NovelToon NovelToon

Blood & Oath

Chapter 1 - Act 1 - Koin kematian

Angin kering berhembus di atas ladang gandum yang berkilau keemasan. Aku mengayunkan sabit, gerakan monoton yang sudah kulakukan sejak kecil. Dari belakang, sebuah tepukan mendarat di pundakku.

“Hati-hati dengan benda itu,” suara kakekku, serak namun penuh wibawa. Ia menyerahkan sebuah kantung kecil berisi koin. “Bawa ini ke kota. Berikan pada Johnson.”

Aku menatap kantung itu dengan heran. “Bukankah minggu lalu kita sudah membayar?”

“Dia minta lebih. Katanya karena banyak bandit berkeliaran,” jawab kakek, meski matanya menatap kantung itu dengan berat hati.

Aku mendengus. “Satu-satunya bandit di kota ini ya Johnson sendiri bersama anak buahnya.”

“James…” Kakek menundukkan kepala, suaranya merendah. “Kerajaan sedang sibuk berperang melawan perompak dari selatan. Mereka tak punya waktu untuk kota kecil ini.”

“Perompak atau bandit, sama saja,” sahutku kesal. “Mereka merampok hasil panen kita dengan alasan ‘melindungi kota’, padahal tak pernah mengurus pencuri atau penjahat lain.”

“Pelankan suaramu,” potong kakek cepat. “Jika anak buah Johnson mendengarmu, kau akan celaka. Pergilah sekarang, sebelum masalah makin besar.”

Aku menghela napas, menyelipkan kantung itu ke saku, lalu berangkat menuju kota Rivera—sebuah kota kecil di tepi Reinar River, sungai terpanjang di Tharion. Sungai itu mengalir dari Iron Coast di selatan hingga Frostmarch di utara. Berkat airnya, ladang kakek menjadi satu-satunya perkebunan gandum dekat kota. Tanpa sungai ini, kami tak punya apa-apa.

---

Sesampainya di gerbang kota, kerumunan warga menarik perhatianku. Mereka bersorak melihat sesuatu.

“Perkelahian! Ada perkelahian!” teriak seorang bocah, berlari memberi kabar.

Aku hanya melirik sekilas. Perkelahian sudah jadi pemandangan biasa di Rivera, jadi aku melanjutkan perjalanan. Tak lama, aku berhenti di depan bangunan yang ramai—Lim Tavern, satu-satunya bar di kota. Dulu tempat ini menjadi pelarian para pekerja setelah seharian membanting tulang. Kini, ia berubah menjadi sarang Johnson dan bandit-banditnya.

Dengan napas berat, aku masuk. Ruangan dipenuhi asap rokok dan tawa kasar. Johnson, pria besar berjanggut merah, duduk di kursi paling tengah. Tubuhnya buncit tapi sorot matanya buas.

“Hey!” Aku melempar kantung koin ke meja di depannya. “Ini dari kakekku. Semoga cukup kali ini.”

Johnson membuka kantung, menghitung isinya. Ia mendengus. “Kupikir aku sudah jelas bilang pada kakekmu. Aku mau lima puluh koin akhir minggu ini. Kenapa hanya dua puluh?”

Aku menatapnya tajam. “Anak buahmu sudah mengambil hasil panen kami. Bukankah itu lebih dari cukup?”

Senyum Johnson menghilang. “Kau ingin cari masalah, anak kecil?”

“Kalau aku ingin masalah, aku takkan datang ke sini,” jawabku dingin.

Hening sesaat. Anak buah Johnson mulai meraba gagang pedang, baja beradu dengan kayu meja. Tegangan di udara begitu pekat. Johnson akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Baiklah. Kali ini kuterima. Tapi minggu depan kau bayar dua kali lipat.” Senyum sinis muncul lagi.

Tanganku mengepal, amarah mendidih. Aku hampir melompat, tapi bartender menatapku tajam memberi isyarat. Aku tahu—ini bukan waktunya. Dengan langkah berat, aku keluar dari tavern.

---

Di jalan pulang, aku bertemu seseorang. Sosok tinggi dengan wajah familiar—Erick, sahabat lamaku. Ia baru kembali dari ibu kota, mengenakan pakaian knight yang sederhana tapi gagah.

“James!” serunya gembira. “Sudah lama sekali!”

Kami berpelukan singkat. Erick mengajakku makan siang di rumahnya. Aku sempat menolak karena harus pulang, tapi akhirnya menerima. Kami sudah lama tak bertemu.

Di rumahnya, kami duduk di meja makan.

“Bagaimana pelatihanmu di ibu kota?” tanyaku.

Erick tersenyum samar. “Awalnya kupikir aku takkan lulus. Tapi saat melihat hasil seleksi, kepercayaan diriku kembali.”

“Jadi kau akan ditempatkan di mana?”

“Komandan bilang akan memberitahu setelah pelatihan akhir. Sampai sekarang belum ada kabar.”

Aku ikut senang mendengarnya, mengingat masa kecil kami: Erick selalu berkelahi dengan anak-anak nakal, dan aku sering ikut turun tangan.

“Jadi kapan kau sendiri akan bergabung?” tanya Erick tiba-tiba. “Bukankah cita-citamu dulu masuk ke Order of the Golden Bastion?”

Aku terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Kau masih ingat saja. Tapi kurasa sudah terlambat bagiku. Kakek butuh bantuan di ladang sejak orang tuaku tiada.”

Erick menepuk pundakku. “Hidup jarang sesuai harapan. Tapi itu bukan berarti kau berhenti bermimpi.” Ia tersenyum hangat. “Ayo, makan dulu.”

Kami makan sambil mengenang masa kecil, hingga senja hampir tiba. Aku pamit untuk pulang.

---

Dalam perjalanan, seekor burung melintas cepat di atas kepala. Lalu beberapa ekor lagi, terbang panik dari arah ladang. Saat itu aku melihat asap hitam mengepul di langit. Dadaku langsung mengeras.

Aku berlari secepat mungkin. Rumah dan ladang kami terbakar hebat. Panas menyengat, api menjilat dinding kayu. Aku menendang pintu, masuk menembus asap pekat. Di lantai, tubuh kakek terbaring lemah, darah mengalir dari perutnya. Di sampingnya, secarik kertas dengan tulisan kasar: “Inilah akibatnya jika kau bermain-main dengan kami.”

Tanganku bergetar. Aku mencoba mengangkat tubuhnya, tapi paru-paruku tersiksa, pandanganku berkunang. Nafasku tersengal. Tubuhku goyah, hampir jatuh.

Lalu suara keras terdengar—pintu diterjang. Erick! Ia meraihku, menyeretku keluar.

“Kakekku masih di dalam!” teriakku putus asa.

“James… maaf. Dia sudah tiada. Fokuslah hidup-hidup keluar!” Erick menggendongku, memaksa keluar dari kobaran api.

Begitu tiba di luar, aku kehilangan kesadaran.

---

Keesokan paginya, aku terbangun di rumah Erick. Tubuhku masih lemah. Erick duduk di samping ranjang.

“Syukurlah kau sadar,” katanya lega.

Aku menelan ludah. “Kakekku…?”

Erick menunduk. “Aku tak sempat menyelamatkannya. Api melahap segalanya. Warga membangun makam simbolis di dekat ladang, sebagai penghormatan.”

Aku memalingkan wajah, emosi menyesakkan dada. Lalu perlahan aku berbisik, “Johnson…”

“Dia masih di Lim Tavern,” jawab Erick cepat, seolah tahu isi pikiranku.

Aku menatapnya tajam. “Dialah pelakunya. Dia bunuh kakekku. Aku akan membalas dendam.”

Erick terdiam, lalu masuk ke kamarnya. Ia kembali dengan dua pedang. Menyerahkan salah satunya kepadaku.

“Kalau kau ingin melakukannya, lakukan dengan benar. Jangan sisakan satu pun dari mereka. Aku akan ikut.”

Aku menatap matanya. “Kau yakin? Ini bisa menghancurkan jalanmu sebagai knight.”

“Tak masalah. Kita hanya akan membunuh bandit. Komandanku tidak akan peduli.” Ia menepuk pundakku. “Kita lakukan bersama.”

Aku menggenggam pedang itu erat-erat. Amarah membara dalam dadaku. Johnson dan anak buahnya akan membayar darah dengan darah.

Act 2 - Perubahan besar

10 tahun lalu

"Ingatlah, kalau ladangmu kekurangan air, panen akan buruk dan harganya jatuh," ucap kakek, tangannya cekatan menekan tanah menutupi benih gandum. Suaranya dalam, sabar, seolah setiap kata adalah doa yang ditanam bersama biji itu.

"Suatu hari kau akan meneruskan ladang ini. Mengajari anak-anakmu cara menanam, seperti aku mengajarkanmu sekarang. Jadi, perhatikan baik-baik."

Aku mengangguk kecil, tangan belepotan tanah, meniru gerakannya sebisaku. Matahari siang terasa membakar tengkuk.

"Kakek, apa segini belum cukup? Aku lelah sekali..." rengekku, berusaha mengusap keringat dengan lengan yang kotor.

Kakek hanya tersenyum lembut, garis kerut di wajahnya semakin dalam. "Istirahatlah sebentar di depan rumah. Duduklah, perhatikan aku dari sana. Ingat, kerja ladang itu soal kesabaran."

Aku menuruti ucapannya. Sambil menatapnya dari kejauhan, ada perasaan hangat di dada-seolah dunia hanya sebatas aku, kakek, dan ladang gandum yang membentang.

 

Sekarang

"Johnson punya lima belas anak buah. Mereka dibagi jadi kelompok kecil untuk memeras pedagang," jelasku dengan suara pelan, seakan takut udara sekalipun bisa membawa kabar.

"Aku pernah mengamati: tiga orang di depan toko daging, tiga di alun-alun, tiga lagi di gerbang kota. Sisanya, delapan orang, di tavern. Pola mereka selalu sama." Aku menggores tanah dengan ranting, membuat lingkaran kecil-kecil sebagai penanda posisi.

"Kita harus habisi kelompok terluar dulu. Biar tidak ada yang sempat lari atau memperingatkan yang lain."

Erick hanya mengangguk. Matanya serius, tapi ada sedikit keraguan di sana-sekilas bayangan masa lalu yang tak pernah dia ceritakan.

 

Gerbang Kota

Kami tiba di gerbang kota. Tiga bandit bersandar santai di dinding, tapi tangan mereka tak jauh dari pedang di pinggang.

"Biar aku yang maju dulu," Erick menepuk pundakku. "Kalau mereka curiga, kita sudah kalah setengah langkah."

Ia berjalan mendekat, mengangkat tangan dengan ramah.

"Hei, kalian sedang berjaga?" serunya.

Salah satu bandit mendengus. "Kalau bukan jaga, apa menurutmu kami sedang piknik?"

Erick terkekeh, pura-pura canggung. "Aku cuma ingin tanya. Kalian dengar soal ladang di dekat sungai yang terbakar kemarin?"

Bandit itu menatapnya curiga. "Kami juga masih nyari siapa biang keroknya."

"Kalau begitu, bagus. Tapi... kalian selalu berjaga di sini, kan? Jadi, di mana kalian tepatnya sebelum api itu muncul?" Erick menekan.

Hening. Bandit-bandit itu saling melirik, seolah memberi isyarat. Tangan mereka perlahan menggenggam gagang pedang.

Saat itu aku melempar sebuah batu.

Tang! Batu menghantam helm besi salah satu dari mereka.

"Siapa itu?!" teriaknya, panik.

Erick bergerak secepat kilat. Pedangnya melintas, memenggal leher bandit yang paling dekat. Darah menyembur di udara, membasahi batu jalan. Dua lainnya langsung menghunus pedang, menyerang serentak.

Erick menangkis satu, mundur selangkah. Yang lain maju menusuk-aku datang dari samping, menancapkan pedang ke punggungnya. Tubuhnya terhuyung, jatuh tanpa suara.

Yang terakhir masih berduel dengan Erick. Aku menebas dari belakang, dan semuanya berakhir dalam tiga tarikan napas.

Aku berdiri terengah, jari-jariku gemetar. Bau besi-darah hangat yang tercecer di tanah-membuat perutku mual. Erick menatap tubuh-tubuh itu, wajahnya pucat, tapi ia tidak berkata apa-apa.

"Kita... lanjut," ucapnya lirih.

Aku dan Erick berlari secepat mungkin dengan darah yang menempel di pedang dan tangan kami melewati gang sempit di kota, menghindari para penduduk agar tidak menarik perhatian.

"Hush" ucap Erick sambil merentangkan tangannya di depan ku memberi sinyal untuk berhenti.

"Kau melihat sesuatu?" ucapku bertanya sambil melihat sekeliling.

"Kau lihat disana?" Erick menunjuk kearah dua orang yang sedang menarik kerah leher seorang pedagang.

"Apa maksud mu tidak bisa bayar!" Ucap orang itu terdengar dari kejauhan.

Tanpa rasa belas kasihan orang itu pun memukul perut sang pedagang dan mengambil beberapa buah dari dagangannya lalu pergi.

"Ayo kita ikuti dia perlahan!" ucap Erick.

Kami pun terus mengikuti orang itu sampai dia akhirnya masuk kesebuah gang sepi untuk menemui seseorang.

"Ayo kita sergap mereka!" Ucap Erick.

Kami berlari bersama memasuki gang itu dengan pedang yang sudah terhunus yang kami sembunyikan dibalik punggung.

"Hey! Apa yang kalian lakukan disini!" ucap salah satu pria itu.

"Ah tidak, sepertinya kami tersesat maaf menggangu" ucap Erick sopan sambil sedikit tertawa.

"Hey!" Pria itu berteriak ketika kami akan mundur.

"Siapa yang bilang kalian bisa pergi begitu saja? Apa gang kalian sembunyikan dipunggung kalian itu? uang? Makanan? Berikan pada kami" ucap orang itu sambil berjalan mendekati.

Aku dan Erick bersiap untuk menyerang kedua pria itu ketika mereka sudah cukup dekat.

Sling!

Pedang Erick menebas pria didepannya dari pundak turun sampai ke perut. Pria yang berada dibelakangnya terlihat panik dan akan melarikan diri.

sebelum dia sempat berlari jauh, aku melempar pedangku yang tertancap tepat di punggungnya membuat pria itu terjatuh ketanah dan tidak bergerak sama sekali.

Pria dihadapan Erick masih terlihat sadar terjatuh ditanah dengan tubuh bersimbah darah dan tatapan yang penuh ketakutan.

Erick menjongkokan tubuhnya dihadapan orang itu.

"Katakan padaku, apa bos mu sedang berada di tavern?" ucap Erick dingin tanpa ekspresi.

Selagi Erick berbicara aku berjalan melewati mereka untuk mengambil pedang ku yang tertancap di tubuh pria yang tadi.

"Y-ya, tolong jangan bunuh aku" Ucap pria itu gemetar.

"Berikan aku alasan kuat untuk tidak membunuh mu?" ucap Erick sambil kembali berdiri.

"A-aku hanya mengikuti p-perintah" jawabnya tergagap.

"hmm" Erick berfikir sejenak.

"Justru itu adalah alasan kuat untuk membunuh mu!" Erick menebaskan kembali pedangnya ke leher pria itu yang langsung membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali dan mati kehabisan darah.

Erick memandangku, "Ayo kita tidak punya banyak waktu!" ucap Erick memasukan pedangnya kedalam sarung pedang di pinggang nya.

 

Toko Daging

Lokasi berikutnya lebih berisiko. Pedagang dan warga lalu-lalang. Membunuh di sini berarti menimbulkan keributan, dan kabar bisa sampai ke telinga Johnson terlalu cepat.

"Diam-diam. Cepat," bisikku.

Aku bersembunyi di lorong sempit. Erick berjalan menghampiri tiga bandit yang berjaga di depan toko daging.

"Hei, kalian dengar kabar? Cucu pemilik ladang yang terbakar itu masih hidup. Aku lihat dia masuk ke gang sebelah sana." Erick menunjuk ke arahku. "Kalau mau, kubawa kalian ke sana."

Bandit-bandit itu saling tatap, lalu tertarik. "Tunjukkan."

Mereka masuk ke lorong sempit. Begitu dekat, salah satunya mendesis, "Kau cucu si kakek, ya? Johnson ingin bicara denganmu."

Hanya hening yang terdengar di udara

"Hey kenapa tangan ku berlumuran darah?" ucap salah satu bandit.

Jawabanku adalah tebasan dingin. Erick menusuk dari belakang, aku menebas dari depan. Darah menyemprot dinding batu. Bandit terakhir berusaha kabur, tapi aku melempar belati, menancap di kakinya. Ia terjerembab, meraung.

Aku mendekat, mencabut belati itu, lalu menatap matanya yang penuh ketakutan. Ada sesaat keraguan-tapi bayangan kakek yang tergeletak di ladang kembali muncul. Dengan satu ayunan, aku menyudahi hidupnya.

Tiga mayat baru tergeletak. Total enam.

Aku menarik napas berat. Erick menunduk, wajahnya muram. "Kalau kita lanjut ke alun-alun sekarang, tenaga kita habis. Dan di tavern... pasti lebih brutal."

Aku mengangguk. "Kita selesaikan yang besar dulu. Sisanya urusan nanti."

"Apa kau yakin? Menyerang ke tavern sekarang dapat menyebabkan keributan yang cukup besar untuk mencapai sisa anak buah Johnson yang akan datang untuk membantunya nanti" ucap Erick.

Aku hanya dia membersihkan darah yang menempel dibelatiku dan kembali memasukannya ke dalam sarung di pinggang ku.

"Ayo!" Ucapku dengan tatapan tajam.

Kami pun kembali berlari menuju tavern, udara membelai wajah ku dengan lembut, darah ditangan ku terasa sangat berat, namun itu bukanlah alasan untuk ku berhenti sekarang.

 

Depan Lim Tavern

Kami berdiri di depan pintu kayu tavern itu. Dari dalam terdengar riuh-tawa kasar, denting gelas, langkah-langkah berat. Di antara semua suara itu, aku bisa merasakan sesuatu yang lebih gelap.

Johnson.

Erick menggenggam pedangnya lebih erat. "Kalau aku mati di sini... setidaknya aku mati dengan alasan."

Aku menoleh, menatapnya. Ada luka lama di matanya, mungkin Johnson juga merenggut sesuatu darinya. Tapi ini bukan saatnya bertanya. Aku hanya mengangguk.

"Kau siap?" ia bertanya.

"Tentu saja."

Dengan teriakan pendek, aku menendang pintu. Kayu terbelah, dan kami masuk dengan pedang terhunus-siap menghadapi apa pun yang menunggu.

Pintu tavern terhempas terbuka. Cahaya sore menembus masuk, memotong kegelapan ruangan penuh asap rokok dan bau arak basi. Sejenak, musik biola yang dimainkan di sudut berhenti, lalu riuh tawa berubah jadi bisik-bisik curiga.

Mata puluhan bandit menatap kami. Beberapa berhenti menenggak gelas, sebagian lain sudah meraba gagang pedang dan kapak mereka.

Di tengah keramaian, seorang pria duduk santai di kursi kayu besar seolah itu singgasana. Tubuhnya tambun, janggut merah menyala, mata seperti serigala lapar. Johnson.

"Lihat siapa yang datang," suaranya berat, licin, penuh ejekan. "Anak kecil cucu petani dan... calon ksatria gagal. Sudah kubilang jangan cari masalah. Tapi rupanya kau keras kepala, James."

Aku maju selangkah, pedang di tangan bergetar tapi mataku menatap tajam. "Kau membunuh kakekku."

Johnson terkekeh. "Aku? Tidak. Aku cuma memungut bayaran. Kalau ladangmu terbakar, mungkin karena kelalaianmu sendiri. Dan kalau kakekmu mati..." ia mengangkat bahu, "itu harga hidup di dunia ini."

Tawa kasar meledak di antara anak buahnya. Tapi di balik candaannya, aku melihat sesuatu berkilat di jari Johnson: sebuah cincin perak berukir simbol asing-seperti mata yang dipahat dengan detail rumit.

Aku menahan napas. Itu bukan sekadar perhiasan biasa. Ada aura dingin yang aneh darinya.

"Cukup omong kosong." Erick melangkah ke depan, pedangnya siap. "Hari ini kau akan membayar semua yang telah kau lakukan."

Johnson berdiri, kursinya berderit. Tingginya mengintimidasi meski tubuhnya buncit. Ia menepuk tangannya dua kali. Anak buahnya bangkit serentak, kursi terlempar, gelas pecah di lantai. Ruangan mendadak penuh denting baja.

"Kalau begitu," gumam Johnson, senyumnya melebar, "kita bersenang-senang."

 

Pertarungan Pecah

Dua bandit pertama menerjang. Aku mengayun pedangku, menangkis tebasan, lalu menusuk perut satunya. Darah panas muncrat mengenai bajuku. Erick menangkis ayunan kapak, lalu memutar cepat dan membelah dada lawannya.

Teriakan, dentuman meja, arak tumpah, semua bercampur jadi kekacauan.

Aku sempat hampir terdesak oleh bandit bertubuh besar. Dia mengangkat kursi dan melempar ke arahku. Aku berguling ke samping, menusuk kakinya. Dia jatuh menjerit, dan tanpa ampun aku menebas lehernya.

Erick sudah terlibat duel dengan dua orang sekaligus, keringat bercucuran di wajahnya. Aku berlari membantu, menangkis serangan dari belakang sebelum pedang Erick sempat menembus lawan pertamanya.

Dalam hitungan menit, lantai tavern penuh tubuh dan darah. Tapi Johnson belum bergerak sedikit pun. Ia hanya menonton, senyumnya tak pudar.

 

Johnson Turun Tangan

"Bagus," katanya, suaranya tenang. "Kau lebih kuat daripada yang kukira, James. Darahmu memang berbeda."

Aku terengah, pedang meneteskan darah. "Apa maksudmu?"

Johnson menepuk cincin di jarinya. "Kau akan tahu pada waktunya. Tapi sayang, waktumu mungkin habis malam ini."

Ia akhirnya mengangkat kapak besar yang tersandar di mejanya. Bilahnya hitam, dengan ukiran sama seperti di cincinnya. Saat kapak itu diayunkan ke udara, ada kilatan samar-seperti bayangan api yang muncul lalu hilang.

Aku dan Erick saling pandang. Ini bukan sekadar bandit biasa.

"Bersiaplah," bisik Erick.

Aku mengangguk, genggamanku menguat.

Johnson maju, setiap langkahnya membuat lantai bergetar. Riuh yang tadi memenuhi ruangan mendadak lenyap. Hanya ada kami, nafas berat, dan suara baja yang siap menghancurkan.

Johnson mengayunkan kapak hitamnya. Suaranya menderu saat membelah udara, menghantam meja hingga kayunya terbelah dua. Pecahan melayang, arak tumpah bercampur darah di lantai.

Aku melompat mundur, nyaris tak selamat. Getaran dari tebasannya masih terasa di telapak kakiku. Erick menahan napas, matanya tak lepas dari kapak besar itu.

"Sekarang giliran kalian," ujar Johnson tenang, seolah ini permainan.

Aku maju duluan, menusukkan pedang ke arah dadanya. Tapi dengan mudah ia menangkis, bilah kapaknya menghantam pedangku. Dentumannya membuat lenganku bergetar hebat. Pedangku nyaris terlepas.

Dia jauh lebih kuat dari yang kubayangkan.

Johnson mendorongku mundur dengan sekali hentakan. Aku terhuyung, nyaris jatuh. Erick segera maju, mengayunkan pedangnya ke sisi tubuh Johnson. Tapi kapak itu berputar cepat, menahan serangan. Percikan baja melesat di udara.

"Bagus. Setidaknya kalian tak mati di ayunan pertama," Johnson menyeringai.

 

Pertarungan Memanas

Aku mengatur napas, lalu menyerang dari samping. Erick menekan dari depan. Kami berdua mencoba mengurungnya. Untuk sesaat, berhasil-Erick hampir menusuk bahunya.

Namun Johnson memutar tubuhnya, kapak berayun lebar. Erick terlempar ke meja, menghantam botol kaca hingga pecah. Darah mengalir di pelipisnya.

"Erick!" teriakku.

Johnson mendekat, ayunan kapaknya diarahkan padaku. Aku menunduk, merasakan angin panas lewat di atas kepala. Aku berbalik cepat, menusuk ke arah pinggangnya. Pedangku berhasil menggores kulitnya, darah menetes.

Johnson hanya terkekeh. "Begitu saja?"

 

Titik Balik

Erick berdiri lagi, meski tubuhnya gemetar. "James! Tekan sisi kanan, aku sisi kiri!"

Aku mengangguk. Kami menyerang bersamaan. Johnson menangkis serangan Erick, tapi itu memberi celah bagiku. Aku mengayunkan pedang ke pahanya, menancap dalam. Johnson meraung marah, menendangku hingga terjatuh ke lantai.

Erick memanfaatkan momen itu, menebas bahu Johnson. Luka menganga, tapi tubuh besar itu masih berdiri tegak.

"MENYEBALKAN!" teriak Johnson, kapaknya berayun gila, menghantam dinding dan meja tanpa kendali. Potongan kayu berhamburan, ruangan berguncang.

Aku bangkit, paru-paru terbakar, mata perih karena asap arak dan debu. Aku tahu ini kesempatan terakhir.

 

Penentuan

Johnson melangkah ke arah Erick, kapak terangkat tinggi. Erick kelelahan, tangannya gemetar, tak akan mampu menahan satu ayunan lagi.

"AARRGH!" Aku berlari, semua tenaga kupusatkan. Aku mengangkat pedangku, menusuk sisi tubuh Johnson dari belakang tepat di bawah tulang rusuk.

Johnson terhuyung, raungannya mengguncang ruangan. Erick, dengan sisa tenaga terakhir, mengayunkan pedangnya lurus ke leher Johnson.

Slash!

Darah menyembur. Tubuh besar itu goyah, lalu ambruk menghantam lantai dengan dentuman keras. Kapaknya terlepas, bergetar hingga berhenti.

Sunyi.

Hanya suara napas kami berdua yang tersisa.

Act 3 - Knight in the shining armor

Napas kami masih terengah. Lantai tavern lengket oleh darah, bau besi menusuk hidung. Tanganku bergetar memegang pedang yang sudah berat oleh cairan merah pekat. Di luar sana, masih ada tiga bandit tersisa-mereka pasti sudah mendengar keributan dan akan datang kapan saja.

Saat aku mencoba menenangkan diri, sebuah kilatan cahaya mengganggu pandangan. Aku menunduk-cincin di jari Johnson memantulkan cahaya dari lampu minyak yang hampir padam. Tanpa pikir panjang, aku meraih benda itu dan menyimpannya ke dalam saku. Entah kenapa, sesuatu dalam diriku berkata benda ini penting.

BRAK!

Pintu tavern mendadak terbuka. Tiga bandit terakhir berdiri terpaku di ambang pintu. Mata mereka membelalak melihat mayat kawan-kawan mereka berserakan di lantai.

"Ka... kalian...?" suara salah satunya gemetar, lebih terdengar seperti bisikan ketakutan.

Mereka bersiap menghunus pedang-tapi sebelum sempat bergerak, derap kuda terdengar semakin dekat. Dentuman kuku kuda menggema di jalanan batu. Wajah para bandit seketika pucat, lalu mereka melarikan diri tanpa menoleh ke belakang.

Aku dan Erick saling berpandangan, lalu segera keluar. Di depan kota, pasukan knight baru saja kembali. Baju zirah mereka berkilau keperakan meski ternoda lumpur perjalanan. Di barisan depan, seorang komandan dengan wajah keras menatap kami dari atas kudanya.

"Jelaskan apa yang terjadi di sini," suaranya tegas, dingin, dan tanpa keraguan. "Dan siapa yang bertanggung jawab atas pembantaian ini?"

Erick maju setapak. "Aku!" katanya lantang. "Aku yang mengajak James membalas dendam pada para bandit ini. Semua salahku!"

Aku menoleh tajam ke arahnya. "Tidak," kataku cepat. "Kakekku dibunuh oleh mereka. Akulah yang merencanakan semuanya. Darah di lantai itu adalah tanggung jawabku."

Komandan menatapku lama, seolah menimbang setiap kata.

"Namamu?"

"James. Cucu dari pemilik ladang di tepi sungai."

"Dan kau?" tatapannya beralih pada Erick.

"Erick Stonehart. Kadet angkatan ke-248, lulusan kota Heartstone."

"Seorang kadet?" Alis komandan terangkat tipis. "Apa yang kau lakukan di kota ini?"

"Pelatihku memberi izin. Sebelum penempatan divisi, kami diperbolehkan pulang ke kota asal."

Komandan menghela napas pendek, lalu menatap kami berdua dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, James dan Erick... kalian ditahan. Hukum tak memberi ruang pada dendam pribadi."

Ia melambaikan tangan. "Bawa mereka."

---

Erick - Perspektif

Aku hanya bisa menunduk saat borgol menutup pergelangan tanganku.

Bagaimana mungkin... James bisa bertarung seperti itu?

Sejak kecil, dia memang selalu lebih kuat dariku. Tapi apa yang kulihat di tavern berbeda. Gerakannya cepat, terukur, seakan ia sudah berlatih bertahun-tahun dengan master pedang. Aku, yang ditempa latihan keras para knight, hampir tak mampu menandinginya.

James... apapun yang kulakukan, kau tetap akan selalu berada di depanku.

---

Keesokan Harinya

Aku dipanggil ke ruang komandan. Ruangan itu sederhana, hanya ada meja kayu berat, peta tergantung di dinding, dan bau lilin yang baru padam.

"Duduklah," ucapnya tanpa menoleh.

Aku menyipitkan mata. "Bukankah aku ini tahanan? Kalau kau mau menginterogasiku, kenapa di ruangmu? Tanpa penjaga pula."

Komandan menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum tipis penuh ejekan. "Jangan bercanda. Bahkan dengan pedang di tanganmu, kau tetap bukan ancaman bagiku."

Ia mengeluarkan sesuatu dari laci meja-cincin Johnson. Logamnya berkilau pucat di bawah cahaya lilin. "Aku ingin tahu... apa yang kau ketahui tentang ini?"

Jantungku berdegup keras. "I-itu cincin milik Johnson. Bandit yang kami bunuh."

"Bandit, katamu?" Mata komandan menyipit. "Simbol pada cincin ini... tidak dimiliki orang biasa. Lambang ini hanya dikenakan oleh mereka yang tak pernah terlihat, tapi keberadaannya menorehkan bayangan di setiap kerajaan."

Aku terdiam, merasakan keringat dingin mengalir di pelipis.

"Apapun hubungannya dengan pasukan itu," lanjut komandan, suaranya rendah, "Johnson bukan orang sembarangan."

Ia mencondongkan tubuh, menatapku tajam. "Sekarang jelaskan-bagaimana kalian bisa mengalahkannya? Untukmu, aku bisa mengerti. Kau seorang kadet. Tapi James..." ia berhenti sejenak, menimbang kata-katanya. "Dia bertarung seperti veteran perang. Padahal dia bukan siapa-siapa. Bahkan rakyat di sini tak tahu apa-apa tentang keluarganya."

Aku menggeleng. "Dia temanku sejak kecil. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan-setidaknya itu yang selalu dia katakan. Soal kemampuannya bertarung... aku pun tak tahu. Kami berpisah lama, dan ketika kembali bertemu, dia sudah berubah."

Komandan mengetuk meja dengan jarinya. "Jadi kau sudah lama tak melihatnya. Namun kau tetap bersedia mempertaruhkan nyawa demi balas dendamnya?"

Aku terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pedang manapun.

Akhirnya komandan berdiri. "Bawa dia kembali ke sel," ucapnya pada prajurit di luar. "Dan panggil James. Aku ingin bicara dengannya... langsung."

James - Perspektif

Pintu besi berderit saat dua prajurit menyeretku keluar dari sel. Borgol dingin menggigit pergelangan tangan, dan langkah mereka memaksaku menuju ruangan di lantai atas.

Di sepanjang lorong, aku merasakan tatapan tajam dari para knight lain. Mereka melihatku bukan sebagai tawanan biasa-melainkan sesuatu yang harus diawasi, seolah aku membawa rahasia yang bahkan mereka tak mengerti.

Prajurit membuka pintu ruang komandan. "Masuk," katanya singkat. Aku pun melangkah masuk, pintu menutup keras di belakangku.

Ruangan itu remang. Di atas meja, hanya ada lilin yang hampir habis, cahayanya menari-nari di atas peta penuh coretan tinta. Komandan duduk di kursinya, tidak menoleh ketika aku masuk.

"Duduk," katanya datar.

Aku menuruti, kursi kayu berat berderit di bawah tubuhku. Suasana hening, hanya terdengar api lilin yang sesekali berdesis.

Lalu, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Cincin itu. Kilau logamnya kembali memantulkan cahaya, membuat perutku terasa mual.

"James," suara komandan pelan tapi menusuk. "Kau anak petani. Tapi aku melihatmu mengayunkan pedang seperti seorang veteran. Kau bahkan mengalahkan pria yang mengenakan ini." Ia meletakkan cincin itu di atas meja dengan bunyi tok kecil, seolah benda itu memiliki bobot lebih dari sekadar logam.

Aku menatap cincin itu, mencoba menyusun kata. "Dia bandit. Kami membunuhnya... karena dia membunuh kakekku."

Komandan mencondongkan tubuhnya, tatapannya menembus. "Bandit tidak membawa simbol ini. Simbol ini... hanya muncul dalam cerita-cerita yang seharusnya tak pernah sampai ke telinga rakyat. Pasukan yang bekerja di balik bayangan, yang hanya tunduk pada kekuasaan tertentu. Jika benar pria itu salah satunya... maka kau tidak hanya membunuh bandit. Kau telah menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar."

Darahku terasa dingin.

"Aku hanya... membela diriku," suaraku nyaris bergetar.

"Tidak." Komandan menggeleng, suaranya tegas. "Aku melihatmu bertarung. Itu bukan gerakan anak desa. Itu gerakan seorang pembunuh. Terlatih. Terbiasa menebas nyawa. Jadi aku akan bertanya sekali-siapa kau sebenarnya?"

Aku terdiam. Jantungku berdentum keras, seakan mencoba memecahkan dada. Semua kenangan tentang masa kecilku bersama kakek tiba-tiba kabur, digantikan keraguan.

Komandan berdiri, berjalan perlahan mengitari meja, langkah sepatunya berat. "James... bahkan bawahan-bawahanku tak bisa menemukan catatan tentang keluargamu. Seolah kau muncul begitu saja, tanpa asal-usul."

Aku menggenggam borgol di tanganku erat-erat. "Aku sudah memberitahumu kebenaran. Aku hanya cucu seorang petani."

Komandan berhenti tepat di belakangku. Aku bisa merasakan napasnya. "Kalau begitu," bisiknya dingin, "mengapa matamu selalu menatapku... seolah kau sudah tahu bagaimana cara membunuhku?"

Aku menahan napas, tak berani menoleh.

Ruangan kembali hening. Hanya suara lilin yang berderak kecil.

Lalu, suara komandan terdengar lagi, kali ini lebih berat. "Kau mungkin lebih berbahaya dari yang kau sadari sendiri, James. Dan itu... bisa menjadi kekuatan-atau kutukan."

Ia menepuk bahuku keras, lalu kembali ke kursinya. "Bawa dia kembali ke sel. Aku belum selesai dengan anak ini."

Prajurit masuk, menyeretku keluar. Tapi sebelum pintu menutup, aku sempat melihat sekali lagi ke arah cincin di meja itu. Kilauannya seolah berdenyut... seakan mengingatkan bahwa apa pun rahasia yang dikandungnya, aku sekarang sudah terikat padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!