus memberi instruksi, Arman menggenggam erat tangan istri yang sangat ia cintai.
Oaaak....oaaaak...ooaaaak
Terdengar tangisan keras dari makhluk mungil yang baru datang ke dunia, suara tangisannya begitu nyaring membahana di dalam kamar itu.
“Selamat tuan besar, putri anda telah lahir dengan selamat dan fisik yang sempurna. Saya akan menyuruh perawat membersihkan putri anda dahulu”
Rianti tersenyum bahagia, bidan yang membantu persalinannya menatap aneh ke arahnya. Wajah cantik Rianti berubah pucat pasi dengan di hiasi rasa sakit yang di sembunyikannya dengan senyuman.
Bidan itu langsung memeriksa, dia sangat terkejut karena Rianti mengalami pendarahan yang hebat.
“Tuan...cepat kita bawa nyonya ke rumah sakit” perintah bidan itu.
Arman mendengar perintah bidan itu segera akan mengangkat Rianti. Namun, tangan Arman di tahan oleh Rianti dengan gelengan lemah darinya.
“Tidak mas...sudah terlambat. Aku hanya ingin di sini bersamamu dan putri kita”
“Apa maksudmu Rianti? tidak...tidak sekarang kita ke rumah sakit. Kamu akan cepat sembuh”
“Mas....aku sudah tidak kuat.... lagi... mas.... bi.... ijah... di... mana... putriku” tanya Rianti terbata-bata.
Setelah bayi mungil itu di bersihkan dan di bedong, bayi itu di serahkan pada Rianti yang kini menyandarkan tubuhnya di dada bidang suaminya.
“Mas....lihat....putri kita sangat.... Cantik” Rianti menggendong putrinya dengan senyuman.
Arman menitikkan air matanya saat merasakan tubuh istrinya yang mulai terasa dingin dan lemah.
“Rianti, ayo kita ke rumah sakit sekarang. Kamu akan sembuh dan kita akan merawat putri kita bersama-sama, kamu sudah berjanji padaku untuk selalu bersamaku walau apapun yang terjadi” Arman memeluk istrinya dari belakang membantu memegangi putri mereka bersamaan.
Tak ada jawaban yang terdengar dari bibir istri yang sangat di cintainya. Hanya keheningan dan tangisan bayi mereka yang menjawab pertanyaannya.
Semua yang hadir di sana meneteskan air mata dan mengetahui jika nyonya mereka telah berpulang kembali menghadap sang Khalik. Arman perlahan-lahan menidurkan istri yang di cintainya di tempat tidur, di perhatikannya wajah cantik istrinya kini telah memucat.
“Rianti....Rianti, bangunlah sayang... Kamu tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Bangunlah sayang ku” Arman membangunkan istrinya, bi Ijah mendekat perlahan.
“Tuan ikhlaskan tuan, nyonya sudah pergi menghadap sang Ilahi. Jangan bebani langkah nyonya tuan” bi Ijah menasehati Arman.
Tangannya terulur menggendong bayi Rianti yang tidak henti-hentinya menangis.
“tuan, azanilah putri anda terlebih dahulu” pinta bi Ijah seraya menyerahkan bayi mungil itu pada Arman yang sudah mulai diam.
Arman tidak bergeming, matanya memandang hampa pada istrinya.
“Tuan” panggil bi Ijah.
Bi Ijah mengulurkan bayi mungil itu pada Arman. Mata Arman menatap nanar bayi tidak berdosa itu.
“jauhkan pembawa sial itu dari ku” hardik Arman, bi Ijah dan seluruh yang hadir di sana terkejut saat mendengar perkataan Arman.
“tuan, anda tidak boleh berkata begitu. Semua ini adalah titipan dari Allah, dan semuanya akan kembali pada-Nya”
“Dia adalah pembawa sial bagiku, tidak hanya merenggut orang yang sangat ku cintai. Kehadirannya di dunia ini sudah menjadi kesalahan dan kesialan bagi ku”
“Tuan....jangan anda berkata begitu. Walau bagaimanapun dia adalah putri anda yang sangat di cintai nyonya”
“di cintai....hahahaha.....jika dia mencintai putrinya kenapa dia meninggalkan kami?” Arman kembali meratapi dirinya sendiri. Tidak terbayangkan olehnya selama ini akan kehilangan istri yang di nikahinya dengan begitu cepat.
“Tuan, semua sudah menjadi suratan takdir. Anda harus ikhlas tuan, kasihan putri anda. Sudah menjadi tugas anda untuk mengazaninya?” nasihat bi Ijah.
“Tidak, dia adalah pembawa sial bagiku. Tidak hanya mengambil nyawa istri yang sangat ku cintai, dia juga membuatku kehilangan segalanya. Perusahaanku bangkrut, semua meninggalkanku” Arman meratapi dirinya, putus asa dengan takdir yang di hadapinya.
Bi Ijah hanya bisa pasrah menatap iba pada bayi di gendongannya.
Tangisan bayi itu menyiratkan rasa sedih yang harus di tanggungnya yang mendapat penolakan dari ayahnya sendiri.
Bi Ijah menenangkan bayi yang masih menangis di pangkuannya. Dengan telaten bi Ijah merawat bayi yang baru di lahirkannya, dengan terpaksa bi Ijah mengazani bayi mungil itu. Arman tidak pernah sekalipun menjalankan perannya sebagai ayah, dia meratapi kesedihan dan kegagalannya. Bisikan setan membuatnya menjadi gelap mata dan menyalahkan putrinya atas apa yang menimpa dirinya.
“Kasihan kamu nduk. Baru kamu menghirup udara di dunia ini, kamu sudah di tolak oleh papamu. Semoga papamu menyadari kesalahannya dan di tunjukki jalan yang benar oleh sang Illahi” bi Ijah membelai lembut pipi dan rambut bayi itu.
“bahkan ayahmu tidak mau memberimu nama" bi Ijah menghela nafas berat
"Maaf ya non seharusnya bukan bibi yang memberi nama untuk non, tapi bibi ndak bisa membiarkan tuan memanggil non dengan sebutan pembawa sial. Bibi akan memberi namamu Sabrina Zalfa Kusumo, bibi berdoa kelak kamu menjadi anak yang sholehah dan kebanggaan bagi keluarga Kusumo” doa bibi Ijah untuk putri majikannya yang kini di asuhnya.
Tahun berganti tahun, sabrina kini berusia 8 tahun. Selama 8 tahun pula Arman tidak pernah menganggap Sabrina putrinya, Arman selalu bersikap dingin dan sangat membenci Sabrina.
Arman pun tak akan segan melayangkan tangannya saat Sabrina tidak sengaja melakukan kesalahannya. Hukuman demi hukuman telah menjadi makanannya sehari-hari, hanya bibi Ijah yang membesarkan hati putri majikannya.
Walaupun bi Ijah yang mengasuh sabrina, bi ijah tetap memberitahu jika Sabrina adalah putri majikannya. Bibi Ijah memperlihatkan foto ibu kandung sabrina, Rianti yang telah mengorbankan nyawanya untuk melahirkan Sabrina.
*************
terus dukung Author
dengan cara like, vote dan tipnya.....😊😊😊
jangan lupa juga kasih rate nya ya....😊😊😊
( Π_Π )
makasih..... tetap semangat 🤗🤗🤗🤗
Walaupun bi Ijah yang mengasuh sabrina, bi ijah tetap memberitahu jika Sabrina adalah putri majikannya. Bibi Ijah memperlihatkan foto ibu kandung sabrina, Rianti yang telah mengorbankan nyawanya untuk melahirkan Sabrina.
Perlahan-lahan perusahaan milik Arman mulai membaik dan kembali ke keadaan normal. Kehidupan Arman mulai membaik, hanya sikapnya pada Sabrina yang tidak berubah sama sekali.
Pernah suatu hari, Arman menghukum dengan kejam Sabrina kecil yang saat itu masih berumur 5 tahun. Sabrina tidak sengaja memanggilnya papa di depan tamu yang di undangnya. Setelah tamu itu pergi dengan kasar rambut Sabrina yang tergerai panjang di tarik kasar oleh Arman hingga Sabrina terseret.
“papa....ampun pa...maafkan sabrina pa...ampun pa...sakit papa...” tangis Sabrina yang merasa perih di rambutnya.
“Dasar si**an, jangan pernah kau memanggilku dengan sebutan itu. Kau bukan anakku, kau pembunuh istri yang sangat ku cintai. Kau sudah membunuhnya, gara-gara kehadiran kau di dunia ini perusahaan ku bangkrut, istriku pergi meninggalkanku selamanya. Sekarang kehidupan ku sudah membaik, tak akan ku biarkan kau menghancurkannya, dasar si**an” Arman mendorong kasar Sabrina ke dalam gudang.
Sabrina di kunci dalam gudang tanpa di beri makan dan minum sedikitpun. Bi ijah yang mengetahui hal itu memohon-mohon untuk Arman mau membebaskan Sabrina.
“Tuan saya mohon tolong bebaskan non Sabrina tuan, kasihani dia” tangis bi Ijah yang memohon Arman untuk membebaskan Sabrina.
“Kamu memangil dia apa tadi? Non” hardik kasar Arman.
“Tuan bagaimanapun non Sabrina adalah putri kandung tuan. Seharusnya tuan menyayanginya” bi ijah memberi nasehat pada Arman agar mau berubah.
“Dia bukan putriku, dia pembawa si*l bagiku pembunuh yang seharusnya dari dulu aku singkirkan. Kamu jangan pernah coba-coba membebaskan si**an itu, jika kamu diam diam membantu dia maka kamu akan saya pecat dan di usir dari rumah ini” ancam Arman kepada bi Ijah.
Bi Ijah merasa sangat kasihan pada Sabrina, ingin rasanya bi Ijah membawa Sabrina pergi dari rumah Arman Kusumo. Tapi, dia tidak berani karena dalam tubuh Sabrina mengalir darah keturunan Kusumo.
bi Ijah sudah sangat tua dan sering sakit-sakitan hingga dia tak sanggup lagi mengerjakan pekerjaannya, sabrina merasa sangat kasihan dia menggantikan bi Ijah mengerjakan semua pekerjaan bi Ijah.
Malam itu menjadi malam terpahit bagi Sabrina, keadaan bi Ijah semakin parah.
“Bi...bi...bi ijah jangan tinggalkan Sabrina. Kalo bi ijah pergi Sabrina dengan siapa?” tangis Sabrina memegang tangan renta bi Ijah.
“Non sabrina, jangan bersedih. Non masih punya tuan, papa non Sabrina”
Sabrina hanya diam
“Non....walau bagaimanapun tuan pada non. Beliau tetaplah papa non, yakinlah suatu hari hati tuan akan menerima non Sabrina, jangan berkecil hati non” nasehat bi ijah dengan sisa kekuatannya
“Bi...bi...harus kuat. Jangan tinggalkan Sabrina bi” tangis Sabrina semakin menjadi.
“Non Sabrina, jadilah anak yang baik dan membanggakan orang tua. Bibi sudah....ti...tidak ....kuat ....lagi non...” bi ijah sudah sangat kepayahan, Sabrina kebingungan tidak tahu harus bagaimana.
Sabrina keluar dari kamar bi Ijah memohon pertolongan para pelayan lainnya di rumah Arman. Mendengar tangisan Sabrina, para pelayan segera berbondong-bondong menghampiri kamar bi ijah.
Bi ijah sudah menutup mata untuk selama-lamanya, Sabrina mendekati bi Ijah memegangi tangan bi ijah yang sudah dingin. Tangisan Sabrina semakin pecah, orang yang menyayanginya telah pergi menghadap sang khalik.
Belum genap sebulan bi Ijah meninggalkan Sabrina. Arman kembali melangsungkan pernikahan keduanya dengan perempuan bernama Indah Sri Ningsih Kusumo.
Dari pernikahan ke dua Arman di karuniai seorang anak perempuan yang kini berusia 7 tahun bernama Adelia Kusumo dan seorang anak laki-laki yang berusia 6 tahun Indra Kusumo. Rupanya Arman sudah lama menikah sirih dengan Indah, Arman sengaja belum meresmikan penikahannya dengan Indah karena istrinya belum lama meninggal dan perusahaannya yang di ambang kehancuran.
Arman meminta Indah untuk bersabar, saat perusahaannya kembali ke keadaan normal dia akan menikahi Indah kembali secara resmi. Indah dan anak-anaknya tahu jika Sabrina adalah putri kandung Arman yang sangat di benci.
Sabrina ikut bahagia saat ayahnya kembali menikah, tapi kebahagiaan itu hanya seperti bayangan semu. Awalnya Indah bertingkah laku sangat baik dan lembut pada Sabrina.
Tapi kelembutan dan kebaikannya itu hanyalah sebuah topeng, Sabrina di jadikan budak di rumah ayahnya sendiri. Adel dan indra juga ikut memperlakukan Sabrina sebagai pembantu, mereka juga sangat sering menyiksa dan sering menjadikan sabrina kambing hitam saat mereka membuat kesalahan.
Indah tidak akan segan-segan menghukum Sabrina saat dia melakukan kesalahan. Arman sama sekali tidak peduli pada putri kandungnya, dia lebih memilih menulikan dan membutakan matanya menganggap Sabrina bukanlah siapa-siapa baginya.
Suatu hari, adik kandung Rianti bibi Sabrina Andhini Sari datang mengunjungi bersama suaminya. Seorang pelayan mempersilahkan Andhini dan suaminya Wiyasa duduk di ruang tamu. Lalu pelayan itu menghampiri Arman yang sedang berada di ruang keluarga bersama istri barunya, memberitahu kedatangan Andhini.
Arman menghampiri yang menurutnya tamu tidak di undang.
“Assalammualaikum mas...” sapa Andhini ramah pada Arman yang di sambut dingin olehnya.
“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Arman dengan kasar dan angkuh. Indah ikut bergabung dengan suaminya di ruang tamu.
Andhini menatap Indah yang duduk di samping Arman.
“Maaf mas, aku datang kemari tanpa mengabari mas terlebih dahulu. Aku kemari bersama mas Wiyasa ingin bertemu dengan anaknya mbak Rianti mas” kata Andhini
“ooo...kamu mau ketemu sama si si**an itu?” tanya Indah dengan angkuhnya.
“maaf mbak, jika aku tidak sopan. Siapa mbak, berani-beraninya mbak menghina putrinya mas Arman dan mbak Rianti” Andhini mulai kesal saat Indah menghina keponakannya.
“Jaga ucapanmu Andhini, dia istriku. Seharusnya kau jaga mulut kau itu” Arman semakin dingin dan angkuh.
Mendengar penuturan Arman, andhini terdiam dan tak mampu berkata apa-apa. Wiyasa suami Andhini memegang tangannya dengan kelembutan untuk menenangkan istrinya.
“Maaf mas Arman, apakah kami boleh bertemu dengan keponakan kami?” kini Wiyasa membuka suaranya.
Indah tersenyum smirk, menganggap rendah Andhini dan Wiyasa.
“Kalian boleh bertemu dengan si si***an itu tapi dengan syarat” kata Indah
“syarat....syarat apa?” tanya Andhini,
Ada apa ini sebenarnya, kenapa mas Arman berbeda dan sangat angkuh? Apa yang terjadi dengan keponakanku begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang berputar putar di kepala Andhini.
“Dengan syarat, saat kalian melihat si si***an itu. Detik itu juga kalian angkat kaki dari sini dengan membawa si si***an itu” kata Arman
Andhini sangat terkejut saat mendengar perkataan Arman.
“Mas Arman...apakah begini sikap seorang ayah terhadap putrinya? Dengan begitu mudahnya mas Arman menyerahkan putri mas Arman pada ku tanpa memikirkan perasaan putrimu” Andhini sangat marah dengan tingkah laku Arman yang angkuh dan sombong
“Kau tidak perlu banyak tanya, kau ingin bertemu dengan anak pembawa si*l itu atau tidak?” tanya Arman yang semakin kesal.
Andhini mengurut dadanya saat mantan kakak iparnya memanggil putri kandungnya sendiri sebagai pembawa Si*l. Mereka pun menyetujui syarat yang di ajukan Arman, Indah langsung menyuruh pelayan untuk membawa Sabrina menemui mereka di ruang tamu.
*************
terus dukung Author
dengan cara like, vote dan tipnya.....😊😊😊
jangan lupa juga kasih rate nya ya....😊😊😊
( Π_Π )
makasih..... tetap semangat 🤗🤗🤗🤗
“Kau tidak perlu banyak tanya, kau ingin bertemu dengan anak pembawa si*l itu atau tidak?” tanya Arman yang semakin kesal.
Andhini mengurut dadanya saat mantan kakak iparnya memanggil putri kandungnya sendiri sebagai pembawa Si*l. Mereka pun menyetujui syarat yang di ajukan Arman, Indah langsung menyuruh pelayan untuk membawa Sabrina menemui mereka di ruang tamu.
Akhirnya, nona Sabrina bisa bebas juga dari sini. Aku sungguh tidak tega jika melihat nona Sabrina yang terus menerus mendapat hukuman dari Tuan dan Nyonya guman pelayan itu dalam hati merasa sangat iba pada Sabrina.
Adelia dan Indra mengintip dari kamar mereka.
“Kak, kalo si pembawa Si*l itu pergi. Nggak ada lagi yang bisa jadi mainan kita” kata Indra.
“bagus kalo si si*l itu angkat kaki dari sini. Mata kakak udah sangat sakit melihat, kamu jangan kuatir dek. Kita akan dapat banyak mainan saat kita udah pindah nanti ke australia” ujar Adel senang dan dengan sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar oleh Sabrina yang melintas melewati kamar mereka.
Pelayan yang menggandeng tangan Sabrina terkejut saat mendengar penuturan Adelia. Mereka sengaja tidak memberitahu soal kepindahan Arman dan keluarga ke Australia.
“Bi...apa benar yang di katakan Adel. Kalo papa dan mama Indah akan pindah dari sini?” tanya Sabrina polos.
“I....i...iya non. Tuan dan nyonya akan pindah”
Sabrina sangat senang, dia sudah memikirkan hal apa saja yang akan di bawanya saat pindahan nanti.
Kasihan non Sabrina, maafkan bibi non tidak mengatakan halnyang sebenarnya. Bibi takut di pecat non kata pelayan itu dalam hati merasa iba.
Andhini dan Wiyasa sangat terkejut saat melihat keponakan mereka yang begitu mengenaskan. Badan Sabrina sangat kurus dan tidak terawat, rambutnya kusut.
“Astagfirullah....apa yang..” andhini kehilangan kata-kata saat melihat keadaan keponakannya.
Wiyasa tampak geram dan ingin sekali memukul Arman.
“Sekarang kalian bawa dia dan angkat kaki kalian dari sini” usir Arman pada Andhini dan Wiyasa.
Sabrina nampak kebingungan dan tidak mengerti dengan perkataan ayahnya. Andhini mendekati sabrina.
“nak...kamu ikut tante ya” Andhini mengajak sabrina untuk ikut dengannya.
“Maaf tante, tapi kenapa Sabrina harus ikut dengan tante? Sabrina kan akan ikut papa ke Australia” kata Sabrina polos.
Arman begitu panas saat Sabrina memanggilnya papa dan ingin menghajar Sabrina. Namun, Indah menghentikannya
“tenang mas. Sebentar lagi kita tidak akan melihat dia lagi, jangan sampai kita kena masalah mas atau semua rencana kita aka gagal mas” kata Indah
“Sayang....tante tahu kamu tidak mengenal bibi. bibi adalah adik dari mendiang ibumu. Nama bibi adalah bibi Andhini dan yang itu paman Wiyasa suami bibi. Bibi kemari mau menjemputmu karena mbah kakung dan mbah uti kangen sama kamu sayang. Kamu mau ya ikut sama bibi” jelas Andhini
“Tapi...kalo sabrina ikut bibi, papa...” Sabrina masih menolak untuk ikut dengan Andhini.
“Dasar anak si*l, sudah berapa kali aku mengatakan padamu. Aku bukan papamu, kau adalah pembawa si*l tidak hanya membunuh orang-orang yang ku cintai tapi karena kehadiran kau, aku hampir kehilangan segalanya. Dasar anak tidak tahu diri” Arman memaki Sabrina dan mengangkat tangannya hendak memukul Sabrina.
Andhini langsung melindungi sabrina dengan menyembunyikan sabrina di belakang tubuhnya. Sabrina tampak sangat ketakutan,
“Mas....jangan pernah sekalipun kamu memukulnya. Walau bagaimanapun dia adalah darah dagingmu”
“Dia bukan siapa-siap bagiku. Saat dia membunuh Rianti dengan lahir ke dunia ini saat itu juga dia adalah musuh ku” Arman semakin marah dan kesal melihat Sabrina.
Andhini lalu menggendong Sabrina dan membawanya masuk ke dalam mobil taksi yang sudah menunggu di luar.
Wiyasa menatap prihatin melihat sikap arogan, angkuh dan kesombongan Arman
“ Astagfirullah mas...semoga Allah membukakan hati mu mas dan Menyadarkanmu dari kesesatan” doa Wiyasa langsung pergi meninggalkan kediaman Arman.
Sabrina hanya diam, dia merasa sangat sedih dengan perlakuan ayah kandungnya sendiri. Sabrina tidak pernah dendam pada ayahnya berkat ajaran almarhum bi ijah yang selalu mengajarkan kebaikan pada Sabrina.
“Sayang....nama kamu Sabrina...” Andhini mencoba mengajak Sabrina untuk mengobrol. Sabrina masih diam, tidak lama kemudian dia mulai menyebutkan namanya.
“Sabrina Zalfa ku.....” sabrina terdiam saat akan menyebut nama keluarganya, Andhini mengerti keterdiaman Sabrina.
“Sabrina Zalfa....nama yang bagus dan indah, siapa yang memberi nama mu sayang?”
“......” Sabrina diam seribu bahasa.
“Sabrina sayang, sekarang kamu tinggal bersama bibi, paman dan mbah ya” ajak Andhini.
“bibi...” Sabrina menundukkan kepalanya.
“ iya sayang”
“Apakah papa membuang sabrina seperti yang di katakan Adel dan Indra?”
Andhini terdiam dan menatap iba pada sabrina. Wiyasa dan Andhini saling bertatapan bingung menjelaskan bagaimana pada Sabrina.
“Sayang....papa kamu tidak pernah membuangmu. Papamu sengaja menyuruh kamu tinggal bersama paman, bibi dan mbah karena kami sangat rindu dengan mu. Suatu saat papa mu akan menjemputmu dan mengajak mu untuk tinggal lagi bersama” hibur Wiyasa tidak tega melihat keponakannya yang sangat sedih.
Sabrina kembali diam, andhini menggendong dan memeluk Sabrina agar dia bisa tidur dengan nyaman. Untuk pertama kali Sabrina merasakan pelukan hangat dari seorang ibu, sangat hangat dia pun tertidur dalam dekapan bibinya.
Hari masih belum begitu sore, Wiyasa dan Andhini memutuskan untuk kembali ke Surakarta dengan menggunakan kereta Api.
Andhini dan Wiyasa kembali ke tempat penginapan mereka untuk mengambil barang-barang mereka. Andhini mengajak Sabrina untuk membersihkan diri, saat akan membuka bajunya tangan Sabrina menahan bajunya supaya tidak terbuka.
“Sayang....sebaikanya kamu mandi dulu baru sesudah itu kita shalat ashar berjamaah. Ayo sini biar bibi bantuin kamu mandi” andhini dengan lembut membantu Sabrina.
Tangan mungil Sabrina tetap menahan bajunya agar tidak terbuka. Kedua suami istri ini saling berpandangan bingung,
“Sayang...ayo sini bibi buka. Kamu jangan takut, tidak ada yang akan menyakiti mu di sini sayang”
Sabrina tetap menunduk dan menahan kuat bajunya agar tidak terbuka.
“Apa sabrina malu ya...oke deh paman akan keluar dulu cari makanan ya (melihat ke arah istrinya) mas sholat di luar saja, kamu temanilah Sabrina”
“Baik mas”
Wiyasa keluar dari kamar penginapan menuju musholla terdekat untuk melaksanakan sholat ashar, setelah sholat wiyasa mencari makanan.
Andini kembali membujuk Sabrina untuk membersihkan diri.
“Sayang... Allah menyukai umatnya yang menjaga kebersihan dan wangi. Ayo sekarang bibi bantu kamu untuk mandi ya!” bujuk Andhini lagi.
Perlahan-lahan Andhini membuka baju atasan Sabrina,
“Astaghfirullah hal adzim...” Andhini sangat terkejut saat melihat sekujur tubuh Sabrina penuh dengan luka lebam.
Ada luka lebam yang sudah lama dan ada yang baru, bekas cubitan dan luka bakar di punggungnya yang sudah sembuh tapi masih meninggalkan bekas.
*************
terus dukung Author
dengan cara like, vote dan tipnya.....😊😊😊
jangan lupa juga kasih rate nya ya....😊😊😊
( Π_Π )
makasih..... tetap semangat 🤗🤗🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!