NovelToon NovelToon

Penantian Dimas

Kecelakaan Pesawat

Tiba-tiba telepon rumah berdering, membuyarkan lamunan nek Sani yang sedang menikmati secangkir kopi dan sepiring pisang goreng yang sedang hangat.

Dengan segera nek Sani mengangkat gagang telepon.

"Hallo, dengan siapa ini?" kata nek Sani.

Tiba-tiba nek Sani terduduk lemas dan menangis histeris.

Spontan mbak Sri yang sedang membereskan belanjaan, karena dia baru pulang dari pasar merasa terkejut.

Dengan setengah berlari, mbak Sri menghampiri nek Sani yang sedang menangis.

Reza dan Dimas yang sedang bermain volly di halaman belakang rumah, ikut terkejut mendengar neneknya menangis histeris.

Mereka segera berlari menjumpai nek Sani.

"Ada apa nek?" kata mbak Sri sambil memegang pundak nek Sani.

"Ada apa nek?" kata Reza dan Dimas bersamaan.

Dengan tersedu-sedu dan terpatah-patah nek Sani berbicara sambil menangis.

"Ibu ayahmu.... kecelakaan pesawat Za.... "

"Apa ???" kata Reza, Dimas dan mbak Sri secara bersamaan.

Reza terduduk lemas, wajahnya pucat dan mulutnya hanya bisa komat kamit sambil mengucapkan, "Innalillahi wainnailaihi rojiun."

Air matanya mengalir deras dari kedua belah pipinya.

Begitu juga dengan mbak Sri dan anaknya Dimas.

Mereka semuanya menangis histeris.

Tidak berapa lama para tetangga berdatangan karena mendengar tangisan mereka.

"Ada apa ini?" Kata salah satu tetangga yang datang.

Dengan tersedu-sedu mbak Sri menjawab, "orang tua Reza mengalami kecelakaan pesawat barusan pak."

"Innalillahi wainnailaihi rojiun." kata tetangga bersamaan.

Bu Neng dan tetangga lainnya ikut menangis.

"Memangnya pak Rusdi dan bu Kinanti pergi kemana." kata salah seorang tetangga yang datang.

"Jumat semalam mereka ke Jakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan putri dari adik pak Rusdi yaitu pak Anton.

"Tadi pagi sehabis subuh, mereka berangkat pulang." kata mbak Sri menjelaskan.

"Ayok sekarang kita bereskan semuanya." kata pak Usman yang merupakan tetangga dekat nek Sani.

"Ayok." jawab pak Budi.

Semua tetangga yang datang segera membereskan rumah dan halaman.

Ada yang membentangkan ambal dan tikar.

Ada yang menyewa teratak dan kursi-kursi untuk tamu yang datang.

Semuanya berpartisipasi dan peduli dengan keluarga nek Sani.

Nek Sani dan orang tua Reza termasuk orang yang terpandang di kampung itu.

Selain ramah, mereka juga dikenal baik dan peduli terhadap tetangga disitu.

Mereka sering memberikan bantuan pada tetangga yang lagi kesusahan.

Setelah semuanya selesai, pak Budi dan beberapa orang tetangga lainnya pergi untuk mencari tau tentang keberadaan penumpang yang mengalami kecelakaan pesawat itu.

"Ayok Za.... kita berangkat sekarang." kata pak Budi.

"Dimas ikut ya pak." kata Dimas.

"Ayok kalau mau ikut." kata pak Budi menjawab pertanyaan Dimas.

Sementara kondisi nek Sani yang sudah tua, tidak memungkinkan untuk ikut pergi.

"Mbak Sri jaga nek Sani aja ya." kata pak Budi.

"Iya pak, saya di rumah aja." kata mbak Sri.

Sejak berita duka diumumkan di mesjid, pelayat berdatangan silih berganti.

Kerabat dekat dan famili semuanya sudah pada datang, sehingga rumah nek Sani penuh dengan tamu-tamu yang melayat.

Menjelang magrib pak Budi dan rombongan pulang, tetapi jenazah belum ikut pulang karena masih harus diotopsi di rumah sakit.

"Kemungkin jenazah nanti malam baru diantar." kata pak Budi menjelaskan pada nek Sani dan mbak Sri.

Sehabis magrib tahlillan digelar.

Di kampung itu sudah terbiasa jika ada orang yang meninggal maka digelar acara doa bersama selama tiga hari berturut-turut.

Doa bersama dinamai tahlillan.

Pulang dari masjid, bapak-bapak langsung pergi ke rumah duka untuk melaksanakan tahlillan.

Pak Budi dan pak Usman menyalami pelayat yang datang untuk tahlillan.

Mereka berdua sudah seperti famili dekat dengan keluarga Reza.

Mereka berdualah yang mengurus semuanya. Mulai urusan jenazah, sampai urusan sewe menyewa teratak dan kursi.

Untunglah ada pak Budi dan pak Usman yang dengan cekatan mengurusnya.

Kalau tidak ada mereka, siapa yang mengurus semuanya.

Reza dan Dimas duduk berdampingan saat tahlillan.

Reza hanya diam, tidak ada ngomong sepatah katapun.

Hanya sesekali mulutnya komat kamit sambil membacakan ayat suci Al quran.

Selesai tahlillan, Dimas membagikan air mineral yang ada di kotak.

Air mineral itu dibeli tetangga dengan mengumpulkan sumbangan seikhlas hati.

Kebiasan di kampung itu, kalau ada orang yang meninggal semua tetangga berpartisipasi menyiapkan makanan dan minuman.

Setelah uang sumbangan terkumpul, dibelanjakan untuk membeli makanan dan minuman.

Sebagian dibeli air miniral cup, gula, copi dan bubuk teh.

Biasanya tengah malam, tamu dan tetangga yang masih di rumah duka dibuatkan copi dan teh manis panas.

"Ini pak minumnya." kata Dimas kepada salah seorang pelayat.

"Terima kasih." jawab bapak itu.

Dengan cekatan Dimas membagikan minuman kepada pelayat lain yang ikut tahlillan.

Setelah selesai talillan, sebagian ada yang langsung pulang, ada juga yang masih tetap disitu.

Biasanya yang duluan pulang, tengah malam datang lagi untuk menemani keluarga duka.

Bahkan tidak sedikit yang pulang pagi.

"Om.... ayah ibu uda gak ada." kata Reza sambil memeluk omnya.

"Yang sabar ya Za.... " kata om Anton sambil melepas pelukannya.

Om Anton baru datang dari Jakarta.

"Om tidak menyangka kejadiannya secepat ini. Padahal tadi pagi, om lah yang mengantar ayah ibumu ke bandara. Tapi om gak ada firasat apa-apa." kata om Anton.

"Ya itulah yang namanya umur, dipercepat atau diperlambat gak akan bisa. Karena itu adalah rahasia Allah, kita harus ikhlas menerimanya." kata tante Mira.

"Banyak bersabar ya Za.... ini semua sudah takdir dari Allah. Mau gak mau kita harus siap menerimanya. Dibalik ini semua pasti ada hikmahnya. Yang terpenting sekarang, selalu doa kan kedua orang tua kita agar lapang di alam sana." kata tante Mira dengan nada sedih.

"InsyaAllah akan selalu Reza doakan ayah ibu, tante." kata Reza sambil membawa om Anton dan tante Mira masuk ke dalam rumah.

Dimas juga ikut masuk sambil membawakan koper om Anton.

"Nenek makan ya." kata mbak Sri kepada nek Sani.

"Nanti aja Sri, nenek masih kenyang." kata nek Sani.

"Nenek belum makan loh dari tadi siang." kata mbak Sri lagi.

"Nanti nenek bisa sakit loh." kata mbak Sri lagi.

Segera mbak Sri memapah nek Sani ke dapur, untuk diambilkan makan.

Setelah nasi diambilkan, mbak Sri membuat teh manis panas.

Sambil makan, sesekali nenek Sani meneteskan air mata.

Kelihatan sedih yang mendalam di wajah nek Sani.

Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

Dia mengunyah makanan, tetapi pikirannya melayang entah kemana.

"Kok gak dihabiskan nasinya nek." kata mbak Sri.

"Nenek gak lapar Sri." kata nek Sani.

"Ya udahlah kalau gitu." kata mbak Sri sambil mengambil piring dari tangan nek Sani.

"Nenek habiskan teh manis panasnya ya, biar ada tenaga nenek, jadi gak lemas." kata mbak Sri lagi.

Setelah selesai makan, mbak Sri membawa nek Sani ke ruang tamu lagi.

Pelayat yang datang silih berganti.

Sebagian famili nek Sani sudah datang.

Ada yang bermalam di rumah nek Sani, ada juga yang pulang malam itu juga.

Nek Sani termasuk keluarga besar, karena banyak kemanakan dari kakak dan adiknya yang datang.

Tepat jam 23.00 wib, jenazah tiba di rumah duka dengan diantar mobil ambulance.

Begitu sirine ambulance terdengar, semua orang berdatangan.

Baik orang tua, sampai anak-anak, semuanya ingin menyaksikan jenazah yang datang.

Begitu jenazah masuk ke dalam rumah, semua pelayat yang kebetulan wanita menangis semua.

Petugas rumah sakit yang menggotong jenazah sampai sulit untuk masuk rumah duka, karena pelayat sudah pada ramai berdatangan.

Semuanya pada mau melihat lebih dekat.

Reza memeluk dan mencium jenazah ibunya, kemudian gantian jenazah ayahnya.

Reza terduduk lemas sambil memandang wajah kedua orang tuanya yang terbujur kaku dihadapannya.

Tak terasa air matanya mengalir deras.

Ia merasa seperti dalam mimpi.

Tidak pernah dibayangkan sebelumnya, kalau kejadian ini bakal menimpah dirinya.

Nek Sani sempat pingsan saat melihat jenazah anak dan menantunya.

"Ayok angkat, angkat." kata salah seorang pelayat disitu.

"Ayok kita bawa ke kamar aja." kata mbak Sri.

Segera mbak Sri dan pelayat yang disitu membawanya ke kamar.

Mbak Sri segera mencari minyak kayu putih.

Kemudian nek Sani sadar setelah minyak kayu putih digosokkan ke hidungnya.

"Ini teh hangatnya Sri." kata salah seorang tetangga yang memberikan teh hangat pada mbak Sri.

"Makasih bu Neng." kata mbak Sri pada bu Neng yang merupakan tetangga dekat nek Sani.

"Ini teh hangatnya nek." kata mbak Sri sambil menyodorkan teh hangat ke mulut nek Sani.

Kemudian nek Sani meminumnya dengan bantuan mbak Sri memegang gelas yang telah terisi air putih hangat.

"Sri kusukin ya nek." kata mbak Sri sambil mengusukin badan nek Sani.

"He,e.... " kata nek Sani dengan suara lemas.

Sani mengusukin badan nek Sani, kemudian kaki, tangan dan akhirnya nek Sani tertidur pulas.

Sejak menerima berita tadi pagi, nek Sani gak selera apa-apa. Makan siang pun gak.

Padahal mbak Sri sudah bolak balik mengajak makan, tapi nek Sani gak mau karena gak selera.

Dari tadi kerjanya hanya nangis aja.

Itulah yang membuat nek Sani lemas.

Bukan hanya pikiran aja yang capek, tapi badan juga capek.

Apalagi dengan usia yang sudah tidak muda lagi.

Membuat nek Sani gampang capek.

Setelah nek Sani tertidur pulas, mbak Sri kembali ke ruang tamu duduk di samping jenazah sambil membaca Al quran untuk dihadiahkan pada jenazah.

Setelah Reza selesai membaca Al quran, mbak Sri menyuru Reza makan.

"Za.... sana kamu makan. Nanti masuk angin loh. Dari tadi siang kamu kan belum makan." kata mbak Sri pada Reza.

"Iya mbak bentar lagi." kata Reza pada mbak Sri.

"Mas, ajak Reza makan ke belakang sana." kata mbak Sri pada Dimas anaknya

"Za.... ayok kita makan. Nanti kamu sakit loh." kata Dimas sambil menarik tangan Reza.

Setelah mereka dua berdiri, Dimas merangkul pundak Reza sambil membawanya ke dapur.

Reza hanya ngikut saja.

"Dimakan ya Za." kata Dimas sambil menyodorkan sepiring nasi.

"Atau aku suapin." kata Dimas sambil menggoda.

Reza melirik sambil tersenyum.

Memangnya anak kecil, yang selalu disuapin kalau makan, batin Reza dalam hati.

"Ini teh manisnya tuan." kata Dimas sambil menggoda.

Reza tersenyum sambil memasukkan sendok demi sendok nasi ke mulutnya.

"Kamu gak ikut makan?" kata Reza memandang Dimas.

"Siap tahlillan tadi aku uda makan. Kamu tadi kuajak makan gak mau." kata Dimas pada Reza.

"Oh.... " kata Reza sambil mengingatnya.

"Aku juga gak nafsu makan, tapi kalau gak dipaksakan nanti sakit, bisa masuk angin." kata Dimas.

Reza tidak merasakan nikmatnya makanan yang dimakannya, karena pikirannya melayang entah kemana.

Padahal lauk hari ini ikan mas diarsik.

Biasanya itu menu favorit Reza.

Kalau mbak Sri sudah masak arsik ikan mas, biasanya Reza makan sampe dua piring.

Tapi hari ini karena pikirannya lagi sedih, nafsu makanpun hilang.

"Kok gak dihabiskan makanannya tuan." kata Dimas sambil bergurau.

"Teh manisnya dihabiskan ya tuan." kata Dimas sambil mengambil piring Reza yang masih tersisa nasi.

Reza hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa.

Sampai tengah malam, pelayat masih belum berpulangan.

Sekitar jam 02.00 wib, barulah pelayat yang jauh satu persatu berpulangan.

Tinggalah famili dan tetangga dekat yang belum pulang.

Jam 04.00 wib, tetangga mulai berpulangan karena sudah dekat subuh.

Keesokkan harinya sekitar jam 08.00 wib, guru dan tema-teman sekolah Reza berdatangan.

Melihat kedatangan guru dan teman-teman Reza, nek Sani tak kuasa menahan tangis. Begitu juga dengan Reza.

"Banyak bersabar ya Reza. Ibu yakin, kamu anak yang kuat, pasti bisa menerima ini semua. Ini semua sudah suratan dari Allah. Setiap yang bernyawa pasti mengalami yang namanya mati. Hari ini giliran orang tua kamu, besok mungkin giliran kita. Makanya kita harus siap. Rajin sholat dan selalu doa kan orang tua kita. Karena yang bisa menolong kedua orang tua kita, salah satunya doa anak yang sholeh." kata bu Irma selaku guru agama di sekolah Reza.

"Makasi ya bu." kata Reza dengan suara parau karena banyak menangis.

Rekan kerja ayahnya juga banyak yang datang.

Apalagi jabatan ayah Reza sudah wakil manager, tentu anak buahnya cukup banyak.

Begitu juga dengan pelanggan-pelanggan keripik bu Kinanti, ibu Reza.

Hampir semua pelanggan keripik yang setiap sorenya datang ngambil keripik pesannannya, pada berdatangan untuk melayat.

Rumah dan pekarangan rumah nek Sani dipadati oleh pelayat.

Tepat jam 09.00 wib, jenazah diberangkatkan ke mesjid karena sudah tidak ada lagi yang ditunggu.

Semua famili dari pihak bu Kinanti dan pak Rusdi sudah berdatangan.

Sebelum jenazah dibawa ke mesjid untuk disholatkan, terlebih dahulu diadakan acara pemberangkatan.

Acara pertama pidato dari toko masyarakat, kemudian rekan kerja pak Rusdi, guru dari sekolah Reza, dan terakhir dari pihak keluarga yang diwakili oleh om Anton.

Kemudian jenazah dibawa ke mesjid untuk disholatkan.

Nek Sani sambil dituntun mbak Sri pergi ke mesjid.

Kebetulan letak mesjid, dua rumah dari rumah Reza, jadi tidak terlalu jauh untuk jalan.

Tante Mira dan kemanakan nek Sani lainnya berjalan di belakang.

Sedangkan Reza dan Dimas sudah berjalan di depan sambil memanggul kerenda jenazah.

"Assalamualakum warohmatullahi wabarokaatu." kata imam sambil memutarkan kepala ke kanan.

"Assalamualakum warohmatullahi wabarokaatu." kata imam sambil memutarkan kepala ke kiri.

Setelah salam, kemudian doa bersama.

Setelah sholat jenazah selesai, kerenda siap untuk di bawa ke kuburan.

Reza ikut memanggul kerenda ibunya.

Sedangkan Dimas ikut memanggul kerenda ayahnya.

Setelah kerenda jenazah dipanggul,

"Alfaa.... teha." kata pak Bayu selaku ustad di kampung itu.

Yang manggul keranda jenazah segera berjalan satu langkah, kemudian membaca surat Al fateha.

Kemudian langkah kedua, ketiga seperti itu lagi membaca Surat Al fateha.

Setelah tiga kali membaca Al fateha, kerenda jenazah langsung digotong menuju kuburan.

Kebetulan jarak kuburan dengan mesjid dekat, sehingga kerenda cukup dipanggul saja.

Tidak sedikit pelayat yang ikut ke kubaran.

Semua tetangga, kerabat dan sanak famili melepas kepergian orang tua Reza dengan perasaan sedih yang mendalam.

Perkenalan dengan Viola

"Reza pergi dulu ya nek." kata Reza sambil mencium tangan nek Sani.

"Hati-hati ya Za... kalau naik kendaraan jangan ngebut-ngebut, kalau sudah pulang sekolah langsung pulang, jangan pergi kemana-mana." pesan nek Sani kepada cucunya.

"Iya loh nek, Reza pasti pulang tepat waktu." kata Reza sambil terburu-buru pergi.

"Dimas, ayok kita pergi." kata Reza memanggil Dimas.

Tidak ada jawaban dari Dimas, kemudian Reza berjalan mendekati rumah Dimas.

"Mas, kamu uda siap." kata Reza setelah dekat pintu rumah Dimas.

Dari dalam rumah Dimas, terdengar suara menyahut, "bentar ya?"

Tidak berapa lama, muncullah Dimas dengan terburu-buru.

"Maaf ya, tadi aku bangun kesiangan." kata Dimas sambil berjalan mendekati Reza.

"Kita naik sepeda motor saja ya." kata Reza sambil mengeluarkan sepeda motor dari garasi di samping rumahnya.

Sejak orang tua Reza meninggal, dia ke sekolah sekarang naik sepeda motor ayah ibunya.

Kadang naik sepeda motor ayahnya CBR, kadang naik sepeda motor ibunya Scopi.

Padahal waktu kedua orang tua nya masih hidup, dia tidak diperbolehkan naik kendaraan ke sekolah oleh ibunya.

"Sekolah kamu kan dekat dari rumah kita, jadi gak perlu naik kendaraan. Dari rumah juga nampak sekolah kamu." itulah kata-kata ibunya yang masih diingat Reza saat Reza minta dibelikan sepeda motor.

"Kalau kamu diberi kendaraan, bukan makin cepat pulang, tapi makin lama pulangnya karena main-main dulu." ayahnya menambahkan.

Kata-kata kedua orang tuanya itu masih sering diingat Reza saat dia menaiki kendaraan orang tuanya.

"Ayok kita berangkat." kata Dimas membuyarkan lamunan Reza.

Dimas segera naik ke sepada motor Reza dan keduanya pun berangkat ke sekolah.

Sejak kepergian orang tua Reza, nek Sani lah yang bertanggung jawab terhadap Reza.

Nek Sani juga bertanggung jawab terhadap usaha keripik bu Kinanti, ibunya Reza.

Padahal usia nek Sani sudah tidak muda lagi. Seharusnya nek Sani sudah gak perlu kerja lagi. Tapi sayang kalau usaha bu Kinanti tidak dilanjutkan.

Mbak Sri lah sekarang yang dipercaya memegang usaha keripik oleh nek Sani.

Mbak Sri sudah dianggap seperti anak nek Sani sendiri.

Sejak suami mbak Sri meninggal 12 tahun yang lalu, mbak Sri bekerja di rumah nek Sani.

Saat itu Dimas masih kecil berusia 4 tahun.

Karena kerajinan dan kejujuran mbak Sri lah makanya bu Sani sayang dan selalu memperhatikan mbak Sri dan anaknya Dimas.

Rumah yang sekarang ditempati mbak Sri dan Dimas juga dibuatkan nek Sani dan bu Kinanti.

Dulu rumah itu bekas gudang tempat menyimpan bahan baku keripik, berupa ubi kayu, ubi jalar, dan keladi.

Setelah dapur pembuatan keripik diperbesar oleh bu Kinanti, gudang yang dulunya tempat menyimpan bahan baku dijadikan rumah oleh bu Kinanti untuk mbak Sri dan anaknya Dimas.

Mulai saat itu mbak Sri dan Dimas tinggal di rumah itu, sehingga tidak menyewa lagi.

Sejak saat itu hubungan Reza dan Dimas semakin dekat.

Mereka selalu main bersama, ngerjakan tugas sekolah bersama.

Hanya Reza agak manja dan malas, sehingga kalau ada PR di sekolah, dia sering nyontek saja dari Dimas.

Sejak kedua orang tuanya meninggal, Reza menjadi anak yang mandiri, rajin sholat, dan tidak manja.

"Mas... lihat itu ada cewek cantik." kata Reza setelah turun dari sepeda motornya.

"Mana." kata Dimas sambil melihat kanan kiri.

"Itu yang lagi jalan dekat meja piket." kata Reza sambil menunjuk ke meja piket.

Subhanallah cantiknya, batin Dimas.

"Yok kita dekati." kata Reza sambil menarik tangan Dimas. Dimas nurut saja.

"Murid baru ya, kenalan dong." kata Reza.

Kemudian gadis itu berhenti, dan menoleh kepada Reza.

"Kenalkan, aku Reza dan ini temanku Dimas." kata Reza sambil menyodorkan tangannya.

Kemudian gadis itu membalasnya dan berkata, "aku Viola baru pindah dari kota."

Saat pandangan gadis itu tertuju pada Dimas, jantung Dimas berdebar tak menentu. Seperti ada geteran cinta di hati Dimas.

Dimas jadi salah tingkah dibuatnya.

Sementara gadis itu hanya tersenyum datar.

Viola gadis yang sempurna kecantikannya. Hidungnya mancung, matanya bulat dengan bulu mata yang lentik, kulit putih bersih. Dengan rambut yang bergelombang sebatas bahu, menambah sempurna kecantikannya.

Selama ini Viola dan orang tuanya tinggal di kota. Ayah Viola mempunyai usaha percetakan.

Sejak neneknya meninggal dunia, mereka pindah ke kampung menempati rumah neneknya.

Neneknya termasuk orang yang kaya di kampung itu, karena tanah dan sawah nek Surtik cukup luas.

"Kenapa kamu pindah ke kampung? Bukankah lebih enak sekolah di kota." kata Reza pada Viola.

"Sebulan yang lalu nenekku meninggal dunia. Rumahnya gak ada yang nempati. Kebetulan papa hanya dua bersaudara. Adiknya tante Irna menikah dengan orang Jerman, dan sekarang tinggal di Jerman. Tinggal papa lah yang ada dekat sini. Jadi sekarang papa lah yang tinggal di rumah nenek." kata Viola.

Gak terasa mereka sudah sampai di depan kelas masing-masing.

Viola kelas XI Mipa-2, Reza kelas XI Mipa-1, dan Dimas kelas XI Mipa-5.

Saat istirahat berlangsung, Reza menjumpai Viola.

"Yok ke kantin." kata Reza.

"Aku masih kenyang Za, kamu aja sendiri." kata Viola.

"Gak enaklah kalau sendiri." kata Reza lagi.

"Kalau gak kita duduk di taman yok." kata Reza.

Viola segera berdiri dan mengikuti Reza berjalan ke taman yang ada di perkarangan sekolah.

Saat mereka berjalan melewati kelas Dimas, Dimas melihat dari dalam kelas.

Hati Dimas rasanya sakit melihat Viola berjalan dengan Reza.

Kenapa hatiku sakit ya, padahal aku gak punya hubungan apa-apa dengan Viola, batin Dimas dalam hati.

Saat bel masuk berbunyi, Reza dan Viola kembali ke kelas mereka dengan melewati kelas Dimas.

Kebetulan Dimas sedang berdiri di depan pintu.

Saat mata Dimas bertatapan dengan Viola, jantung Dimas kembali berdetak kencang.

Viola melewati Dimas sambil tersenyum, sedangkan Reza hanya menyapa, "yok Mas." Kata Reza pada Dimas.

Sambil berjalan menuju bangkunya, Dimas sambil berpikir, kenapa perasaanku seperti ini, batin Dimas dalam hati.

Padahal sebelumnya aku tidak pernah merasakan hal seperti ini.

Apakah ini yang namanya cinta, batin Dimas.

Masih terbayang dalam ingatan Dimas, saat bertatapan dengan Viola.

Gadis cantik dengan kulit putih mulus, mata bulat dengan bulu mata yang lentik. Apalagi kalau sedang tersenyum, menambah sempurna kecantikannya.

Padahal di sekolah Dimas bayak cewek yang cantik-cantik, tapi perasaan Dimas beda saat bertatapan dengan Viola.

"Sudah pulang sayang." kata mama Viola dari dalam kamarnya.

"Sudah ma." kata Viola sambil masuk kamarnya untuk ganti pakaian.

"Bagaimana dengan sekolah kamu yang baru ini, enak kan?" kata mama Viola setelah keluar dari kamar.

"Enak kok ma, temannya juga baik-baik, dan ramah-ramah." kata Viola.

"Syukurlah kalau begitu." kata mama Viola lagi.

"Hanya gurunya agak sedikit galak." kata Viola sambil tersenyum.

"Memang harus seperti itu, kalau tidak galak nanti disepelekan siswanya." lanjut mamanya lagi.

Sejak nenek Viola dari papa nya meninggal dunia, orang tua Viola pindah ke rumah neneknya yang sudah kosong.

Awalnya mama Viola agak berat saat diajak pindah ke kampung menempati rumah mertuanya.

"Sayang rumah kalau tidak ditempat ma, bisa cepat rusak." kata papa Viola pada istrinya saat itu.

"Iya memang, tapi kan jauh Viola sekolahnya. Bisa-bisa kecapean di jalan nantinya. Papa juga jauh kerjanya." kata istrinya.

"Kita pindahkan saja Viola dari sekolahnya. SMA negeri disana kan dekat rumah ibu, sekalin kita gampang mengawasinya." kata papa Viola lagi.

"Benar juga ya pa, mama gak suka Viola bergaul terlalu dekat dengan Fanji. Fanji itu anak berandalan, gak ada sopan santunnya." kata mama Viola.

Pak Rudi dengan tekun mendengar penjelasan istrinya.

"Papa tau, waktu Viola kerja kelompok di rumah kita, semua kawannya sibuk kerja, eh.... si Fanji hanya cerita aja. Sudah gitu, dia pula yang mengatur kawan-kawannya. Mama benar-benar gak suka loh pa sama anak itu." kata mama Viola menjelaskan.

"Ya seperti itulah tingkah anak muda sekarang. Makanya, kan cocok kalau kita pindah ke rumah ibu. Biar Viola gak berhubungan lagi dengan Fanji. Karena belakangan ini papa lihat Viola dekat dengan Fanji. Buktinya pulang sekolah sering diantar Fanji." lanjut pak Rudi menjelaskan.

Pernah Viola dinasehati mamanya supaya jangan terlalu dekat dengan Fanji, tapi Viola tidak terima.

"Vi.... kamu jangan terlalu dekat dengan Fanji. Mama lihat Fanji itu sifatnya gak bagus loh. Buktinya setiap kali dia pulang ngantar kamu dari diskusi kelompok, mama ada di teras tapi dia gak pernah mau negur mama. Dia pergi begitu saja, gak ada sopan santunnya pada orang yang tebih tua." kata mamanya pada Viola.

"Mama tau apa sih tentang Fanji. Kita lihat seseorang itu jangan lihat dari luarnya saja. Kita kan gak tau isi dalamnya seperti apa." dengan sedikit kesal Viola ngomong kepada mamanya.

Itulah percakapan Viola dengan mamanya dua bulan yang lalu.

Sejak kenal Viola, Reza dan Dimas pergi dan pulang sekolah jalan kaki.

Pergi sekolah mereka selalu bertiga, begitu juga pulangnya.

Mereka menunggu Viola di depan mesjid.

Ternyata Reza dan Dimas sama-sama menyukai Viola.

"Kami ada tugas menggambar peta loh." kata Viola membuka percakapan ketika berangkat sekolah.

"Kami juga." kata Reza dan Dimas bersamaan.

"Kita kan guru geografinya sama, ya sudah pasti tugasnya juga sama." kata Reza pula.

"Mana aku gak pintar gambar." kata Viola lagi.

"Yauda, biar aku yang gambarkan." kata Dimas pada Viola.

"Aku juga bisa kalau hanya menggambar peta." kata Reza dengan agak sombong.

Padahal biasanya Reza paling malas kalau menggambar peta. Karena mau cari simpati Viola, pura-pura dia pintar.

"Viola, biar aku saja yang menggambarkan petamu." kata Reza lagi.

"Dimas sajalah, karena Dimas yang duluan nawarkan jasa." kata Viola sambil melirik wajah Dimas.

Dengan dilirik Viola seperti itu, hatinya berdebar kencang.

"Bantuin aku menggambar peta ya Mas." kata Viola pada Dimas.

"Ok." jawab Dimas.

"Pulang sekolah kita kerjakan di rumahku ya

." kata Reza lagi.

"Ok." kata Viola dan Dimas bersamaan.

Pulang sekolah, Reza, Dimas, dan Viola berjalan menuju rumah nek Sani tempat tinggal Reza juga.

Dari pagi tadi mereka sudah merencanakan menggambar peta bersama.

Dengan cekatan Dimas menggambar peta milik Viola.

Sesekali Viola melirik wajah Dimas. Dia tidak menyangka gambar Dimas bisa sebagus itu.

Dimas juga curi-curi pandang kepada Viola. Setiap bertatapan, Viola tersipu malu sedangkan Dimas jantungnya berdebar tidak menentu.

Tetapi Dimas pandai menyimpan perasaan. Walaupun dia suka, tetapi tidak terlalu dinampakkan.

Kalau Reza, nampak kali kalau dia suka pada Viola.

Tidak berapa lama, nek Sani keluar dari kamarnya.

"Lagi gambar apa kalian." kata nek Sani setelah melihat Reza, Dimas dan Viola sibuk menggambar.

"Gambar peta nek. Oh ya nek, ini Viola murid baru di sekolah kami." kata Reza pada neneknya.

Kemudian Viola berdiri dan mencium tangan nek Sani.

"Dimana tinggalnya nak." kata nek Sani.

"Di rumah almarhumah nek Surtik nek." kata Viola sambil melanjutkan menggambarnya.

"Oh..... berarti kamu anaknya Rudi?" kata nek Sani lagi.

"Iya nek." kata Viola lagi.

"Nenek ke dapur dulu ya." kata nek Sani sambil berjalan ke dapur.

"Ini minumnya Vi." kata Reza sambil memberikan minum pada Viola selaku tamu di rumahnya.

"Kalau kamu haus Mas, ambil aja minum di belakang ya, kamu kan tau jalan menuju ke dapur." kata Reza sambil bergurau pada Dimas.

Dimas hanya tersenyum.

"Kamu aku antarkan pulang ya." kata Reza setelah gambar peta Viola selesai digambar Dimas.

"Gak perlu repot-repot, aku pulangnya jalan aja, lagian rumahku kan dekat dari sini." kata Viola sambil berdiri.

"Kalau mau jalan, ya sudah biar aku temani." kata Dimas tak mau kala.

"Gak ngerepotkan." kata Viola.

"Kenapa merepotkan." kata Dimas sambil berdiri dan melangkah keluar.

Setelah pamit dengan nek Sani, Viola pun diantar pulang oleh Dimas.

Sepanjang jalan jantung Dimas berdetak tak menentu.

Karena disampingnya ada orang yang sedang ditaksirnya.

Dimas melangkah dengan pelan-pelan, supaya perjalanannya cukup lama,

supaya bisa berlama-lama ngobrol dengan Viola.

Kalau jalan bertiga dengan Reza, kan tidak seindah ini, batin Dimas dalam hati.

Sekali-sekali Dimas curi pandang pada Viola.

Saat mata mereka bertatapan, keduanya tersipu malu.

Wajah Dimas merah padam, tangannya dingin. Itulah yang dirasakan Dimas kalau dekat Viola.

Kalau di sekolah, setiap Dimas akan mengajak Viola ke kantin, eh... uda keduluan Reza.

Kebetulan kelas Reza disamping kelas Viola, jadi begitu istiharat Reza langsung mendatangi Viola.

Setiap Dimas melihat Viola jalan berdua dengan Reza, hatinya sakit.

Sementara belum ada ikatan antara mereka berdua.

Kenapa hatiku sakit, gumam Dimas dalam hati.

Seperti kejadian barusan yang dialami Dimas. Saat istirahat, Dimas keluar kelas dan hendak mengajak Viola ke kantin, tetapi sudah keduluan Reza.

Dimas melihat Reza dan Viola jalan berdua sambil tertawa dan saat melewati depan kelas Dimas, "yok Mas ke kantin," ajak Reza.

"Ayok." kata Viola lagi.

Dimas hanya menggeleng, dan menjawab "gak lah." kata Dimas pada mereka berdua. Padahal dalam hatinya sakit melihat mereka jalan berdua.

Tak terasa sudah sebulan Reza dan Dimas kenal Viola.

Persahabatan mereka semakin hari semakin dekat. Kemana-mana selalu bertiga.

Bertemu Fanji

Tidak terasa sudah sebulan Viola menjadi murid baru di sekolah Reza dan Dimas.

Tentu sudah banyak temannya.

Hampir semua teman Viola menyukainya. Hanya ada beberapa cewek di sekolahnya yang syirik dan tidak suka sama Viola. Mungkin karena kecantikannya.

Karena kecantikannya, banyak cowok-cowok yang naksir padanya dan berusaha mendekatinya.

Salah satunya Farhan teman sekelasnya yang tergila-gila padanya.

Dia selalu berusaha mencari simpati Viola.

Tetapi Viola tidak pernah menanggapinya.

Pada saat pelajaran renang, Farhan menawarkan diri pada Viola untuk naik sepeda motor bersamanya.

Kebetulan di kampung itu ada tempat pemandian yang air nya berasal dari mata air. Air nya sangat jernih dan segar. Tempatnya juga indah dan nyaman.

Setiap minggu banyak pendatang yang datang dari luar kota.

Biaya masuk ke pemandian itu juga sangat murah.

Setiap anak sekolah praktek renang saat jam Penjas pasti di tempat pemandian itu.

Begitu juga dengan SMA baru Viola.

"Vi... nanti pergi ke tempat pemandian itu sama aku saja ya, biar aku bonceng." kata Farhan pada Viola.

Kebetulan hari ini jam 1-2 mereka praktek renang.

"Maaf ya Farhan. Aku, Nisa, Putri, Adel, dan teman cewek lainnya pada mau naik angkot saja. Kami sudah janjian. Kan gak enak kalau sudah janji tapi tidak ditepati." kata Viola menghindar.

Viola tau kalau Farhan naksir berat, tapi Viola tidak suka, makanya Viola tidak pernah memberi kesempatan pada Farhan.

Setelah mereka sampai di tempat pemandian, dengan segera mereka ganti pakaian untuk renang.

Pakaian yang boleh dipakai, pakaian renang yang sopan. Terutama pakaian untuk wanita.

Tidak boleh yang pendek yang nampak paha dan betis. Yang diperbolehkan yang sopan yaitu pakaian renang muslim.

Kalau pakaian renang muslim biasanya baju celananya, panjang dan tidak kelihatan bentuk dada dan pantat karena ada rimpel tambahannya.

"Sudah selesai semuanya ganti baju, kalau sudah selesai biar kita pemanasan dulu." kata Pak Asmadi pada Viola dan teman-temannya.

"Sudah pak." kata Viola dan teman-temannya sambil berjalan ke tempat pemandian.

Kemudian mereka semua mulai latihan berenang.

Setelah selesai berenang, semuanya istirahat sambil membuka bekal yang dibawa dari rumah.

"Kamu bawa bekal apa Vi." kata Adel pada Viola.

"Ini nasi dengan telur dadar." jawab Viola.

"Aku juga lauknya telur, tapi telur mata sapi." kata Putri.

"Kalau aku lauknya sambal ikan nila." kata Nisa.

"Aku pake sambal teri dan kacang tanah." kata Adel.

"Kita tukar-tukaran lauknya ya." kata Viola.

"Ok." jawab mereka kompak.

Kebetulan Adel, Putri dan Nisa teman kompak Viola. Mereka berempat selalu bersama-sama. Sampai untuk makan pun duduknya harus berdekatan.

Waktu untuk istirahat hanya 15 menit. Setelah selesai istirahat, semuanya kembali ke sekolah.

Jarak dari tempat pemandian ke sekolah tidak terlalu jauh, lebih kurang 1 km.

Setelah sampai sekolah, tidak berapa lama masuk jam ke-3. Semuanya segera masuk kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya.

Saat bel pulang berbunyi, segera semua murid keluar kelas. Semuanya ingin cepat-cepat pulang.

Saat Viola sampai gerbang, dia dikejutkan oleh suara Fanji yang memanggilnya.

"Viola !" panggil Fanji di dekat gerbang.

Viola segera mencari suara yang memanggilnya.

Betapa terkejutnya dia, ternyata yang memanggil adalah Fanji.

"Ngapain kamu disini Nji." kata Viola sambil berjalan mendekati Fanji.

"Ayok naik." kata Fanji.

Karena Viola memang cinta sama Fanji, tanpa pikir panjang Viola pun segera naik sepeda motor Fanji.

"Kita mau pergi kemana Nji." kata Viola sambil memegang erat pinggang Fanji.

"Kita ke kota makan bakso di tempat biasa." jawab Fanji.

"Aduh Nji, aku takut mama ku pasti marah. Pulangnya pasti lama karena dari sini ke ke kota setengah jam, belum lagi pulang kemari." kata Viola dengan perasaan ragu karena khawatir ortunya akan marah.

Apalagi Viola tau kalau orang tuanya tidak menyukai Fanji.

"Bilang aja kamu belajar kelompok dengan teman kelasmu." kata Fanji ngajari Viola berbohong.

Akhirnya Viola nurut saran dari Fanji.

Kira-kira 25 menit mereka pun sampai ke warung bakso.

"Mo pesan apa dek." kata pelayan bakso pada Viola dan Fanji.

"Seperti biasa ya mbak." jawab Viola.

Tidak berapa lama pelayan pun datang membawa dua mangkok bakso.

"Ini dek baksonya." kata pelayan sambil memberikan bakso.

"Terima kasih ya mbak." jawab Viola.

Saat Fanji akan memasukkan bakso ke mulutnya, dilihat baksonya belum dikasi daun seledri. Mungkin pelayannya lupa masukkan.

Dengan nada ketus, dan suara sedikit tinggi, Fanji memanggil pelayan tadi.

"Hei pelayan, bakso apa ini, mana daun seledrinya." kata Fanji dengan nada kesal.

Spontan Viola yang mendengar itu terkejut dan agak tersinggung karena Fanji terlalu sepele terhadap pelayan.

"Mungkin mbak itu lupa, maklum aja karena kan banyak yang pesan." kata Viola pada Fanji yang sedang emosi.

Pelayan segera datang menghampiri mereka.

"Ada apa dek." kata pelayan itu.

"Lihat ini, daun seledrinya mana!" kata Fanji dengan agak kesal.

"Maaf dek, saya lupa." kata pelayan itu sambil mengambil mangkok Fanji .

"Punya saya gak apa-apa gak ada daun seledrinya." kata Viola ketika melihat pelayan akan mengambil mangkoknya juga.

Tidak berapa lama, pelayan itu datang dengan membawa bakso yang telah diberi daun seledri.

Ternyata apa yang dibilang mama betul, sifat Fanji tidak bagus. Tidak ada sopan santunnya pada orang yang lebih tua. Omongannya juga kasar. Saat ngomong tadi nadanya agak tinggi sementara lawan bicaranya orangnya lebih tua dari dia.

Mama, maafkan Viola ya. Viola tidak menuruti kata mama. Gimana kalau mama tau aku pergi dengan Fanji, batin Viola sambil menyesali tindakan yang sudah dilakukan.

Dia pergi dengan Fanji , tetapi menelpon mama tadi mau kerja kelompok.

"Ma ....Viola sore baru pulang ya, karena Viola mau tempat teman ada tugas kelompok." itulah kata-kata yang diucapkan Viola saat akan pergi tadi. Ini semua ide Fanji supaya Viola bisa pergi dengan Fanji tetapi harus membohongi mama.

Cepat-capat Viola menghabiskan baksonya supaya dia bisa cepat pulang. Karena batin Viola tidak tenang karena sudah berbohong.

"Yok kita pulang." kata Viola ketika melihat Fanji selesai menghabiskan baksonya. Sementara bakso Viola tidak habis karena pikirannya tidak tenang.

Hal ini disebabkan dia sudah membohongi mama, dan sudah mulai terbuka mata hatinya melihat kelakuan Fanji barusan.

"Tapi baksonya belum habis." kata Fanji sambil melihat mangkok bakso Viola.

"Aku uda kenyang Nji." kata Viola lagi.

"Nantilah, aku kan masih kangen sama kamu. Kita kan sudah lama tidak ketemu." kata Fanji sambil tersenyum pada Viola.

Viola semakin muak lihat wajah Fanji.

Sambil berdiri dia berkata. "Ya sudahlah biar aku pulang duluan."

Kemudian Viola berjalan ke meja kasir sambil membayar bakso yang telah mereka makan.

Sudah menjadi kebiasan mereka, kalau makan bakso pasti Viola yang bayar.

Karena Viola cinta berat sama Fanji, dia rela mengeluarkan uang untuk membayar bakso setiap mereka kemari.

Tapi sejak hari ini rasa cinta di hati Viola sudah mulai luntur ketika melihat tingkah laku Fanji yang sepele terhadap pelayan.

Pak Rudi papa Viola masih belum pulang dari kerjanya di percetakan miliknya.

Dia masih menunggu datangnya bahan baku berupa kertas.

Sambil menunggu bahan baku datang, dia duduk sambil menonton TV di ruang kerjanya.

"Tok-tok." terdengar pintu ruang kerja pak Rudi diketuk.

"Masuk." kata pak Rudi.

Bi Ijah pelayan di percetakan pak Rudi masuk.

"Bapak mau minum apa, biar saya buatkan." kata bi Ijah.

"Gak usah bik, bentar lagi saya mo pulang kok." kata pak Rudi.

"Apakah neng Viola sudah mau pulang dari les nya pak." kata bi Ijah pada pak Rudi.

"Memangnya Viola les apa, saya kok gak tau bik." kata pak Rudi dengan sedikit heran.

"Loh.... bukanya bapak nunggu neng Viola pulang les, makanya bapak masih disini. Karena tadi waktu saya beli gula di toko sebrang sana, saya lihat neng Viola dibonceng temannya. Saya pikir dia mau pergi les sama temannya itu." kata bi Ijah menjelaskan.

"Temannya laki-laki atau perempuan bi." tanya pak Rudi penuh curiga.

"Temannya laki-laki yang biasa bonceng dia pak." jawab bi Ijah lagi.

Berarti si Fanji ini, batin pak Rudi dengan sedikit emosi.

"Permisi ya pak." kata bi Ijah sambil menutup pintu ruangan pak Rudi.

Setelah bi Ijah keluar, pak Rudi segera menelpon istrinya.

"Ma, Viola uda pulang sekolah." kata pak Rudi saat menelepon istrinya.

"Apa, dia ada tugas kelompok." kata pak Rudi lagi.

"Papa baru dapat info kalau Viola tadi ada di kota dibonceng laki-laki yang tidak lain si Fanji." kata pak Rudi menjelaskan.

"Kalau nanti dia pulang, tanyakan pada dia. Kenapa dia bohongi mama, bilang kerja kelompok, padahal pergi dengan Fanji." kata pak Rudi lagi.

Kemudian pak Rudi menutup teleponnya.

Dia tidak menyangka, kenapa Viola tega membohongi mamanya hanya karena seorang Fanji.

Padahal dia sudah berjanji pada mamanya kalau tidak berhubungan lagi dengan Fanji.

Tepat jam 17.00 wib Viola sampai di rumah.

Tetapi dia diturunkan Fanji di simpang empat jalan mau ke rumahnya, bukan di depan rumahnya. Karena takut kalau sampai ketahuan orang tua Viola.

Ketika dia buka pintu rumahnya, mamanya lagi ada di kamar.

Dia segera masuk kamarnya karena takut diinterogasi mamanya.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar kamar.

"Tok-tok, Viola... " terdengar suara mama memanggil dari luar kamar.

"Iya ma." jawab Viola sambil berjalan menuju pintu.

"Coba kamu jelaskan pada mama, kamu tadi pergi kemana." kata mama dengan nada agak marah setelah dia masuk kamar Viola.

"Tempat teman ngerjakan tugas kelompok ma." jawab Viola dengan sedikit ragu.

Dia berpikir dalam hatinya, apakah mama tau sebenarnya dia sudah berbohong.

Gimana kalau mama sampai tau. Hatinya tidak tenang memikirkannya.

"Mama gak pernah ngajari kamu berbohong Viola.Tapi kenapa kamu tega bohongi mama. Mama sangat kecewa dengan kamu Viola." jelas mama.

Viola terdiam dan merenung. Kenapa mama kok tau. Setelah selesai mama ngomong panjang lebar, Viola memeluk mama dan menangis sejadi-jadinya.

Dia menceritakan kejadian semuanya dan berjannji untuk tidak mengulangi perbuatannya.

"Yang terpenting sekarang, kamu sudah sadar, dan sudah terbuka mata hati kamu." kata mama sambil mengelus kepala anak gadisnya.

Tidak berapa lama papa Viola pun pulang dari kerjanya.

"Mana Viola." kata papa dengan nada marah.

"Sabar papa, dia sudah menceritakan semuanya. Papa gak perlu emosi seperti ini. Nanti kumat jantung papa loh." kata istrinya sambil ngajak masuk ke kamar untuk mandi dulu biar seger.

Setelah selesai mandi, mama pun menjelaskan semuanya pada papa. Perlahan emosi papa mulai reda.

Saat dilihat emosi suaminya mulai redah, mama pun segera mengajak papa keluar untuk menasehati Viola.

Seperti biasa, setiap pagi Reza, Dimas dan Viola pergi ke sekolah bertiga.

"Semalam kami kok gak ada lihat kamu saat pulang sekolah Vi." kata Reza memulai pembicaraan.

"Iya Vi, kamu semalam pergi kemana." kata Dimas.

"Oh.... aku semalam buru-buru pulang karena perutku sakit." jawab Viola dengan sedikit ragu.

"Oh gitu." jawab Reza dan Dimas bersamaan.

"Tapi sekarang sudah sembuh kan?" kata Reza sambil melihat Viola.

"Alhamdulillah sudah kok." jawab Viola sambil tersenyum.

"Syukurlah kalau sudah sembuh." kata Dimas lagi.

"Kenapa mata kamu kok sedikit bengkak." kata Reza lagi sambil menunjuk mata Viola yang sedikit bengkak.

Kejadian semalam siang membuat Viola nangis cukup lama. Dia menangis karena menyesali perbuatannya sudah mengecewakan kedua orang tuanya.

"Oh ini.... aku tadi malam nangis. Novel yang kubaca sedih sekali ceritanya." kata Viola bohong.

Ya Allah.... aku sudah berbohong lagi, batin Viola dalam hati.

""Nanti ceritan sama kami ya isi novelnya." kata Dimas sambil bergurau.

"Aku gak suka loh baca novel. Karena cerita novel panjang kali, capek bacanya." kata Reza lagi.

"Sama.... aku juga." kata Dimas lagi.

"Baca dalam hati gak ngeluarkan tenaga kok capek sih." jawab Viola.

"Maksudnya, capek matanya baca terus." kata Reza lagi.

Tidak terasa, mereka sudah sampai depan kelas Viola. Kemudian mereka bertiga berpisah dan segera masuk ruang kelasnya masing-masing.

Sampai dalam kelas, Viola disambut dengan pertanyan Farhan yang selalu mau tau tentang Viola.

Walaupun Viola tidak pernah menanggapi cinta Farhan, Farhan tetap semangat mendekati Viola. Dia berharap suatu saat Viola akan menerimanya.

"Hai Viola.... semalam aku lihat kamu dibonceng cowok. Siapa cowok itu Vi." kata Farhan.

"Memangnya kenapa." jawab Viola dengan nada ketus.

"Ya gak ada. Aku hanya ingin tau saja." kata Farhan lagi.

"Oh itu.... itu pacar aku." jawab Viola singkat.

"Oh gitu." jawab Farhan sambil jalan pelan-pelan keluar kelas.

Sengaja Viola menjawab seperti itu supaya Farhan tidak menggodanya lagi.

Seperti biasa kalau pulang sekolah Viola selalu pulang bertiga dengan Reza dan Dimas. Mereka selalu ngobrol sambil jalan pulang.

Hari ini Viola tidak banyak bicara. Dia banyak diam. Masih terpikirkan kejadian semalam.

"Kok tumben hari ini kamu diam aja Vi." kata Reza pada Viola.

"Masih mikirkan novel yang tadi malam ya?" kata Dimas sambil menggoda.

Diliriknya Dimas yang baru ngomong. Hidungnya mancung dengan rambut sedikit gelombong dan postur tubuhnya juga bagus, tinggi. Ternyata Dimas ganteng juga, batin Viola dalam hati.

"Eh.... enggak kok, lagi malas aja." kata Viola sambil tersenyum.

Kemudian mereka pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah masing-masing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!