NovelToon NovelToon

DRAMA SI SANGKURIANG

BAB1 PAGI BANDUNG YANG TERLALU CERAH

​Pagi di Bandung selalu memiliki melodi yang khas: udara dingin yang menusuk namun menyegarkan, disusul kehangatan matahari yang perlahan naik di atas pegunungan. Cahaya pagi memantul dari embun yang menempel di rerumputan halaman rumah sederhana Nawangsih. Rumah itu kecil, namun selalu terasa hangat dan bersih.

​Di tengah halaman, REZA (5 tahun) sedang menjalani sesi balap paling penting dalam hidupnya. Sepeda roda tiganya yang dicat biru sudah kusam dan penuh debu. Ia duduk tegak, kaki pendeknya mengayun kencang di udara, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan suara knalpot mobil balap yang berisik, “Ngeeeng! Ngeeeng! Vroom!” Tawa polosnya adalah pusat semesta kecil di pagi itu.

​Dari balik jendela dapur, sosok NAWANGSIH terlihat. Ia mengawasi Reza, senyum lembut terukir di wajahnya. Nawangsih, yang secara kronologis telah melewati usia dua puluh tahun dan telah menjadi ibu, memiliki keindahan yang anomali. Ia terlihat seperti seorang mahasiswi yang sedang libur kuliah. Kulitnya mulus, rambutnya diikat asal, dan ia mengenakan kaus rumahan longgar—penampilannya memancarkan aura muda yang tidak sesuai dengan perannya sebagai ibu tunggal dari anak laki-laki berusia lima tahun. Keajaiban awet muda ini adalah rahasia yang ia sembunyikan dengan rapat, sebuah ironi tragis yang kelak akan menghancurkan kehidupannya.

​Nawangsih bergegas menuju mesin cuci. Ia mengangkat pakaian basah dari tabung, wangi deterjen dan pelembut kain memenuhi ruangan. Rutinitas rumah tangga ini, yang ia lakukan sendirian, adalah pengikatnya pada realitas. Ia harus tampak sibuk, harus tampak keibuan, agar tidak ada tetangga yang bertanya mengapa ia terlihat tidak menua.

​Setelah mencuci, Nawangsih beralih ke dapur. Aroma tumis kangkung dan nasi goreng spesial Reza mulai mengepul, menggantikan wangi deterjen. Ia melakukan semuanya dengan cekatan, membagi fokusnya antara kompor dan putranya di luar.

​"Reza! Mandi, sayang! Mama sudah siapkan sarapan! Jangan main lumpur terus, nanti gatal-gatal lagi!" teriaknya lembut dari ambang pintu.

​Reza, yang sedang berada di putaran terakhir balapannya, hanya menjawab dengan gumaman keras, menolak untuk berhenti.

​"Lima putaran lagi, Ma! Ngeeeng! Juara satu!"

​Nawangsih menggelengkan kepala, senyumnya semakin lebar. Ia kembali ke tali jemuran portabel, merentangkan kemeja kerjanya. Pikirannya melayang. Ia sadar, ia harus selalu memastikan dirinya berperilaku selayaknya ibu-ibu pada umumnya—penuh perhatian, sedikit cerewet, dan sangat protektif—agar perbedaan usia yang kasat mata itu tidak menjadi pertanyaan bagi Reza seiring ia tumbuh besar.

​Tiba-tiba, suara deru imajiner Reza terhenti total. Ia menoleh ke arah jendela Nawangsih, wajahnya yang kotor dan menggemaskan itu memasang ekspresi memelas andalannya.

​"Ma..."

​"Kenapa, Nak?" tanya Nawangsih, sedikit membungkuk untuk mendengar.

​"Mau es krim rasa cokelat yang ada kacangnya! Kata Mang Ujang, barusan datang yang baru!"

​Nawangsih menghela napas, pura-pura keberatan. Padahal, ia selalu menyimpan sedikit uang lebih untuk memanjakan Reza. Ia tahu, es krim sebelum sarapan adalah sebuah pelanggaran, tetapi melihat mata berbinar putranya, ia tidak pernah bisa menolak. Kelembutan ini adalah kelemahan terbesarnya.

​Nawangsih berjalan ke meja, mengambil dompet kulit lusuh yang selalu ia sembunyikan di balik tumpukan majalah. Ia mengeluarkan selembar uang pecahan kecil yang ia simpan khusus untuk pengeluaran dadakan Reza.

​Ia berjalan ke pintu depan, berjongkok di hadapan Reza yang kotor dan penuh semangat. Ia menatap wajah Reza, melihat betapa cepatnya putranya tumbuh, dan betapa cepatnya ia harus membesarkan anak ini sendirian.

​"Cuma boleh satu ya, Nak. Setelah ini, janji langsung mandi bersih? Gosok gigi, ya. Mama sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu, nanti dingin kalau kamu lama-lama main."

​Reza dengan cepat menyambar uang itu, tangannya yang kotor menyentuh kulit lembut Nawangsih.

​"Janji! Terima kasih, Mama cantik!"

​Reza mencium pipi Nawangsih, meninggalkan jejak tanah kering yang kotor dan sedikit basah di sana. Nawangsih memejamkan mata sejenak, menerima kehangatan sentuhan itu. Ia mengusap bekas kotoran itu dengan ujung jarinya, lalu memandang anaknya yang berlari sekuat tenaga menuju warung di ujung gang.

​Selama beberapa saat, Nawangsih hanya berdiri di sana, membiarkan keheningan menelannya. Tatapan matanya yang tadi penuh senyum, perlahan berubah menjadi sendu. Ia memikirkan bagaimana ia harus terus mempertahankan fasad ini—seorang ibu muda yang membesarkan anak dengan penuh kasih. Tetapi, ia tahu, Reza akan tumbuh. Reza akan berubah. Dan ia, si ibu, akan tetap sama mudanya. Ketidaksesuaian ini adalah bom waktu.

​Nawangsih kembali ke dalam rumah. Ia membereskan sisa cucian, mencuci piring, dan memanaskan nasi goreng. Pikirannya kini sudah terisi penuh oleh kecemasan tentang masa depan: bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Reza ketika putranya bertanya mengapa ibunya tidak pernah menua, atau mengapa ia tidak memiliki ayah. Semua kenangan itu ia kunci rapat-rapat, terperangkap di balik wajah yang terlalu muda.

​Ia hanya bisa berdoa, agar hari-hari damai, yang dihiasi suara sepeda roda tiga dan permintaan es krim, dapat bertahan selama mungkin.

​BAB 2: MASA DAMAI YANG TERLALU MUDA

​Reza kembali dari warung dengan es krim cokelat di tangan. Ia melahapnya tergesa-gesa, mengabaikan Nawangsih yang sudah berdiri di pintu, menyilangkan tangan. Sesuai janji, setelah es krim habis, Reza langsung ditarik ke kamar mandi.

​Proses mandi adalah ritual kedua di pagi hari, yang tak kalah menyenangkan dari sesi balap. Nawangsih memandikan Reza dengan telaten, menggosok sisa lumpur, memastikan setiap inci kulit putranya bersih. Jarak fisik mereka saat ini tidak mungkin lebih dekat—mereka adalah dua jiwa yang benar-benar terikat oleh ikatan darah yang murni dan cinta ibu sejati.

​Setelah berpakaian, Reza berlari menuju meja makan. Di sana, sudah tersaji dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi yang indah—salah satunya untuk Reza, dan satu lagi untuk Nawangsih.

​Masakan Nawangsih adalah comfort food terbaik di dunia bagi Reza. Nasi goreng itu bukan sekadar makanan; itu adalah perwujudan dari seluruh waktu, tenaga, dan cinta yang Nawangsih dedikasikan untuk hidupnya. Aroma bumbu yang sempurna, campuran cabai yang pas, dan smoky dari sedikit kecap manis, selalu membuat perut Reza keroncongan.

​Reza duduk di kursinya, langsung menyendok nasi goreng dengan semangat yang besar.

​"Waaah! Nasi goreng Mama memang paling enak sedunia!" seru Reza, matanya lebar dan berbinar.

​Nawangsih tersenyum, duduk di seberang meja. Ia hanya mengamati Reza makan, menikmati pemandangan itu. Piringnya sendiri masih utuh.

​"Pelan-pelan, Nak. Nanti tersedak," tegur Nawangsih lembut, sambil menyeka sedikit remah nasi yang menempel di sudut bibir Reza dengan ibu jarinya.

​"Reza lapar! Enak sekali, Ma. Mama masak begini enaknya supaya Mama dapat apa?" tanya Reza polos, sambil mengunyah.

​Pertanyaan itu menusuk Nawangsih. Ia menatap wajah Reza yang polos, wajah yang sama sekali tidak tahu betapa rumitnya hidup ibunya.

​"Mama masak enak supaya Mama dapat..." Nawangsih mengambil napas dalam. "... supaya Mama dapat melihat kamu tumbuh besar. Supaya Mama dapat melihat kamu bahagia. Itu sudah cukup, Reza."

​Nawangsih meraih garpu, memotong sedikit telur mata sapi di piring Reza, lalu menyuapkan potongan itu ke mulut Reza.

​"Nah, sekarang giliran Mama yang makan. Mama sudah lapar."

​Reza mengangguk, senang dengan suapan istimewa dari ibunya. Mereka mulai makan bersama dalam keheningan yang nyaman, diselingi suara denting sendok dan garpu.

​Mereka hidup berdua. Tidak ada sosok ayah, tidak ada kerabat, tidak ada teman yang sering berkunjung. Di dunia Nawangsih, hanya ada Reza, dan di dunia Reza, hanya ada Mama. Ketergantungan emosional ini sangat intens, sebuah ikatan yang terlalu kuat yang kelak menjadi akar dari obsesi Reza.

​Nawangsih memperhatikan Reza. Rambutnya yang masih basah, wajahnya yang berseri-seri. Ia merasa hangat, bahagia, dan juga... takut.

​Ia takut pada waktu. Ia takut pada keajaiban awet mudanya. Ia takut Reza akan tumbuh dan mulai bertanya, mengapa Mama tidak punya teman laki-laki, atau mengapa Mama terlihat tidak menua seperti ibu-ibu lain. Untuk saat ini, ia hanya bisa menikmati momen ini, momen suci keintiman mereka.

​Reza tiba-tiba berhenti makan. Ia menatap Nawangsih dengan serius.

​"Ma, nanti Reza kalau sudah besar, Reza mau jadi Nahkoda. Biar bisa membawa Mama jalan-jalan ke laut yang jauh sekali. Mama tidak akan capek kerja lagi."

​Nawangsih tersenyum mendengarnya. Ia tahu, Reza sedang menirukan karakter film kartun yang mereka tonton semalam.

​"Oh ya? Nahkoda? Memangnya Nahkoda kerja apa?"

​"Membuat kapal besar berjalan!" seru Reza, matanya berbinar. "Nanti Reza belikan Mama rumah yang besar sekali. Tidak perlu ada mesin cuci, nanti Reza carikan yang mencuci. Mama tinggal duduk di rumah, makan nasi goreng buatan Reza."

​Nawangsih terkekeh. Kata-kata polos itu, yang berisi janji akan pengorbanan dan perlindungan, menghangatkan hatinya.

​"Aduh, Mama tersanjung. Tapi kalau Reza yang masak, pasti tidak seenak buatan Mama."

​"Enak kok, Ma! Nanti Reza belajar sama Mama. Kita akan selalu berdua, kan?"

​Pertanyaan "selalu berdua" itu kembali menusuk. Nawangsih meletakkan sendoknya, meraih tangan kecil Reza yang penuh noda nasi goreng. Ia memandangi Reza.

​"Ya, Nak. Kita akan selalu berdua. Selalu."

​Di saat itu, Nawangsih membuat janji dalam hati: ia akan melindungi Reza dari masa lalu yang kelam, ia akan menjadi dinding tebal yang menghalangi dunia luar. Ikatan cinta mereka haruslah abadi, bahkan jika ia harus berbohong tentang usianya, tentang ayahnya, dan tentang takdir yang menantinya.

​Mereka melanjutkan sarapan, menikmati masakan ibu yang sempurna, yang menjadi simbol betapa besarnya cinta Nawangsih kepada putranya. Cinta ini, yang tak disadari oleh Nawangsih, kelak akan bertransformasi menjadi cinta yang terlarang.

​Setelah piring mereka kosong, Nawangsih mengajak Reza pindah ke sofa. Reza menyandarkan kepalanya di pangkuan Nawangsih, membiarkan ibunya membacakan buku cerita dongeng yang sama untuk kesekian kalinya. Aroma rambut Reza yang bersih setelah mandi, bercampur dengan aroma parfum Nawangsih yang lembut, menciptakan kenyamanan yang tak tergantikan.

​Bagi Nawangsih, momen ini adalah kebahagiaan terbesar. Untuk saat ini, di usia Reza yang masih 5 tahun, ia adalah Dewi yang mencintai anaknya. Keindahan hubungan mereka belum ternodai oleh kebenaran. Ia berjanji akan menjaga momen ini, meskipun ia tahu, badai akan datang ketika Reza tumbuh dewasa dan matanya mulai melihat bahwa ibunya... tidak menua.

BABAK I: MASA DAMAI YANG TERLALU MUDA ​ADIEGAN 5: RITUAL PAGI MENUJU

​Setelah sarapan nasi goreng yang lezat dan ritual mandi yang hangat, kini tiba saatnya Reza bersiap untuk dunia luar: sekolah. Di rumah itu, segala sesuatu bergerak dengan ritme yang pasti, diciptakan oleh Nawangsih demi memberikan stabilitas pada kehidupan Reza.

​Nawangsih (yang penampilannya masih menipu usia) berdiri di ambang pintu kamar, mengawasi Reza yang sedang mengenakan seragam taman kanak-kanak (TK). Seragam putih-merah itu tampak pas di tubuh mungil Reza. Nawangsih mendekat, merapikan kerah baju yang sedikit miring, lalu mengancingkan kancing paling atas yang selalu luput dari perhatian Reza.

​"Nah, begitu baru anak Mama. Rapi sekali, seperti pangeran kecil," pujinya, sambil menyisir rambut Reza yang masih agak basah dengan jari-jarinya.

​Reza, yang berdiri tegak seperti sedang baris, tersenyum bangga. Ia mengambil tas ransel bergambar superhero kesukaannya yang sudah disiapkan Nawangsih di kursi belajar. Di dalam tas itu, terdapat buku, pensil warna, dan kotak bekal yang wangi, berisi sandwich dan buah potong yang disiapkan penuh cinta oleh ibunya.

​Ritual sebelum berangkat harus dilakukan. Reza berjalan menghampiri Nawangsih yang kini berdiri di ambang pintu utama, siap mengantarnya. Ia berhenti, membungkuk sedikit, dan mencium punggung tangan Nawangsih dengan hormat—sebuah kebiasaan yang diajarkan ibunya sejak ia bisa berjalan.

​"Reza pamit ya, Ma," ucapnya tulus.

​"Iya, Nak. Belajar yang rajin, ya. Dengarkan Bu Guru," balas Nawangsih, lalu mencium puncak kepala Reza dengan kasih sayang yang melimpah.

​Setelah ciuman dan doa singkat, Reza menegakkan tubuh. Saat itulah, ia menjalankan bagian terpenting dari ritual pagi seorang anak TK: meminta ongkos jajan.

​"Ma, ongkos?" Reza menengadahkan tangan kecilnya yang bersih.

​Nawangsih tersenyum lagi. Ia selalu menyiapkan uang jajan itu di saku celemeknya. Ia mengeluarkan selembar uang pecahan kecil, yang nilainya cukup untuk membeli beberapa kue atau permen di kantin sekolah. Nawangsih memastikan ia tidak memberikan terlalu banyak, agar Reza tidak berlebihan dalam jajan.

​"Ini. Ingat ya, jangan beli permen yang warnanya terlalu mencolok. Cari yang sehat," pesan Nawangsih, sambil menyelipkan uang itu ke genggaman Reza.

​"Siap, Bu Komandan!" Reza tertawa gembira.

​Reza berbalik, membuka gerbang kecil, dan mulai berjalan menyusuri jalanan kompleks perumahan. Ia berjalan dengan langkah riang, sesekali melompat kecil, menikmati bekal cinta dari ibunya. Nawangsih berdiri di ambang pintu, menatap punggung putranya hingga ia berbelok di tikungan, menghilang dari pandangan. Ia baru menutup pintu ketika bayangan Reza benar-benar tidak terlihat lagi—sebuah kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan, sebagai bentuk perlindungan tak terlihat bagi putranya.

​Langkah Kaki Menuju Ilmu

​Reza menyusuri trotoar yang tidak terlalu ramai. Matanya yang polos mengamati lingkungan sekitar. Ia menikmati momen ini, momen kemandirian singkat sebelum kembali bertemu ibunya di siang hari. Uang di sakunya terasa hangat, dan janji untuk membeli jajan sehat—walau godaan permen sangat besar—masih kuat di benaknya.

​Tak lama, ia tiba di gerbang sekolahnya, TK "Cahaya Ilmu." Sekolah itu dipenuhi suara riuh anak-anak dan sapaan ramah dari guru piket. Reza segera bergabung dengan teman-temannya.

​Di dalam kelas, suasana terasa ramai. Ada puluhan anak lain, tetapi Reza tetap fokus. Ia meletakkan tasnya, mengeluarkan buku dan alat tulis. Saat jam pelajaran dimulai, Reza duduk dengan tegak di bangkunya. Ia memperhatikan Bu Guru yang sedang menulis di papan tulis.

​Reza bukanlah anak paling pintar, tetapi ia adalah anak yang tekun. Ketekunan itu datang dari satu motivasi utama: membahagiakan Mamanya. Ia ingat janji yang ia buat saat sarapan: menjadi Nahkoda sukses agar Mamanya tidak perlu lelah bekerja lagi. Dan untuk menjadi Nahkoda, ia harus pintar.

​Saat pelajaran mewarnai dimulai, Reza fokus pada kotak pensil warnanya. Ia memilih warna dengan hati-hati, memastikan ia tidak keluar dari garis. Saat Bu Guru memberikan instruksi untuk menggambar rumah impian, Reza segera mengambil kertas dan pensil.

​Reza menggambar rumah yang besar, berlantai dua, dengan halaman luas. Di halaman itu, ada sepeda roda tiga, dan di jendela, ia menggambar dua sosok: dirinya yang gagah berani, dan Mama cantiknya yang tersenyum. Di bagian atap rumah, Reza menambahkan bendera kecil yang bertuliskan: "Rumah Nahkoda Reza dan Mama Nawangsih."

​Ketekunan Reza dalam belajar dan menggambar adalah cerminan dari cinta yang ia terima di rumah. Dalam benaknya, dunia sangat sederhana: ia mencintai Mamanya, Mamanya mencintainya, dan ia harus rajin agar cinta itu tetap utuh.

​Sepanjang hari, Reza belajar, bermain, dan mendengarkan. Ia melahap bekal yang disiapkan ibunya saat jam istirahat. Setiap gigitan sandwich terasa istimewa, mengingatkannya pada aroma lembut dapur dan senyum Nawangsih. Saat ia menghabiskan jajan yang dibeli dengan uang pemberian ibunya, ia merasa terlindungi dan dicintai.

​Siang hari tiba. Bel berbunyi, menandakan akhir pelajaran. Reza merapikan tasnya, menyimpan pensil warna yang baru saja ia gunakan, dan bergegas ke gerbang sekolah.

​Ia tahu, di sana, Nawangsih sudah menunggunya—sosok yang terlalu muda, terlalu cantik, terlalu baik untuk menjadi ibunya, namun bagi Reza, ia adalah seluruh dunia. Nawangsih-lah cinta pertama, cinta abadi, dan obsesi terbesar dalam hidupnya.

​Reza tidak tahu bahwa hari-hari damai ini, di mana cinta mereka begitu murni, adalah fondasi rapuh bagi tragedi yang akan datang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!