NovelToon NovelToon

Mirror World Architect

BAB 1: GEMA PADA MARMER IMITASI

Pukul 14.32.

Hujan baru saja berhenti, meninggalkan kota dalam lapisan jelaga basah yang berkilau sakit-sakitan di bawah langit yang sewarna beton mentah. Udara menempel di kulit, berat oleh bau knalpot dan ozon yang samar.

Rania menghentikan motornya di lobi *drop-off* Menara Kencana. Paket ke-21 hari ini. Sebuah kotak ringan berisi dokumen penting yang, ironisnya, mungkin akan berakhir di mesin penghancur kertas.

Dia mendorong helmnya ke belakang, mengusap wajahnya yang terasa kaku. Dia bisa merasakan getaran mesin motor yang mati di telapak tangannya. Pekerjaan ini—pekerjaan yang dia pilih karena "tidak perlu berpikir"—ternyata menuntut segalanya dari tubuhnya.

Dia melangkah masuk ke lobi. Dan, seperti biasa, arsitek di dalam kepalanya—bagian dirinya yang paling dia benci tapi tidak bisa dia matikan—langsung mengambil alih.

Lobi ini adalah sebuah kejahatan desain.

Dirancang untuk mengintimidasi, tapi dieksekusi dengan anggaran terbatas. Panel-panel marmer imitasi menutupi dinding, berusaha terlihat agung. Rania mendengus dalam hati. Matanya yang terlatih langsung menangkap polanya: cetakan *graining* digital yang sama berulang setiap tiga panel. Malas. Sambungan antara panel dan plafon gipsum ditutupi lis aluminium murahan.

Ruangan ini tidak "berbicara" apa-apa selain "kami mencoba menghemat uang".

Sambil berjalan ke meja resepsionis, dia melewati barisan lift berlapis *stainless steel* yang kusam. Dia melirik refleksinya sendiri. Pakaian kurir yang kebesaran, rambut hitam kusut yang keluar dari helm, dan mata yang terlalu lelah untuk usia dua puluh satu.

Dia mengalihkan pandangan.

Lalu, jantungnya seolah berhenti sepersekian detik.

Dia melihat lagi ke panel baja itu. Refleksinya menatap balik. Normal. Tapi sesaat tadi...

Rania berhenti melangkah. Dia menoleh tajam ke panel lift di sebelahnya. Refleksinya menoleh bersamanya. Dia menggeser kaki. Refleksinya ikut bergeser.

Dia mengerutkan kening. Sesaat tadi, Rania bersumpah, refleksinya di panel pertama *tertinggal*. Sepersekian detik *terlalu lambat* untuk meniru gerakannya. Seperti *lag* pada panggilan video yang buruk.

Rasa dingin yang aneh, yang tidak ada hubungannya dengan pendingin ruangan lobi yang menderu, menjalar di tengkuknya.

"Kurang tidur," desisnya pelan, membuang muka. "Terlalu banyak kopi. Terlalu sedikit bayaran."

Dia menyerahkan paket itu ke resepsionis yang nyaris tidak mendongak, mendapatkan tanda tangan digital di gawainya, dan berbalik pergi. Dia tidak menoleh lagi ke panel-panel lift itu.

 

Lima belas menit kemudian, motornya terparkir di gang sempit di samping "Kopi Titik Koma".

Kafe itu adalah satu-satunya tempat aman Rania. Sebuah bangunan tua era kolonial yang terjepit di antara ruko-ruko baru yang seragam. Tempat ini jujur. Dindingnya bata ekspos asli, retakannya nyata, dan bau kopi robusta-nya pekat.

Dia mendorong pintu kayu yang berat, bel kuningan di atasnya berdentang pelan.

"Kasih aku racun biasa, Za. Dobel," kata Rania, melempar tas selempangnya ke kursi kayu yang sudah goyang.

Reza, si barista, mendongak dari balik mesin espreso-nya. Dia seumuran dengan Rania, kurus, dengan kacamata berbingkai tebal dan senyum yang sama sinisnya.

"Wajahmu kelihatan lebih kusut dari denah bangunan yang gagal lelang," sahut Reza, suaranya nyaris tak terdengar di antara desisan uap *steamer*.

"Baru saja ketemu lobi yang didesain oleh komite," Rania merebahkan kepalanya di atas meja kayu yang dingin. "Dan kayaknya refleksiku sendiri baru saja mengajukan surat pengunduran diri."

Reza berhenti mengelap cangkir. Minatnya terusik. "Pengunduran diri? Aneh? Aneh gimana?"

Rania mengangkat kepalanya. Dia tahu tatapan itu. Reza adalah penggila sejarah lokal, mitos urban, dan segala sesuatu yang "janggal". "Aneh tipe 'kurang tidur', Za. Bukan aneh tipe 'hantu penunggu lift' kesukaanmu."

"Sayang sekali," kata Reza, kembali bekerja. "Padahal aku punya cerita baru soal Menara Kencana. Katanya, kalau kamu di lift sendirian saat jam tiga pagi, lift-nya kadang berhenti di lantai yang *tidak ada*."

"Itu namanya kerusakan tombol, bukan portal dimensi," Rania mendengus, tapi dia mengambil cangkir hitam pekat yang disodorkan Reza padanya. Kafein membakar tenggorokannya. Rasanya nyata. Membumi.

"Terserah," kata Reza, mengeringkan tangannya di celemek. "Ngomong-ngomong soal aneh... Aku punya 'pekerjaan' buatmu. Yang ini bukan dari aplikasi."

Rania mengangkat alis. "Aku lagi malas."

"Ini cocok buat orang malas yang butuh uang sewa. Klien misteriusku yang kemarin kuceritakan—si kolektor buku tua itu—minta tolong lagi. Dia mau ada paket yang diantar. Tunai. Bayarannya tiga kali lipat tarif normal."

Tiga kali lipat. Itu menarik perhatian Rania. Itu berarti dia bisa mengambil libur dua hari.

"Apa yang harus kuantar? Organ curian?"

"Lebih aneh lagi." Reza menunjuk ke sebuah kotak kardus kecil berlapis *bubble wrap* tebal di bawah meja kasir. "Dia mau kamu antar itu ke 'Toko Barang Antik Kuno Warisan'. Di Jalan Tembaga."

Rania mengerutkan kening. "Aku hafal sebagian besar jalan di kota ini. Aku belum pernah dengar Jalan Tembaga."

"Tepat!" Reza mencondongkan tubuh, matanya berbinar di balik kacamatanya. "Itu dia bagian serunya. Menurut arsip kota yang kucek, Jalan Tembaga itu... sudah tidak ada. Dihapus dari peta tahun 1970-an untuk pembangunan jalan layang. Tapi klienku bersikeras alamatnya di sana."

Rania menatap kotak itu. Lalu menatap Reza.

"Pekerjaan buat orang aneh, ya?"

"Dia bayar tiga kali lipat, Ra," ulang Reza.

Rania menghela napas panjang, menghabiskan kopinya dalam satu tegukan pahit. Idealismenya mungkin sudah mati, tapi pragmatismenya butuh uang sewa.

"Baik," katanya, berdiri dan meraih tasnya. "Aku ambil. Tapi kalau aku berakhir di dimensi lain gara-gara peta hantumu, kopi seumur hidupku jadi tanggunganmu."

Dia berjalan ke konter dan meraih kotak berlapis *bubble wrap* itu.

Kotak itu terasa berat untuk ukurannya. Dan dingin.

Rania berhenti. Bukan dingin karena AC kafe, atau dingin sisa hujan. Ini adalah dingin yang *padat*. Dingin yang kering, yang terasa seperti menyedot kehangatan dari telapak tangannya. Dingin yang terasa seperti baja yang dipoles, seperti marmer di makam.

Dia menatap Reza. Reza hanya mengangkat bahu, "Mungkin isinya patung kecil?"

Rania mengalihkan pandangannya ke kotak itu. "Pasti," gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Pasti cuma patung."

Dia menyelipkan kotak dingin itu ke dalam tas kurirnya, di antara paket-paket lain yang normal dan membosankan. Rasa dingin itu seakan menempel di kulitnya.

Dia mendorong pintu kayu, bel berdentang lagi, dan dia kembali melangkah ke jalanan kota yang basah dan abu-abu.

BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN

Toko itu tidak ada.

Bagi 99,9% populasi kota, Jalan Tembaga adalah sebuah catatan kaki historis, sebuah arteri yang terpotong dan dibiarkan mati, digantikan oleh fondasi beton masif jalan layang tol dalam kota. Bagi mata biasa, alamat yang dituju Rania adalah dinding bata kusam yang dipenuhi coretan vandalisme dan bau pesing.

Tapi bagi mata yang tahu ke mana harus melihat—atau bagi mereka yang *tertarik* oleh takdir—dinding itu memiliki celah. Sebuah lorong sempit, tidak lebih lebar dari bahu pria dewasa, terjepit di antara pilar jalan layang dan bagian belakang ruko tekstil.

Di ujung lorong itulah "Toko Barang Antik Kuno Warisan" berdiri, tersembunyi dari abad ke-21 oleh sesuatu yang lebih kuat dari bata dan semen: ketidakpedulian kolektif.

Di dalam toko itu, waktu bergerak seperti madu kental.

Bapak Yusuf telah duduk di kursi kayunya yang berderit selama empat puluh tiga tahun. Dia adalah pria yang terbuat dari debu dan kesabaran. Usianya tidak jelas; bisa enam puluh, bisa seratus enam puluh. Dia mengenakan kemeja batik lawas yang warnanya sudah memudar menjadi cokelat seragam, dan kacamata bacanya bertengger di ujung hidung yang tajam.

Tokonya adalah dunianya. Dan dunianya sunyi.

Ini bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang memiliki *berat*. Suara klakson dan deru mesin dari jalan layang di atas sana terdengar sangat jauh, teredam, seolah berasal dari dasar lautan. Di sini, satu-satunya suara adalah detak ritmis jam kakek di sudut ruangan—jam yang jarum detiknya bergerak dengan jeda yang terasa *sedikit* lebih lama dari satu detik.

Debu di toko ini pun berbeda. Debu di sini tidak beterbangan. Debu di sini *mengendap*, melapisi setiap barang antik—setiap topeng kayu, gulungan kaligrafi, dan patung perunggu—dengan selimut abu-abu yang terhormat.

Bagi Bapak Yusuf, ini adalah tatanan yang benar. Dunia di luar sana—dunia kaca, baja, dan layar yang berteriak—adalah sebuah anomali. Kebisingan. Sebuah kesalahan desain yang dibiarkan terlalu lama.

Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, dia memulai ritualnya.

Dia menyeduh teh tubruk di cangkir porselen retak. Dia mengambil kuas berbulu halus dan, dengan presisi seorang ahli bedah, mulai membersihkan koleksi kerisnya. Dia tidak membersihkan untuk menjual. Dia membersihkan untuk *mempertahankan*.

Setiap barang di toko ini adalah sebuah "Jangkar". Sebuah pemberat kecil yang membantu menjaga "Tirai"—selaput tipis yang memisahkan dunia nyata dari Dunia Cermin—tetap di tempatnya. Toko ini, secara keseluruhan, adalah sebuah "Titik Buta" (Blind Spot) utama. Sebuah benteng.

Dan Bapak Yusuf adalah penjaganya. Seorang Pelestari dari Ordo yang lebih tua dari nama kota itu sendiri.

Dia merasakan "Gema" di tokonya seperti orang normal merasakan suhu ruangan. Hari ini, Gema terasa *tipis* dan *gelisah*.

Dia bisa melihat mereka. Di dunia luar, Rania hanya akan melihat debu atau kilatan cahaya yang salah. Di sini, di dalam bentengnya, Bapak Yusuf melihat "Ikan Gema" kecil-kecil, tidak lebih besar dari jari kelingking. Mereka berwarna perak pucat, berenang malas di antara kaki-kaki meja dan di dalam guci keramik kosong. Mereka adalah fauna alami dari realitas yang berdekatan.

Namun, hari ini, mereka berkerumun cemas di dekat langit-langit, menghindari sesuatu di meja konter.

Bapak Yusuf menghela napas. Dia meletakkan kuasnya.

Di atas meja konter mahoni yang gelap, di sebelah buku kasir kuno, tergeletak sebuah benda yang paling dia benci sekaligus paling dia hormati.

Mangkuk Porselen Kuno.

Benda itu tidak terlihat istimewa. Seukuran mangkuk sup, dengan glasir seladon pucat yang usianya ribuan tahun. Tapi benda itu memiliki satu cacat: retakan halus seperti jaring laba-laba yang menjalari seluruh permukaannya. Itu adalah artefak yang rusak, sebuah kunci yang patah.

Mangkuk itulah "baterai" yang memberi daya pada Titik Buta ini. Dan baterai itu sedang sekarat. Retakannya semakin banyak selama dekade terakhir, seiring dengan semakin "berisik"-nya dunia luar.

"Tenang," gumam Pak Yusuf pada ikan-ikan Gema yang gelisah. "Dia akan segera datang."

Dia sudah tahu. Ordo telah memberitahunya. Bukan melalui telepon atau email—cara-cara barbar itu—tetapi melalui mimpi yang dibagikan dan tanda-tanda yang disepakati. Sebuah "Anomali Terikat" yang baru telah muncul. Seorang Arsitek baru, yang dipilih oleh Gema itu sendiri, sedang dalam perjalanan.

Bukan untuk mengambil Mangkuk itu. Bukan untuk memperbaikinya.

Tapi untuk *mengaktifkannya*.

Tugas Bapak Yusuf hari ini sederhana: memastikan "Batu Tinta Beku" yang dikirim oleh Pelestari lain—batu yang diperlukan untuk ritual perbaikan—tiba dengan selamat. Dan memastikan *Anomali* itu menyentuh Mangkuk Kuno saat dia di sini.

Sebuah ujian. Sebuah inisiasi yang tidak disadari oleh sang inisiat.

Bapak Yusuf benci hari-hari seperti ini. Hari-hari ini mengganggu rutinitasnya. Hari-hari ini membawa "kebisingan" dari luar masuk ke dalam dunianya yang tenang.

Tepat pukul 15.11—dia tahu tanpa melihat jam, karena bayangan di lantai telah menyentuh kaki kursi tertentu—bel kuningan di atas pintu berdenting.

Suaranya nyaring, memecah keheningan tebal tokonya seperti palu memecah kaca.

Gadis itu masuk.

Bapak Yusuf mengamatinya dari balik kacamata bacanya. Dia adalah lambang dari segala yang dia benci. Dia membawa bau knalpot dan ozon sisa hujan. Dia mengenakan jaket *nylon* yang berisik setiap kali bergerak. Dia membawa gawainya yang menyala-nyala di tangan.

Dan Gema-nya... Gema gadis itu *kacau*.

Bapak Yusuf bisa melihatnya dengan jelas. Aura gadis itu seharusnya bersinar terang—aura seorang Arsitek, seorang yang "sensitif". Tapi aura itu kusam, tertutup lumpur sinisme, kelelahan, dan kekecewaan yang mendarah daging. Seperti sebuah *blueprint* mahakarya yang telah dilipat, diinjak-injak, dan dibiarkan terendam air.

"Permisi? Toko Antik Warisan?" Suara gadis itu terdengar serak. Tidak sabar.

Bapak Yusuf hanya mengangguk pelan, tidak berdiri dari kursinya. "Saya Yusuf. Anda membawa paket."

Gadis itu, Rania, tampak lega sekaligus jengkel. Dia berjalan ke konter, langkahnya terlalu cepat untuk ritme toko ini. "Akhirnya. Tempat ini susah sekali dicari. GPS saya mati total tiga blok dari sini."

"GPS tidak berfungsi di tempat yang tidak seharusnya ada," kata Pak Yusuf pelan.

Rania hanya menatapnya seolah dia sudah gila. "Terserah. Ini paketnya."

Dia mengeluarkan kotak ber-JNE (Tunggu, tidak, Reza bilang ini *cash*. Ini pengiriman non-resmi.)

Dia mengeluarkan kotak berlapis *bubble wrap* tebal dari tas selempangnya. Kotak yang sama yang Rania rasakan dingin di kafe tadi.

"Berat," gerutu Rania. Dia meletakkannya di atas meja konter.

*Thud*.

Suara itu terlalu berat. "Ikan Gema" di langit-langit berhamburan ketakutan.

Bapak Yusuf mengabaikan Rania sejenak. Dia dengan hati-hati membuka *bubble wrap* itu. Di dalamnya ada kotak kayu berukir. Dan di dalamnya, terbungkus sutra hitam, ada sebongkah batu hitam pekat yang terasa dingin membekukan. "Batu Tinta Beku". Benda itu menyerap cahaya. Bagus. Barang sudah tiba.

"Oke, Pak Tua," kata Rania, menyodorkan gawainya. "Tanda tangan di sini."

Bapak Yusuf memicingkan mata pada layar yang menyilaukan itu. Dia mengambil *stylus* plastik dengan jari-jarinya yang kapalan.

Dan inilah saatnya.

Untuk menandatangani, Rania perlu meletakkan gawainya di atas meja. Satu-satunya ruang yang tersisa di konter yang penuh sesak itu adalah *tepat di sebelah* Mangkuk Porselen Kuno yang retak.

Rania meletakkan gawainya di sana.

Dan, untuk menyeimbangkan diri saat membungkuk menunjukkan di mana harus menekan, telapak tangan kirinya mendarat.

Tepat di atas permukaan Mangkuk Porselen Kuno itu.

Tidak ada ledakan. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara.

Bagi Rania, itu hanyalah sebuah mangkuk tua yang dingin berdebu.

Tapi bagi Bapak Yusuf, dunia di dalam tokonya meledak dalam keheningan total.

Dia melihat Gema Rania—aura kusam yang tadi tertidur—*menyala* dalam sekejap. Cahaya oranye yang cemerlang, seperti bara api yang ditiup badai, meletus dari telapak tangannya dan disedot oleh retakan-retakan di Mangkuk Kuno itu.

Semua "Ikan Gema" perak di toko itu tiba-tiba berhenti. Mereka berbalik serempak, seperti kompas yang menemukan utaranya. Mereka berenang deras ke arah Rania, berputar-putar di sekelilingnya seperti tornado kecil yang tak terlihat.

Mangkuk Kuno itu sendiri *bergetar* hebat, mengeluarkan suara dengungan frekuensi sangat rendah yang hanya bisa dirasakan Yusuf di dalam tulang-tulangnya. Retakan di Mangkuk itu bersinar oranye sesaat.

Dan di telapak tangan Rania—hanya terlihat oleh mata Yusuf yang terlatih—sebuah "Tanda" spektral terbakar: Sebuah pola geometris rumit, seperti denah katedral yang mustahil, bersinar selama tiga detik sebelum memudar kembali ke dalam dagingnya.

Ikatan telah terbentuk.

Gadis itu, Rania, hanya tersentak dan menarik tangannya.

Dia mengernyit. "Ugh. Udara di sini pengap banget, Pak. Bikin pusing." Dia menggosok-gosok telapak tangannya yang baru saja "terbakar" di celananya, seolah-olah hanya untuk membersihkan debu.

Bapak Yusuf menyelesaikan tanda tangannya di gawai itu. Dia mengembalikannya. Matanya yang setua debu menatap Rania, kini dengan penilaian baru.

"Sudah selesai," katanya.

"Bagus." Rania menyambar gawainya, tidak sabar untuk pergi dari tempat yang membuatnya merinding. "Terima kasih."

Dia berbalik dan berjalan cepat ke pintu. Bel berdentang nyaring lagi.

Dan dia pergi. Membawa serta bau ozon, ketidaksabaran, dan Gema yang baru saja terbangun di dalam darahnya.

Bapak Yusuf duduk dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Toko itu terasa lebih *hidup*. Lebih *stabil*.

Dia melihat ke Mangkuk Kuno di atas meja. Mangkuk itu berhenti bergetar. Retakannya masih ada, tetapi kini terisi oleh cahaya oranye redup yang berdenyut pelan, seperti jantung yang tidur.

Baterai itu telah diisi ulang.

Dia menoleh ke jam kakek di sudut. Jarum detiknya berdetak dengan ritme yang stabil dan benar. Satu detik, tepat satu detik. Tatanan telah pulih untuk sementara waktu.

Bapak Yusuf kembali ke kursinya yang berderit. Dia mengambil kuasnya lagi, bersiap melanjutkan ritualnya membersihkan keris.

"Akhirnya," gumamnya pada debu yang mengendap. "Sang Arsitek telah mengambil alatnya."

Dia berhenti sejenak, memikirkan aura kacau dan sinis milik gadis itu. Aura yang sudah retak bahkan sebelum disentuh oleh Gema.

"Semoga kali ini fondasinya tidak runtuh," lanjutnya. "Karena yang ini... yang ini sudah retak sejak awal."

BAB 3: RETAKAN PADA GIPSUM

Rania praktis berlari keluar dari lorong sempit yang menyesakkan itu.

Begitu kakinya menyentuh trotoar jalan raya utama, rasanya seperti menembus permukaan air. Deru klakson, geraman mesin diesel, dan pekikan rem yang tiba-tiba terasa *terlalu keras*, menyerang telinganya setelah keheningan pekat di toko Bapak Yusuf.

Dia menyandarkan punggungnya yang basah oleh keringat dingin ke pilar jalan layang yang dingin dan berjamur. Napasnya pendek-pendek.

"Tempat gila," gumamnya. "Orang gila. Pekerjaan gila."

Bayaran tiga kali lipat. Itu yang dia ulang-ulang dalam kepalanya. Tiga kali lipat bayaran berarti dia bisa mengurung diri di apartemennya selama tiga hari penuh, tidak menjawab telepon, dan berpura-pura dunia di luar tidak ada. Sebuah kemewahan yang pantas didapat setelah berurusan dengan... *itu*.

Dia memeriksa gawainya. Layar itu masih berkedip-kedip bingung. Sinyal GPS-nya melompat-lompat liar, menempatkan lokasinya di tengah sungai, lalu di atas gedung parlemen, sebelum akhirnya menyerah dan menunjukkan lingkaran abu-abu kosong.

"Sialan," desisnya. Dia tahu jalan pulang. Dia *adalah* peta. Tapi ketergantungan dunia modern pada teknologi yang rapuh ini selalu membuatnya muak.

Perjalanan pulang adalah sebuah siksaan sensorik.

Rasa dingin yang dia rasakan dari kotak di kafe Reza, dan yang semakin menusuk saat dia menyentuh mangkuk porselen berdebu itu, kini tidak lagi menempel di kulitnya.

Rasanya jauh lebih buruk. Rasa dingin itu ada *di dalam* tulangnya.

Itu adalah rasa dingin yang baja, rasa dingin yang steril, seperti udara di ruang operasi. Tidak peduli seberapa erat dia memeluk tangki bensin motornya yang hangat, rasa dingin internal itu tidak mau hilang.

Setiap kali dia berhenti di lampu merah, dia akan melirik bayangannya di spion. Refleksi di helmnya terlihat normal. Tidak ada yang tertinggal. Tidak ada yang *lag*.

"Kurang tidur," katanya pada bayangan di helmnya, suaranya teredam. "Cuma itu. Kurang tidur dan terlalu banyak kafein."

Dia menyalahkan Bapak Yusuf. Dia menyalahkan Reza dan obsesi mitos urbannya. Dia menyalahkan klien misterius itu. Dia menyalahkan siapa saja kecuali kemungkinan yang paling menakutkan: bahwa ada sesuatu yang *salah* dengan realitas itu sendiri.

***

Apartemen studio Rania terletak di lantai empat sebuah bangunan tua tanpa lift. Ini adalah tempat yang dia pilih dengan sengaja. Bukan karena murah—meskipun itu juga—tapi karena *jujur*.

Bangunan itu jujur tentang usianya. Catnya mengelupas, menampakkan plesteran asli di bawahnya. Pipa-pipa air terekspos, berkarat di sambungannya. Lantai ubinnya retak-retak. Itu adalah arsitektur yang telah *hidup* dan tidak malu menunjukkannya.

Studio kecilnya adalah cerminan dari idealismenya yang hancur.

Di satu sisi, berantakan: tumpukan pakaian kotor, piring bekas sarapan tiga hari lalu, dan kotak-kotak paket kosong.

Di sisi lain, tertata dengan presisi yang obsesif: Buku-buku teks arsitektur *mahal*—*Neufert's Architects' Data*, *A Pattern Language*, *Towards a New Architecture*—tersusun rapi, digunakan sebagai penopang monitor komputernya. Di sudut, sebuah kursi Eames imitasi yang dia beli dengan gaji pertamanya sebagai arsitek magang, kini ditutupi jaket kurir. Dan di mejanya, di samping laptop yang tertutup debu, ada satu-satunya benda berharga miliknya: sebuah lampu meja *Artemide Tizio* asli. Sebuah ikon desain.

Sarkasmenya yang paling dalam dicadangkan untuk dirinya sendiri. Dia bisa menganalisis kegagalan struktural sebuah jembatan hanya dengan melihatnya, tapi dia tidak bisa mencuci piringnya sendiri.

Dia membanting kunci di atas meja, debu beterbangan. Dia menendang sepatunya hingga membentur dinding.

Hal pertama yang dia sadari adalah keheningan.

Apartemennya selalu berisik. Nyonya Tjitro di sebelah selalu menyetel sinetron dengan volume maksimal. Pipa-pipa selalu berdesis dan mengerang.

Malam ini, semuanya... *teredam*.

Seolah-olah seseorang telah membungkus seluruh unit apartemennya dengan lapisan kapas tebal. Dia bisa mendengar suara sinetron itu, tapi suaranya terdengar jauh, seperti berasal dari balik dinding yang sangat, sangat tebal.

Dia berjalan ke jendela, mengintip ke jalanan di bawah. Mobil-mobil bergerak seperti biasa. Tidak ada yang aneh.

"Oke, Rania," katanya pada ruangan yang sunyi. "Kamu resmi kelelahan."

Rasa dingin di tulangnya kini bercampur dengan rasa lelah yang luar biasa, rasa lelah yang terasa seperti racun di pembuluh darahnya. Dia hanya ingin mandi air panas dan tidur selama seminggu.

Dia melangkah ke kamar mandi kecilnya. Ubin keramik putih 10x10cm—standar developer tahun 80-an. Dia menyalakan keran wastafel. Air mengalir.

Dia menangkupkan air ke wajahnya. Airnya terasa... *salah*.

Bukan dingin. Bukan panas. Air itu terasa *berat*. Kental. Seolah-olah viskositasnya telah berubah, menjadi seperti minyak mineral yang tipis. Air itu menempel di kulitnya dengan cara yang menjijikkan.

Dia mendongak untuk mengambil sabun muka. Dan dia membeku.

Di cermin.

Refleksinya di cermin kamar mandi, yang berbingkai plastik murahan, masih *menunduk*.

Rania—yang asli, yang terbuat dari daging dan tulang—berdiri tegak, matanya melebar ngeri, menatap cermin.

Refleksinya—yang terbuat dari perak dan kaca—masih membungkuk di atas wastafel, rambut hitamnya yang basah menutupi wajahnya, air kental itu menetes dari dagunya.

Jantung Rania serasa berhenti berdetak. Keheningan yang teredam di apartemennya tiba-tiba menjadi absolut. Satu detik berlalu. Dua detik.

Perlahan... sangat perlahan... refleksi di cermin itu mengangkat kepalanya.

Gerakannya *salah*. Terlalu mulus. Seperti animasi komputer yang sempurna, tanpa getaran otot sedikit pun. Refleksi itu mengangkat wajahnya, menyingkirkan rambutnya yang basah.

Mata mereka bertemu.

Mata refleksi itu adalah mata Rania. Tapi tidak ada kepanikan di sana. Tidak ada ketakutan. Hanya ada ketenangan yang dingin, analitis, dan... *terhibur*.

Refleksi itu tersenyum tipis. Senyum yang tidak pernah dibuat Rania.

"TIDAK!"

Rania terhuyung mundur, membentur pintu kamar mandi dengan keras hingga membuatnya berderit. Dia memejamkan mata, memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa seperti akan meledak.

"Tidak nyata. Tidak nyata. Halusinasi. Kamu *burnout*. Ini gejala *burnout*," racunya, kata-kata itu keluar seperti doa yang panik.

Dia memaksa dirinya membuka mata.

Refleksi di cermin itu kini normal. Menirukan posenya yang ketakutan dengan sempurna. Wajahnya pucat, matanya melebar ngeri. Refleksi itu adalah *dirinya* lagi.

Tapi Rania tidak bisa bernapas. Dia bisa melihat tetesan air di lantai tempat dia tersandung. Dia bisa merasakan memar yang mulai terbentuk di bahunya tempat dia menabrak pintu.

Itu nyata.

Rasa takut yang dingin itu dengan cepat digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih akrab baginya: kemarahan.

Kemarahan yang murni dan panas.

"Hebat," katanya, suaranya gemetar. "Hebat. Gaji UMR, kerja rodi, dan sekarang bonus paket halusinasi skizofrenia. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk ini."

Dia meninggalkan kamar mandi, membanting pintunya hingga tertutup. Dia tidak mau melihat cermin itu lagi.

Dia tidak repot-repot mengganti pakaian. Dia hanya melempar dirinya ke tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia tidak peduli dengan sepatu botnya yang masih kotor. Dia hanya ingin ini berakhir. Dia ingin tidur. Dia ingin *reset*.

Dia memejamkan mata, memaksa kegelapan datang. Kelelahan dari pekerjaan, ditambah kejutan adrenalin, bekerja lebih baik daripada obat tidur mana pun.

Dia jatuh tertidur.

Dan dia bermimpi.

Mimpinya tidak sureal dalam artian biasa. Tidak ada monster atau pemandangan aneh.

Mimpinya... *teknis*.

Dia tidak memiliki tubuh. Dia adalah *sudut pandang*, melayang dalam kehampaan hitam yang dingin. Dan di dalam kehampaan itu, garis-garis cahaya berwarna oranye terang mulai menggambar diri mereka sendiri.

Dia—arsitek di dalam dirinya—langsung mengenali apa yang dia lihat.

Itu adalah *blueprint*. Sebuah denah kota.

Dia mengenali pola jalanan utama, tikungan sungai, tata letak distrik pusat. Ini adalah kotanya.

Tapi ada yang *salah*. Proporsinya sempurna. Terlalu sempurna. Tidak ada penyimpangan kecil, tidak ada jalan buntu yang aneh akibat keputusan politik. Ini adalah *desain awal* kota, cetak biru ideal yang murni.

Kemudian dia melihatnya. Garis-garis oranye lain, lebih tebal, bergerak di dalam denah itu. Garis-garis itu adalah *data*.

Dia melihat satu garis tebal—*dirinya*—bergerak dari "Kopi Titik Koma". Garis itu bergerak melalui jaringan jalan yang dia kenal, lalu tiba-tiba berbelok ke sebuah area yang di dalam *blueprint* ini ditandai sebagai "Jalan Tembaga".

Di sana, garisnya bertemu dengan sebuah simpul cahaya yang berdenyut redup: "Toko Antik Kuno Warisan".

Dalam mimpinya, dia melayang mendekati simpul itu. Dia melihat sebuah objek geometris yang rumit di pusatnya. Sebuah mangkuk. Tapi mangkuk itu retak parah, seperti kaca yang pecah.

Dia melihat garis oranye-nya (energinya) menyentuh mangkuk itu. Dan seperti kintsugi—seni memperbaiki keramik dengan emas—energinya mengalir ke dalam retakan-retakan itu. Cahaya oranye terang itu menyegel pecahan-pecahan itu menjadi satu, menstabilkan strukturnya.

Dia merasakan... *kepuasan*. Sebuah *tugas* telah selesai.

Kemudian dia melihat tangannya—tangan spektral yang terbuat dari cahaya oranye yang sama. Di telapak tangannya, "Tanda" itu terbakar: sebuah sigil geometris yang mustahil, denah katedral kosmik yang rumit.

Dia terbangun dengan napas terengah.

Kamar apartemennya gelap gulita. Jantungnya berdebar kencang. Pukul 04.13 dini hari.

"Mimpi," bisiknya ke dalam keheningan yang teredam. "Cuma mimpi gila." Itu adalah penjelasan yang paling masuk akal. Semua stres hari itu, cerita Reza, toko pengap Pak Yusuf, refleksi cermin... otaknya hanya mencoba memproses sampah hari itu.

Dia bangkit dari tempat tidur, tenggorokannya kering. Dia berjalan ke dapur kecilnya untuk mengambil segelas air. Dia meminumnya dalam sekali teguk, air keran yang terasa normal, tidak kental. Dia merasa lega.

Dia kembali ke kamar tidurnya, tubuhnya masih sakit karena kelelahan. Dia berbaring telentang, menatap langit-langit, menunggu tidur datang lagi.

Di langit-langit gipsum kamarnya, dalam cahaya redup yang masuk dari lampu jalan di luar, ada sesuatu yang baru.

Rania memicingkan mata.

Memancar dari pitingan lampu di tengah ruangan, ada sebuah retakan.

Itu bukan retakan besar. Itu adalah retakan yang sangat halus, seperti jaring laba-laba. Retakan yang rapuh dan rumit. Retakan yang seharusnya tidak ada di sana sore tadi.

Rania menatap retakan itu, dan rasa dingin di tulangnya kembali dengan kekuatan penuh.

Dia mengenal pola itu.

Itu adalah pola retakan yang *sama persis* dengan yang ada di Mangkuk Porselen Kuno di toko Bapak Yusuf.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!