NovelToon NovelToon

Mas Kapten, Ayo Bercerai!

01. Berikan aku anak!

Suara gelas beradu di meja makan besar keluarga Wirantara terdengar kaku malam itu.

Makan malam keluarga selalu tampak sempurna di mata orang luar, meja panjang berlapis linen putih, piring porselen berjejer rapi, dan tawa sopan yang terdengar seperti kewajiban.

Namun bagi Amara, semuanya terasa dingin, seperti panggung sandiwara yang diulang setiap minggu.

Dia duduk di samping suaminya, Kapten Shaka Wirantara, pria dengan tatapan tajam yang pernah membuat banyak orang segan.

Seragam pilotnya masih menempel di tubuh, setelan biru tua yang selalu tampak terlalu formal bahkan di meja makan keluarga sendiri. Shaka jarang bicara, sejak awal pernikahan mereka, kata-katanya selalu sedikit, emosinya bahkan lebih sedikit lagi.

Malam itu, percakapan berlangsung datar sampai suara ibunya memecah keheningan.

“Shaka, lima tahun sudah kau menikah, tapi kenapa belum juga memberi kami cucu?”

Nada lembut tapi menekan, semua mata langsung tertuju pada mereka berdua.

Amara menunduk, jarinya menggenggam serbet makan yang terlipat rapi di pangkuannya. Shaka menatap piringnya tanpa ekspresi.

“Kami hanya khawatir,” lanjut sang ibu, “usia Amara juga tak muda lagi. Kau sibuk terus, Nak, jangan sampai nanti terlambat.”

Satu kalimat lagi, dan suasana meja berubah sesak. Shaka hanya mengangguk singkat lalu meletakkan sendoknya.

“Saya paham, Bu,” jawabnya datar, lalu berdiri.

“Permisi.”

Tanpa menunggu siapa pun, ia meninggalkan meja. Amara bergegas berdiri, membungkuk sopan pada mertuanya sebelum mengikuti langkah suaminya yang sudah lebih dulu menuju tangga besar. Lorong menuju kamar terasa panjang dan sunyi. Begitu pintu kamar tertutup, suara kuncinya terdengar jelas.

Shaka berdiri membelakangi Amara, kedua tangannya bertumpu di meja kerja yang penuh dokumen penerbangan, napasnya berat.

“Mas?” panggil Amara pelan. “Tolong jangan marah, Ibu hanya khawatir.”

Tanpa menoleh, Shaka berkata dengan nada yang lebih dingin dari biasanya.

“Khawatir, atau ingin menekan?”

Amara terdiam, dia tahu tak ada jawaban yang bisa meredakan amarah pria itu. Shaka berbalik perlahan, matanya tajam, tapi ada letih di baliknya.

“Aku lelah, Amara.”

“Aku tahu,” jawab Amara lembut.

“Tidak, kamu tidak tahu,” suaranya meninggi, menahan frustrasi.

“Aku lelah karena terus ditanya soal anak, soal pernikahan yang bahkan tidak aku inginkan.”

Amara tertegun, kata-kata itu jatuh pelan tapi mematikan, seperti serpihan kaca yang melukai dari dalam.

'Ini sudah lima tahun, apa Mas Shaka belum bisa menerima pernikahan ini?'

“Mas…”

“Berikan aku anak, Amara.”

“Apa?”

“Biar mereka berhenti menjeratku dengan ikatan ini. Biar mereka pikir aku bahagia, biar aku bisa … bebas.”

Kata bebas membuat dada Amara sesak.

Bukan karena ia kaget, tapi karena kini ia benar-benar mengerti sekarang, pernikahan mereka hanyalah kewajiban yang harus dijalani Shaka, bukan pilihan. Dan ia hanyalah bagian dari rencana besar keluarga Wirantara untuk menyelamatkan nama, bukan cinta.

Shaka memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang hampir berubah jadi putus asa.

Ia berjalan mendekat, lalu berhenti di hadapan Amara. Pandangan mereka bertemu, tapi tak ada kehangatan di sana, hanya dua orang yang sama-sama kehilangan arah.

“Aku tidak pernah membencimu, Amara,” katanya perlahan, “tapi aku juga tidak pernah mencintaimu.”

Amara menarik napas dalam, tak ada air mata, hanya keheningan yang panjang.

“Aku tahu,” bisiknya. “Sejak hari pertama kita bertemu, aku sudah tahu.”

Keheningan kembali mengisi ruangan, hujan di luar jatuh semakin deras, menimbulkan suara berirama yang menyayat telinga.

Shaka melangkah mundur, melepaskan dasinya dengan gerakan kasar lalu berjalan ke arah balkon, dan menatap langit malam tanpa kata.

Sementara Amara tetap berdiri di tengah kamar, menatap punggung pria yang menjadi suaminya selama lima tahun tanpa pernah tahu bagaimana rasanya dicintai.

Shaka kemudian berbalik, menatap Amara yang masih berdiri di tempat semula. Tatapannya berat, napasnya terengah menahan emosi yang tak bisa dijelaskan.

Di balik wajah tegasnya, hanya tersisa satu hal, keinginan untuk mengakhiri tekanan yang datang dari keluarganya.

Amara berdiri diam, menatap suaminya yang kini melangkah mendekat, ia tahu kemana arah tatapan itu. Ia tahu niat di balik gerakan tangan Shaka yang terulur ke arahnya.

“Mas…”

Suara Amara hampir tak terdengar, lembut dan bergetar. Namun sebelum ia sempat melanjutkan, tubuhnya sudah terangkat.

Shaka menggendongnya tanpa kata, membawa Amara ke arah ranjang besar di sisi kamar.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Shaka memintanya untuk menunaikan satu-satunya hal yang tersisa dalam pernikahan mereka yaitu kewajiban.

Amara tak melawan, dia hanya memejamkan mata dan membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Baginya, menjadi istri berarti patuh, sekalipun hatinya perlahan mati.

Ia tidak pernah menolak Shaka, tidak pernah berkata tidak, karena di antara dinginnya hubungan mereka, ia masih ingin percaya bahwa suatu hari, mungkin suaminya Shaka akan memandangnya dengan penuh cinta.

Namun yang datang bukan cinta, hanya keheningan. Hanya napas berat dua orang yang terjebak dalam ikatan tanpa perasaan. Ketika semuanya berakhir, Shaka berbalik tanpa sepatah kata pun, membelakangi Amara yang masih terbaring diam di sisi ranjang.

Dia menarik selimutnya sendiri dan menatap langit-langit kamar. Suara hujan masih terdengar di luar sana, jatuh satu-satu di atas jendela, menandai malam yang sama dinginnya dengan hati mereka berdua.

Amara menatap punggung pria itu lama sekali. Satu sisi dirinya ingin marah, sisi lainnya hanya ingin menyerah. Namun akhirnya, ia memilih diam. Karena diam adalah satu-satunya hal yang bisa menjaga harga dirinya tetap utuh. Dia kemudian berbisik lirih pada dirinya sendiri, kalimat yang tak akan pernah didengar siapa pun.

"Kalau ini yang kau inginkan, Mas ... aku akan menuruti. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku berhenti berharap.”

Hujan kian deras dan malam itu, dua manusia di bawah satu atap berbagi kehangatan tanpa ada rasa, sementara cinta mereka perlahan mati tanpa sempat dilahirkan.

02. Ada sesuatu di hati yang sulit dijelaskan.

Pagi itu udara masih basah oleh sisa hujan malam. Aroma kopi dan avtur bercampur di ruang briefing bandara, menciptakan suasana yang hanya dimengerti oleh para awak pesawat yang sudah terbiasa dengan ritme dunia penerbangan.

Shaka Wirantara, kapten penerbangan termuda yang disegani di maskapai itu, berdiri di depan papan jadwal. Seragam putihnya rapi tanpa cela, topi hitam dengan emblem emas terpasang sempurna di tangan kirinya. Wajahnya datar, tenang, dan berwibawa seperti biasa.

“Penerbangan pagi ini rute Jakarta–Osaka. Estimasi durasi delapan jam. Cuaca relatif baik, hanya sedikit turbulensi di perairan Laut Cina Selatan,” katanya, suaranya tegas tapi datar. Semua mata awak kabin menatapnya dengan hormat.

Di antara mereka, Amara duduk di kursi barisan depan. Seragam pramugarinya senada dengan langit pagi, biru tua, elegan, dan berjarak. Ia mendengarkan dengan tenang, tanpa ekspresi, seolah tak mengenal sosok yang sedang memberi instruksi di depannya.

Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pria yang mereka panggil Kapten Shaka adalah suaminya yang sah. Namun di lingkungan kerja, Shaka tak pernah mengumumkan pernikahan mereka. Baginya, kehidupan pribadi dan profesional adalah dua dunia yang tak boleh bersinggungan. Atau mungkin, Shaka hanya tak ingin siapa pun tahu bahwa istrinya adalah wanita yang ia nikahi karena paksaan keluarga.

“Semua sudah jelas?” tanya Shaka.

“Siap, Kapten,” jawab seluruh kru kompak.

Shaka menatap sekilas ke arah Amara. Tatapan singkat, dingin, dan nyaris tanpa arti. Amara menunduk pelan, menahan segala sesuatu yang ingin meledak di dalam dadanya. Mereka berjalan beriringan menuju pesawat, tapi jarak di antara keduanya lebih lebar daripada jarak antara kokpit dan kabin.

Setiap langkah Shaka tegap dan tegas, sementara Amara melangkah anggun namun hati-hati, memastikan tidak ada satu gerak pun yang bisa menimbulkan pertanyaan dari rekan kerjanya.

Di dalam pesawat, semua berlangsung seperti biasa. Shaka masuk ke kokpit bersama kopilotnya, Kapten Dimas, sahabatnya sejak akademi penerbangan.

Sementara Amara mulai memberi instruksi pada awak kabin, senyumnya ramah tapi matanya kosong. Sesekali suara Shaka terdengar dari pengeras suara, memberi instruksi pada penumpang. Suara yang sama yang tadi malam bergetar di telinganya dengan nada kemarahan. Amara terdiam setiap kali mendengarnya, tapi cepat-cepat menenangkan diri, memastikan tidak ada yang curiga. Ketika pesawat mulai menembus awan putih, Shaka menatap ke depan tanpa ekspresi. Kokpit sunyi kecuali suara instrumen yang terus berdengung.

“Capek, Kapten?” tanya Dimas, berusaha mencairkan suasana.

Shaka hanya tersenyum tipis. “Tidak, hanya kurang tidur.”

Ia tidak akan pernah bercerita apa pun. Tentang malamnya, tentang pernikahan yang tak diinginkannya. Tentang perempuan yang kini duduk di kabin belakang, memakai seragam yang sama, tapi menanggung beban yang berbeda.

Sementara di kabin, Amara tersenyum pada penumpang, menyapa satu per satu dengan sopan. Namun di balik senyum itu, ada luka yang mulai menebal menjadi dinding. Ia tidak akan lagi menunggu cinta dari Shaka. Tidak lagi berharap sesuatu yang bahkan sejak awal tidak pernah ada.

Mungkin, pikirnya lirih, cinta memang tak harus datang dari pria yang sama setiap hari ia temui. Mungkin, di langit setinggi ini, ia hanya perlu belajar mencintai dirinya sendiri.

Udara di dalam kabin terasa stabil. Pesawat melaju di ketinggian 37.000 kaki, menembus awan putih yang lembut seperti kapas. Lampu kabin telah diredupkan, sebagian besar penumpang mulai beristirahat.

Amara memeriksa lorong kabin dengan tatapan profesional. Setiap kursi ia lewati, setiap senyum ia berikan dengan ketulusan yang terlatih. Dari luar, tak ada yang aneh. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergemuruh.

Tadi malam masih jelas di kepalanya, bagaimana Shaka menarik tangannya, bagaimana suaranya yang dingin mengucapkan kalimat yang seakan menampar harga dirinya.

"Berikan aku anak, Amara. Itu saja yang keluarga ini butuh darimu."

Dia menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang sempat menggenang. Tidak, dia tidak akan menangis di tempat kerja. Dia adalah Amara Marvionne. Bukan wanita lemah yang akan tumbang karena cinta sepihak. Keluarga Marvionne adalah orang yang paling disegani oleh banyak orang, namun Shaka tak pernah tahu jika Amara bagian dari keluarga itu.

“Miss Amara, penumpang di kursi 7B terlihat pucat,” ujar salah satu pramugari muda sambil berbisik.

Amara segera menghampiri. Seorang pria paruh baya terlihat memegangi dadanya, napasnya tersengal. Refleks profesional yang ia latih selama bertahun-tahun langsung bekerja.

“Pak, tarik napas perlahan. Bisa saya bantu duduk lebih nyaman?”

Suara Amara tenang dan lembut, seolah ia bukan wanita yang sedang berperang dengan perasaannya sendiri. Namun ketika denyut nadi pria itu melemah, Amara segera menekan interkom.

“Kapten, di sini Amara. Penumpang 7B membutuhkan bantuan medis darurat, kemungkinan serangan jantung.”

Dari kokpit, suara Shaka langsung terdengar. Tegas dan cepat.

“Baik, lakukan CPR sementara. Saya minta tim medis disiapkan di bandara Osaka. Tahan posisi, saya akan bantu koordinasi dari sini.”

Amara langsung berlutut, membuka kotak P3K dan mulai melakukan CPR dengan teratur. Keringat menetes dari pelipisnya, tapi pandangannya fokus. Tangan-tangan mungilnya menekan dada pria itu dengan kekuatan penuh, tanpa gentar.

Setelah beberapa menit yang terasa panjang, napas si penumpang mulai stabil. Tepuk tangan kecil terdengar dari sekitar.

Namun Amara tak tersenyum, ia hanya menutup mata sejenak, menenangkan diri. Dari kokpit, Shaka memperhatikan layar kamera internal yang menyorot kabin.

Matanya tak lepas dari sosok Amara yang berlutut di tengah lorong pesawat, wajahnya tenang dan tabah. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengoyak dadanya.

Bukan karena rasa kagum semata, tapi karena Shaka tahu, itu bukan pertama kalinya wanita itu menyelamatkan seseorang dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan.

Ia tak tahu kenapa bisa terlintas pikiran itu, tapi ada desiran aneh di dadanya.

“Kapten?” Dimas memanggil, membuat Shaka tersentak.

“Ya?”

“Kau kelihatan tegang, semua baik-baik saja?”

“Ya,” jawab Shaka cepat, menatap lurus ke depan lagi. “Semua terkendali.”

Tapi hatinya tidak, beberapa jam kemudian, pesawat mendarat mulus di Osaka. Penumpang yang sakit langsung dibawa tim medis setempat, sementara para kru menurunkan penumpang lainnya dengan sigap.

Shaka turun paling terakhir, berdiri di ujung tangga pesawat, menatap kru-nya satu per satu dengan pandangan profesional. Amara lewat di depannya, membawa tas kecil, masih dengan senyum lelah tapi tulus.

“Kerja bagus,” katanya pelan, suaranya datar.

Amara menatapnya sebentar. “Terima kasih, Kapten.”

Satu detik, hanya satu detik, pandangan mereka bertaut. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Shaka merasa dadanya sesak. Senyum tipis di wajah Amara terlihat asing, tapi juga hangat.

Malam itu, di kamar hotel pilot dan kru, Shaka berdiri di balkon, memandang langit Osaka yang bersinar oleh cahaya kota. Ia membuka ponselnya, menatap foto pernikahan yang sudah lama tersimpan. Foto yang tak pernah ia buka selama lima tahun. Wajah Amara di foto itu tersenyum lembut di sampingnya.

[Datang ke kamarku, sekarang!]

Shaka mengirim pesan pada istrinya yang berada di kamar lain.

03. Mas Kapten, ayo bercerai!

Ponsel Amara bergetar di atas meja, satu pesan singkat muncul di layar,

[Datang ke kamarku, sekarang!]

Jantung Amara berdebar pelan. Pesan itu pendek, tapi tegas, seperti semua kalimat Shaka selama lima tahun pernikahan mereka. Tidak ada sapaan, tidak ada penjelasan, hanya ada perintah. Namun entah kenapa malam itu, langkahnya menuruti pesan itu tanpa berpikir panjang. Ia berhenti di depan pintu kamar Shaka dengan nomor 1509. Cahaya di lorong hotel remang, dan hatinya terasa sesak tanpa alasan.

Setelah mengetuk Amara mendapati pintu terbuka perlahan, aroma alkohol langsung menyeruak keluar, kuat dan tajam, bercampur dengan aroma maskulin yang khas milik Shaka. Lampu kamar menyala setengah, menyisakan cahaya temaram di sudut ruangan.

“Mas…” panggil Amara pelan.

Belum sempat ia melangkah lebih jauh, tangan Shaka sudah menarik pergelangan tangannya dengan kuat. Tubuh Amara terhuyung dan terperangkap dalam dekapan itu hangat, kasar, dan tak terduga. Tatapan Shaka buram, tapi tajam. Matanya memerah, entah karena lelah atau karena sesuatu yang lebih dalam dari sekadar alkohol.

“Aku … hanya ingin diam malam ini,” bisik Shaka, suaranya parau. Amara tak sempat menjawab ketika Shaka menunduk, menangkup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mencium keningnya perlahan.

Ciuman itu berpindah, dari kening ke pipi, dari pipi ke bibir dan waktu seakan berhenti, tak ada logika, tak ada kata. Hanya ada dua manusia yang terlalu lelah menahan rasa yang tak pernah sempat terucap. Ciuman itu dalam, bukan sekadar pelampiasan, tapi juga pencarian. Seolah Shaka sedang berusaha menemukan sesuatu yang hilang di dalam diri Amara atau mungkin dalam dirinya sendiri.

Namun di tengah kehangatan yang membutakan, satu kata meluncur dari bibir Shaka dengan lirih.

“Karina…”

Amara membeku, seolah udara di ruangan itu lenyap seketika. Nama itu menampar kesadarannya, nama yang terlalu asing untuk keluar dari mulut suaminya, tapi juga terlalu familiar untuk diabaikan. Karina, adik angkat Shaka, gadis yang belum kembali dari luar negeri.

Gadis yang dulu Shaka sendiri setujui untuk diadopsi, hanya karena ia mirip dengan sosok misterius yang pernah menyelamatkannya lima tahun lalu. Beberapa saat berlalu, Amara menatap wajah Shaka yang kini tertidur dalam pelukannya. Air mata turun perlahan, tanpa suara. Dia tahu, Shaka tidak sadar saat menyebut nama wanita lain. Tapi kesalahan itu tetap menoreh luka di dalam hatinya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amara sadar bahwa mungkin bukan dirinya yang benar-benar Shaka cari selama ini. Dia menatap langit-langit kamar yang gelap, memeluk suaminya dalam diam. Mungkin cinta memang bukan tentang siapa yang kau miliki di sisimu, tetapi tentang siapa yang selalu ada di pikirannya ketika matanya terpejam.

Keesokan paginya.

Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel itu, lembut tapi menyilaukan. Shaka mengerjap pelan, kepala terasa berat, tenggorokan kering, dan aroma alkohol masih samar di udara. Ia menatap sekeliling kamar, baju yang tergeletak di lantai, meja dengan botol anggur kosong, dan selimut yang setengah menutupi tubuhnya. Lalu matanya berhenti pada sosok Amara yang duduk di ujung ranjang, membelakanginya.

Rambutnya terurai acak, seragam pramugarinya sudah rapi kembali, dan tangan kirinya memegang secangkir kopi.

“Pagi,” suara Shaka serak.

Amara tidak langsung menoleh. Ia hanya meneguk kopinya pelan, lalu berkata tenang, “Pagi, Kapten.”

Nada panggilan itu menusuk, Kapten bukan Mas yang seharunya Amara panggil untuk Shaka.

Shaka terdiam sesaat, mencoba mencari potongan ingatan dari malam sebelumnya, tapi semua terasa buram. Yang ia ingat hanya rasa hangat, suara lembut, dan entah kenapa, nama Karina yang terlintas sekilas di benaknya tanpa alasan.

“Amara…”

Ia mencoba membuka percakapan. Namun Amara sudah berdiri, menata tasnya dan berkata datar,

“Kita akan berangkat pukul sepuluh. Aku sudah koordinasi dengan kru, jangan terlambat.”

Shaka hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu di cara Amara melangkah, tenang tapi dingin, seperti seseorang yang sudah selesai berharap.

Tiga minggu kemudian.

Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal VIP.

Shaka baru saja selesai memimpin pelatihan penerbangan tahunan ketika sekretaris ayahnya, Tuan Wirantara, datang dengan wajah bersemangat.

“Kapten, nona Karina sudah kembali dari Jepang. Nona lulus dengan predikat terbaik dari Akademi Pramugari Internasional. Keluarga berharap Anda menyambutnya secara pribadi.”

Shaka menatap pria itu datar. “Karina sudah pulang?”

“Ya, dan Nona akan mulai bekerja di bawah naungan keluarga Wirantara, di bandara ini.”

Shaka hanya mengangguk, di balik ekspresi tenangnya, sesuatu bergetar halus di dadanya. Nama Karina, orang yang punya nama itu selalu dianggap spesial oleh Shaka sebelumnya. Lorong bandara sore itu ramai, tapi suasananya berubah hening ketika seorang wanita melangkah masuk dengan anggun.

Rambut cokelat panjangnya terurai, seragam pramugarinya masih baru, dan senyumnya mampu menarik pandangan banyak orang sekaligus.

“Mas Shaka!”

Suara lembut itu menggema di antara kerumunan, Shaka langsung menoleh.

Dan sebelum ia sempat bereaksi, Karina sudah memeluknya erat, tanpa ragu, tanpa peduli tatapan puluhan orang di sekitar mereka. Amara berdiri tak jauh dari situ, membawa map laporan kru penerbangan.

Langkahnya terhenti seketika, lima tahun pernikahan. Dan itu kali kedua ia melihat Karina, sekali waktu pernikahannya, lalu kini dengan cara yang sama menyakitkan, pelukan itu cukup lama.

Semua orang di terminal bisa melihat dengan jelas, termasuk awak kabin yang mengenal Shaka dan Amara sebagai rekan kerja biasa.

Bisik-bisik mulai terdengar.

“Kapten Shaka dekat sekali dengan gadis itu, ya?”

“Dia adik angkatnya, katanya. Tapi … kelihatannya lebih dari itu.”

Amara tidak bergerak, dia hanya menatap dua orang yang saling berpelukan di tengah hiruk-pikuk bandara. Senyumnya kecil, tapi getir, mungkin inilah waktunya, pikirnya lirih.

Sore itu, dengan langkah tenang dan kepala tegak, Amara berbalik meninggalkan terminal VIP. Tak satu pun orang menyadari air mata yang nyaris jatuh di sudut matanya, tertahan oleh harga diri yang ia bangun selama bertahun-tahun. Sementara dari kejauhan, Shaka baru sadar Amara ada di sana. Tatapan mereka sempat bertemu sepersekian detik. Dan entah kenapa, dada Shaka terasa sesak seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang belum sempat ia pahami.

Hujan sore menetes di kaca jendela ruang apartemen Shaka dan Amara. Langit Jakarta gelap, dan suara rintik hujan menjadi satu-satunya musik yang menemani kesunyian ruang tamu yang luas namun terasa dingin. Amara duduk di meja makan, menatap cincin di jarinya.

Cincin yang dulu ia kenakan dengan doa, kini hanya menjadi simbol keterikatan tanpa makna. Pikirannya kembali ke sore di bandara, bagaimana Karina memeluk Shaka di depan semua orang, dengan hangat, dengan rasa yang jelas bukan sekadar saudara. Dan bagaimana Shaka membiarkannya.

Amara menarik napas panjang, lalu membuka laptopnya.

Satu dokumen yang sudah lama ia simpan tanpa keberanian untuk membukanya kembali kini muncul di layar, Surat Permohonan Cerai, Pengacara Keluarga Marvionne.

Ia membaca setiap baris dengan mata yang mulai basah. Lima tahun, lima tahun ia mencoba dan lima tahun juga ia bertahan dengan kesabaran yang bahkan dirinya sendiri sudah tak mengerti.

Dia menutup laptopnya, berdiri, dan menatap pantulan dirinya di cermin besar di ruang tamu. Raut wajah yang dulu lembut kini terlihat matang, tenang, dan kuat. Dia bukan lagi gadis yang menunggu cinta. Ia adalah wanita yang tahu kapan harus berhenti.

“Cukup,” bisiknya pada diri sendiri.

Sementara itu, di kantor pusat Wirantara Airlines, Shaka tengah duduk di ruangannya yang dindingnya penuh dengan sertifikat penerbangan dan peta rute udara.

Di atas meja, tergeletak foto keluarga kecil dirinya dan Amara di hari pernikahan. Dia menatap foto itu lama, tapi kini ada sesuatu yang terasa asing. Dia mengingat pandangan mata Amara saat meninggalkan bandara kemarin. Datar, tenang, tapi menyakitkan.

Dan untuk pertama kalinya, Shaka tak bisa membohongi dirinya sendiri ada sesuatu yang hilang.

“Mas,” suara lembut menyapa dari depan pintu.

Shaka menoleh, Karina berdiri di sana, seragam barunya masih rapi, senyumnya cerah.

“Boleh aku bicara sebentar?” tanyanya.

Shaka mengangguk, berusaha tetap profesional. “Masuk, Karina.”

Gadis itu berjalan pelan mendekat. “Aku ingin bekerja di bagian informasi penerbangan pilot dan pramugari. Aku ingin belajar lebih banyak … dekat denganmu.”

Nada suaranya halus, tapi Shaka menangkap sesuatu di baliknya, perasaan yang tak seharusnya dimiliki seorang adik angkat.

“Karina,” Shaka menatapnya dalam. “Kau tahu posisimu, aku sudah menikah.”

Karina tersenyum kecil. “Aku tahu, tapi bukankah pernikahan itu … hanya formalitas di mata mereka? Kita ini keluarga Mas.”

Kalimat itu meluncur ringan, tapi menusuk dalam. Shaka menegang. “Jaga ucapanmu.”

Karina menunduk, tersenyum tipis. “Baik, Kapten.”

Malamnya, Amara pulang lebih dulu. Dia sudah menyiapkan dua cangkir teh di meja, menunggu Shaka yang belum juga pulang. Ketika suara pintu terbuka, Amara sudah tahu ke mana arah percakapan malam ini akan berujung.

Shaka menatap istrinya sejenak sebelum duduk. Ada jarak yang bahkan udara di antara mereka tak sanggup isi.

“Mas,” ujar Amara lembut. “Aku sudah lelah, Mas Shaka.”

Shaka menatapnya. “Lelah kenapa?”

“Lelah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang,” jawabnya lirih, tapi pasti.

Ia menggeser sebuah amplop putih ke hadapan Shaka.

“Ini suratnya.”

Shaka menatap amplop itu, seolah benda kecil itu adalah sesuatu yang bisa meledak kapan saja.

“Amara, kau serius?”

Amara menatap matanya tanpa gentar. “Selama ini aku mencoba menjadi istri yang baik, tapi ternyata aku hanya peran pelengkap dalam hidupmu. Jadi ya, aku serius.”

Amara kemudian berdiri, mengambil tasnya. Sebelum pergi, ia sempat menatap Shaka untuk terakhir kali malam itu.

“Mas Kapten,” suaranya pelan tapi tegas.

“Ayo kita bercerai.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!