NovelToon NovelToon

Rela Di Madu

Part 1

Fahira Azalwa

Fahira Azalwa, yang biasa dipanggil Aira, terbangun saat mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Ia melirik sekilas dan melihat pintu kamar mandi tertutup rapat, disertai suara gemericik air dari dalam_tanda bahwa suaminya sedang membersihkan diri.

"Oh, Bang Zidan lagi mandi, ya?" gumam Aira pelan, berbicara pada dirinya sendiri.

Ia bangun perlahan dari tempat tidur, lalu berjalan menuju pintu dan membukanya pelan. Saat pintu terbuka, tampak ibu mertuanya berdiri di sana sambil tersenyum masam. Wajah wanita itu tampak tak bersahabat, sejak Aira dinyatakan sulit memiliki keturunan, hubungan mereka memang berubah dingin.

"Bisa buatin sarapan untuk Ibu dan Eva? Ibu dan adikmu lapar," ujar ibu mertuanya dengan suara penuh penekanan.

Aira menarik napas dalam. Padahal, semalam sepulang dari dokter, ia disarankan untuk banyak beristirahat. Badannya masih lemas, kepalanya pusing karena tekanan darah rendah yang sering kambuh.

"Maaf, Bu-- semalam kan aku sudah bilang, kepalaku masih pusing," sahut Aira lembut, tetap berusaha menghormati ibu dari suaminya itu.

Namun, wanita itu malah mendengus kesal.

"Kamu sudah tidak mau bantu Ibu buat sarapan. Ya sudah, biar suamimu saja yang kelaparan di kantor! Hanya pusing saja sudah manja!"

Lagi-lagi Aira hanya menarik napas panjang. Sejak dirinya dinyatakan sulit memiliki keturunan, ibu mertuanya benar-benar tak menyukainya lagi. Padahal, beliau tahu penyebabnya bukan sepenuhnya karena Aira.

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Zidan Sharif Xavier, suaminya, keluar sambil menggosok rambut menggunakan handuk. Langkahnya terhenti saat melihat Aira berdiri di depan pintu dengan wajah lesu, sementara ibunya tampak mematung dengan ekspresi tak ramah.

"Sayang, kamu ngapain di situ? Kamu kan lagi sakit, istirahat saja," tanya Zidan sambil berjalan mendekat.

Begitu sampai di dekat istrinya, Zidan menatap ibunya yang menunduk dengan ekspresi seperti sedang mengadu.

"Ada apa, Bu? Ibu perlu sesuatu?" tanyanya hati-hati.

"Iya, Nak. Ibu lapar. Ibu menyuruh Aira buat sarapan untuk Ibu dan adikmu, tapi dia tidak mau. Katanya malas ngurus Ibu," jawab ibu Zidan, Ibu Zubaidah namanya, dengan nada menyindir.

Zidan menatap ibunya, mencoba menahan nada suaranya agar tetap sopan.

"Bukan malas, Bu. Aira sedang sakit. Aku kan sudah bilang semalam, biarkan dia istirahat dulu."

"Jadi kamu lebih membela dia daripada Ibumu sendiri, Zidan?" suara Bu Zubaidah meninggi.

"Aku nggak belain siapa pun, Bu! Dia istriku, dan Ibu tetap ibuku. Tapi Aira sedang sakit. Aku mohon pengertiannya. Kalau Ibu mau sarapan, biar aku yang masak. Tunggu saja di meja makan. Aku ganti baju dulu."

Setelah mengatakan itu, Zidan menggenggam tangan Aira, lalu menariknya masuk ke dalam kamar dengan lembut. Ia menutup pintu perlahan, meninggalkan ibunya yang masih berdiri terpaku di luar.

Zidan menatap istrinya dengan tatapan iba. Ia tahu Aira sering disalahkan dan diperlakukan tidak adil, tapi tetap memilih diam dan bersabar. Sejak ibunya tinggal bersama mereka, rumah terasa lebih tegang.

"Maafkan Ibu, Sayang. Aku janji, mulai hari ini hal seperti itu tidak akan terjadi lagi. Aku akan pakai jasa ART untuk bantu ngurus Ibu dan Eva," ucap Zidan setelah duduk di tepi kasur bersama Aira.

Aira tersenyum lemah. Wajahnya masih pucat, namun matanya lembut menatap suaminya.

"Tidak apa-apa, Bang. Harusnya kamu jangan marah sama Ibu. Kasihan, nanti Ibu malah sedih," balasnya lirih.

Zidan terdiam. Mendengar ucapan itu justru membuatnya semakin mencintai istrinya. Bahkan setelah diperlakukan buruk, Aira masih memikirkan perasaan ibu mertuanya.

Ia menarik Aira ke dalam pelukannya dan berbisik lembut di telinganya.

"Kamu terlalu baik, Sayang. Aku janji-- aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti kamu lagi."

~

"Bang, aku boleh bicara sesuatu?" tanya Aira setelah melihat suaminya telah bersiap dan berdiri di depan cermin.

"Boleh, bicara saja. Ada apa?" balas Zidan, menoleh menghadap Aira dengan tangan yang melingkar di pinggang istrinya.

Aira menatap wajah teduh sang suami yang selalu membuat dirinya merasa damai. Ia mengusap dada Zidan yang sudah mengenakan jas karena hendak pergi ke perusahaan. Aira menarik napas sesaat untuk menghilangkan kegugupannya, kemudian baru bicara.

"Aku ingin kamu menikah lagi, Bang---"

Mendengar itu, wajah Zidan seketika berubah. Tangannya yang memeluk pinggang sang istri perlahan merenggang. Penekanan dari ibu mertuanya yang selalu berkata pedas membuat Aira tak sanggup lagi mendengarnya. Hingga akhirnya ia memilih merayu suaminya untuk menikah lagi.

"Apa yang kau katakan, Aira? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membahas masalah itu lagi!" ucap Zidan dengan nada penuh kecewa.

"Aku tahu itu, Bang. Tapi aku mohon-- Kali ini kabulkan permintaan Ibu untuk kamu menikah lagi. Aku capek, Bang--"

Aira menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Perlahan, dari sudut matanya mengalir air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Zidan yang mendapat permohonan dari sang istri hanya bisa menarik napas dalam. Ia mengusap rambut Aira yang saat itu tidak mengenakan hijabnya. Pandangan Zidan menerawang ke langit-langit kamar. Melihat istrinya yang terus ditekan oleh ibunya perihal keturunan, membuat Zidan tahu bahwa Aira telah mengikhlaskan dirinya jika harus menikah lagi.

Zidan melepas pelukannya, lalu menatap Aira. Ia menangkup kedua pipi istrinya dan berbicara lembut.

"Sayang, dengar aku. Jangan terpengaruh oleh ucapan Ibu. Tidak mudah juga untukku menikah lagi, mencari wanita baik di zaman seperti ini sangat sulit."

Zidan menatap dalam, lembut menata ucapannya sambil mengusap air mata sang istri.

"Sudah, ya. Tenang. Aku tidak akan menikah lagi. Aku menerima kamu apa adanya. Biarkan orang bilang kamu tidak sempurna, tapi di mataku kamu sangat sempurna. Oke?"

"Tapi Bang--"

"Ssst-- Sudah, jangan dipikirkan. Sekarang istirahatlah. Aku akan pesan makanan untuk makan di rumah agar kamu tidak perlu masak. Jangan lupa minum obat, ya. Aku akan mengabarimu jika pulang terlambat."

"Kau juga hati-hati di jalan, Bang. Jangan ngebut. Yang penting selamat sampai kantor," balas Aira dengan senyum manis.

"Oke, aku pergi dulu, ya. Jangan lupa kunci pintu kalau mau tidur."

Zidan mengecup kening istrinya, lalu beralih ke pipi dan seluruh wajahnya. Ia tersenyum dan mengusap pipi Aira sebelum akhirnya berjalan keluar kamar untuk berangkat ke kantor.

Aira yang mendapat perlakuan lembut seperti itu dari suaminya merasa berat jika harus melihat Zidan menikah lagi dengan wanita lain.

Perempuan mana yang rela dimadu? Tidak ada. Bibirnya bisa saja mengatakan 'ikhlas', tetapi hatinya menolak jika suaminya harus berbagi kasih dengan wanita lain.

Jadi, bagaimana?

Apakah Fahira masih akan tetap memaksa suaminya menikah lagi?

Atau ia akan terus menuruti ibu mertuanya yang tak henti mendesak?

Kita lihat di bagian selanjutnya, yaa...

Part 2

Selang beberapa saat setelah Zidan berangkat ke kantor, terdengar ketukan di pintu. Suara itu memaksa Fahira yang baru saja berbaring untuk bangun. Ia beranjak berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu dengan harapan agar mertuanya atau adik iparnya tidak datang mengganggunya lagi.

Namun benar saja, begitu pintu dibuka, yang berdiri di hadapannya adalah adik iparnya, Eva Rifa Naila, yang biasa dipanggil Eva.

"Ya, Eva? Ada apa?" tanya Fahira dengan nada lemah.

"Kak Zidan sudah berangkat?" suara Eva terdengar ketus.

"Sudah, baru sepuluh menit yang lalu. Kenapa?" jawab Aira hati-hati.

Alih-alih menjawab, tatapan Eva menelusuri tubuh kakak iparnya dari atas ke bawah dengan pandangan tajam dan dingin. Sikapnya kini jauh berbeda dibandingkan dulu, saat awal pernikahan Zidan dan Aira. Dulu Eva ramah, tetapi sekarang ia tampak lebih sinis dan dingin. Mungkin karena pengaruh ibunya yang selalu menyinggung soal keturunan.

"Kasihan sekali Kak Zidan, mempertahankan istri seperti kamu--" gumam Eva lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Aira.

Aira spontan mengerutkan kening. "Kasihan? Maksudmu apa, Eva?"

"Aduh, masih nanya juga. Harusnya kamu sadar diri, Kak Zidan menikahi kamu itu karena kasihan. Dia nggak tega ninggalin kamu, tapi dalam hatinya pasti kecewa karena kamu nggak bisa kasih dia anak!" ujar Eva sambil menyilangkan tangan di dada dan menatap Aira dengan remeh.

"Cukup, Eva! Jaga bicaramu!" tegas Aira menahan emosi.

Namun Eva hanya terkekeh sinis. Dari sikapnya, Aira mulai sadar bahwa adik iparnya itu sudah tidak menghormatinya lagi. Ia tahu betul siapa dirinya dan sadar akan kekurangannya, tetapi mendengar ucapan seperti itu tetap saja menusuk hati.

"Coba deh, sesekali lihat dirimu di cermin. Wajah dan tubuhmu tidak menarik sama sekali. Berbeda sekali dengan Kak Najwa," lanjut Eva dengan nada meremehkan.

"Najwa? Siapa dia?" tanya Aira bingung.

"Masih nanya juga? Najwa itu sepupu Kak Zidan! Baru pulang dari Kairo. Ibu mau jodohin dia sama Kak Zidan! Dan kalau aku jadi kamu, siap-siap saja ditendang dari rumah ini!"

Aira tertegun. Ia tahu Eva kejam dalam berbicara, tetapi tidak menyangka sejauh itu. Meski begitu, sebagai perempuan yatim piatu yang sejak kecil terbiasa menahan sakit, ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan Eva. Tangannya mengepal, menahan sesak yang menyergap di dada.

"Dijodohkan?" suaranya nyaris bergetar.

"Iya," jawab Eva cepat. "Aku juga tidak menggerti kenapa Kak Zidan masih mempertahankan kamu. Sudah jelas-jelas kamu kalah jauh dari Kak Najwa--"

"Astaghfirullah, Eva! Bisa ya kamu bicara begitu denganku?" Aira mengusap dadanya, mencoba menenangkan diri. Tapi Eva hanya mendengus dan pergi tanpa menoleh lagi.

Kepergian Eva menyisakan perih yang dalam. Sikap ibu mertuanya selama ini sudah cukup membuat batinnya tertekan, kini ditambah perlakuan adik iparnya yang semakin menjadi-jadi. Aira merasa dirinya semakin tak dihargai di rumah itu.

Meski begitu, ia berusaha menahan air matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah. Dalam hati, berbagai pertanyaan berkecamuk_ benarkah Zidan akan dijodohkan dengan perempuan lain? Benarkah cinta suaminya selama ini hanya karena kasihan?

Fahira menghela napas berat, menatap punggung Eva yang sudah menghilang di balik pintu.

"Kuatkan hatiku menghadapi mereka, Ya Allah--" lirihnya, menahan sesak di dada.

Ia kemudian kembali ke kamar dan mencoba menenangkan diri. Sambil berbaring, ia memainkan ponselnya, berusaha mengalihkan pikiran. Namun baru saja hendak mengirim pesan kepada Zidan, layar ponselnya lebih dulu menampilkan pesan masuk dari sang suami.

"Assalamualaikum, sayang. Sudah makan siang belum? Jangan lupa minum obatnya, ya ?"

Melihat pesan itu, senyum kecil muncul di bibir Aira. Hangat rasanya mengetahui suaminya masih perhatian padanya. Sejenak, semua ucapan Eva yang menyakitkan tadi seakan menghilang begitu saja. Dengan perasaan yang lebih tenang, ia membalas pesan Zidan dengan penuh semangat.

"Waalaikumsalam, Bang. Aira sudah makan, Bang. Aira juga sudah minum obat. Abang lagi ngapain?" tanya Aira dengan senyum manis di wajahnya.

Namun tak ada balasan. Akhirnya Aira memutuskan untuk tidur. Kepalanya masih terlalu pusing, ditambah lagi sikap ibu mertua dan adik iparnya yang membuat pikirannya terasa mau pecah.

Hari ini Zidan pulang lebih awal. Ia tak ingin istrinya semakin parah karena sakit yang dideritanya. Maka, ia memutuskan untuk pulang sore dengan membawa sebuah hadiah, sesuatu yang sudah lama diinginkan Aira.

Aira baru saja selesai salat Asar ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya. Ia segera bergegas membukanya. Sejak beberapa hari terakhir, Aira memang sengaja mengunci pintu agar ibu mertua dan Eva tak bisa masuk sembarangan tanpa izin.

Kali ini, ia tahu pasti siapa yang datang. Dari cara mengetuknya saja, Aira sudah hafal bahwa itu suaminya.

"Assalamualaikum, sayang," ucap Zidan sambil mengulurkan tangan.

"Waalaikumsalam, Bang. Kok tumben jam segini sudah pulang? Wah, apa ini?" sahut Aira sambil mencium tangan suaminya dan menerima sebuah kotak yang dibawa Zidan.

"Buka saja," jawab Zidan singkat, tersenyum lembut.

Aira membuka kotak itu perlahan. Matanya langsung berbinar, senyum lebarnya mengembang. Seketika ia langsung memeluk Zidan erat.

Zidan membalas pelukan itu sambil mengusap punggung istrinya dengan lembut.

"Suka dengan hadiahnya?" tanyanya kemudian.

Aira melepaskan pelukannya, mengangguk, lalu berkata pelan, "Makasih ya, Bang."

Zidan mengusap kepala Aira, lalu mengecup keningnya singkat sebelum duduk. Ia melepas jas dan dasinya, kemudian menaruh tas kerja di atas meja.

"Ibu sama Eva ke mana? Kok sepi?" tanya Zidan sambil duduk di samping istrinya.

"Entahlah. Mereka pergi begitu saja, tidak berpamitan denganku," jawab Aira lirih, wajahnya berubah kecewa.

Zidan tersenyum kecil. "Ya sudah, biarkan saja. Yang penting Ibu nggak mengganggumu. Aku mandi dulu, ya? Setelah itu aku ajarkan cara main laptop. Oke?"

Aira mengangguk pelan. "Oke, Bang."

Zidan pun bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Aira kini menatap laptop hadiah dari suaminya dengan bahagia. Sudah lama ia menginginkan benda itu, dan akhirnya keinginannya terwujud.

~~

Tak lama kemudian, keduanya duduk santai di kamar. Sesuai janjinya, Zidan dengan sabar mengajari Aira cara menggunakan laptop.

Ya, Aira memang meminta dibelikan laptop agar tidak bosan di rumah saat sedang tidak enak badan.

"Nah, ini caranya. Tekan Enter, lalu klik di sini. Nah, kan sudah bisa. Hebat, kamu," ujar Zidan sambil tersenyum bangga.

"Cup." Ia mengecup pipi istrinya singkat, lalu mengacak rambut Aira dengan lembut. Aira tertawa kecil, ia mulai memahami apa yang diajarkan Zidan.

Saat mereka asyik belajar dan bercanda, terdengar ketukan di pintu kamar. Zidan dan Aira saling berpandangan. Dengan cepat, Zidan berdiri dan membuka pintu.

"Iya, Bu? Ada apa?" tanyanya.

"Zidan, bersiaplah. Pakai baju yang rapi, ya. Kita kedatangan tamu spesial," sahut Bu Zubaidah antusias.

"Memangnya siapa, Bu?" tanya Zidan heran.

Namun sang ibu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar sambil menatap seseorang yang baru saja muncul dari luar.

Zidan menoleh, dan matanya langsung membesar. Ia tertegun melihat siapa yang datang.

Aira yang penasaran berusaha mengintip dari belakang suaminya.

**Deg**!

Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu, setiap kali ibu mertuanya berkata 'tamu spesial', biasanya itu bukan kabar baik bagi dirinya.

...----------------...

**Bersambung**....

Part 3

"Dia siapa? Kok aku belum pernah lihat ?" batinnya bertanya.

"Najwa?" gumam Zidan pelan, matanya tak lepas dari sosok sepupunya itu.

"Oh, jadi ini yang namanya Najwa?" ucap Aira lirih untuk dirinya se diri sambil menatap tamu itu dari ujung kepala hingga kaki.

"Assalamualaikum, Kak Zidan. Apa kabar?" sapa Najwa ramah sambil tersenyum.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah, aku baik. Kamu bagaimana? Kapan pulang dari Kairo?" jawab Zidan hangat.

"Ah, ngobrolnya nanti dilanjut lagi, ya," sela Bu Zubaidah sambil tersenyum tipis. "Zidan, ganti baju dulu. Aira, bantu Ibu buatkan minuman dan camilan untuk Najwa, ya?"

"Iya, Bu. Sebentar, Aira pakai hijab dulu," jawab Aira pelan.

Di Kamar

Setelah ibunya berlalu, Zidan kembali masuk dan menutup pintu. Ia melihat Aira sedang gugup memilih hijab yang cocok. Melihat kegugupan istrinya, Zidan mendekat, lalu memegang tangan Aira dan menghentikan gerakannya.

"Eh, Abang, bikin kaget saja," ujarnya gugup.

"Sini, Abang pengin peluk kamu dulu," ucap Zidan lembut.

Zidan menarik Aira ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat sang istri agar Aira tidak terlalu tegang. Aira pun membalas pelukan itu, merasa tenang dalam dekapan suaminya.

Zidan mengusap punggung istrinya dengan lembut, lalu memberi kecupan singkat di pucuk kepala Aira.

"Apa kamu mengizinkan Abang menemui Najwa?" tanya Zayn pelan.

Aira menunduk. Ia sebenarnya tidak suka mendengar suaminya akan dijodohkan dengan wanita lain, tetapi ia juga tidak berani melawan ibu mertuanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam, menerima semuanya dengan pasrah.

Zidan mengangkat dagu istrinya, menatap mata Aira dengan lembut, membuat wanita itu semakin gugup.

"Kenapa harus izin, Abang? Dia itu kan saudaramu. Temui saja," ucap Aira akhirnya sambil menunduk lagi.

Di Ruang Keluarga

Tak lama kemudian, semua sudah berkumpul di ruang keluarga. Aira dibiarkan sendiri menyiapkan minuman dan camilan, sementara Bu Zubaidah, Zidan, dan Eva duduk berbincang dengan Najwa.

Dari dapur, Aira bisa mendengar jelas percakapan mereka. Ia berhenti sejenak, menahan napas ketika mendengar ucapan ibu mertuanya.

"Gimana, Najwa? Kamu mau, kan, jadi istri kedua Zidan?"

"Bu--" potong Zidan cepat, tidak ingin pembicaraan itu berlanjut.

Namun Bu Zubaidah tetap bersikeras, sementara Najwa hanya menunduk malu, meski senyum kecil tak bisa ia sembunyikan.

"Najwa terserah Kak Zidan saja, Tante. Bagaimanapun, ini juga menyangkut istri pertamanya," jawab Najwa sopan, walau dalam hati ia memang mengharapkan Zidan sejak dulu.

"Kamu tidak usah pikirkan soal Fahira. Dia pasti setuju apa pun keputusan Zidan," ucap Bu Zubaidah dingin.

Deg... deg... deg...

Jantung Aira berdebar kencang mendengar kata-kata itu. Tangannya gemetar saat membawa nampan berisi cangkir teh dan camilan ke ruang tamu.

Melihat Aira datang, Zidan segera berdiri dan menghampirinya.

"Sini, biar Abang yang bawa. Kamu duduk saja," ucapnya lembut.

Sesuai permintaan suaminya, Aira pun duduk di sebelah Zidan. Zidan sengaja menunjukkan kepada Najwa bahwa Aira adalah istri yang sangat ia cintai. Ia bahkan merangkul bahu Aira di hadapan Najwa.

Namun berbeda dengan Zidan, Bu Zubaidah justru menatap menantunya itu dengan pandangan tajam. Tatapan sinis yang jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada Aira.

Melihat Fahira yang dimanjakan oleh putranya membuat Bu Zubaidah bergumam lirih.

"Manja!" gerutunya pelan setelah melihat Fahira duduk di sebelah Zidan.

"Najwa, aku minta maaf atas apa yang sudah Ibu ucapkan. Aku tidak ada niat untuk berpoligami. Fahira juga sebenarnya bisa hamil, hanya saja karena terlalu lelah mengurus pekerjaan rumah, jadi sedikit sulit untuk memiliki keturunan. Kandungannya memang agak lemah, tapi kami masih punya harapan untuk memiliki anak," jelas Zidan, menegaskan ucapannya agar Najwa tidak lagi berharap.

"Kau cantik dan masih muda, tentu banyak pria yang ingin menjadikanmu istri. Tapi sampai kapan pun, aku tidak akan menikahi wanita lain selain Fahira. Maafkan aku, Najwa. Jadi, tolong-- jangan lagi mendengarkan rayuan ibuku," lanjut Zidan dengan nada tegas.

Perkataan itu membuat Bu Zubaidah tersentak. "Zidan! Jaga ucapanmu! Perkataanmu bisa membuat Najwa sakit hati!" pekiknya sambil berdiri dan menatap tajam putranya.

Namun Zidan tetap berusaha tenang. Ia tak ingin bersikap kurang ajar kepada ibu yang telah melahirkannya.

Suasana yang semula hangat seketika berubah menjadi tegang. Najwa dan Eva ikut berdiri, berusaha menenangkan Bu Zubaidah yang mulai tersulut emosi.

Sementara itu, Fahira masih duduk di tempatnya, menunduk dalam diam, berusaha keras menahan air mata agar tidak jatuh.

"Bu, sudahlah. Apa Ibu tidak memikirkan perasaan Fahira? Ibu selalu menekannya di rumah ini dengan menyuruh dia mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku tahu tujuan Ibu membuatnya lelah agar dia semakin sulit hamil, kan?" ujar Zidan dengan nada kecewa.

"Jaga ucapanmu, Zidan!! Lagian kenapa sih kamu ini? Setiap hari yang kamu pikirkan hanya Fahira! Fahira! Fahira! Apa kamu tidak memikirkan Ibu yang ingin segera punya cucu?!" teriak Bu Zubaidah, suaranya meninggi dan bergetar menahan tangis.

"Bu, aku memikirkan Fahira karena dia istriku. Aku juga memikirkan Ibu karena Ibu adalah ibuku. Tapi bukan dengan cara seperti ini untuk mendapatkan keturunan," sahut Zidan masih berusaha sabar.

"Aaah, sudahlah! Lagi-lagi Fahira! Malas Ibu mendengar namanya! Lihat istrimu itu! Tidak ada menarik-menariknya sama sekali. Sudah kurus, pucat, tak berisi, bau, dan tidak bisa merawat diri!"

"Cukup, Bu!" bentak Zidan, berdiri dan menatap ibunya tajam. "Aku masih berusaha menghormati Ibu di sini! Tapi kalau Ibu sekali lagi berani menjelek-jelekkan istriku di depan orang lain, aku tidak segan akan membawa ibu kembali pulang ke kampung!"

Napas Zidan terdengar menderu menahan emosi. Setelah itu, ia menoleh ke arah istrinya dan menarik tangannya pelan.

"Ayo, Aira, kita masuk kamar. Kau masih sakit, harus istirahat," ujarnya lembut.

Meski sedang emosi, Zidan tetap berusaha bersikap lembut pada Fahira. Ia selalu berusaha sabar terhadap ibunya dan adiknya, namun perlakuan mereka yang terus menekan membuatnya akhirnya kehilangan kendali.

Fahira berdiri dan mengikuti langkah suaminya yang masih menggenggam tangannya erat, membawanya masuk ke kamar. Zidan benar-benar tidak tega melihat istrinya terus-menerus diperlakukan seperti itu oleh ibunya sendiri.

Kasihan Fahira---

Apakah dia akan membujuk suaminya agar tetap menuruti keinginan sang ibu untuk menikah lagi?

Atau justru dia akan pergi meninggalkan suaminya demi kebahagiaan Zidan dan Najwa?

Kita tunggu kelanjutannya di up selanjutnya, ya.

See you!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!