Bau karbol dan obat-obatan menusuk tajam indra penciuman Tamara sang Ratu Mafia, membuat matanya yang semula terpejam perlahan terbuka.
Sebuah ruangan putih steril menyambut, lengkap dengan selang infus yang menancap di punggung tangannya.
"Selamat datang di dunia Novel 'Cinta Abadi Sang CEO Dingin, Tuan Rumah! Saya adalah Sistem 007, pendamping transmigrasi Anda," suara riang namun sedikit robotik terdengar langsung di benak Tamara.
Beberapa gambaran tentang Novel Cinta Abadi CEO Dingin, memasuki kepala Tamara, tidak secara rinci hanya secara garis besar alur cerita, dan tugas Tamara adalah menghancurkan alur cerita aslinya dan mengubah nasib tragis Antagonis perempuan.
Tamara, yang seharusnya sudah menjadi mayat dingin di markasnya, kini berada di atas ranjang rumah sakit.
Alih-alih panik dan menangis histeris, justru Tamara hanya menampilkan raut wajah datar nya, saat menyadari bahwa dirinya telah berpindah jiwa.
Tamara menggeser tatapannya, memeriksa sekeliling, dan menemukan dua orang wanita paruh baya berseragam perawat sedang berbisik-bisik di sudut ruangan, sesekali meliriknya dengan ekspresi menghina.
"Status: Transmigrasi sukses. Misi utama: Hancurkan alur novel dan ubah nasib tragis Antagonis," Sistem 007 mengulang tugasnya.
"Waktu: Tiga hari sebelum pernikahan paksa Anda dengan Reifan Adhitama."
Tamara menyentuh wajahnya. Wajah antagonis ini memang luar biasa cantik, bahkan melebihi kecantikannya di kehidupan lampau, tapi matanya di kehidupan ini memancarkan ketajaman mematikan.
"Tiga hari? Cukup," gumam Tamara dengan suara serak namun tegas.
"Sistem, berikan data lengkap mengenai Reifan Adhitama. Fokus pada insting, kekuatan, kelemahan mental, dan jaringan mafianya. Juga data tentang Santi, detail pekerjaannya, dan bagaimana dia merencanakan pendekatan!" perintah Tamara, tidak ingin membuang-buang waktu.
Tamara yang merupakan seorang Ratu mafia di kehidupan pertama nya, dia tidak suka bertele-tele.
"Siap, Tuan Rumah! Reifan Adhitama adalah sosok yang dominan, kejam, dan memiliki insting yang sangat tinggi. Dia sulit dibodohi. Antagonis lama selalu menampilkan emosi berlebihan yang memicu kecurigaan dan rasa jijik Reifan. Reifan tertarik pada Santi di novel karena Santi berhasil membangun citra polos dan tulus yang menantang instingnya, meski ia tetap waspada. Santi adalah pegawai di departemen Keuangan, berencana 'secara tidak sengaja' bertemu Reifan di lobi atau parkiran," jelas Sistem 007.
Saat Sistem 007 sedang memaparkan data, pintu ruangan dibuka kasar.
BRAK
Seorang wanita anggun berusia sekitar 50-an, mengenakan perhiasan mahal dan wajah angkuh, masuk ke dalam ruangan, membuka pintu dengan kasar. Dia adalah Nyonya Ratna, ibu tiri dari Antagonis wanita ini, yang bertindak sebagai walinya.
"Dasar gadis tak tahu diri! Sudah tahu akan menikah dengan pria sehebat Tuan Reifan, bukannya bersiap malah mencoba bunuh diri!" sembur Nyonya Ratna, suaranya dipenuhi amarah yang dibuat-buat.
"Kau membuat nama baik keluarga kita tercemar, Tamara!" teriak Nyonya Ratna, menunjuk-nunjuk Tamara dengan geram.
Tamara yang sekarang jiwanya sudah di isi dengan jiwa Tamara sang Ratu mafia, menatapnya dengan pandangan dingin dan menusuk, ini adalah tatapan yang mematikan, yang membuat Nyonya Ratna seketika merasa terintimidasi.
"Keluar," ucap Tamara dingin, mengusir, suaranya rendah dan penuh otoritas.
Nonya Ratna terkejut, selama ini Tamara belum pernah berani memerintah kan nya seperti ini.
Selama ini Nyonya Ratna kenal Tamara yang selalu menjerit. Bukan Tamara yang sedingin es dan memancarkan aura mengancam seperti ini.
"Apa kau bilang? Aku ini ibumu!" bentak Nyonya Ratna.
Tamara hanya memutar bola matanya malas, terlalu malas untuk meladeni jenis manusia seperti ibu tirinya itu.
Tamara beranjak turun dari ranjang. Gerakannya halus namun cepat, mencabut selang infus tanpa meringis, lalu berjalan mendekat ke arah Nyonya Ratna, dengan raut wajah datarnya.
"Aku bilang, keluar!" ucap Tamara, mengulang, kali ini dengan penekanan pada setiap suku kata.
"Atau aku akan memastikan besok pagi media massa di seluruh kota memberitakan skandal penipuan pajak dan penggelapan dana milik suamimu. Pilih mana, Ibu?" tanya Tamara, menatap tajam pada Ibu tirinya.
Mata Nyonya Ratna melebar, wajahnya langsung pucat pasi.
Bagaimana bisa gadis manja dan bodoh ini tahu tentang skandal yang mereka tutup rapat-rapat? Ini adalah informasi yang hanya diketahui oleh kalangan mafia tingkat atas, pikir Nyonya Ratna, gelisah.
Tamara tersenyum tipis, senyum seorang predator yang baru menemukan mangsa nya.
"Aku akan meninggalkan rumah sakit sekarang. Urus administrasinya, jika kau berani membuat masalah sedikit pun, atau jika ada satu pun berita miring yang menyangkut namaku atau rencana pernikahan ini, aku pastikan kau dan Ayah akan menikmati dinginnya lantai penjara," ucap Tamara, mengancam, matanya berkilat tajam, dan penuh peringatan.
"Ingat! Aku tidak main-main, dan satu lagi, jangan pernah datang ke rumah Reifan atau mencoba menemui ku setelah ini. Jauhi aku!" lanjut Tamara, penuh penekanan.
Nyonya Ratna terdiam, lidahnya kelu, dia hanya bisa mengangguk pelan, tanpa membantah.
Aura yang dipancarkan Tamara yang sekarang terasa lebih menakutkan daripada aura Ketua Mafia yang pernah ia temui.
Melihat Nyonya Ratna yang sudah ketakutan, Tamara berbalik menuju jendela, memandang cakrawala Kota Metropolitan.
"Reifan Adhitama? Pria ber insting tajam?
Menarik. Ini jauh lebih baik daripada suami yang bodoh," batin Tamara, tersenyum miring.
Siapa sangka dirinya yang sudah mati, bisa hidup lagi, walaupun di tubuh yang berbeda, dan tentu saja Tamara akan menikmati kehidupan kedua nya, akan mengukir kembali namanya di seluruh penjuru dunia, terutama di dunia bawah.
"Sistem. Siapkan dirimu, aku tidak punya waktu tiga hari, aku akan segera bertemu dengan Reifan hari ini juga, aku perlu menguji seberapa tajam instingnya dan seberapa dingin hatinya, karena aku tidak ingin membuang waktu ku menikah dengan pria bodoh, karena waktu ku terlalu berharga dari hal-hal menjijikan seperti itu," bisik Tamara, sebuah senyum jahat terukir di bibirnya.
"Baik, Tuan Rumah! Apa rencana Anda?"
"Rencana?" ucap Tamara mengulang pertanyaan sistem, dengan sambil tertawa kecil.
"Aku akan melakukan hal yang tidak akan pernah dilakukan oleh antagonis lama, aku akan menunjukkan padanya siapa aku, sebelum ia sempat menilai aku berdasarkan rumor murahan," ucap Tamara dengan mata bersinar dingin.
Ceklekk
Pintu kamar rawat Tamara kembali terbuka, kali ini bukan ibu tirinya tapi seorang perempuan cantik yang terlihat kerepotan membawa beberapa paperbag di tangan nya.
"OMG TAMARA! KAMU SUDAH SADAR!!"
Teriak Cindy berlari menghampiri Tamara yang sedang berdiri di dekat jendela.
Tamara kembalikan tubuh nya, dan melihat Cindy yang sedang berdiri di depan nya.
"Sejak kapan kamu sadar? Kenapa tidak mengabari ku hah!?" tanya Candy galak.
"Sistem siapa perempuan ini?" batin Tamara.
"Dia Cindy Wijaya, Tuan Rumah, Satu-satunya Sahabat tubuh yang Anda tempati."
Tamara mengangguk samar, menatap perempuan yang sedang berkacak pinggang di depan nya, dengan raut wajah kesal nya.
"Tamara kenapa kamu dari tadi hanya diam, apa dokter memotong pita suara kamu?" tanya Cindy berdecak kesal.
Cindy itu cerewet, galak, tapi baik, dia satu-satunya sahabat Tamara asli, mereka berdua sudah bersahabat dari mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
Tamara menatap Cindy dengan pandangan yang tenang namun intens. Tatapan itu tidak mengandung kepolosan atau drama berlebihan yang biasa Cindy lihat di mata sahabatnya, melainkan ketenangan yang dalam, hampir mengancam.
"Pita suaraku baik-baik saja, Cindy," jawab Tamara dengan suara rendah dan serak, sedikit lebih dalam dari suara Tamara yang lama, namun penuh kontrol.
"Hanya terlalu malas melayani orang-orang yang tidak penting," lanjut Tamara, acuh.
Cindy mengernyitkan dahi nya dalam, dia menjatuhkan paperbag yang berisi makanan dan beberapa pakaian di sofa terdekat, lalu berjalan mendekat, menyentuh dahi Tamara.
"Kamu demam? Atau apa percobaan bunuh dirimu membuatmu menjadi orang lain?" tanya Cindy, nada suaranya berubah khawatir.
"Tidak," jawab Tamara, tenang.
"Kamu aneh. Kamu tidak histeris, tidak menangis, dan amu mengusir Ibu tiri mu?" tanya Cindy, semakin bingung dengan perubahan sahabat nya.
Cindy menghela napas panjang, saat tidak mendapatkan respon apa-apa dari Tamara. Cindy menatap sekeliling.
"Omong-omong, apa yang kamu lakukan pada tikus tua itu? Aku melihatnya berlari keluar seperti dikejar hantu. Jarang-jarang dia tidak menemanimu untuk menunjukkan kepedulian palsunya," ucap Cindy, mengingat tadi di depan pintu ruang rawat Tamara, Cindy bertemu dengan Nyonya Ratna.
Tamara menarik kepalanya dari sentuhan Cindy, matanya masih menatap lurus.
"Aku menyuruhnya pergi. Dia sudah mengurus administrasi dan tidak akan kembali ke sini, atau kehidupanku," jawab Tamara datar.
Cindy terperangah, mulutnya sedikit terbuka, tidak percaya dengan apa yang baru saja dirinya dengar dari mulut sahabat nya.
"Ka-kau... menyuruhnya pergi? Dan dia menurut? Sejak kapan kau bisa mengancam orang sampai dia ketakutan?" tanya Cindy, menggeleng kan kepala.
Tamara menyeringai tipis, sebuah senyuman yang terlalu licik dan tajam untuk Tamara yang Cindy kenal.
"Semua orang punya kelemahan, Cindy. Aku hanya mengungkit beberapa 'rahasia kecil' suaminya," jawab Tamara santai, lalu mengalihkan tatapan ke paperbag di sofa.
"Ambilkan pakaian yang paling mahal dan paling... mencolok. Kita akan keluar sekarang," ucap Tamara melirik paperbag yang tadi di bawa oleh Cindy.
"Keluar? Kamu belum sembuh total!" protes Cindy keras, kembali ke mode cerewetnya.
"Kamu baru sadar, Tam! Dan ingat, Tiga hari lagi kau akan menikah dengan Reifan Adhitama! Pria yang kau cintai setengah mati-"
"Aku tidak mencintai pria itu. Aku juga tidak sakit," potong Tamara tegas, membuat Cindy bungkam.
"Dan aku tidak punya waktu untuk berbaring di rumah sakit yang bau karbol ini," lanjut Tamara, dingin.
Tamara berjalan ke arah sofa, mengambil salah satu paperbag, dan melihat isinya. Sebuah dress merah menyala dengan potongan berani.
"Bagus," gumam Tamara, mengangguk kan kepala nya puas.
"Dengarkan aku baik-baik, Cindy. Aku akan memberimu dua pilihan. Pertama, kau membantuku dan tutup mulut tentang apa pun yang akan kau lihat dan dengar. Kedua, kau pergi dari sini sekarang dan lupakan aku," ucap Tamara menatap Cindy datar, sebuah tatapan yang tidak pernah Cindy lihat dari sahabat nya.
Mata Cindy membulat, dia bisa merasakan ada sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang besar dan berbahaya, dari sahabatnya ini.
"A-apa yang terjadi padamu, Tamara?" tanya Cindy, suaranya pelan.
"Kenapa kau seperti orang lain? Kau tidak pernah berbicara sekejam ini," lanjut Cindy, sungguh bingung dengan perubahan drastis sahabat cengeng nya.
"Aku hanya sadar. Sadar bahwa hidupku tidak akan dikendalikan oleh drama murahan dan pria tak peduli," jawab Tamara. Matanya berkilat dingin.
"Aku tidak ingin menjadi wanita yang menyedihkan yang bunuh diri karena cinta. Itu menjijikkan," lanjut Tamara.
"Jadi, apa pilihanmu? Membantu atau pergi?" tanya Tamara, menatap Cindy lurus.
Cindy terdiam sejenak, dan menghela nafas nya panjang, meskipun bingung, ada percikan kegembiraan di matanya. Sisi dark yang tidak pernah ia lihat dari Tamara ini terasa menarik.
"Astaga, baiklah! Aku akan membantumu!" seru Cindy akhirnya, dengan ekspresi campur aduk antara panik dan antusias.
"Tapi kau janji akan menjelaskan semua ini setelah kau sehat sepenuhnya!" lanjut Cindy, melotot kan matanya.
"Bagus," Tamara tersenyum lagi, senyum yang kali ini lebih tenang, namun tetap memancarkan dominasi.
"Sekarang, berikan kunci mobilmu. Aku akan bertemu calon suamiku lebih awal. Siapkan dirimu, Cindy. Pertunjukannya akan dimulai hari ini," ucap Tamara tersenyum miring.
Tamara melirik ke perawat yang masih berbisik di sudut, raungan.
"Sistem, kirim pesan ke Nyonya Ratna. Katakan padanya aku akan berada di kantor suaminya. Jika dia berani menghubungi Reifan, aku akan menelepon polisi tentang penggelapan pajak dalam waktu lima menit," batin Tamara, memberikan perintah pada Sistem nya.
"Siap, Tuan Rumah! Pesan terkirim."
Cindy menelan ludah kasar melihat perubahan sangat besar pada sahabat piyik nya, Cindy hanya bisa mengangguk pasrah, lalu menyerahkan kunci mobilnya, dan membantu Tamara memilih sepatu.
Pertunjukan. Ya, sepertinya hidup sahabatnya dan hidupnya sendiri, baru saja menjadi jauh lebih menarik, dan berbahaya, pikir Cindy antara takut dan juga antusias.
"Ayo"
Mereka berdua keluar dari ruang itu, mengabaikan tatapan beberapa perawatan yang sedari tadi berbisik-bisik di sudut ruangan.
"Tam, apa kamu yakin akan datang ke kantor calon suami mu?" tanya Cindy, sambil berjalan di koridor rumah sakit.
"Maksud ku, jangan sekarang, kamu baru sembuh, aku hanya khawatir dengan keadaan kamu," lanjut Cindy tulus.
Tamara mengehentikan langkahnya, dan menatap Cindy dengan pandangan yang sulit di artikan, jujur di kehidupan pertama nya Tamara tidak memiliki satu pun orang yang benar-benar perduli ke padanya, orang-orang hanya takut karena dirinya memiliki kekuasaan. Tapi Cindy? Sahabat baru nya ini, gadis cerewet itu mengkhawatirkan dirinya.
"Baik lah, aku tidak akan menemui Reifan sekarang," jawab Tamara, akhir nya setuju.
Mendengar jawaban sahabat nya, Cindy tersenyum lebar.
"Bagus, ayo kita pulang, les go!!" seru Cindy mengandeng tangan Tamara.
Tamara hanya membiarkan, sudut bibir nya sedikit terangkat.
"Ternyata seperti ini memiliki seorang sahabat yang benar-benar perduli dengan kita, tanpa melihat kita siapa," batin Tamara, merasa hangat di dada nya.
Mereka berdua sampai di parkiran rumah sakit, dan langsung menuju mobil Cindy yang terparkir.
Mobil Ferrari warna putih.
"Kamu yakin mau menyetir?" tanya Cindy melihat Tamara.
"Hem, ayo," jawab Tamara masuk ke dalam mobil Cindy dan duduk di kursi kemudi.
Cindy yang melihat Tamara sudah duduk di kursi kemudi, akhir nya ikut masuk ke dalam mobil nya dan duduk di kursi penumpang di samping Tamara.
"Let's start this game "batin Tamara tersenyum miring.
Mobil Ferrari putih itu meleset pergi dari parkiran rumah sakit dengan kecepatan cukup tinggi.
Saat itu, Reifan Adhitama sedang berada di puncak menara kerajaannya, kantor Adhitama Group yang megah, dan merupakan perusahaan terbesar nomor satu di dunia.
Ruangan itu didominasi warna gelap dan minimalis, memberikan kesan dingin, efisien, dan tanpa basa-basi, persis seperti kepribadian pemiliknya. Dinding kaca besar di belakang meja kerjanya menampilkan panorama Kota Metropolitan yang tampak kecil dan berada di bawah kekuasaannya.
Reifan sendiri duduk di balik meja, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang dipotong sempurna. Wajahnya yang tampan terukir tajam, matanya yang kelam fokus menatap tiga monitor komputer di depannya, menganalisis grafik fluktuasi pasar saham global dengan ketenangan seorang predator.
Di usianya yang baru menginjak kepala tiga, ia sudah memegang kendali penuh atas konglomerasi raksasa yang bergerak dari bidang real estate hingga teknologi gelap, dan tentu saja, jaringan tersembunyi yang menjadi tulang punggung kekuatannya.
Statusnya sebagai duda dengan dua anak, seorang putra berusia 8 tahun dan berusia 6 tahun, semakin menambah aura misterius dan dominan di sekitarnya. Ia adalah pria yang kaya raya, berkuasa, dan yang terpenting, ia tidak punya waktu untuk drama, karena selain memimpin perusahaan raksasa nya, Reifan juga pemimpin dari organisasi mafia paling kejam.
Di sampingnya, berdiri tegak dan tanpa suara, Asisten Pribadinya, Damian. Pria itu memegang sebuah tablet berisi jadwal dan laporan keamanan, sesekali melirik pada ekspresi bosnya yang tidak pernah berubah.
Tiba-tiba, Damian berdeham pelan, memecah keheningan yang tebal dan mencekam.
"Tuan Reifan," ucap Damian dengan suara rendah dan profesional.
"Ada laporan baru terkait situasi Nona Tamara," lanjut Damian, dengan hati-hati.
Reifan tidak mengalihkan pandangannya dari monitor, namun jarinya yang tadinya mengetuk pelan permukaan meja kini berhenti. Itu adalah sinyal agar Damian melanjutkan.
"Laporan dari rumah sakit menyebutkan, Nona Tamara sudah siuman beberapa jam yang lalu. Namun ada sesuatu yang aneh," ucap Damian, menjeda ucapan nya.
"Menurut rekaman CCTV dan keterangan perawat yang berani melapor, Nyonya Ratna, ibu tirinya, datang dan keluar dengan tergesa-gesa. Perawat bersumpah Nona Ratna tampak ketakutan," lanjut Damian, sedikit ragu.
Reifan akhirnya mendongak, matanya yang tajam menatap Damian. Instingnya, yang setajam pisau bedah dan menjadi alasan ia bertahan di dunia gelap, langsung bergetar.
Tamara yang ia tahu adalah gadis manja, penuh drama, dan selalu histeris. Dia adalah boneka yang gampang dimanipulasi, dan percobaannya bunuh diri hanya semakin menegaskan kelemahan mentalnya.
Reifan menikahinya hanya karena perhitungan bisnis dan ingin mengikat keluarga Tamara agar tetap berada dalam pengaruhnya, bukan karena ketertarikan.
"Ketakutan?" ulang Reifan, nadanya datar namun dinginnya mampu membekukan udara di ruangan itu.
"Ratna? Seorang wanita yang pandai berakting dan memanipulasi itu ketakutan pada Tamara yang cengeng?" tanya Reifan, tersenyum miring.
"Benar Tuan, itu laporan yang Saya terima," jawab Damian mengangguk kan kepala nya.
"Itu bukan bagian yang paling aneh, Tuan. Lima menit yang lalu, saya menerima pesan anonim dari ponsel Nona Tamara. Pesan itu ditujukan pada Nyonya Ratna, dan isinya adalah ancaman untuk membongkar skandal penggelapan pajak suaminya, Tuan. Dan Nona Tamara menyampaikan bahwa dia akan menuju ke kantor Anda sekarang juga," lanjut Damian, menyampaikan semua informasi yang dirinya terima.
Mendengar laporan dari Damian, Reifan menyandarkan punggungnya ke kursi. Senyum tipis, nyaris tidak terlihat, terukir di sudut bibirnya. Itu bukan senyum geli, melainkan senyum yang muncul saat predator menemukan anomali yang menarik.
Skandal penipuan pajak dan penggelapan dana milik Ayah Tamara. Informasi itu rahasia, hanya diketahui oleh lingkaran terbatas. Bagaimana Tamara bisa mengetahuinya, apalagi menggunakannya sebagai ancaman yang efektif? Bukan kah gadis itu selalu menurut pada Ayahnya? Dan sejak kapan Tamara memiliki keberanian untuk mendatangi kantornya?
"Insting saya mengatakan ada yang salah, Damian. Apa benar laporan yang kami terima itu?" tanya Reifan, suaranya tenang, nemun penuh penekan.
"Tamara tidak akan pernah mengancam. Dia akan menangis, merengek, atau paling parah, berteriak histeris. Dia bahkan tidak akan tahu apa itu penggelapan pajak. Apalagi, dia baru saja mencoba bunuh diri," lanjut Reifan menggeleng kan kepala nya tidak percaya.
Informasi ini Saya pastikan akurat, Tuan," jawab Damian.
"Hem"
Reifan bergumam lirih, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja kerja nya dengan pandangan lurus kedepan, tatapan mata nya begitu dingin dan tajam.
Damian diam, dan menunggu perintah.
"Batalkan rapat pukul tiga. Siapkan laporan keuangan palsu yang sudah kita siapkan untuk dipertunjukkan kepada publik," perintah Reifan, tegas.
"Gadis itu tidak tahu apa yang sedang ia hadapi. jika dia ingin bermain, saya akan memberinya panggung," ucap Reifan tersenyum dingin.
Kau salah besar Tuan Reifan Adhitama, mungkin nanti kamu akan menyesal saat bertemu dengan calon istri mu itu, karena sekarang tidak ada lagi Tamara yang cengeng dan histeris. Tamara sang Ratu Mafia yang akan mengambil alih permainan ini.
"Damian, kontak tim keamanan, kalau perempuan itu benar-benar datang, biarkan dia masuk. Tidak ada pemeriksaan, tidak ada penundaan. Bawa dia langsung ke sini," perintah Reifan, kemudian menambahkan dengan tatapan dingin.
"Dan pastikan semua yang ada di koridor lantai ini menyaksikan kedatangannya. Biarkan dia membuat kesan pertamanya. Saya juga ingin tahu, siapa yang menemaninya. Catat detail orang itu. Saya yakin itu bukan ibu tirinya," lanjut Reifan menggerakkan tangannya ke intercom.
Dengan cekatan, Damian mencatat semua perintah dari Tuan nya, tanpa sedikit pun yang terlewat kan.
"Baik, Tuan Reifan. Saya akan pastikan tim keamanan mencatat detail pendamping Nona Tamara. Mengingat Tuan belum pernah bertemu Nona Cindy, saya akan meminta laporan foto dan identitas segera setelah mereka tiba," jawab Damian, menganggukkan kepalanya tegas.
"Bagus! Sekarang kau boleh pergi," ucap Reifan, mengibaskan tangannya.
"Saya permisi Tuan," ucap Damian, sopan, keluar dari ruangan Reifan.
"Hem"
Setelah Damian keluar Reifan kembali menatap panorama kota, melanjutkan pekerjaan nya yang sempat tertunda.
Tiba-tiba mata Reifan menyipit, mengingat kembali data kasar yang ia punya tentang calon istrinya, gadis yang seharusnya sebentar lagi datang dengan wajah pucat, mata sembap, dan pakaian rumah sakit.
"Menarik," gumam Reifan pada dirinya sendiri.
"Mari kita lihat, apakah kau benar-benar berani, atau hanya mencoba trik murahan untuk menarik perhatian, Nona Tamara," batin Reifan tersenyum miring.
Reifan tidak tahu bahwa ia bukan akan bertemu dengan Nona Cengeng yang dramatis, melainkan dengan Ratu Mafia dari kehidupan lain, seseorang yang instingnya sama tajamnya, jika tidak lebih, dan yang sudah bertekad untuk menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya. Pertunjukkan itu bukan untuk Tamara, melainkan untuk Reifan sendiri. Dan Tamara akan menjadi pemain utama yang tak terduga dalam drama baru ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!