"Bagaimana saksi?"
"Sah..
"Sah..
"Alhamdulillah".
Terdengar ucap syukur dari beberapa orang yang ada di ruangan megah salah satu rumah yang berada di sebuah komplek perumahan elit Jakarta.
"Sekarang Erina telah resmi menjadi istri mu Theodoriq. Tunjukkan sayang mu pada istri mu", ucap wanita paruh baya yang masih terlihat glamor. Sejak mulai acara wanita itulah yang paling antusias. Senyum bahagia menghiasi wajah cantiknya.
"Iya Theo, yang di bilang tante Widya itu benar. Cium dong istri mu", seloroh salah satu laki-laki tampan yang langsung di sambut tamu lainnya dengan sorakan menggoda Theodoriq
"Cium..
"Ciumm..
"Ciummm..
Terdengar sorakan riuh sambil tertawa memenuhi ruangan berukuran luas itu.
Theo nampak jengah di tantang saudara sepupunya. Laki-laki itu spontan menarik pinggang gadis belia yang sudah resmi jadi istrinya.
Theo mengecup kening Erina, yang hanya bisa berdiam diri dengan tubuh gemetaran dan debaran jantung yang berdetak lebih cepat, ketika bibir Theo menempel pada keningnya.
"Ahh kau payah Theo. Anak TK pun bisa mencium seperti itu. Ciuman yang sebenarnya dong. Atau harus aku contohkan pada mu, bro?", seloroh Kevin, langsung di sambut teman yang lainnya.
"Stop!!!"
"Kalian ini berisik sekali. Oke...oke".
Kali ini Theo membingkai wajah Erina yang semakin memutih dan terasa dingin. Wajah gadis cantik itu pucat pasi dengan tatapan sayu terkesan ketakutan laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya.
Theo menatap tajam penuh kebencian. Ia mendekatkan wajahnya pada telinga Erina. "Kau jangan terlalu percaya diri, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada gadis seperti mu. Karena itu tak akan terjadi. Aku akan mencium mu sekarang hanya untuk menyumpal mulut mereka semua!!", ketus Theo di telinga Erin yang terdengar sangat jelas.
Perlahan Erina merasakan ada yang menyentuh bibirnya, terasa berbeda. Untuk yang pertama kali bagi gadis itu merasakannya. Tubuhnya bergidik.
"Buka mulut mu, gadis bodoh. Seperti anak kecil saja!!"
Kedua netra bening Erina melotot. Dengan tubuh gemetaran gadis itu mengikuti perintah Theo. Perlahan membuka mulutnya.
Theodoriq mengecup bibir ranum Erina yang terasa dingin. Bibir yang belum tersentuh oleh laki-laki manapun. Untuk Erin ini yang pertama. Tidak bagi Theo yang sudah pengalaman karena sejak lama menetap di luar negeri.
Namun lama-kelamaan ciuman kasar Theo menjadi lumatan yang terasa lembut bagi Erina. Gadis itu memejamkan kedua netra beningnya. Merasakan sensasi yang berbeda untuk pertama kali dalam hidupnya. Kupu-kupu berterbangan di perutnya. Tubuhnya terasa semakin bergidik. Bibirnya bergetar. Jantungnya berdetak kencang.
Hingga ia tidak merasakan apa-apa lagi. Theo menyudahinya. Sekilas laki-laki tampan itu menatap Erin. Untuk yang pertama kalinya keduanya bertukar pandang.
Hanya sesaat saja, cepat-cepat Erin menundukkan kepalanya dengan kedua tangan saling meremas.
"Nahh begitu dong", ujar Widya yang tersenyum melihat pernikahan keponakannya Theo dan Erina di rumahnya.
Beberapa jam kemudian..
Langit semakin gelap, satu persatu keluarga pamit pulang kerumah masing-masing.
Termasuk beberapa orang keluarga inti Erina. Kedua orangtuanya, adik beserta paman dan bibinya pulang ke hotel yang telah di booking Widya sebagai tempat tinggal mereka selama di Jakarta menghadiri acara pernikahan Erina dan Theo.
*
Keesokan harinya...
"Sayang, kamu harus bersabar menghadapi suami mu. Tante tahu Kamu dan Theo masih merasa asing karena kalian tidak pernah ketemu sebelumnya. Tante hanya bisa meyakinkan mu, bahwa keponakan tante itu orang yang baik", ujar Widya yang mengantar langsung Theo dan Erina ke bandara bersama bundanya Erina yang sudah ia kenal baik karena hubungan baik orang tua mereka.
Erina tersenyum manis seperti biasanya, menganggukkan kepalanya. "Iya tante", jawabnya singkat terdengar lembut.
"Pesan bunda jadilah istri yang baik, patuh pada suami mu, nak. Jaga diri di negara orang. Tidak usah mikirin bunda, ayah dan adikmu di kampung. Semua akan baik-baik saja", ucap Desi pada putrinya yang kini telah menikah.
"Iya bun. Do'akan Erin".
Ibu dan anak itu berpelukan erat melepas kerinduan karena akan berpisah cukup jauh mulai hari ini. Erina harus ikut suaminya yang menetap di Singapura. Keduanya tampak haru.
"Apa semua sudah siap? Aku dan istriku harus naik pesawat sekarang". Theo menyalami Baskara, ayah Erina.
"Iya nak. Bunda titipkan Erin pada Theo. Bimbing Erin jika ia melakukan kesalahan", ujar Desi menatap menantunya.
Theo menganggukkan kepalanya. "Iya", jawab Theo memeluk Widya dan Desi bergantian sebelum ia dan istrinya berlalu.
*
Beberapa jam berlalu...
"Bangun!!
"Heii...bangun!!".
"Nggak di pesawat, nggak di mobil malah tertidur. Menyusahkan saja", gerutu Theo kesal pada Erina yang tertidur pulas.
Merasa ada yang menyentuh pundaknya, perlahan kelopak mata Erin terbuka. Namun gadis itu merasa kepalanya terasa begitu berat, terasa berputar-putar seperti banyak kunang-kunang bertebaran fi hadapannya.
"Huekk...
Cairan keluar dari mulut Erina mengenai pakaian Theo yang masih duduk di sampingnya.
"Shitt... Apa-apaan kau ini? Kenapa kau muntah!!!"
Spontan Theo membuka pintu mobil dan keluar. Laki-laki itu membuka jaket yang ia pakai melemparkan ke dalam mobil.
"Kau urus dia Adam!! Menyulitkan aku saja!!", ujar Theo kesal menahan diri agar tidak berteriak pada Erina yang masih di dalam mobil dengan perasaan bersalah pada Theo yang kini telah pergi masuk ke dalam apartemen meninggalkan dirinya dan sopirnya di parkiran.
"Nona tidak apa-apa?", tanya Adam melihat Erina yang baru saja keluar mobil dengan tubuh sempoyongan sambil memijat kepalanya yang terasa pusing.
Erina menggelengkan kepalanya. "Hm, aku baik-baik saja".
Erin mengambil tissue di dalam tasnya hendak membersihkan kursi mobil yang terkena muntahnya beberapa saat yang lalu, bahkan mengenai Theo.
"Nona, biarkan saja. Nanti saya yang akan membersihkan, sebaiknya nona lekas masuk, tuan Theo tidak suka menunggu".
Erina terdiam di belakang mobil. Nampak bingung melihat ke tempat pintu masuk Theo beberapa saat yang lalu. "Aku tidak tahu suamiku di mana".
"Ikuti saya", ucap Adam ramah sambil mendorong koper Erina dan koper milik Theo.
Beberapa saat setelah sampai di lantai lima puluh apartemen yang terletak di pusat kota itu, Adam menekan angka di pintu secara otomatis pintu pun terbuka. Dengan hormat laki-laki berusia matang tersebut mempersilahkan Erina masuk.
Seketika suasana tenang di rasakan gadis itu. Tak terlihat keberadaan Theo. Sementara Adam membawa kopernya ke salah satu pintu.
"Nona, kalau mau beristirahat, kamar anda di atas". Tunjuk Adam ke tangga yang menuju lantai dua karena melihat Erin yang nampak lelah.
"Iya. Terimakasih", jawab Erina berusaha tersenyum ramah meski merasa kepalanya semakin pusing. Karena baginya yang pertama kali berpergian jauh dengan menggunakan pesawat, adalah pengalaman baru. Tadi ketika terbang Erina merasakan telinganya sakit. Rasa asing itu ia tahan sendiri, tidak berani bertanya pada Theo yang lebih memilih memejamkan matanya.
...***...
Hai-hai jumpa karya baru Emily. Semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalkan jejak di setiap bab, komen sebanyak-banyaknya ya 🙏
Visual:
Erina membuka handle pintu yang di maksud Adam sopir pribadi Theo.
Hanya sekilas saja gadis itu memperhatikan kamar mewah berwarna putih bersih berukuran luas. Sakit kepala yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, tidak ada waktu untuk menerka-nerka kamar siapa. Tapi menurut Adam kamar ini tempat ia beristirahat.
Erina memilih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur berukuran luas. Gadis itu tidak memperdulikan sekitarnya lagi.
"Ahh kepala ku sakit sekali–"
"Siapa yang memberi mu izin di kamarku?!".
Seketika suara bernada ketus itu mengagetkan Erina. Spontan tubuhnya berdiri. Sedikit sempoyongan, beruntung masih sempat berpegangan pada sandaran tempat tidur. Erina kaget, melihat Theo ternyata baru saja selesai mandi. Wajah gadis itu nampak semakin pucat.
Theo berdiri tegap dengan rambut masih tampak basah yang ia keringkan dengan handuk kecil, bagian bawah tubuhnya hanya tertutup handuk tebal berwarna putih yang melingkar di pinggangnya.
Erina menundukkan kepalanya.
"Kau pikir aku menikahi mu akan menjadikan kamu ratu di sini? Heii...jangan mimpi kamu gadis kecil!!"
Theo menatap nyalang Erina yang diam membisu di tempatnya semula. "Ckck... Laki-laki mana yang akan tertarik dengan anak kecil seperti mu ini. Bahkan dada mu saja belum tumbuh begitu. Kau seperti orang kurang gizi", ucap Theo sinis.
Laki-laki berperawakan tinggi atletis itu melangkah ke ruangan yang terhubung dengan kamar tidur, namun tetap berbicara dengan suara lantang.
"Kau akan aku bayar menjadi pembantu di apartemen ku ini. Aku akan membayar mu dengan upah yang tinggi, kau bisa mengirim uang pada keluarga mu. Aku juga akan memberi mu makan dan tempat tinggal yang sama dengan ku, tapi jangan harap kau bisa menjadi ratu di sini. Kau paham maksud ku?"
Dengan cueknya Theo memasang kaos di hadapan Erina yang masih berdiri dengan tubuh gemetaran. Namun ia paham kata-kata yang di keluarkan Theo. Ternyata Theo menikahinya hanya ingin memenuhi keinginan mendiang kakeknya saja.
Sama halnya dengan Erina yang sejak awal menolak perjodohan mereka. Karena Erin masih ingin melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah khusus tata boga sesuai minatnya di bidang kuliner. Rencananya ia akan mencari pekerjaan di Jakarta. Sambil bekerja memakai ijazah sekolah yang telah ia miliki, Erina rencananya akan mendaftar kuliah dengan biaya sendiri. Karena gadis itu tidak mau membebankan biaya pada ayahnya yang hanya bekerja sebagai supir bus antar provinsi. Sementara Desi bundanya membuka warung nasi di depan rumah mereka.
"Kau paham maksud ku, Erina?". Untuk yang pertama kali Theo menyebut namannya dengan jelas sejak pertemuan mereka satu minggu yang lalu. Perkenalkan yang sangat singkat.
Erina mengangkat wajahnya. Menganggukkan kepalanya. "Iya aku paham", jawabnya singkat.
"Good. Kau keluarlah. Jangan pernah berani menginjakkan kaki mu ke kamar ku lagi tanpa aku yang memintanya. Di luar ada bibi Zenab yang akan mengajarkan pekerjaan pada mu. Kalian berdua akan bekerja sama di sini".
"Ingat ..jangan bicara tentang pernikahan kita pada siapapun. Kau paham?", tegas Theo menatap tajam Erina.
Erina memberanikan diri membalas tatapan itu. Kedua netra bening gadis itu nampak berkaca-kaca. "Apa aku harus memanggil mu, tuan Theo agar semuanya nampak seperti sungguhan antara atasan dan bawahan?", tanya Erin dengan suara terdengar lembut namun bergetar.
Sejenak Theo terdiam, sorot matanya tepat menatap tajam wajah Erina yang berdiri berjarak dengannya. "Iya", ucapnya dengan pasti sambil melewati Erina yang seketika menghembuskan nafasnya.
Theo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan tangan menopang kepala bagian belakang, menatap langit-langit kamarnya.
Sekilas Erina melihat ke arah Theo. Laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya. Dari sudut bibir gadis itu terlihat senyum kecut. Menganggukkan kepalanya. "Baik tuan. Saya permisi", ucapnya pelan. Kemudian keluar kamar Theo.
*
Tubuh Erina bersandar pada pintu kamar Theo. Kini mata indah gadis polos itu sudah berkabut. "Ternyata ia hanya menganggap ku sebagai pelayannya. Dia mau menikah dengan ku karena wasiat kakeknya saja. Aku pun tidak ada hati pada laki-laki itu, tapi aku tetap menghormatinya karena kami sudah resmi menikah".
Sungguh Erina tidak menyangka, Theo menganggapnya sebagai pelayan.
"Entah pernikahan seperti apa yang akan aku jalani ini. Apa pernikahan bak neraka seperti ini yang kakek inginkan? Kenapa kakek tega menjebak ku", gumam Erina dengan suara bergetar sedih.
"Ya ... aku akan berusaha bertahan di sini dan tidak akan memberi tahu bunda apa yang terjadi sesungguhnya. Karena sejak awal akupun menolak perjodohan ini tapi aku berusaha menerimanya karena bunda begitu bahagia jika aku menikah dengan Theo yang dimata bunda adalah sosok laki-laki baik dan bertanggung jawab karena Theo terlahir dari keluarga baik-baik".
Terdengar helaan nafas Erina setelah mendengar ada yang datang membuka pintu.
Erina menghapus lelehan air mata yang telah membasahi pipinya.
"Ternyata Theo tidak seperti yang aku pikirkan. Laki-laki itu sangat kejam, dia akan menyiksa ku dengan berada di dekatnya seperti ini.."
...***...
Bersambung..
Tok..
Tokk..
Tubuh Erina seketika melonjak bangkit ketika mendengar ketukan keras di pintu kamarnya.
Bahkan kesadarannya belum seratus persen terkumpul. Masih seperti di alam mimpi gadis itu berjalan sempoyongan kearah pintu dengan mata masih setengah terpejam.
"Ceklek..
"Ada apa Raffi, kenapa kau mengganggu ku?"
"Raffi? Siapa Raffi, kekasih mu?"
Spontan kedua netra terbelalak. Ia baru sadar sekarang bukan di rumah orangtuanya tapi berada di apartemen Theo.
"Aku lapar, kenapa kau tidak masak apa pun", ucap Theo dengan nada ketus. Netra laki-laki itu menatap kesal Erina. "Aku membayar mu bukan untuk bermalas-malasan. Apa Zenab tadi belum menjelaskan apa saja kewajiban mu di sini?".
"Maafkan aku ketiduran. Kepala ku pusing sekali setelah naik pesawat tadi, T-uan", jawab Erina gelagapan.
"A-ku akan masak makan malam mu. Tuan Theo ingin makan apa? Indonesian food atau western food?", tanya Erina dengan kedua netra membulat sambil mengikat rambut lebatnya ke atas secara acakan saja.
Sesaat Theo menatapnya dengan pasat, kemudian terdengar tarikan nafas laki-laki itu. "Ck kau ini sembrono sekali. Melihat mu begini membuat nafsu makan ku hilang saja. Bahkan kau belum mengganti pakaian itu sejak pagi", ketus Theo dengan kata-kata tajam yang kesekian kalinya di tujukan pada Erina.
"Dasar gadis nggak berguna!!". Ia berlalu meninggalkan Erina yang terdiam di depan pintu kamar menatap punggung lebar Theodoriq. Erina bisa mendengar laki-laki itu meminta seseorang membeli makanan untuknya.
"Mulai besok aku tidak mau melakukan kesalahan lagi", gumam Erina.
*
Keesokan harinya..
Alarm berbunyi pada pukul empat pagi. Erina telah selesai mandi dan berganti pakaian bersih untuk bekerja sesuai perintah Theo yang di sampaikan Zenab kemarin.
Jadwal Erina mulai memasak makan pagi, siang dan malam. Sementara Zenab yang membersihkan unit apartemen mulai dari kamar tidur Theo yang kemarin sempat Erina masuki.
Ternyata Theo membuat aturan untuk Erina tidak boleh berada di lantai dua karena menjadi tempat privasi Theo. Begitu juga saat Theo sedang ada di apartemen, laki-laki itu melarang Erina berkeliaran. Theo memberi perintah, Erina menyiapkan makannya saja kemudian gadis itu tidak di perbolehkan menampakkan diri di hadapan Theo.
Makanya sekarang pagi buta gadis itu akan membuat makan pagi Theo, sebelum laki-laki itu bangun. Erina tidak mau Theo marah padanya karena kesalahan yang ia buat.
Erina keluar kamarnya yang berada di ujung apartemen itu, dekat dengan pantry. Sepertinya kamar itu memang di peruntukan untuk pelayan. Ukurannya tidak terlalu besar, namun nyaman apalagi ia hanya tidur sendirian di sana.
Yang Erina paling suka dari kamarnya ternyata ada balkonnya yang menampilkan pemandangan indah Marina Bay, teluk di Singapura yang terkenal dengan Marina Bay Sands, resor terpadu yang ikonik dengan tiga menara hotel yang terhubung oleh Sands By Park di puncaknya, lengkap dengan infinity pool yang ikonik di negara Singapura.
Bagi Erin ini yang pertama kalinya berpisah dengan keluarganya yang menetap di Bogor. Sekalinya berpisah ke tempat yang jauh, beda negara seperti ini. Keluarga Erin sangat bahagia ketika Widya tante Theo memberi tahu akan datang melamar Erina. Desi sangat mengenal baik keluarga Widjanarko karena pertemanan ayah mereka sejak muda.
Sementara Zenab datang di pagi hari dan pulang di sore hari setelah pekerjaannya selesai. Di unit apartemen itu hanya Theo dan Erina. Meskipun keduanya telah resmi menjadi suami-istri yang sah namun Theo tidak menuntut Erina melayaninya sebagai istri. Tentu saja keputusan Theo di sambut baik gadis itu.
Makanya sekarang Erina lebih bersemangat, bangun menjelang subuh memasak untuk Theo sesuai menu setiap hari yang di tempel di dinding pantry seperti yang di jelaskan Zenab kemarin. Kemudian ia akan kembali ke kamarnya karena itu yang di perintahkan Theo. Erina tidak boleh menampakan dirinya di hadapan Theo ketika laki-laki itu ada di apartemen.
*
Erina sedang berdiri di balkon menikmati pemandangan. Sinar hangat matahari pagi menyentuh wajah polosnya. Gadis itu memejamkan matanya menikmati aroma pagi yang terasa begitu segar.
Suasana hatinya pun lebih baik dari kemarin karena ia sudah menyelesaikan pekerjaan pagi ini.
Namun kedamaian yang ia rasa hanya sebentar saja. Pintu kamarnya di buka Theo yang menatapnya dengan marah.
Erina bergegas mengikuti langkah laki-laki itu ke meja makan.
"Kau ingin perut ku sakit, makan makanan dingin begini. Kau ini bodoh atau apa Erina!!", teriak Theo menatap kesal gadis yang berdiri dengan tubuh gemetaran itu.
"M-aaf T-uan...
"Maaf maaf...Apa hanya kata-kata itu yang bisa kau ucapkan hah? Kau membuat mood ku hilang saja", ketus Theo menatapnya nyalang karena kesal pada Erina.
"A-ku masak jam empat, sekarang pukul delapan jadi wajar saja makanannya dingin–"
"Kau ini benar-benar tidak berguna. Gunakan otakmu. Kau pikir aku akan makan pagi saat hari masih gelap? Kau pikir aku setan gentayangan yang mencari makan saat masih gelap hah?", tungkas Theo semakin marah pada Erina.
"Bikin aku muak saja. Ternyata begini jodoh yang di berikan kakek pada ku. Yang benar saja. Mana tampilannya seperti anak kecil di tambah kebodohannya lagi"
"Um...tentu saja aku tidak mau anak-anak ku lahir dari rahim wanita seperti mu Erina!!", hardik Theo sambil menunjuk kening Erina ketika melaluinya.
Theo berlalu sambil membanting keras pintu unit apartemennya.
Mendengar bantingan keras pintu, membuat Erina memejamkan matanya dengan bahu terangkat seraya menarik nafasnya dalam-dalam.
Jarak beberapa menit terdengar ada yang membuka pintu unit apartemen itu. Erina mengalihkan perhatiannya ke pintu.
"Selamat pagi nona Erina. Apa semua baik-baik saja?". Ternyata Zenab, wanita paruh baya yang sudah bekerja dengan Theo sebelum Erina ada yang datang dengan wajah keibuan tersenyum hangat pada Erina yang menatapnya dengan kedua pipi memerah dengan mata berkaca-kaca karena beberapa saat yang lalu Theo marah besar padanya dengan kata-kata yang tajam seperti pisau belati menghunus mengenai jantung gadis itu.
"Aku melakukan kesalahan lagi, bibi Zenab. Tuan T-heo marah besar kali ini pada ku", ucap Erina bergumam pelan namun masih bisa terdengar oleh Zenab.
Wanita itu menghampirinya. Dan menuntun Erina duduk di sofa berwarna abu-abu yang tertata rapi di ruangan bernuansa putih.
Zenab melepaskan apron yang masih dipakai Erina. "Jangan pakai ini lagi. Bibi sudah tahu semuanya dari nyonya Widya. Nona Erina istri tuan Theo. Hari ini bibi akan bicara pada tuan, bibi akan menunggunya pulang kerja", ucap Zenab sambil mengusap lembut wajah Erina yang nampak pucat pasi.
"Sebaiknya sekarang nona Erina sarapan. nanti bibi akan mengajarkan semuanya pada nona, termasuk memasak makanan kesukaan suami mu", sambung Zenab tetap dengan senyuman di bibirnya yang menentramkan perasaan galau tak menentu yang erin rasakan.
Erina menganggukkan kepalanya.
"Jangan di masukkan ke hati jika tuan Theo menyakiti mu dengan kata-katanya nak. Nona harus paham, tuan Theo telah kehilangan mamanya sejak ia di lahirkan ke dunia ini. Nyonya Widya lah yang mendidiknya sejak nyonya Retna meninggal dunia. Sementara tuan Dendi Widjanarko ayah tuan Theo telah memiliki keluarga baru dan kini menetap di Kanada".
Zenab menggenggam tangan Erina. "Bibi akan mengajari mu semuanya agar nona bisa membahagiakan suami. Ambil hatinya karena sekarang kalian sudah resmi menikah. Tidak seharusnya kalian tidur terpisah".
"Tapi bibi...aku nyaman seperti ini. Kami tidur terpisah. Aku belum siap menjadi seorang istri melayani suami. Namun aku akan belajar, supaya tuan Theo tidak marah lagi pada ku".
Terdengar helaan nafas Zenab, wanita itu juga menggelengkan kepalanya. Tangan Zenab mengusap lembut pundak Erina.
"Bibi tahu nyonya Widya tidak pernah salah. Nyonya memilih yang terbaik untuk keponakan kesayangannya. Bibi pun ikut senang, tuan Theo menikahi gadis baik seperti mu sayang. Karena tuan Theo sudah bibi asuh sejak kecil, hingga kini pun saya tetap menjaganya".
Erina memeluk Zenab. "Aku senang mengenal bibi di tempat ini, aku merasa dekat dengan bunda. Terimakasih bibi Zenab", ucapnya seperti biasa terdengar begitu lembut.
...***...
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!