NovelToon NovelToon

AKHIRNYA MENYESAL

KEJUTAN MENYAKITKAN

"Livia, mau keluar?"

Wanita itu menoleh. Seorang pria berwajah tampan berdiri tak jauh darinya, mengenakan jas dari merek ternama yang membungkus tubuh tinggi dan berototnya.

"Pak Sean? Ada perlu dengan saya?" tanya Livia balik.

Pria itu tersenyum. Senyum yang sering membuat Livia merasa tak nyaman, terutama karena atasannya itu kerap menunjukkan perhatian lebih dari sekadar profesional.

"Tidak. Saya cuma mau ajak kamu makan siang,"

jawab pria yang usianya seumuran suami Livia itu, santai.

"Maaf, Pak. Saya harus ke kantor Mas Alex. Ada hal penting yang perlu saya sampaikan."

"Tidak bisa lewat telepon?"

"Sayangnya, tidak bisa," sahut Livia pelan namun cukup tegas.

"Oh, ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan."

Livia mengangguk. "Terima kasih. Saya pergi dulu."

Ia pun melangkah pergi, meninggalkan Sean yang menatap kepergiannya dengan ekspresi sulit ditebak.

30 menit kemudian, Livia tiba di kantor Alex. Jarak antara kantor mereka memang tidak terlalu jauh.

Setelah memarkir mobilnya, Livia berjalan memasuki lobi. Ia sudah memiliki akses masuk, jadi bisa langsung naik ke ruangan Alex tanpa perlu lapor ke siapa pun.

Tring.

Pintu lift terbuka. Livia keluar dengan wajah bahagia.

Dan sebentar lagi kebahagiaan itu akan ia tularkan pada suaminya.

Lorong menuju ruangan Alex masih sepi, mungkin sebagian besar pegawai masih dalam jam istirahat makan siang. Termasuk Khaliza, sekretaris Alex, yang tidak ada di mejanya.

Livia melangkah langsung menuju ruangan manajer keuangan. Pintu putih di depannya tertutup rapat. Bibir Livia tampak bergerak pelan, melafalkan doa dalam hati agar suaminya ada di dalam. Dia sengaja tak mengatakan akan datang, untuk memberi kejutan pada suaminya.

Ceklek.

Livia membuka pintu dan melongokkan kepala, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Namun, beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. Senyumnya perlahan menghilang.

Alex tidak sendirian. Di dalam ruangan itu ada seorang wanita yang tidak Livia kenal. Dengan seorang gadis kecil duduk di pangkuan Alex, sementara si wanita sedang menyuapkan makanan ke mulut Alex.

Tapi belum sempat sendok itu masuk ke mulut Alex, Livia sudah membuka pintu.

"Livia..." Alex tersentak, refleks langsung berdiri. Ia

Buru-buru menyerahkan gadis kecil di pangkuannya kepada wanita itu.

Alex menghampiri istrinya dengan wajah tegang.

"Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?"

Nada suaranya terdengar gugup.

"Kenapa? Aku nggak boleh datang ke kantor suamiku? Sementara-"

"Masuk, Liv. Tapi tolong jangan bikin keributan!"

potong Alex setengah berbisik.

Livia melangkah masuk dengan tenang. Suara tok-tak dari heels yang ia kenakan terdengar jelas memecah keheningan, tapi kini suasana menjadi kaku.

Tatapan Livia langsung tertuju pada wanita yang duduk sambil memangku anak kecil itu. Kepala wanita itu tertunduk, menyembunyikan wajahnya untuk menghindari kontak mata langsung dengan Livia.

"Kalian siapa? Sedang apa di ruangan suami saya?"

Pertanyaan Livia terdengar tegas dan menusuk.

Wanita itu tetap menunduk, tak berani menatap balik.

"Mendadak gagu, atau memang bisu?" Livia melangkah lebih dekat, namun wanita itu masih tak bergeming. Bibirnya kelu. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya.

Beberapa saat kemudian, ia cepat-cepat berdiri sambil menggendong sang putri yang memeluk lehernya erat-erat. Gadis kecil itu menyembunyikan wajah di ceruk leher ibunya.

"Mas Alex, kami permisi dulu," ucap wanita itu dengan suara bergetar. Lalu melangkah ke arah pintu tanpa sedikit pun menoleh ke arah Livia.

"Persis MALING! Ketakutan setelah kepergok ingin mencuri suami orang," sindir Livia tajam, membuat Alex naik pitam. Sementara wanita itu tetap berjalan sambil memeluk erat putrinya.

"Livia, cukup!" hardik Alex.

"Apanya yang cukup? Kalau aku nggak datang ke sini, aku akan terus jadi orang bodoh. Dibodohi kalian!" Livia balik membentak. Tatapannya tajam langsung menembus retina terdalam Alex. Ia tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun.

Alex menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar. Wajahnya tampak frustrasi.

"Kamu berlebihan! Siapa yang membodohi kamu?

Wajar saja kalau aku menyukai Keysha, karena seharusnya aku juga sudah punya anak sebesar dia."

"Itu cuma alasan! Yang sebenarnya, kamu juga menyukai ibunya, kan? Kamu sudah bermain api, Mas. Hati-hati, kamu bisa terbakar sendiri."

"Kamu yang berasumsi karena rasa cemburu kamu. Hati-hati, pikiran kamu bisa penuh racun dan akhirnya malah bikin kamu sendiri yang sakit."

Livia menahan emosinya agar tidak meledak. Kedua tangannya mengepal erat.

"Kita bicarakan ini di rumah. Kamu ke sini ada apa?" tanya Alex, membelokkan arah pembicaraan. Ia mencoba menghindari perdebatan yang bisa memicu keributan. Ini masih di lingkungan kantor.

Tapi perasaan Livia sudah terlanjur marah mendengar ucapan Alex. Bahkan Alex berkata tanpa menunjukkan rasa bersalah.

"Katakan yang sebenarnya. Sejak kapan kamu selingkuh dari aku?" desis Livia. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun.

"Sudah kubilang, kami hanya dekat karena Keysha, Liv. Seharusnya tadi kamu nggak bicara kasar pada Ishana dan menuduhnyq yang bukan-bukan," ucap Alex, suaranya terdengar menyalahkan. Tapi tatapannya ia buat selembut mungkin.

"Jadi aku yang salah? Mataku salah melihat kalau wanita itu tadi sedang menyuapi kamu makan?"

"Aku sedang menggendong putrinya, jadi dia berinisiatif menyuapiku," jawab Alex santai.

"Hahaha..." Livia tertawa sumbang sambil menahan sesak di dadanya. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Alex, yang dulu selalu menjaga jarak dengan lawan jenis karena takut membuat Livia salah paham, sekarang malah bisa suap-suapan.

"Kamu tahu, aku sangat menyukai anak kecil. Dan Keysha sudah membuatku jatuh hati. Aku merasa jadi seorang ayah saat bersama dia. Sementara kamu? Kamu lebih mementingkan pekerjaan daripada memberiku anak. Kamu terus menunda kehamilan. "Jangan sampai apa yang dikatakan mamaku jadi kenyataan, kalau kamu... mandul!"

Dugh!

Seperti ada godam menghantam dada Livia. Emosinya ingin meledak. Tapi sekuat tenaga masih dia tahan.

Napasnya tersengal, tak beraturan.

Alex sendiri merasa kaget dengan ucapannya yang lepas kontrol tanpa filter. Ia ingin meminta maaf, tapi di sisi lain, ia merasa tak ada yang salah dengan kata-katanya barusan.

"Tadinya aku datang ke sini karena ada yang ingin aku sampaikan. Tapi sepertinya sudah nggak penting lagi.

Sebaiknya aku pergi sekarang."

Livia membalikkan badan dan melangkah ke arah pintu.

"Aku bisa mentolelir apapun, tapi tidak dengan perselingkuhan! Jika kamu masih ingin mempertahankan rumah tangga kita, sebaiknya itu kamu hindari!"

Setelah berkata begitu, pintu dibuka dan ditutup lagi, setengah dibanting.

Livia berjalan cepat menyusuri koridor menuju lift. Ia tak ingin ada teman Alex yang melihat dan mengenalinya.

Juga tak ingin air mata yang sejak tadi ditahan tumpah di tempat ini.

Sesampainya di lift, Livia menekan tombol dengan tangan gemetar. Begitu pintu terbuka, ia masuk dan langsung memencet tombol "Lobi", tak menoleh ke mana pun.

Dan begitu pintu tertutup, pertahanannya ikut runtuh. Livia memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menahan air mata yang sudah mendesak keluar. Tapi percuma. Butiran itu jatuh juga, membasahi pipinya yang

Memerah.

Livia bukan tipe wanita cengeng. Hidup di panti asuhan sejak kecil sudah membentuknya jadi pribadi yang kuat dan mandiri. Tapi kali ini, luka itu terlalu dalam.

Meski tak berdarah, tapi rasanya menghancurkan.

Setibanya di basement, Livia masuk ke mobil. Ia duduk di balik kemudi. Mesin belum dinyalakan.

Tangannya menggenggam erat ponsel yang terus bergetar. Nama "Alex" berkali-kali muncul di layar. Tapi Livia tak mengangkat. Ia hanya menatapnya dengan pandangan kosong.

Sampai akhirnya, ponsel itu berhenti bergetar.

Livia membuka tas tangannya, perlahan

mengeluarkan sebuah amplop putih yang tadi hendak ia berikan pada Alex. Dengan tangan gemetar, ia menarik isi di dalamnya...

Hasil tes kehamilan.

Positif.

Ia sedang mengandung anak dari pria yang baru saja menghancurkan hatinya.

Livia menutup mata, menggigit bibir kuat-kuat.

"Seharusnya kamu sudah terima dan baca laporan ini, Mas. Tapi sekarang aku pastikan... kamu nggak akan pernah tahu kalau di sini, ada darah dagingmu."

Bersamaan dengan luruhnya air mata, Livia membelai perutnya yang masih rata.

AYO BESTY BESTY KU LANJUT GAAAK...

BERCABANG

Livia baru pulang ke apartemennya setelah pukul delapan malam. Di ruang tengah, Alex sudah menunggu. Wajah laki-laki itu tampak tegang. Sebaliknya, Livia justru terlihat tenang.

"Mana, katanya kamu mau berubah? Tidak pulang melebihi jam kerja normal," sindir Alex, menghentikan langkah Livia yang hendak naik ke lantai atas.

"Aku kira kamu masih menghabiskan waktu sama mereka. Makanya aku pergi ke panti," jawabnya santai, lalu kembali melangkah.

Alex langsung berdiri dan menahan tangan Livia.

"Jangan gunakan itu sebagai alasan! Aku sudah bilang, kedekatan kami hanya karena Keysha. Dia sudah berhasil mengobati perasaan rinduku pada anak kandungku sendiri."

Livia mendengus kasar dan menepis kuat tangan Alex dari pergelangan tangannya.

"Itu hanya proses awal. Selanjutnya, siapa yang tahu?" balasnya sinis. Setelah itu, dia benar-benar pergi ke kamar mereka.

Begitu masuk, Livia langsung memasukkan semua barang-barang pribadi dan pakaiannya ke dalam dua koper besar. Ia tak peduli, memasukkannya secara sembarangan dan acak-acakan.

Setelah beres, ia keluar lagi dari kamar sambil

Menarik kedua koper. Tepat saat itu, Alex masuk dari arah berlawanan.

"Mau ke mana kamu?" tanya Alex, kaget. Refleks, tangannya menahan salah satu koper di tangan Livia.

"Aku akan tidur di kamar tamu."

"Jangan seperti ini, Liv. Dengarkan penjelasanku. Aku tidak berkhianat darimu."

Livia tidak menerima ucapan Alex begitu saja.

Tatapannya tajam, memancarkan luka yang kini memenuhi hatinya.

"Tidak sekarang, tapi aku yakin karena anak itu, lama-lama perasaan kamu pada ibunya akan tumbuh juga."

Alex mengacak rambutnya, frustrasi. Sangat sulit menjelaskan sesuatu pada Livia yang keras kepala. Tapi, ia juga tak bisa memungkiri, bahwa dirinya memang sudah merasa nyaman berada di dekat ibu dan anak itu. Ia merasa dibutuhkan dan diperhatikan.

"Kenapa diam? Tolong minggir, aku mau lewat," kata Livia lagi, tegas.

"Tidak usah! Biar aku yang pindah, jika kamu sudah tidak menginginkan tidur satu kamar dan satu ranjang denganku."

Alex langsung masuk ke kamar dan mulai membereskan barang-barangnya seperti yang dilakukan Livia tadi. Setelah itu, ia keluar dan menuju kamar lain.

Malam itu, Alex sama sekali tak bisa memejamkan mata. Ia terus memikirkan nasib rumah tangganya.

Andai saja Livia bisa bersikap seperti ibu rumah

tangga pada umumnya dan tidak menunda kehamilan, mungkin keadaan rumah tangga mereka tidak akan seperti sekarang. Mereka seharusnya sudah hidup bahagia bersama anak-anak mereka. Ia pun tak perlu lagi mendengar sindiran tajam dari mama dan adiknya tentang Livia. Tidak ada lagi tuduhan mandul yang dilontarkan kepada istrinya, hal yang perlahan-lahan membuatnya merasa jengah.

Alex menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.

Dia kembali teringat pertemuan pertamanya dengan Ishana beberapa bulan lalu.

Sore itu hujan turun dengan sangat lebat. Langit kelabu, udara dingin yang menggigit dan angin bertiup begitu kencang.

Ini hari Minggu, seharusnya Alec bisa

menghabiskannya dengan Livia. Berbagi cerita manis dan

momen intim untuk memupuk kemesraan dan keharmonisan rumah tangga atau sekedar mengusir hawa dingin.

Tapi sayang, itu tak akan terjadi! Tadi pagi Livia ijin untuk melakukan general meeting di kantornya, meski ini hari libur.

Dalam ketermanguannya, Alec mendapat telepon dari sang adik Aurelia, untuk menjemput Syaira putrinya, di rumah ibu guru yang anaknya sedang berulangtahun.

"Bang, tolongin aku ya, please... kata Bu Ishana gurunya, Syaira sudah minta pulang terus dari tadi."

Mohon sang adik memelas.

"Kenapa nggak supir kamu aja yang jemput?"

"Pak Tomo sedang jemput mas Barly ke Bandara. Hari ini dia pulang dari tugas luar kota."

Alec pun akhirnya menyanggupi. Dia juga sangat sayang pada Syaira, keponakan satu-satunya... ralat, akan menjadi dua karena sekarang Aurelia tengah hamil anak kedua.

Sementara dirinya? Sudah hampir tiga tahun menikah, tapi belum juga dikaruniai momongan. Padahal dia sudah sangat menginginkannya. Saat mengutarakan keinginannya itu pada Livia, istrinya selalu memintanya bersabar.

"Sabar ya sayang, nanti kalau pekerjaanku sudah sedikit longgar, aku siap hamil kok. Janji!" Katanya sambil tersenyum polos dan mengacungkan dua jarinya.

Kalau sudah begitu Alex tak bisa merengek lagi. Dia tak ingin membebani pikiran istrinya yang sudah mumet dengan beban pekerjaannya. Dan sekarang, Livia malah tambah sibuk. Bahkan dirinya pun hampir selalu dilupakan.

Akhirnya Alex pun menjemput keponakannya di rumah guru yang alamatnya sudah di-share Aurelia.

Hujan yang sangat deras sedikit mengaburkan penglihatannya. Tapi dia tetap fokus hingga akhirnya sampai juga di tujuan.

Alecx menghentikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah mungil yang sederhana namun asri.

Di ambang pintu, nampak Syaira berdiri dengan wajahnya setengah merengek. Di sebelahnya berdiri seorang wanita berwajah lembut, mengenakan cardigan cream yang melindungi tubuhnya dari udara dingin.

Wanita itu segera mengambil payung untuk menjemput Alex yang baru saja membuka pintu mobilnya.

"Tidak usah, saya bawa payung!" Teriak Alex keras, karena suaranya bersaing dengan suara hujan deras. Wanita itupun kembali menyimpan payungnya dan tersenyum ramah menyambut Alex.

Sementara Syaira langsung memeluk tubuh jangkung Om nya, begitu Alex tiba di hadapannya.

"Kenapa Om Alex lama sekali, Syaira kan udah ngantuk." Protes gadis kecil itu manja.

"Ya udah, ayo kita pulang, nanti Syaira bisa bobok di mobil." Ujar Alex lembut. Lalu menggendong tubuh mungil itu yang terlihat memang sudah mengantuk.

"Pak Alex mau masuk dulu? Saya bikinkan teh hangat." Tawar Ishana.

"Terimakasih Bu Ishana, kami harus pulang. Kasihan Syaira sudah mengantuk." Tolak Alex sopan. Ishana pun mengangguk. Lalu mengambilkan goodie bag bagian Syaira, berisi makanan ringan, bingkisan ulang tahun Keysha, putri Ishana yang ke tiga tahun.

Alex membawa Syaira yang mulai terlelap, menahan tubuh mungil itu dalam pelukannya dengan hati-hati. Hujan belum juga reda. Justru semakin deras, seakan menolak memberi jeda.

Melihat itu, Ishana segera mengambil payung milik

Alex yang tergeletak di lantai dan mendekat.

"Biar saya payungi sampai ke mobil," ujarnya cepat, sebelum Alec sempat menolak.

Mereka berjalan berdampingan menuju mobil. Alex sedikit membungkuk agar Syaira tak terkena percikan hujan dari pinggiran payung.

Dalam langkah terburu itu, tangan Ishana yang memegang payung tanpa sengaja menyentuh lengan Alex.

Hanya sesaat.

Refleks dan langsung sama-sama menarik diri. Tak ada kata yang terucap, selain suara deras hujan dan suasana yang sedikit canggung.

Begitu sampai di mobil, Alex membuka pintu belakang dan menidurkan Syaira perlahan di kursi. Payung tetap terbuka, dan tangan Ishana menahannya di atas kepala Alex.

"Terima kasih, Bu Ishana," ujar Alec akhirnya.

Wanita itu hanya mengangguk kecil, senyumnya tetap ramah. Lalu menyerahkan goodie bag kecil tadi.

Alex masuk ke balik kemudi mobilnya.

"Ini payungnya, pak Alex." Kata Ishana sebelum Alex menutup pintu.

"Pakai saja, nanti Bu Ishana kehujanan."

Ishana tersenyum. Dia baru ingat, lupa membawa payungnya sendiri.

"Kalau begitu, tunggu sebentar, saya ambil payung saya dulu."

Tapi Alex segera melarangnya.

"Tidak usah, lain kali saja. Lagian saya masih punya payung cadangan."

Sejenak mata mereka saling menatap, tapi cepat-cepat kembali saling menghindar.

Setelah itu Alex menyalakan mesin mobilnya.

Memberi anggukan kecil pada Ishana sebagai tanda pamitan. Lalu mobil pun melaju pelan.

Tak sadar Alex mendesah pelan, mengingat semua itu.

Bayangan Ishana dan Keysha menari di pelupuk matanya.

Bibirnya tertarik dalam senyum getir. Ironisnya, justru sekarang ia merasa lebih nyaman berada di antara mereka.

SAKIT

Keesokan harinya Livia bangun lebih pagi. Tiba-tiba perutnya terasa melilit dan mual. Berkali-kali dia bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Tapi tak ada apapun yang keluar kecuali cairan bening kekuningan. Mungkin karena lambungnya masih kosong dan hanya mengandung cairan empedu atau air.

Tadinya dia berniat untuk menyiapkan sarapan pagi.

Tapi dalam keadaan seperti ini, jangankan menyiapkan sarapan berdiri saja kakinya terasa lemas.

Akhirnya Livia hanya bisa duduk bersimpuh di lantai dekat kamar mandi. Takut kalau-kalau rasa mualnya kembali menyerang.

Tapi Livia bertahan, Ia tak akan memberitahukan Alex tentang kondisi kehamilannya sekarang.

"Biarkan jika dia lebih memilih mereka. Aku pun tak akan menghalanginya." Tekad Livia.

Dia bisa tahan dikatakan mandul oleh mertua dan iparnya. Tapi jika kata-kata itu keluar dari mulut Alex dan melihat kenyataan perilaku Alex sekarang yang mulai berubah, hati Livia sangat sakit.

"Di saat aku menyadari kesalahanku dan ingin merubah kembali seperti dulu, hati kamu malah sudah berubah, mas..." Bisik Livia, lirih. Airmatanya mulai berjatuhan.

Entah kenapa, akhir-akhir ini dia merasa cengeng dan

Sensitif. Padahal sebagai anak yang dibesarkan di panti asuhan, dia selalu menghindari hal-hal seperti itu. Kehidupan yang keraslah yang membuat dia menjadi tegar, mandiri dan... ambisius.

Mungkin karena kelelahan terus-terusan muntah, Livia kelelahan dan masih mengantuk. Dia pun ketiduran di situ.

"Kamu masih sama seperti dulu, Liv. Jangankan berubah, membuat sarapan saja masih harus aku yang melakukannya," gumam Alex sambil membuat kopi untuk dirinya dan Livia. Dia juga menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

Setelah itu, dia kembali ke kamarnya untuk bersiap pergi ke kantor. Tapi saat keluar lagi, Livia belum juga keluar dari kamarnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar di hati Alex. Pasalnya, Livia adalah orang yang selalu tepat waktu untuk pekerjaannya. Dia hampir tidak pernah terlambat pergi ke kantor.

Perlahan, Alex melangkah ke tangga dan naik ke lantai atas. Saat berada di depan pintu kamar yang sekarang hanya ditempati oleh Livia, tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Namun, sepersekian detik kemudian, dia mengurungkan niat itu. Dia khawatir Livia masih marah dan mereka akan kembali terlibat dalam perdebatan.

"Lebih baik aku diamkan dulu. Nanti kalau sudah tenang, aku bicara lagi sama dia."

Akhirnya, Alex kembali turun. Ia sarapan sendirian

Dan setelah selesai, berangkat ke kantor dengan meninggalkan sebuah catatan yang ditempel di pintu kulkas sebagai bentuk pamitan.

Livia terjaga dari tidurnya. Karena tertidur di lantai dalam keadaan duduk, tubuhnya kini terasa sakit dan pegal. Tapi hari ini dia sudah memutuskan tak akan masuk kerja. Apalagi selama ini dia hampir tak pernah mengambil cuti.

Livia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dan berdandan rapi dengan baju rumahan, ia pun keluar dari kamar dan turun ke dapur. Rasa mualnya sudah hilang dan kini perutnya terasa lapar.

Di meja bar ada secangkir kopi yang sudah dingin, juga roti panggang dengan selai keju kesukaannya.

Bibir Livia mengulas senyum. "Terimakasih." Ucapnya pelan, seolah Alex ada di situ.

Sambil mengunyah makanannya, Livia terus berpikir.

Haruskah dia melupakan kejadian kemarin dan memaafkan Alex? Livia yakin, suaminya itu hanya sekedar khilaf. Lagian, itu semua berawal dari kesalahan dirinya

Livia mengangguk, "baiklah Alex, aku akan melupakan kejadian kemarin." Gumamnya dengan bibir tersenyum sambil mengelus perutnya.

"Kamu nggak usah khawatir dek, mama akan kembali memperbaiki hubungan dengan papamu. Dan nanti kita bertiga akan hidup bahagia pada akhirnya. Papamu pasti akan sangat bahagia, saat mama mengatakan kalau kamu sudah ada di sini." Katanya bermonolog sambil terus mengusap-usap perut ratanya.

Selesai sarapan, Livia mulai membenahi rumahnya.

Mencuci piring, menyedot debu dan ngepel. Hal-hal yang sangat jarang dilakukannya karena dia sibuk bekerja.

Biasanya ada jasa cleaning service profesional yang membersihkan apartemen mereka.

Tapi kali ini Livia melakukannya dengan senang hati.

"Setelah ini aku akan ke supermarket membeli bahan makanan dan memasak untuk makan siang dan makan malam kami."

Selesai membersihkan hampir seluruh apartemennya dan duduk sebentar di ruang tengah untuk mengistirahatkan rasa lelahnya, Livia pun memutuskan untuk segera pergi ke supermarket Dia pergi ke mall, sekalian untuk menyegarkan pikiran yang masih ada sedikit gundah.

Livia mengganti bajunya dengan kemeja oversize dan skinny jeans. Sandal flat, membawa tas kecil, dan menyetir mobil sendiri.

Di perjalanan, Livia mencoba menenangkan diri. Setelah memutuskan memaafkan Alex, beban di dadanya memang sedikit berkurang. Ini demi kehamilannya, dia sadar tidak boleh terus-menerus stres. Semua itu bisa berdampak buruk pada perkembangan janinnya.

Sesampainya di mall, Livia tidak langsung belanja. Dia berjalan pelan dari satu toko ke toko lain tanpa tujuan jelas. Sampai akhirnya dia berhenti di sebuah outlet mainan anak. Matanya menangkap sosok yang sangat dia kenal.

"Alex, nggak kerja?" Livia melihat jam di tangannya.

lagi. "Ternyata sudah waktunya makan siang." Gumamnya

Alex sedang berdiri di depan rak mainan. Tapi dia tidak sendiri. Di sampingnya ada Syaira, keponakan mereka.

Bibir Livia tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkah, ingin menghampiri mereka.

Tapi langkahnya langsung terhenti saat melihat dua orang lain muncul dari balik rak yang memajang aneka boneka dan berdiri di sisi Alex.

"Ishana dan Keysha? Ternyata Alex tidak bisa lepas dari mereka."

Livia mengusap perutnya. Tak terasa tetesan bening sudah mengalir dari kelopak mata dan membasahi pipi mulusnya.

Hatinya sangat sakit, melihat pemandangan di depannya. Mereka terlihat semakin akrab. Tertawa kecil bersama dan tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.

Meski harus menahan rasa kecewa dan sakit hati,

Livia tetap memperhatikan dari kejauhan. Alex tampak jongkok di hadapan Keysha, memperbaiki tali sepatunya. Bocah kecil itu tertawa, lalu memeluk kaki Alex. Syaira ikut tertawa, sedangkan Ishana hanya berdiri di dekat mereka sambil tersenyum.

"Sejak kapan kamu lakuin ini di belakang aku, Mas?" lirih Livia, nyaris tak terdengar. Matanya buram karena

Airmata, tak lepas dari pemandangan itu. "Kamu terlihat sangat bahagia. Tapi kamu telah menyakiti hatiku dan bayi yang ada di rahimku!"

Alex lalu berdiri, berbicara dengan Ishana. Livia tak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tapi melihat gesturnya saja cukup membuat dadanya sesak. Tak ada yang berlebihan, memang. Tapi cukup untuk menusuk dalam, dadanya.

Tangannya mulai gemetar, bukan karena marah, tapi karena kecewa. Rasanya seperti orang asing yang melihat suaminya punya kehidupan lain yang baru ia ketahui kemarin.

Livia mundur perlahan, menyelinap di antara rak

mainan agar tak terlihat. Livia tak ingin mereka tahu ia ada di sini, diantara mereka. Ia hanya ingin pergi dari situ. Rasanya tak sanggup berdiri terlalu lama dengan pemandangan seperti itu di depan matanya..

"Aku yang berusaha memaafkan, tapi ternyata kamu udah terlalu nyaman sama mereka, mas."

Livia menatap nanar mereka sebelum pergi

"Maafkan sayang, tapi kamu gak usah khawatir, mama akan tetap menjagamu. Tak akan kubiarkan masa kecilku yang pahit, menimpamu."

Livia membalikkan badan dan berjalan menjauh.

Matanya dan pipinya sudah membanjir. Ia benar-benar sudah tak kuat lagi berada di situasi ini. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!