Hujan di Lunatera City memang selalu terasa berbeda. Bukan sekadar air yang jatuh, melainkan semacam selimut tipis berwarna abu-abu yang membuat semua suara di bawahnya terdengar melankolis dan jauh.
Pagi itu, di depan gerbang megah SMA Adhirana—sekolah paling elit dengan tembok yang katanya terbuat dari uang—Reina Alyssa berdiri, membiarkan rintik hujan membasahi blazer barunya. Jaket itu masih terasa asing, baunya pun masih bau toko. Semua di sini asing.
Termasuk tatapan mata para siswa lain yang melewatinya.
Sejak Reina masuk ke dalam aula utama yang berkilauan, ia merasa sedang melewati sebuah pemeriksaan tak kasat mata. Mereka tidak memandangnya karena ia siswi baru yang cantik, atau siswi pindahan dari sekolah biasa. Bukan. Tatapan itu terasa lebih dalam, lebih licik, seolah mereka tahu satu hal yang ia sembunyikan.
Mereka tahu tentang Kak Aksa.
Reina meremas tali ranselnya, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya paranoia khas siswi pindahan. Kakaknya, Aksa, menghilang dua tahun lalu. Terakhir terlihat di sekolah ini. Polisi bilang Aksa kabur, orangtua Reina bilang Aksa berulah, tapi Reina tahu kakaknya tidak akan pernah meninggalkannya tanpa kata perpisahan.
Tepat saat ia hendak naik tangga ke lantai tiga, tujuannya—ruang kelas 11 IPA 3—ia melihatnya. Di sudut koridor yang sedikit gelap, ada dua buah lift tua yang terbuat dari besi kuningan kusam. Lift itu terlihat tidak sesuai dengan desain sekolah yang modern dan minimalis. Seperti sisa dari masa lalu yang sengaja dibiarkan.
Reina memilih lift yang paling dekat, menyerah pada kakinya yang sudah pegal membawa semua buku pelajaran.
Di dalam lift, suasananya senyap, hanya ada Reina dan pantulannya di cermin buram. Ia menekan tombol ‘3’.
Tapi sebelum lift sempat bergerak, Reina melihat ke deretan tombol di atas tombol ‘6’. Ada satu tombol lagi. Kecil, sedikit berkarat, tidak diberi label apa pun. Tombol itu tampak seperti kesalahan desain, atau tombol cadangan yang gagal.
Dan saat itu juga, tombol yang tidak berlabel itu menyala. Hanya satu detik. Merah redup, persis seperti nyala api rokok yang hampir mati.
Seketika, perut Reina terasa melilit. Bukan karena takut, melainkan karena naluri dingin yang langsung menusuk ke tulang. Ia menoleh cepat ke tombol-tombol lain, tapi hanya ‘3’ yang menyala stabil. Tombol tak berlabel itu kini gelap total, seolah tidak pernah ada.
Lift mulai bergerak naik, bunyi derit kabelnya terdengar seperti erangan tua.
Hanya imajinasiku.
Tapi Reina tidak bodoh. Ia seorang yang skeptis dan logis. Matanya tidak pernah salah.
Saat pintu lift terbuka di lantai 3, Reina melihat sekelompok siswi berbisik-bisik sambil menunjuk ke arahnya. Mereka tidak menyembunyikan kejutannya. Ekspresi mereka adalah campuran rasa kasihan, ketakutan, dan rasa ingin tahu yang tidak pantas.
Ia melangkah keluar. Lantai 3 ini terang benderang, aroma pembersih lantai dan pengharum ruangan bercampur menjadi bau khas sekolah yang bersih.
“Oh, itu dia. Anak yang kakaknya...” Bisikan itu terputus begitu Reina menoleh.
Ia tidak peduli pada pandangan itu, ia hanya peduli pada satu hal: mengapa mereka bertingkah seolah ia adalah hantu yang kembali?
“Reina Alyssa?”
Seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut diikat dua, Naya, menyambutnya dengan senyum canggung. “Aku Naya. Aku yang akan membantumu keliling. Aduh, maaf, guru piket lagi rapat.”
Naya terlihat polos dan sedikit penakut. Reina menyambut uluran tangannya dengan dingin. “Terima kasih.”
“Santai aja. Eh, kamu mau ke ruang administrasi dulu? Ngambil denah sekolah?” tanya Naya sambil melihat ke bawah, menghindari kontak mata.
“Sudah. Tapi di denah itu cuma ada enam lantai,” jawab Reina, suaranya datar.
Naya terdiam. Senyumnya menghilang. Ia lalu tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti ketakutan yang disembunyikan.
“Ya... memang enam lantai, Reina. Sekolah kita cuma enam lantai. Memangnya kamu mau cari lantai apa?”
Reina menatap Naya lurus-lurus. “Lantai tujuh.”
Naya menelan ludah. Wajahnya pucat.
“Aku nggak pernah dengar itu, deh,” katanya, suaranya sedikit gemetar. “Mungkin itu bagian gedung lama yang nggak dipake? Sudah ya, yuk ke kelas. Sudah mau bel.”
Naya berbalik dengan cepat, seolah ingin kabur. Reina bisa merasakan betapa takutnya gadis ini. Rasa takut yang tulus.
Pelajaran pertama adalah Sejarah. Sepanjang dua jam pelajaran yang membosankan itu, Reina hanya fokus pada satu hal: mencari tahu lebih banyak. Ia tidak bisa fokus pada Perang Dunia, sementara perang yang sebenarnya ada di kepalanya.
Saat bel istirahat berbunyi, seorang cowok dengan kaus klub jurnalistik—rambutnya gondrong tapi rapi, matanya lincah seperti musang—langsung menghampiri meja Reina.
“Reina Alyssa?” Cowok itu menjulurkan tangan. “Aku Zio Hartanto. Klub Jurnalistik. Dan aku dengar kamu lagi cari ‘lantai yang tidak ada’?”
Reina menatap Zio dengan curiga. “Kamu dengar dari Naya?”
Zio tertawa kecil. “Naya itu ember bocor, tapi instingku juga tajam. Cerita-cerita misteri gini itu konten emas buat klub. Jujur aja, aku udah lama penasaran sama rumor itu. Lift di Gedung Lama, kan? Tombol ketujuh yang nyala sendiri?”
Reina terkejut. “Jadi kamu tahu tombol itu?”
“Semua anak lama tahu, tapi nggak ada yang berani bahas. Katanya, kalau kamu sebut-sebut, kamu bakal didatangi oleh ‘penjaga reputasi’,” Zio berbisik, nadanya dibuat-buat menyeramkan.
“Siapa?”
“Ketua OSIS. Daren Kurniawan. Si Pangeran Sekolah yang Terlalu Sempurna.”
Reina memutar mata. Drama sekolah elit memang selalu berlebihan.
“Aku nggak tertarik sama drama Pangeran Sekolah,” kata Reina. “Aku cuma mau tahu, ada yang pernah lihat lantai itu?”
Zio menyandarkan badannya ke meja Reina, matanya berubah serius. “Aku belum pernah lihat sendiri. Tapi aku punya arsip lama. Foto-foto CCTV. Mau lihat?”
Hati Reina berdebar kencang. Ini adalah sinyal pertama, bukti nyata dari orang luar.
“Di mana?”
“Ruang Jurnalistik. Tapi malam ini, setelah sekolah. Lebih aman,” Zio berbisik, lalu menyeringai. “Anggap aja ini misi rahasia pertama kita, partner.”
Reina mengangguk. Setidaknya, sekarang ia punya sekutu. Sekutu yang ceroboh dan gila konten, tapi ia tidak punya pilihan.
Saat Reina membereskan tasnya sebelum pulang, ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar pelan. Sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Nomor itu hanya berupa deretan angka acak.
Awalnya Reina mengabaikannya, mengira itu salah kirim.
Tapi ia membaca teksnya. Jantungnya langsung jatuh ke lantai.
Teks itu hanya terdiri dari satu kalimat pendek:
“Kakakmu masih di lantai itu.”
Udara di sekeliling Reina mendadak terasa dingin. Keringat dingin menetes di punggungnya. Ia menoleh ke pintu kelas, ke koridor yang kini mulai sepi. Ia mencoba mencari-cari. Siapa? Siapa yang tahu tentang Aksa?
Reina menekan tombol panggil di nomor itu. Tersambung. Tapi tidak ada yang mengangkat. Hanya suara “tut... tut... tut...” yang berulang-ulang, terdengar seperti denyut waktu yang melambat.
Tiba-tiba, suara itu berubah. Dari speaker ponselnya, yang terdengar bukan lagi nada panggil, melainkan suara statis yang berderak. Lalu, suara itu menghilang, digantikan oleh... bunyi derit besi berkarat.
Bunyi yang sama persis seperti yang ia dengar dari lift Gedung Lama, beberapa jam yang lalu.
Reina langsung memutus panggilan itu. Tangannya gemetar.
Ia melihat sekeliling lagi. Di seberang koridor, seorang cowok tinggi dengan seragam OSIS yang rapi, Daren Kurniawan, sedang berdiri di ambang pintu kelas 12. Cowok itu—yang baru disebut Zio sebagai ‘Penjaga Reputasi’—hanya berdiri di sana, menatap lurus ke arah Reina.
Daren tidak tersenyum. Matanya tajam, dingin, dan ia hanya berdiri tegak seperti patung.
Jarak mereka sekitar dua puluh meter.
Dan Reina bersumpah, ia bisa merasakan tatapan Daren menembus dirinya, menembus dinding, menembus kerahasiaan paling pribadi yang ia simpan.
Daren tahu.
Cowok itu lalu berbalik perlahan, tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya meninggalkannya dengan bunyi derit lift yang masih terngiang di telinga.
Reina membiarkan dirinya bersandar di meja, berusaha mengatur napas. Jelas. Sekolah ini bukan hanya tentang lantai enam dan reputasi sempurna.
Sekolah ini adalah sarang. Dan kakaknya, Aksa, masih terperangkap di salah satu sudutnya.
Reina tahu, ia baru saja menekan tombol yang salah. Tombol yang tidak seharusnya pernah ada.
Reina menghabiskan sisa sore itu dalam kondisi waspada akut. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti sentuhan es di tengkuknya. Bukan ancaman kosong, melainkan semacam konfirmasi dingin bahwa ia berada di tempat yang benar—atau, lebih tepatnya, tempat yang salah.
"Kakakmu masih di lantai itu."
Tiga kata yang sukses mengacak-acak logikanya. Reina selalu berpikir bahwa Aksa—kakak laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya, yang selalu memberinya rasa aman—telah hilang karena masalah di luar nalar. Bukan diculik, bukan lari. Tapi sekarang, ia harus menghadapi kenyataan bahwa misteri ini terkunci di dalam kotak semen dan besi. Tepat di bawah hidungnya.
Reina memutuskan untuk mengabaikan Daren si ‘Penjaga Reputasi’ dulu. Daren hanya akan menjadi penghalang. Fokusnya sekarang adalah mencari bukti fisik.
Pukul empat sore, sekolah sudah jauh lebih sepi. Hanya tersisa beberapa siswa klub olahraga dan siswa yang sedang les tambahan. Suara gesekan sepatu di lantai marmer dan keheningan koridor kini terasa lebih berat, seolah keheningan itu sendiri adalah sesuatu yang bisa disentuh.
Ia berjalan cepat menuju Ruang Administrasi, tempat yang ia kunjungi pagi tadi. Ruangan itu kini kosong, hanya ada seorang petugas piket yang sibuk dengan ponselnya.
“Permisi, Bu. Saya mau lihat denah pembangunan gedung utama lagi. Saya rasa ada kesalahan cetak di denah yang tadi diberikan,” kata Reina, mencoba terdengar seramah dan selugas mungkin.
Petugas itu mendongak, matanya sedikit menyipit. “Oh, siswi pindahan itu, ya? Tidak ada yang salah, Nak. Kita punya standar arsitektur terbaik, dan gedung ini hanya enam lantai.”
“Tapi, boleh saya lihat arsip denah yang asli? Yang sebelum renovasi?” Reina memaksakan.
Petugas itu menghela napas, terlihat jengkel.
“Kenapa kamu begitu ngotot? Di sini cuma ada satu denah.”
Dengan gerakan lamban, petugas itu membuka laci arsip logam yang dingin. Ia mengeluarkan selembar kertas kalkir yang sudah menguning di bagian tepinya.
Reina menyodokkan jari telunjuknya ke arah gambar denah yang tertera di sana. Denah itu sangat detail, menunjukkan fondasi, pipa, kabel listrik, hingga ventilasi.
“Lihat, Nak. Lantai 1, 2, 3, 4, 5, 6. Enam lantai. Selesai,” kata petugas itu, mengambil kembali kertas itu dengan nada final.
Reina tidak menyerah. Ia membungkuk, menunjuk ke kolom keterangan yang dicetak kecil di sudut kanan bawah.
“Kalau ini, Bu? Keterangan struktur vertikalnya. Tertulis ‘Ketinggian Maksimum Bangunan: 28 meter, enam lantai dan satu void tersier’.”
Petugas itu membeku. Ia menatap ke kolom itu, lalu ke Reina, dengan ekspresi yang berubah dari jengkel menjadi sedikit panik.
“Void tersier itu... itu artinya ruang kosong untuk instalasi mekanik atau atap. Bukan lantai,” jawab petugas itu, tapi suaranya tidak setegas tadi. Ada getaran keraguan yang nyata.
“Ruang kosong? Tapi di lift ada tombolnya. Dan tombol itu menyala,” tantang Reina.
Petugas itu langsung menutup laci arsip dengan bunyi benturan keras. Ia berdiri.
“Cukup, Nak. Saya tidak tahu apa yang kamu dengar dari siswa lain. Tapi sekolah ini punya reputasi. Dan rumor tentang lantai-lantai aneh itu sudah sangat lama. Itu cuma mitos. Sekarang, silakan keluar. Saya harus mengunci ruangan.”
Wajah petugas itu kini merah padam. Jelas sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu, atau setidaknya, diperintah untuk menyembunyikannya.
Reina tahu ia sudah mencapai batasnya. Ia tidak akan mendapatkan apa-apa lagi dari sini. Ia hanya berhasil mengkonfirmasi satu hal: mereka semua berbohong.
Reina berjalan gontai keluar dari Ruang Administrasi. Atmosfer sekolah benar-benar berubah saat menjelang malam. Pencahayaan di koridor terasa redup, seringkali lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak.
Tepat saat ia hendak menuju gerbang, sebuah tangan menepuk bahunya.
“Muka kamu udah kayak hantu kelaparan gini, Rei. Gimana? Udah kena interogasi sama guru-guru?”
Itu Zio. Ia muncul dari balik tiang pilar, mengenakan hoodie gelap dan tas kamera menggantung di bahunya. Ia terlihat seperti mata-mata yang terlalu bersemangat.
“Aku nggak dapat apa-apa. Mereka semua denial. Kayaknya mereka dibayar buat bilang sekolah ini cuma enam lantai,” kata Reina, nadanya penuh frustrasi.
“Oh, ya jelas. Kan ada ‘Penjaga Reputasi’,” Zio berbisik, sambil melirik ke sekeliling. “Makanya, ayo. Aku udah nunggu dari tadi. Di ruang klub jurnalistik itu surganya arsip yang nggak terdata.”
Mereka berjalan beriringan menuju gedung ekstrakurikuler yang terletak di bagian belakang sekolah. Gedung ini jauh lebih tua, dindingnya dipenuhi lumut tipis karena hujan.
Ruang klub jurnalistik adalah sebuah kamar kecil yang pengap di lantai dasar. Bau kertas tua dan debu langsung menyambut mereka.
“Duduk aja. Anggap aja rumah sendiri. Asal jangan sentuh kamera aku,” kata Zio sambil menyalakan komputer desktop tua yang berdengung keras.
Reina memperhatikan Zio yang sibuk memasukkan password. “Kamu bilang kamu punya arsip CCTV?”
“Yup. Arsip ini nggak diurus sama sekolah, tapi sama klub kita. CCTV eksternal di koridor Gedung Lama itu semua terhubung ke sini. Sekolah kita pelit, jadi CCTV di sana jarang di-upgrade. Data lamanya masih mentah,” jelas Zio, mengetik cepat.
Layar monitor menyala. Zio membuka folder yang diberi nama aneh: “GL_Unrec_F-7”.
“GL itu Gedung Lama. F-7 itu Fantasy Seven. Kita nyebutnya gitu,” kata Zio santai.
Reina merasakan adrenalinnya naik. Mereka sudah dekat.
Zio menggeser timeline video. Layarnya menampilkan koridor kosong di lantai tiga Gedung Lama—tempat lift berada. Sudut pandang kamera agak buram, seperti lensanya jarang dibersihkan.
“Ini rekaman dua tahun lalu. Sehari setelah kakak kamu dikabarkan ‘mengundurkan diri’,” kata Zio, nadanya mendadak serius. Ia tidak lagi bercanda.
Reina membeku.
“Waktu itu, Daren Kurniawan—si Ketua OSIS—baru naik kelas sebelas. Dan dia yang nemuin lift itu dalam keadaan macet.”
Zio mengklik tombol ‘play’.
Video itu sunyi. Koridor di layar benar-benar kosong. Hening. Hanya ada pantulan cahaya lampu yang berkedip. Jam digital di sudut layar menunjukkan pukul 02:45 dini hari.
Lalu, pintuk lift terbuka. Tiba-tiba.
Dari dalam lift, muncul sesosok tubuh.
Bukan hantu, bukan bayangan. Itu adalah seorang siswi berseragam SMA Adhirana, wajahnya tertunduk, rambutnya menutupi seluruh ekspresinya.
Siswi itu melangkah keluar, kakinya terlihat pincang.
Dan Reina melihatnya.
Di tangan siswi itu—tepat di telapak tangan kirinya—ada noda merah gelap yang sangat tebal. Bukan hanya setetes, tapi seperti ia telah menenggelamkan tangannya ke dalam ember.
Darah.
Reina menahan napas.
Siswi itu berjalan cepat, tertatih, dan segera menghilang dari pandangan kamera. Pintu lift lalu tertutup dengan suara dentuman.
Reina menoleh ke Zio, matanya lebar. “Siapa itu? Kenapa ada darah?”
“Nggak tahu. Identitasnya nggak pernah ketahuan. Dia bukan Aksa, tapi lihat tanggalnya,” kata Zio, menjeda video.
Di sudut layar tertulis: Tanggal 12 Maret 2023.
“Itu sehari setelah Aksa hilang. Dan yang paling aneh,” Zio menunjuk ke bagian bawah layar, “lihat sensor liftnya.”
Video itu menunjukkan lift yang naik. Tapi tidak berhenti di lantai manapun dari 1 sampai 6.
“Dari rekaman sensor internal yang aku sadap, lift ini langsung lompat dari lantai 3 ke... tombol 7. Padahal tombol 7 nggak terdaftar di sistemnya,” jelas Zio.
Reina mengusap lengannya yang merinding. Ini nyata. Lantai itu ada. Dan itu terhubung dengan darah, trauma, dan hilangnya Aksa.
“Mungkin dia habis luka. Mungkin dia jatuh,” Reina mencoba berdalih, mencoba mencari celah logis.
“Luka? Di mana? Di ruang kelas 11 IPA 3? Kenapa dia nggak ke UKS? Kenapa dia harus naik lift aneh itu dari lantai yang nggak ada?” Zio balik bertanya, nadanya lembut, tapi menusuk.
Lalu Zio menggeser video itu ke beberapa jam setelah kejadian itu.
Video itu menunjukkan koridor yang sama. Pagi hari. Pukul 07:00. Siswa-siswa mulai berdatangan.
Reina menyadari ada sesuatu yang hilang. Ada bau aneh dari video itu—keanehan yang hanya bisa dirasakan mata.
“Kenapa koridornya bersih banget?” tanya Reina.
“Itu dia,” Zio mengangguk. “Noda darahnya hilang total. Nggak ada sisa. Padahal, CCTV ini dipasang tinggi. Nggak mungkin pembersih sekolah secepat itu. Dan lihat di dekat pintu lift—”
Zio memperbesar gambar.
Tergeletak di lantai, di depan lift besi tua itu, ada sepotong kain kecil. Sobekkan dari seragam sekolah.
Zio kembali ke video siswi berdarah itu. Ia memperbesar lengan siswi itu.
Tepat di pergelangan tangan seragam siswi itu, ada robekan kecil. Cocok dengan kain yang ditemukan di pagi hari.
“Artinya,” Zio menyimpulkan dengan suara rendah, “siswi itu real. Darahnya real. Kejadiannya real. Tapi, entah bagaimana, sekolah ini bisa menghapus jejaknya dalam beberapa jam.”
Reina merasakan tenggorokannya tercekat. Sekolah ini bukan hanya tentang menyembunyikan rahasia. Mereka menghapusnya.
Zio mematikan monitor. Suara dengung komputer langsung berhenti. Keheningan tiba-tiba terasa memekakkan telinga.
“Jadi, Reina,” Zio menoleh, menatap Reina dengan mata musangnya yang serius. “Sekarang kamu tahu. Lantai tujuh itu mungkin memang tidak tercatat di denah mana pun. Karena lantai itu... bukan bagian dari denah ini.”
Ia meraih tasnya, mengeluarkan sebuah kamera kecil bergaya lama.
“Aku nggak tahu ini dimensi lain, portal, atau apa. Tapi ini bukan mitos. Ini ada. Dan kalau kakak kamu bilang dia masih di lantai itu,” Zio menatap tajam ke mata Reina.
“...berarti kita harus masuk. Untuk konten. Dan untuk kebenaran kakakmu.”
Reina tidak menjawab. Ia hanya menatap Zio. Rasa takutnya kini berganti menjadi tekad yang dingin dan membara. Ia tidak lagi mencari bukti bahwa Aksa ada. Ia tahu Aksa ada.
Tugasnya sekarang: mencari cara masuk tanpa terhapus.
Keesokan paginya, atmosfer SMA Adhirana terasa lebih berat di pundak Reina. Bukan karena ransel atau buku-buku tebal, tapi karena beban rahasia yang ia dan Zio sekarang tanggung. Video CCTV semalam telah menghilangkan semua keraguannya. Sekarang yang ada hanya satu pertanyaan yang membakar: bagaimana cara masuk ke sana, dan mengapa Aksa ada di sana?
Reina menyusuri koridor lantai tiga, menuju lokernya. Ia mencari Zio, tapi klub jurnalistik itu tampak tidak ada di mana-mana. Hanya suara-suara bisikan yang mengikuti setiap langkahnya. Mereka berbisik tentang siswi pindahan. Mereka berbisik tentang kakaknya.
Tepat saat ia hendak membuka loker, sebuah bayangan tinggi jatuh di depannya. Reina mendongak.
Itu Daren Kurniawan.
Ketua OSIS itu berdiri tegak, seragamnya—kemeja putih yang disetrika tanpa cela, dasi yang terikat sempurna, dan lambang OSIS yang berkilauan—terlihat kontras dengan Reina yang merasa lusuh dan penuh keringat dingin. Dia adalah definisi sempurna dari citra sekolah elit: bersih, berwibawa, dan sedikit mengintimidasi.
“Reina Alyssa,” sapa Daren. Suaranya rendah dan tenang, tanpa emosi, seperti suara yang telah dilatih untuk menenangkan kerumunan, atau menutupi sesuatu.
“Ketua OSIS,” balas Reina, nadanya datar. Ia tidak mencoba bersikap sopan atau ramah. Ia tidak punya waktu untuk drama popular-kid.
Daren bersandar di loker sebelah Reina, membuat Reina merasa terperangkap. Ia tidak menatap Reina, melainkan menatap lurus ke lorong yang sepi.
“Saya dengar kamu banyak bertanya. Tentang denah, tentang lift, dan tentang hal-hal yang tidak ada di sekolah ini,” katanya, masih dengan nada tenang yang membuat Reina jengkel.
“Saya bertanya tentang denah yang salah. Dan saya bertanya pada guru yang terlihat gugup,” Reina membalas tatapannya. Ia tidak akan mundur. “Apa urusannya denganmu?”
Daren akhirnya menoleh, dan tatapan matanya—hitam, dalam, dan tanpa kilau—langsung menusuk Reina. Tatapan itu terasa lebih tua dari usianya.
“Urusannya dengan reputasi sekolah. Adhirana adalah tempat untuk mencapai masa depan, bukan tempat mencari masa lalu. Dan saya adalah yang menjaga itu tetap stabil,” jawab Daren, tidak ada nada bangga dalam suaranya, hanya sebuah pernyataan fakta.
“Menjaga stabilitas? Atau menutupi kejahatan?” tanya Reina tajam. Ia tidak peduli jika ia melanggar etika. “Dua tahun lalu, ada siswi yang keluar dari lift itu dengan darah di tangannya. Kenapa arsip sekolah bersih? Kenapa semua orang berlagak gila?”
Daren tidak menunjukkan reaksi terkejut sama sekali. Ia hanya menghela napas, seolah Reina adalah anak kecil yang rewel.
“Kamu sudah terlalu dalam, Reina. Sebaiknya kamu berhenti,” Daren memperingatkan. “Beberapa rahasia itu bukan untuk dibongkar, melainkan untuk dilupakan. Untuk kebaikanmu sendiri.”
“Kebaikan saya? Atau kebaikan sekolahmu?” Reina mengejek. “Kakak saya hilang di sini. Saya akan berhenti kalau saya sudah tahu di mana dia. Kamu tahu banyak, kan? Kamu yang menemukan lift itu macet. Kamu ada di sana.”
Jeda yang terjadi terasa sangat panjang. Di luar, suara hujan mulai turun lagi, menambah suasana melankolis dan suram.
Daren kembali menatap ke lorong, tapi kali ini, ada kerutan samar di sudut matanya. Seolah Reina telah menyentuh luka lama.
“Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu bayangkan,” akunya.
“Kalau begitu, beri tahu aku. Apa itu lantai tujuh? Kenapa semua orang takut?” desak Reina.
Daren menggeser posisi berdirinya, sedikit mencondongkan tubuh ke arah Reina. Jarak mereka kini sangat dekat. Reina bisa mencium aroma kayu cendana dan mint yang samar dari seragamnya.
Daren berbisik, suaranya kini terdengar sangat pelan, hanya untuk didengar Reina.
“Lantai tujuh adalah tempat untuk dosa. Tempat di mana rasa bersalah kembali dan menuntut balas.”
Reina tercengang. Itu bukan jawaban logis. Itu adalah kalimat dari sebuah film horor murahan.
“Apa maksudmu? Itu cuma ruangan. Kenapa kamu bicara seperti itu dimensi lain?”
Daren tersenyum kecil—senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum itu dingin dan menyakitkan.
“Lantai itu berubah wujud tergantung pada apa yang kamu sembunyikan. Itu mengambil apa yang kamu cintai dan mengembalikannya dalam bentuk ilusi yang akan membunuhmu. Makanya, berhenti.”
Reina memundurkan langkah, merinding. Daren benar-benar terlihat seperti orang gila. Atau dia adalah korban dari kegilaan itu.
“Apa kamu takut aku akan membongkar rahasia pribadimu?” tanya Reina, mencoba memancingnya.
Daren menatap Reina, matanya kembali kosong dan dingin. “Aku tidak punya rahasia, Reina. Aku hanya menjaga yang lainnya.”
Lalu, Daren mengucapkan kalimat yang menghancurkan semua pertahanan logis Reina. Ia menjulurkan tangan kanannya, dan dengan ujung jari yang bersih dan rapi, ia menyentuh lembut pergelangan tangan kiri Reina.
“Kamu ingin bertemu Aksa lagi?”
Jantung Reina langsung berdentum kencang, memukul-mukul rusuknya. Udara seperti terkunci di paru-parunya.
“... Dari mana kamu tahu nama kakakku?” Reina bertanya, suaranya tercekat. Ia sudah tahu Daren tahu, tapi mendengarnya diucapkan Daren membuatnya terasa sangat nyata.
Daren menarik tangannya. Ekspresinya kini berubah menjadi sedikit melankolis, penuh penyesalan yang samar.
“Semua orang yang tersisa di sini tahu,” jawabnya. “Dia bukan ‘siswi yang mengundurkan diri’. Dia adalah siswi yang menghilang. Dan dia yang paling tahu tentang lantai itu.”
“Lalu kenapa kamu menyuruhku berhenti?” Reina menuntut.
Daren memejamkan mata sebentar, lalu membukanya. Tatapannya kini terlihat sedikit putus asa.
“Karena kamu terlihat seperti dia. Penuh rasa ingin tahu, tapi mudah terbawa rasa bersalah. Aku tidak mau melihatmu berakhir sama.”
Kemudian, Daren berbisik, mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Reina, suaranya kini hampir tidak terdengar di antara gemuruh hujan:
“Kamu ingin bertemu kakakmu lagi? Tekan tombol itu saat jam 11:11.”
Reina terkejut. Itu bukan peringatan. Itu adalah instruksi. Sebuah jebakan? Atau petunjuk?
“Jam 11:11? Kenapa jam itu?”
Daren mundur. Ia kembali ke sosok Ketua OSIS yang sempurna. Keheningan yang menakutkan kembali tercipta.
“Jam itu adalah nol. Nol waktu, nol ruang. Itu adalah momen ketika void tersier itu paling tipis. Kamu akan mengerti setelah masuk,” jawab Daren.
Ia menoleh, bersiap pergi, tapi ia berhenti di tengah jalan.
“Satu hal lagi, Reina,” Daren berkata tanpa menoleh. “Jika kamu masuk, kamu harus punya alasan yang kuat untuk keluar. Lantai itu adalah cermin dari jiwa. Jika kamu punya rahasia gelap, dia akan menjeratmu. Dan kamu akan menjadi bagian dari arsip yang bersih.”
Daren lalu berjalan pergi, langkahnya mantap, seolah tidak pernah ada percakapan gila yang terjadi.
Reina ditinggalkan sendirian di depan lokernya yang dingin. Kata-kata Daren terus berputar di kepalanya.
Aksa.
Dosa. Rasa Bersalah.
Jam 11:11.
Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat waktu. Pukul 09:30. Dua jam lagi menuju nol waktu.
Di tengah kebingungan, ia menarik napas. Perkataan Daren terasa seperti sebuah peringatan yang jujur, bukan ancaman kosong. Daren tidak mengancamnya dengan hukuman sekolah. Daren mengancamnya dengan lantai itu sendiri.
Saat Reina membuka lokernya, ia terkejut. Di antara buku-bukunya yang tersusun rapi, terselip sebuah catatan kecil. Kertas buram, ditulis dengan huruf cetak yang rapi.
“Daren bukan penyelamat. Dia yang membawanya ke sana. Jangan percayai dia.”
Jantung Reina kembali berdetak liar.
Siapa lagi yang tahu? Zio? Naya? Atau seseorang yang mengawasi Daren, dan mengawasi dirinya?
Ia meremas catatan itu. Matanya kembali menatap ke arah koridor yang dilewati Daren. Sosoknya sudah lama menghilang.
Daren tahu Aksa. Daren memberikan petunjuk untuk masuk. Dan seseorang memberinya peringatan untuk tidak mempercayai Daren.
Reina menyadari satu hal yang paling krusial. SMA Adhirana bukan hanya memiliki satu rahasia. Ia memiliki lapisan-lapisan rahasia. Dan Daren adalah salah satu lapisan paling tebal.
Reina tersenyum getir.
“Oke, Daren. Aku akan masuk. Tapi aku nggak akan sendirian.”
Ia mengeluarkan ponsel, mengetik pesan cepat kepada Zio: “Jam 11:11. Lift lama. Konten besar. Jangan telat.”
Ia ingin tahu apa yang Daren sembunyikan. Dan satu-satunya cara mengetahui rahasia seseorang adalah dengan melangkah ke dalam dimensi yang paling ditakutinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!