Udara di Desa Lingshan adalah Qi yang membeku. Itu adalah sebuah anomali spiritual, sebuah berkah yang diturunkan dari Langit hanya untuk Klan Giok Putih. Seluruh desa dikelilingi oleh Pegunungan Giok Putih yang puncaknya abadi diselimuti salju, tetapi di lerengnya, kabut spiritual tebal mengepul setiap hari, membawa esensi murni yang dapat diserap oleh kultivator mana pun untuk memperkuat diri.
Di sinilah, setiap pagi, kehidupan dimulai dengan keheningan meditasi. Anak-anak dan orang dewasa duduk bersila di halaman, menghirup energi langit dan bumi, membiarkan aliran Qi membersihkan meridian dan mengisi Dantian mereka.
Namun, Lian—seorang remaja dengan mata setajam elang dan postur tubuh yang terlalu kaku—tidak pernah menjadi bagian dari ritual sakral ini.
Saat sinar matahari keemasan pertama menyaring kabut pagi, menembus lapisan-lapisan pepohonan Giok berusia seribu tahun, Lian tidak berada di halaman klan. Ia berada di tempat rahasianya: Puncak Batu Rusak, sebuah formasi batu kapur yang curam di belakang kompleks klan utama. Di sana, di bawah langit yang cerah, ia tidak mencari meditasi. Ia mencari rasa sakit.
Ia bertelanjang dada, otot-ototnya yang terbentuk keras menonjol seperti pahatan kayu tua. Ia memikul dua karung pasir basah yang masing-masing beratnya melebihi beban karung beras biasa, lalu mulai menaiki Puncak Batu Rusak dengan langkah lambat namun tanpa henti. Setiap langkah adalah derit dari sendi dan tarikan napas kasar yang terasa membakar paru-parunya.
Ini adalah Latihan Tubuh Besi, teknik bela diri fana yang ia temukan dari gulungan usang di perpustakaan klan yang tidak dianggap penting. Ini adalah jalan bagi mereka yang ‘Tidak Mampu’. Karena Dantiannya kosong, ia bersumpah untuk menjadikan tubuhnya sendiri benteng yang tak tertembus, setidaknya agar ia bisa mati dengan bermartabat di dunia yang hanya menghargai Qi.
Enam ratus satu... enam ratus dua...
Hitungannya bukan untuk napas, melainkan untuk jumlah langkah yang diulanginya di jalur pendakian curam itu. Otot kakinya gemetar, lehernya kaku, dan keringatnya mengalir turun seperti sungai kecil, membawa serta debu dan sedikit darah dari gesekan tali karung di bahunya.
Lian berusia tujuh belas tahun. Menurut standar klan, ia seharusnya sudah berada di Tahap Awal Pembentukan Inti, menggunakan Qi untuk melompat tinggi melintasi puncak-puncak gunung dan melindungi klan. Sebaliknya, ia hanyalah seorang fana—seorang Tanpa Akar.
Kata-kata itu, "Tanpa Akar," adalah racun yang merayap ke dalam setiap interaksi, setiap tatapan, dan setiap desahan di Desa Lingshan.
“Sungguh kasihan,” desah seorang tetua di masa lalu. “Anak yang bersemangat, tetapi Dantiannya hanyalah sebuah lubang kosong.”
“Dia mungkin memiliki tubuh yang kuat, tetapi di hadapan satu jari Kultivator Fondasi Qi, ia hanya akan menjadi debu.”
Bahkan orang tuanya—yang ia cintai dan yang berusaha mati-matian menyembunyikan rasa kecewa mereka—tidak bisa membantunya. Mereka telah menghabiskan setiap Pil Pemurni Qi yang mereka miliki untuk Lian, berharap dapat membuka Dantiannya. Pil yang harganya setara dengan biaya hidup sebuah keluarga selama setahun, semuanya sia-sia.
Lian berhenti di puncaknya, melemparkan beban karung ke tanah. Debu menyembur, dan ia ambruk di atas batu yang terasa dingin menusuk. Jantungnya berdebar kencang seperti drum perang, dan ia harus menunggu beberapa menit hanya untuk menstabilkan pernapasan.
Ia menatap ke bawah. Desa Lingshan terlihat damai, seperti mosaik genteng biru tua dan pepohonan hijau yang subur, berpusat di sekitar Balai Leluhur yang megah. Di sekitar Balai, aura Giok Putih memancar paling terang, menandakan konsentrasi Qi yang melimpah. Energi itu, yang bagi orang lain terasa hangat dan mengundang, bagi Lian terasa seperti dinding kaca yang dingin—ia bisa melihatnya, merasakannya di udara, tetapi tidak bisa mengambilnya.
Ia mencoba lagi.
Ia memaksakan diri untuk duduk bersila, meniru postur meditasi yang ia lihat setiap hari. Ia mencoba menjernihkan pikiran, mencari sensasi Qi yang seharusnya mengalir masuk melalui pori-porinya.
Rasakan, Lian. Rasakan panasnya. Rasakan energi yang menari di udara.
Sepuluh menit berlalu. Tidak ada. Hanya kekosongan yang dingin, sebuah kehampaan yang terasa seperti gurun beku di tengah dadanya. Itu bukan hanya kurangnya energi; itu adalah penolakan mutlak oleh alam semesta kultivasi.
Frustrasi itu lebih tajam daripada karung pasir yang menggores bahunya. Jika ia bisa kultivasi, ia akan menguasai teknik pedang yang indah; ia akan melindungi klan seperti yang diinginkan ayahnya; ia akan mengakhiri tatapan iba di mata ibunya.
Ia membuka mata.
"Kamu terlihat seperti ingin menangis, Lian."
Suara itu datang dari Jin.
Jin, sepupu Lian, telah melompat dari pepohonan di bawah. Ia tidak berjalan; ia terbang naik dengan dorongan Qi kecil dari kakinya. Ia mendarat dengan anggun, jubah sutra birunya berkibar pelan. Di tangannya, tergantung Pedang Giok Lapis Emas, yang memancarkan cahaya spiritual samar. Jin baru enam belas tahun, tetapi sudah berada di Tahap Menengah Fondasi Qi—sebuah bakat yang diakui klan.
"Kenapa kamu harus datang ke sini, Jin?" Lian berbicara, suaranya kembali dingin. Ia berdiri, memanggul karung pasirnya sebagai cara untuk menutupi tubuhnya yang kelelahan.
Jin tersenyum, senyum yang bagi Lian terasa lebih tajam daripada ujung pedang. "Para Tetua memintaku mencarimu. Mereka khawatir kamu akan kelelahan sebelum Penilaian hari ini. Kasihanilah dirimu, sepupu. Pertunjukan sirkus mengangkat bebanmu ini tidak akan membantu apa-apa."
"Ini adalah latihan," balas Lian. "Di dunia fana, kekuatan ini yang disebut kelangsungan hidup."
"Tapi kita tidak hidup di dunia fana," potong Jin, melangkah maju, Pedang Gioknya sedikit bergoyang. "Kita hidup di dunia kultivasi. Sebuah pedang Qi akan memotong otot besarmu seolah itu hanya tahu. Kekuatan fana melayani Qi, bukan sebaliknya. Mengapa kamu keras kepala sekali?"
Lian menatap lurus ke mata Jin. "Aku tidak keras kepala. Aku beradaptasi. Jika Surga menolak memberiku jalan, aku akan mengukir jalan lain dengan tanganku sendiri. Sementara kamu bergantung pada pil dan jubah bagus, aku tahu bagaimana rasanya harus berjuang untuk setiap langkah."
"Dan perjuangan itu akan membawamu ke ladang klan sore ini," cibir Jin, tatapannya menyapu tubuh Lian yang berkeringat dan berlumuran debu. "Penilaian Klan. Itu bukan tentang kemauan, Lian. Itu tentang potensi spiritual. Besok, kamu harus berdiri di depan semua orang dan menunjukkan Dantianmu yang kosong."
Penilaian. Itu adalah ritual klan yang dilakukan setiap tiga tahun, di mana sebuah Kristal Penilaian Giok Putih digunakan untuk mengukur konsentrasi Qi di Dantian setiap anggota muda. Kristal itu akan bersinar terang bagi mereka yang berbakat dan tetap gelap bagi mereka yang tidak berguna.
"Apa yang akan kamu lakukan, Lian?" tanya Jin, nadanya lebih mengejek sekarang. "Apakah kamu akan memohon Tetua untuk memberimu pekerjaan mudah? Atau apakah kamu akan lari?"
Kata "lari" itu menusuk Lian. Itu adalah ketakutan terbesarnya. Ia tidak takut pada pertarungan; ia takut pada rasa malu dan pengasingan.
“Aku akan hadir,” jawab Lian tegas, meskipun setiap serat keberaniannya menuntutnya untuk melarikan diri ke hutan selamanya. “Aku akan hadir dan menerima apa pun yang diputuskan klan.”
Jin menghela napas, pura-pura kecewa. "Sayang sekali. Aku berharap kamu setidaknya bisa mencapai Tahap Fondasi Qi agar kamu bisa menjadi target latihan yang layak untukku. Tapi sepertinya aku harus berpuas diri dengan mencarikanmu sehelai pakaian bersih untuk Penilaian. Jangan sampai kamu mengotori aula dengan keringat fana-mu."
Jin dengan angkuh melipat tangan, tubuhnya memancarkan aura Qi yang samar—sebuah demonstrasi kekuatan yang tidak perlu. Lian hanya mengepalkan tinjunya, merasakan ototnya menegang hingga ke batasnya. Ia tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengangkat karung pasir yang berat itu sekali lagi, memaksakan diri untuk melakukan dua putaran pendakian lagi.
“Aku tidak butuh belas kasihanmu,” kata Lian seraya berbalik, punggungnya yang penuh bekas luka dan otot yang kencang membelakangi Jin.
Jin, yang merasa bosan karena provokasinya tidak berhasil, akhirnya pergi dengan dorongan Qi lainnya. Suara dengusan kasarnya menghilang bersama embun pagi.
Lian membiarkan dirinya jatuh kembali ke batu setelah menyelesaikan putaran tambahan, kakinya terasa seperti timah panas. Ia memandang ke arah Pegunungan Giok Putih yang membentang tak terbatas ke timur. Di balik puncak-puncak itu, tersembunyi kekaisaran dan faksi yang bahkan tidak bisa diimpikan oleh Klan Giok Putih.
Jika hari ini adalah hari penghakimanku, batin Lian, maka aku akan berdiri tegak sebagai seorang fana yang tidak pernah menyerah pada takdir yang diberikan Surga.
Ia tahu Penilaian akan menjadi hukuman mati sosialnya. Ia akan kehilangan akses ke sumber daya, kemungkinan besar akan dikirim ke perbatasan yang berbahaya, atau lebih buruk lagi, hanya menjadi buruh tani. Ini adalah ambang batas antara masa depan dan kehancuran.
Lian menghabiskan beberapa jam lagi untuk memukul tiang kayu keras yang ia tanam di dekat tempatnya berlatih. Pukulan-pukulannya kini bisa membuat kayu itu berderak, dan tangannya, meskipun kasar dan penuh kapalan, terasa seperti besi panas. Baru setelah bayangan gunung mulai memanjang dan matahari mencapai titik puncaknya, ia memutuskan untuk turun
Saat ia melompati batu-batu, ia merasakan getaran aneh dari tanah, getaran yang lebih dalam dari gempa bumi kecil, seolah-olah sesuatu yang besar di bawah sana sedang bergerak, atau lebih tepatnya, menghela napas.
Lian mengabaikannya. Itu mungkin hanya angin yang datang dari jurang. Ia tidak punya waktu untuk halusinasi. Ia harus membersihkan dirinya dan menghadapi takdir yang sudah digariskan klan.
Tanpa ia sadari, di kedalaman paling gelap dan paling tertekan di Pegunungan Giok Putih, di mana urat Qi bumi bertemu dengan esensi kosmik, getaran itu bukanlah angin. Itu adalah tanda bahwa segel telah melemah, dan Giok Tersembunyi sedang terbangun, ditarik oleh satu-satunya hal yang ia butuhkan: tekad fana yang menolak takdir.
Sementara Lian berjalan kembali menuju desa, siap untuk menghadapi rasa malu, di kejauhan, di luar perbatasan kabut spiritual klan, mata-mata berbaju hitam dari Sekte Bayangan sedang mengamati. Malam Penilaian akan menjadi malam paling berdarah bagi Desa Lingshan.
Matahari sore menggantung rendah di atas Pegunungan Giok Putih, mewarnai Balai Leluhur Klan Giok Putih dengan cahaya oranye yang dingin. Balai itu sendiri adalah keajaiban arsitektur, dengan pilar-pilar batu giok yang dipoles hingga memantulkan kilauan spiritual. Di tengah aula, di atas podium kayu cendana, diletakkan Kristal Penilaian Giok Langit—sebuah artefak berharga yang mampu mengukur potensi Qi seorang kultivator.
Lian berdiri di barisan paling belakang bersama sekitar lima puluh anggota klan muda lainnya. Ia sudah membersihkan diri, mengenakan jubah abu-abu polos yang terasa kaku dan formal. Meskipun fisiknya tampak bugar, di antara barisan remaja yang memancarkan aura Qi samar—seperti percikan api di sekitar lilin—Lian terasa seperti kegelapan yang sunyi.
Di depan, duduk para Tetua klan, dipimpin oleh Tetua Agung Lin, seorang pria berjanggut panjang yang wajahnya diukir dengan kesabaran, namun matanya memancarkan otoritas yang dingin. Di sampingnya, duduklah Ayah dan Ibu Lian, wajah mereka tegang dan memancarkan harapan yang nyaris mustahil.
"Penilaian ini adalah janji kepada leluhur," suara Tetua Agung Lin bergema, diperkuat oleh Qi-nya hingga mencapai setiap sudut aula. "Kita mengukur potensi. Kita menentukan masa depan Klan Giok Putih. Hanya yang terkuat yang akan memimpin."
Nama-nama mulai dipanggil. Anak-anak yang melangkah maju meletakkan tangan mereka di atas Kristal Penilaian.
Cahaya Kuning Redup: Tahap Awal Fondasi Qi. Sorak-sorai kecil. Cahaya Oranye Cemerlang: Tahap Menengah Fondasi Qi. Desahan kagum. Cahaya Hijau Terang: Jenius. Masa depan klan.
Jin, sepupu Lian, dipanggil setelah beberapa nama. Ia melangkah maju dengan percaya diri, senyum angkuh tercetak di bibirnya. Ia meletakkan telapak tangan di atas kristal.
Kristal Penilaian meledak dalam cahaya Biru Keperakan.
Aula Balai Leluhur terperangah. Biru Keperakan adalah indikasi Puncak Fondasi Qi, suatu prestasi yang luar biasa bagi anak berusia enam belas tahun.
"Luar biasa! Jin, kamu telah membawa kehormatan bagi Leluhur!" seru Tetua Agung Lin, wajahnya bersinar penuh kebanggaan. Jin menerima pujian itu dengan membungkuk angkuh, lalu matanya mencari Lian di barisan belakang. Tatapan mengejeknya seolah berkata: Inilah jurang pemisah antara kita.
Wajah Ayah dan Ibu Lian semakin pucat. Mereka tahu, kontras antara Jin dan Lian akan membuat hasil Lian semakin menyakitkan.
Waktu berlalu dengan siksaan yang lambat. Beberapa anak menunjukkan potensi rendah, Kristal hanya memancarkan cahaya kekuningan, tetapi setidaknya mereka masih memiliki Qi.
Akhirnya, nama yang ditakuti pun dipanggil.
"Lian. Maju."
Seluruh aula hening. Keheningan yang menusuk, penuh rasa iba, keingintahuan yang kejam, dan harapan yang terkubur dalam. Lian menarik napas dalam-dalam, mengambil Qi di udara—meski ia tahu ia tidak bisa menyerapnya. Ia melangkah maju.
Saat Lian berjalan, setiap langkah terasa seperti benturan palu pada batu. Ia melihat ekspresi kecewa Ayahnya, dan air mata yang ditahan di mata Ibunya. Ia melihat senyum jahat Jin di antara kerumunan, dan tatapan dingin Tetua Agung.
Ia berdiri di depan Kristal Penilaian Giok Langit.
Lian mengangkat tangannya yang kasar, kapalan akibat latihan fisik, dan meletakkannya dengan mantap di atas permukaan kristal yang dingin dan halus.
Ia menunggu. Ia memohon dalam hatinya. Meski hanya sedikit, hanya satu benang Qi pun, tunjukkanlah!
Kristal Penilaian tetap gelap. Tidak ada kilauan, tidak ada cahaya, tidak ada respons. Kristal itu diam, mati, seolah-olah ia belum disentuh. Keheningan di aula berubah menjadi desahan kolektif. Itu lebih buruk dari cahaya redup; itu adalah nol mutlak.
Tetua Agung Lin menghela napas panjang, kekecewaan tampak jelas di setiap garis kerutan di wajahnya.
"Lian," suaranya lembut, tetapi mengandung hukuman yang tak terhindarkan. "Kristal tidak merespons. Tidak ada Fondasi Qi. Kamu adalah..."
"Tanpa Akar," Lian menyelesaikan kalimat itu untuknya. Suaranya terdengar serak, tetapi tegas. Ia menarik tangannya dari kristal.
"Klan ini adalah benteng kultivasi," lanjut Tetua Lin, matanya menghindari pandangan Lian. "Kami tidak bisa menyia-nyiakan sumber daya. Mulai besok, kamu akan ditempatkan pada pekerjaan fisik di kebun klan. Ini adalah keputusan klan. Kamu dilarang mengakses perpustakaan dan lapangan latihan Qi. Kamu akan hidup sebagai seorang fana. Semoga kamu menemukan kedamaian di jalur yang lain."
Hukuman itu terasa lebih berat daripada dua karung pasir yang ia pikul setiap hari. Lian menundukkan kepala, bukan karena malu, tetapi untuk menyembunyikan amarah yang membara di Dantian-nya yang kosong.
Lian tidak kembali ke rumahnya. Ia berjalan menjauh dari Balai Leluhur menuju tempat yang ia kenal—Puncak Batu Rusak—tempat di mana ia menemukan satu-satunya kebebasan.
Ia memukul tiang latihannya, tetapi kali ini, pukulan-pukulannya tidak terfokus. Itu adalah kemarahan murni, kesedihan yang tak tertahankan. Setiap ayunan yang mendarat pada tiang kayu yang sudah retak adalah teriakan frustrasi.
"Tanpa Akar! Fana! Lubang Kosong!" Ia meneriakkan julukan-julukan yang dilemparkan Jin dan klan padanya, membuat suaranya tercekat.
Tiba-tiba, ia merasakan getaran aneh lagi, tetapi kali ini jauh lebih kuat. Getaran itu datang dari bawah kakinya, seolah-olah Pegunungan Giok Putih sedang menangis.
Lian menghentikan pukulannya, keheningan menyelimutinya kecuali suara gemuruh yang semakin keras dari arah Balai Leluhur.
Lalu, teriakan itu datang.
Bukan teriakan perayaan, melainkan teriakan ketakutan dan rasa sakit.
Lian berbalik. Di kejauhan, Balai Leluhur Klan Giok Putih—benteng spiritual yang berdiri selama berabad-abad—kini diselimuti oleh api yang bukan berwarna merah, melainkan Hitam Legam. Api itu melahap Qi dan memancarkan aura kehancuran yang dingin.
"Sekte Bayangan!" bisik Lian, darahnya mendidih. Ia tahu tentang Sekte itu, faksi yang mempraktikkan kultivasi terlarang dan sering menyerang klan terpencil untuk mencuri Pil dan artefak.
Ia tidak berpikir. Ia tidak memiliki Qi, tetapi ia memiliki kaki yang kuat. Ia berlari menuruni bukit dengan kecepatan gila, mengabaikan bebatuan tajam yang melukai kakinya. Ia harus kembali. Ia harus melindungi orang tuanya.
Ketika ia mencapai gerbang klan, pemandangan itu seperti mimpi buruk. Kultivator klan, yang baru saja bangga dengan potensi Qi mereka, kini tergeletak tak berdaya. Tubuh mereka menghitam, dan Qi mereka lenyap. Mereka dikalahkan dengan mudah.
Di tengah Balai Leluhur yang terbakar, berdiri tiga sosok berjubah hitam. Salah satunya, dengan topeng perak yang menutupi wajahnya dan aura Pembentukan Inti yang kuat, sedang tertawa terbahak-bahak.
"Qi Klan Giok Putih ini murni, tapi jiwa mereka lemah," ejek Pemimpin Sekte Bayangan. "Bakar semuanya! Ambil Kristal Penilaian dan gulungan teknik."
Lian melihat Ayahnya, seorang kultivator Fondasi Qi yang rendah, berusaha melindungi Ibunya dengan pedang tumpul. Ayahnya bertarung dengan gagah berani, tetapi ia hanya setara dengan salah satu bawahan Sekte Bayangan.
Saat Lian berlari, ia melihat bawahan kedua Sekte Bayangan mengeluarkan serangan telapak tangan Qi Hitam. Serangan itu melesat cepat menuju Ayahnya yang kelelahan.
Tanpa pikir panjang, Lian melompat.
Ia tidak punya waktu untuk mencapai Ayahnya. Ia hanya melemparkan dirinya ke arah musuh, menggunakan momentum dan berat tubuhnya yang dilatih keras untuk menabrak kultivator berjubah hitam itu.
Brak!
Kultivator Sekte Bayangan itu terkejut. Ia tidak menyangka seorang fana—seorang Tanpa Akar—berani menyerang. Serangan telapak tangannya meleset dari Ayah Lian, tetapi mendarat di bahu Lian.
Rasa sakit itu luar biasa, Qi Hitam Sekte Bayangan itu langsung menyerap energi kehidupan. Lian menjerit, bahunya terasa hancur. Ia jatuh, tetapi kultivator itu juga terhuyung-huyung oleh tabrakan fisik murni Lian.
"Dasar anjing fana!" desis kultivator Sekte Bayangan, marah karena disentuh oleh darah fana. Ia mengangkat pedang hitamnya, siap untuk menghabisi Lian.
Ayah Lian menggunakan kesempatan itu. Ia menusuk kaki bawahan itu dengan pedangnya.
"Lari, Lian! Selamatkan Ibumu!" teriak Ayahnya.
Tetapi sebelum Lian bisa bergerak, Pemimpin Sekte Bayangan yang bertopeng perak sudah berdiri di depannya. Matanya yang dingin menatap Lian, seolah ia melihat serangga yang mengganggu.
"Seorang fana yang berani menunjukkan keberanian di hadapan Qi?" kata Pemimpin itu, nadanya terkejut. "Aku akan mematahkan tekadmu dulu sebelum aku mematahkan lehermu."
Pemimpin Sekte Bayangan itu mengacungkan tangan, bersiap untuk memberikan pukulan Qi yang mematikan. Ayah dan Ibu Lian menjerit ngeri.
Saat Pemimpin itu mengayunkan tinjunya, Lian merasakan sensasi aneh. Bukan rasa sakit, tetapi panas yang menusuk dingin di Dantian-nya yang seharusnya kosong.
Di saat yang sama, tepat di tempat ia jatuh, tanah di bawahnya retak. Dari retakan itu, memancarlah cahaya Giok Kuno yang redup.
Itu adalah Giok Tersembunyi.
Artefak yang telah terkubur di bawah Puncak Batu Rusak selama ribuan tahun, terpicu oleh kombinasi kehancuran, Qi jahat Sekte Bayangan, dan penderitaan Lian.
Giok itu, seukuran telur burung puyuh, terbang keluar dari tanah yang retak, memancarkan aura spiritual yang dingin dan purba. Ia melesat langsung ke arah Lian, yang terbaring tak berdaya.
Pemimpin Sekte Bayangan melihat Giok itu. Matanya yang dingin melebar karena terkejut.
"Giok Kuno! Hentikan—"
Ia mencoba menghentikan Giok itu, tetapi sudah terlambat. Giok Tersembunyi mendarat tepat di atas dada Lian, dan menembus kulitnya seolah kulitnya hanyalah air. Giok itu tenggelam ke dalam tubuh Lian, langsung menuju Dantian yang kosong.
ARRGGHH!
Lian menjerit kesakitan yang melampaui segala pelatihan fisik. Dantian-nya, yang selama ini kosong, tiba-tiba dibanjiri oleh energi kosmik yang sangat murni, dingin, dan kuat. Giok itu tidak hanya mengisi Dantian; ia mengubahnya. Meridian Lian, yang sebelumnya buntu dan sempit, kini melebar dan bercahaya, diukir ulang oleh energi Giok.
Prosesnya instan dan brutal. Otot-otot Lian berkedut, dan kulitnya memancarkan cahaya Giok yang samar, sebelum dengan cepat menghilang.
Pemimpin Sekte Bayangan mundur selangkah, ekspresi ketakutan yang sesungguhnya terukir di wajahnya.
"Artefak itu... mustahil! Itu Giok Sejati!"
Qi yang dipancarkan Lian, meskipun hanya sepersekian detik, jauh melampaui apa pun di Alam Fana. Lian merasakan Qi mengalir. Itu bukan hanya Qi di udara; itu adalah Qi yang telah dimurnikan dan dikompres oleh Giok Tersembunyi.
Lian bangkit. Kepalanya pusing, bahunya masih sakit, tetapi di Dantian-nya, ia merasakan sesuatu—sebuah Inti kecil, padat, dingin, dan kuat. Ia sudah mencapai Tahap Awal Fondasi Qi dalam sekejap, tetapi intinya terasa seratus kali lebih kuat daripada Fondasi Qi Jin.
Namun, yang paling penting: Giok Tersembunyi itu kini memberinya pengendalian mutlak atas Qi di sekitarnya, bukan hanya Qi internal.
Lian melihat api hitam yang melahap Balai Leluhur. Ia mengangkat tangannya yang gemetar ke arah api itu.
Giok... padamkan.
Secara naluriah, Qi Giok Tersembunyi merespons. Energi murni Lian bertemu dengan Api Kegelapan Sekte Bayangan. Hasilnya bukan ledakan, melainkan penghancuran. Api hitam itu bergetar, lalu lenyap menjadi abu tanpa suara.
Pemimpin Sekte Bayangan menjadi gila. "Bunuh dia! Curi Giok itu!"
Tiga bawahan Sekte Bayangan dan Pemimpin mereka menyerang Lian sekaligus.
Ayahnya berteriak memperingatkan Lian, tetapi Lian tidak mendengarkan. Ia masih terkejut dengan kekuatan yang baru ia dapatkan.
Ia tidak tahu Seni Bela Diri Spiritual. Ia hanya tahu satu hal: Latihan Tubuh Besi.
Saat Pemimpin Sekte Bayangan datang, Lian tidak menggunakan telapak tangan Qi. Ia menggunakan tinjunya yang keras, yang telah memukul tiang kayu selama bertahun-tahun. Ia menggunakan kekuatan fisiknya yang luar biasa, kini didukung oleh Fondasi Qi yang superior dari Giok.
BAM!
Lian meninju ke arah dada Pemimpin Sekte Bayangan. Pemimpin itu, yang mengira ia akan meninju udara, terkejut. Tinju Lian tidak terlihat seperti tinju Qi; itu terlihat seperti tinju fana yang lambat, tetapi kecepatannya didorong oleh Qi Giok
Pemimpin Sekte Bayangan terlempar ke belakang, topeng peraknya retak, dan ia muntah darah. Kultivator Fondasi Qi yang kuat, dikalahkan oleh satu tinju fana.
Lian memanfaatkan kepanikan itu. Ia memutar tubuhnya, menghindar dari serangan dua bawahan lainnya, dan menggunakan tendangan keras dari Latihan Tubuh Besi. Tendangannya tidak mengenai kepala, tetapi mendarat tepat di kaki para bawahan. Tulang retak terdengar.
"Mustahil! Kau hanyalah fana!" teriak Pemimpin Sekte Bayangan, mencoba bangkit.
"Tidak lagi," bisik Lian, suaranya mengandung janji dingin yang belum pernah ia miliki sebelumnya.
Lian mendekati Pemimpin Sekte itu. Ia tahu ia harus menghabisinya sebelum bantuan Sekte lain datang. Namun, ketika ia mengangkat tinjunya, Giok Tersembunyi di Dantian-nya mengirimkan pesan aneh.
Sembunyikan. Kamu terlalu lemah untuk mengungkapkan dirimu. Lari.
Lian mengerti. Kekuatannya instan, tetapi pengetahuannya nihil.
Ia mengeluarkan raungan, menarik Qi Giok Tersembunyi masuk ke Dantian-nya, dan kemudian melarikan diri, berlari ke arah pegunungan, menghindari Ayah dan Ibunya.
"Dia memiliki Giok itu! Ambil dia! Dia adalah kunci dari Segel Abadi!" teriak Pemimpin Sekte Bayangan, merangkak di lantai.
Lian tidak melihat ke belakang. Ia tahu klan sudah dihancurkan, dan ia sekarang adalah target utama Sekte Bayangan. Ia kini menjadi Pengembara, seorang Kultivator Tersembunyi, yang memikul beban rahasia yang jauh lebih besar daripada sekadar rasa malu fana.
Ia telah menerima Giok itu. Takdir baru telah dimulai.
Lian berlari hingga kakinya terasa seperti terbuat dari timah. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berlari, tetapi hutan pinus di bawah kakinya telah berganti menjadi medan berbatu yang curam di malam hari. Ia memanjat ke Puncak Sunyi, sebuah puncak kecil yang tersembunyi, jauh dari pandangan Balai Leluhur yang kini telah menjadi puing-puing berasap.
Ia jatuh terengah-engah di bawah naungan pohon pinus yang layu, jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena kekuatan dingin yang kini bersemayam di dadanya.
Giok Tersembunyi, artefak kuno yang kini menjadi Inti Qi-nya, terasa seperti bongkahan es yang memancarkan energi tak terbatas. Energinya begitu murni dan kental sehingga terasa menyakitkan bagi tubuh fana Lian.
Lian memejamkan mata, mencoba menenangkan Qi Giok yang bergejolak. Namun, setiap upaya untuk mengendalikannya justru membuat Qi itu semakin liar. Dalam sekejap, aura Giok yang halus menyelimuti Lian, membuatnya terlihat seperti lentera hijau di tengah kegelapan hutan.
"Sial! Aku harus menyembunyikannya!" bisik Lian. Ia ingat peringatan Giok itu: Sembunyikan. Kamu terlalu lemah.
Aura Giok Tersembunyi itu terlalu mencolok. Ia menarik perhatian. Jika ia tidak bisa menyembunyikannya, Sekte Bayangan—atau faksi lain yang lebih kuat—akan segera menemukannya.
Ia mencoba memaksa Qi-nya masuk, seperti yang ia lakukan dengan nafas di pelatihan fisiknya, tetapi Qi Giok itu menolak kendali. Rasa sakitnya begitu hebat, seolah Dantian-nya terkoyak. Lian mengerang dan jatuh meringkuk.
"Bocah bodoh."
Sebuah suara datang dari kegelapan. Suara itu kering, serak, dan tua, seperti daun gugur yang digulirkan angin.
Lian terlonjak. Ia tidak melihat apa-apa. Seluruh tubuhnya tegang, dan Giok Tersembunyi di dadanya merespons dengan memompa Qi dengan agresif, seolah-olah siap untuk bertarung.
"Kekuatan itu... ia bukan mainan anak kecil. Itu adalah Giok Sejati, salah satu dari Sembilan Fragmen Penciptaan. Jika kau tidak segera mengendalikannya, ia akan memakanmu, meninggalkan cangkang kosong yang dikuasai oleh Takdir Kuno."
Lian melihat lebih dekat. Di bawah pohon pinus di sebelahnya, duduk seorang pria tua. Pria itu mengenakan pakaian compang-camping, rambutnya kusut, dan ia terlihat seperti pengemis mabuk. Ia sedang mengunyah buah liar dengan santai.
Pria tua itu tersenyum, menunjukkan gigi yang hilang. "Kekuatanmu melonjak seperti anak kuda. Itu menarik perhatian para Hyena. Sebaiknya kau diam, atau aku akan melaporkanmu kepada Sekte Bayangan untuk mendapatkan sekantong perak."
Lian memelototinya. "Siapa kau?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!