Berdiri di ujung tebing yang curam, dipeluk sepoi angin yang dingin. Hal itu tak menyurutkan Greenindia Simon untuk tetap menikmati hamparan bintang di atas langit.
Bagi Green, itu semua adalah ketenangan dari hiruk-pikuk dunia yang melelahkan. Sepi, indah, dan juga menenangkan jiwanya.
Namun, ketenangannya harus terusik saat sebuah tangan besar memeluknya dari belakang dan menariknya menjauh dari tebing.
Sebelum dapat mencerna apa yang terjadi, suara berat dan marah terdengar dari belakangnya.
“DASAR BODOH! APAKAH KAU PIKIR DENGAN MENGAKHIRI HIDUPMU, KAU AKAN DAPAT MENYELESAIKAN SEMUA MASALAH, HAH!”
Green tercengang mendengar teriakan itu.
Apa? Apa maksudnya? Bunuh diri? Siapa yang ingin melakukannya?
Green memberontak berusaha melepaskan dari cengkeraman pria asing di belakangnya, tapi kekuatan pria itu benar-benar sulit dilawan. Dia terus diseret menjauhi tebing.
“Hei, lepaskan aku. Siapa kau?”
“Tidak peduli siapa aku. Kalau kau ingin mati, pastikan bukan di depan mataku.”
Terus diseret hingga sampai ke sebuah area perkemahan yang lebih luas, Green baru bisa melepaskan diri. Dia berbalik menghadap pria asing yang menyeretnya tanpa alasan yang jelas.
Plak!
Green langsung melayangkan tamparan keras pada pria itu dan memakinya tanpa ampun.
“Dasar mesum kurang ajar! Beraninya kau!”
Masih tidak mengerti apa yang terjadi, Green hanya menyadari dirinya tiba-tiba dipeluk oleh pria asing dan membawanya menjauh dari tebing.
Di antara kemarahannya, Green sama sekali tidak dapat mencerna dengan jelas apa yang dikatakan pria asing kurang ajar itu. Dia hanya mampu berpikir kalau dirinya hendak dilecehkan.
Green memukuli pria itu secara membabi buta, tak peduli apa pun dia hanya harus menyelamatkan dirinya sendiri.
“Hei, hentikan!” pria asing yang belum diketahui namanya itu kembali memeluk Green karena gadis yang dia pikir hendak bunuh diri terus memukulinya tanpa ampun.
“Lepaskan!” Green berteriak dan berusaha melepaskan diri. “Biarkan aku menghajarmu sampai mati. Laki-laki mesum sepertimu tidak pantas hidup.”
“Siapa yang bilang mesum?”
“Tentu saja kau! Lepaskan.”
“Tidak akan, sebelum kau berhenti memukul.”
Meronta dengan kuat hingga hampir kehabisan tenaga, Green terengah dan merasakan tangannya yang mulai terasa panas dan sakit. Bagaimanapun, tenaganya tak bisa dibandingkan dengan pria yang tengah memeluknya sekuat tenaga.
Melihat Green yang mulai tenang, pria itu kembali berkata.
“Aku akan melepaskanmu asalkan kau berhenti memukulku. Dasar wanita gila!”
“Kau yang gila!”
“Mau berhenti atau tidak?”
Merasa tidak akan menang melawannya, Green akhirnya menyerah dan mengangguk.
“Bagus.”
Setelah dapat melepaskan diri, Green segera bergerak menjauh dan menghadap pria itu.
“Kau siapa? Apa yang ingin kau lakukan padaku?” tanya Green dengan tatapan tajam.
Saat mengatakan itu, tangannya bergerak ke kantong celananya. Dia menyimpan sebuah pisau lipat di sana untuk berjaga-jaga.
“Kau masih betanya siapa aku? Aku orang yang menyelamatkanmu dari tindakan bodohmu itu.”
“Tindakan bodoh apa yang kau maksud?” mencengkeram pisau lipat di tangan kanannya, Green masih terlihat waspada tapi ia sedikit bingung dengan perkataan pria kurang ajar di depannya. “Aku sedang menikmati pemandangan.”
Pria itu menggeram kesal dengan wajah yang memerah di bawah cahaya bulan.
“Orang waras mana yang menikmati pemandangan di ujung tebing di tengah malam seperti ini? Dengan kau mengakhiri hidupmu apakah itu juga akan mengakhiri masalahmu?”
Pria itu terengah karena marah.
“Aku tidak peduli kau mati atau hidup tapi jangan mati di dekat propertiku karena itu akan menghancurkan bisnis,”
“A-apa yang kau katakan?”
Green tercengang. Bagaimana dia bisa berpikir kalau dirinya akan mengakhiri hidup? Sudah satu jam ia berdiri di sana, sangat menenangkan sampai akhirnya pria aneh ini datang dan berpikir sesuka hatinya.
“Dengar, Tuan. Aku hanya akan mengatakannya sekali. Pertama aku di sana sedang menikmati pemandangan dan aku tidak berniat bunuh diri. Kedua aku di sini untuk berkemah kau tidak lihat tasku?” Green menunjukkan tas di punggungnya dan tenda di bagian atasnya, menunjukkan kalau apa yang dikatakannya tidak bohong.
Akan tetapi, meski sudah dijelaskan sedemikian rupa, pria itu masih tidak percaya karena dia melihat sendiri gadis di depannya terus melangkah perlahan ke depan terlihat hendak melompat.
“Nona, aku punya uang. Aku bisa mengatasi masalahmu. Berapa yang kau butuhkan? Sepuluh juta? Seratus juta? Sebutkan saja angkanya. Aku akan meminjamkanmu uang itu. Tapi berhenti berpikir untuk mengakhiri hidup.”
Green tertawa hampa. Kenapa pria ini sangat keras kepala? Apakah dia sering ditipu sampai tidak mempercayai perkataannya?
“Kau pikir semua masalah bisa diselesaikan dengan uang?”
Green melangkah pergi. Tidak ada gunanya meladeni pria aneh dan gila di hadapannya.
“Lebih baik kau menyingkir. Apa pun yang kulakukan itu bukan urusanmu.”
Melihat Green yang hendak pergi pria itu kembali menghampirinya dan menahannya.
“Nona, aku tidak bercanda.”
Pria itu segera mengeluarkan dompet di celananya dan mengambil salah satu kartu di sana. “Di dalamnya berisi uang lima puluh juta. Kau bisa menggunakannya terlebih dahulu.”
“Astaga!”
Green kehilangan kata-katanya saat ini. Betapa keras kepalanya dia. Padahal sudah dijelaskan kalau dirinya tidak berniat bunuh diri.
Sekarang manusia ajaib ini malah menyerahkan sebuah kartu ke hadapannya.
Menghela napas berat dan lelah. Green menerima kartu yang disodorkan padanya dengan menjepitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah.
“Kau memberikannya padaku?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa mengembalikannya padamu?”
Melihat wanita itu tertarik dengan uang yang diberikan, pria itu tersenyum. “Tidak masalah. Anggap saja aku menyelamatkan propertiku sendiri.”
Properti?
Tidak peduli dengan maksud pria itu, Green hanya memasukkan kartunya ke dalam kantong celana dengan acu tak acuh.
“Baiklah, sekarang, minggir.”
Pria itu menyingkir dari jalan, membiarkan Green pergi. Ia menghela napas lega. Dia merasa sangat sial karena harus berhadapan dengan wanita yang hendak mengakhiri hidup dan sekarang dirinya harus mengeluarkan uang sebesar lima puluh juta.
Namun, kelegaannya hanya bertahan sebentar saat melihat Green yang kembali mendaki alih-alih turun.
“Hei, kau sudah berjanji untuk turun.”
Pria itu berlari dan hendak meraih tangan Green, tapi gerakan wanita itu lebih cepat. Ia berbalik dengan pisau lipat yang masih dipegangnya erat untuk menjaga dirinya sendiri.
Dengan gerakan tiba-tiba, membuat Green amat terkejut dan tidak sengaja menusuk paha pria itu.
“Ahhhh!”
“Ya ampun.”
Green segera melepaskan tangannya dari gagang pisau lipat miliknya. Pria itu jatuh terduduk.
Panik, Green segera berjongkok. “Apa, apa yang harus kulakukan?” Green hendak menyentuh kembali pisaunya untuk dicabut tapi pria itu segera menghentikannya.
“Jangan lakukan!” suaranya serak dan tertahan karena rasa sakit yang menusuk.
Darah mulai merembes, membasahi celana jeans yang ia kenakan. Bagaimana mungkin hidupnya bisa sangat sial seperti ini. Setelah kehilangan lima puluh juta, sekarang ia malah mendapat tusukan di kakinya.
“Kau... kau harus tanggung jawab.”
“Tentu, aku akan tanggung jawab. Apa yang harus aku lakukan?”
Green terlihat pucat, dia sangat takut kalau terjadi sesuatu pada pria itu. Dia benar-benar tidak sengaja. Dirinya hanya terkejut.
“Menikahlah denganku.”
“Hah?”
.
.
.
.
.
Hai, i'm back.
Selamat datang di karya terbaruku. Bagi pembaca buku, yang masih menunggu karya Playboy in Marriage update. Maaf, ya, kalau terlalu lama. Aku akan menyelesaikannya perlahan setelah aku kembali membacanya hehe. biar engga ada yang miss.
Selama menunggu cerita itu update, tolong nikmati karya baruku dan mohon dukungannya.
Sebuah helikopter terlihat mengudara di sebuah pegunungan, membelah kabut yang semakin tebal di malam hari.
Green duduk di antara penumpang yang mengevakuasi pria yang tidak sengaja tertusuk oleh pisau lipat miliknya.
Beberapa saat lalu, pria itu menyuruhnya menghubungi tim rescue miliknya yang selalu siaga di dekat villa. Tidak membutuhkan waktu lama hingga mereka tiba dan berhasil membawanya mengudara.
Tujuan mereka saat ini menuju rumah sakit terdekat dari pegunungan.
"Tuan Rex, tolong jangan tidur." Seorang tim penyelamat mengingatkan saat pria yang terbaring lemah itu memejamkan matanya.
"Aku tahu." Pria yang ternyata bernama Rex itu menyahut dengan suara malas, ia membuka perlahan matanya dan melirik ke arah gadis di sampingnya.
Seketika keterkejutan melintasi matanya. Gadis yang sebelumnya garang saat memaki dirinya, mengatai dengan sebutan mesum kini duduk dengan seluruh tubuh gemetar, keringat sudah membanjiri wajahnya yang putih. Rex mengernyit saat melihat wajah gadis itu pun tampak sangat pucat. Tangan yang diletakkan di atas lututnya terkepal sangat erat, persis seperti orang yang sedang ketakutan.
'Apakah dia sangat merasa bersalah?'
Sejujurnya, Rex menyadari kalau lukanya tidak terlalu parah, bahkan tim rescue perusahaannya yang standby di villa sudah berhasil mencabut pisau kecil itu dan segera menghentikan pendarahan.
Entah bagaimana, ia suka melihat sikap panik gadis itu.
"Hei," panggil Rex karena belum mengetahui namanya.
Green yang dipanggil tetap menunduk dengan mata terpejam.
"Hei, gadis." Sekali Rex memanggil, namun masih belum menarik perhatian Greenindia.
Seorang petugas rescue yang melihat itu segera membantu dan menepuk pundak Green, membuat gadis itu terkejut.
"A-ada apa?"
Suaranya terdengar serak dan lemah.
"Tuan Rex memanggil Anda."
"Tuan Rex?" Green bingung, siapa Rex yang dimaksud.
Petugas itu menunjuk Rex yang masih terbaring di hadapannya. Green segera mengalihkan tatapannya ke arah yang ditunjuk dan segera menyadari.
"Jadi, namamu Rex?"
Rex berdecak mendengar pertanyaan itu. Sudah lebih dari satu jam dari pertemuan mereka, wanita itu bahkan sudah melukainya tapi baru sekarang dia bertanya mengenai namanya.
Kemudian, Rex terkekeh pelan, dirinya juga belum mengetahui nama gadis itu tapi sudah mengajaknya menikah.
"Ya, namaku Rex, pastikan kau selalu mengingatnya.
Green hanya menjawab dengan anggukkan, membuat Rex kembali berdecak karena wanita itu terlihat tidak berniat memperkenalkan dirinya sendiri.
"Sepertinya aku harus mengetahui namamu untuk mengajukan tuntutan."
Green merasakan punggungnya semakin menegang mendengar hal itu. Dia menatap Rex dengan pandangan rumit.
"Namaku... namaku Greenindia, kau bisa memanggilku Green."
Rex mengangguk, keningnya sedikit berkerut mendengar nama yang sedikit familiar tapi dia tidak ingat di mana pernah mendengarnya.
"Baiklah, Green kau harus bersiap."
Usai mengatakan itu, Rex memejamkan matanya kembali, tidak memedulikan reaksi gadis itu. Sakit di kakinya mulai semakin berdenyut.
"Hei, apa maksudmu?" tanya Green dengan suara sedikit meninggi tanpa sadar. "Jangan tidur, jelaskan padaku apa maksudnya?"
Green bersikeras membangunkan Rex, akan tetapi pria itu tidak menggubrisnya.
"Nona, tolong jangan lakukan itu. Kita belum mengetahui seberapa parah lukanya."
Mendapat teguran itu, Green berhenti. Ketakutan kembali menyelinap di hatinya.
Setelah beberapa saat, helikopter yang ditumpangi Rex dan Green mendarat di atap sebuah rumah sakit.
Beberapa petugas rumah sakit sudah menunggu dan segera mengevakuasi Rex untuk segera mendapatkan penanganan.
"Tuan, apakah Anda baik-baik saja?"
Seorang pemuda yang terlihat seumuran dengan Rex, mengenakan kemeja putih dan celana hitam segera mendekat dan beranya. Raut wajahnya terlihat cemas.
"Aku baik-baik saja," jawab Rex singkat, lalu melirik Green yang baru saja turun dari pesawat. "Gadis itu pelakunya. Jaga dia," katanya sebelum beberapa perawat membawanya pergi dari atap.
Jaga dia maksudnya?
Pria yang belum diketahui namanya itu sedikit terkejut begitu melihat gadis yang disebut Rex sebagai pelaku penusukan. Dia pikir pelakunya adalah perampok yang menyusup ke villa.
"Nona, saya Antonio asisten Tuan Rex. Mari ikut saya."
Green yang masih diselimuti ketakutan hanya bisa mengangguk. Entah apa yang akan dilakukan padanya dia tahu kalau dirinya tidak akan bisa lolos kali ini.
Green sudah merasakan kepalanya yang berdenyut hebat memikirkan apa yang akan dihadapinya di masa depan. Jika dilihat dari bagaimana orang-orang yang menyelamatkannya begitu menghormati Rex dan pria itu bahkan memiliki asisten pribadi. Sudah sangat jelas kalau dia pasti buka orang biasa.
Rex langsung dibawa ke ruang operasi sesuai dengan instruksi. Green dan beberapa orang yang tidak dikenalnya hanya bisa menunggu di luar ruang operasi.
Green berdiri tak berdaya, dia bahkan sudah tak merasakan apa pun sekarang. Semakin dipikirkan semakin menakutkan dengan konsekuensi yang harus dihadapinya.
Lebih dari satu jam seorang dokter baru saja keluar dari operasi dan Antonia segera menghampiri.
"Bagaimana dengan keadaan Tuan Rex?"
"Keadaannya cukup buruk," ucap dokter seraya melirik gadis yang berdiri di samping pintu masuk dengan tatapan yang sedikit aneh.
"Kondisinya sedikit buruk. Kita harus melakukan observasi menyeluruh, Kalau terjadi infeksi kemungkinan harus dilakukan amputasi."
"Apa?"
Bukan hanya asisten Rex yang terkejut tapi juga Green yang sejak tadi ikut mendengarkan apa yang dikatakan oleh dokter.
"Tuan Rex meminta Anda masuk," ucap Dokter pada Antonio.
Antonio hanya bisa mengangguk dan mengikuti dokter masuk ke ruangan, meninggalkan Green.
"Bagaimana mungkin sampai separah itu?"
Green terduduk di koridor, ia memukul kepalanya sendiri dengan penyesalan yang tampak di wajahnya. "Green, apa yang kau lakukan?"
Green terus menerus memukuli kepalanya dengan penuh penyesalan. Dia memegang pisau itu hanya untuk berjaga-jaga bukan untuk mencelakai orang yang tidak bersalah.
Setelah beberapa saat, pintu ruangan kembali terbuka. Antonio keluar dengan ekspresi rumit di wajahnya.
"Nona, bisa kita bicara sebentar?"
Green yang masih duduk di lantai dengan penampilan yang acak-acak, mendongak melihat Antonio yang berdiri menjulang di hadapannya.
"Baiklah," jawabnya dengan suara lemah.
Green berdiri lalu melangkah mengikuti Antonio menjauhi ruang operasi.
"Nona, Tuan meminta Anda untuk bertanggung jawab."
Green segera menjawab cepat, "Saya akan bertanggung jawab karena memang ini kesalahan saya."
Antonio tidak segera menanggapi, dia hanya menatap Green dengan pandangan rumit. Entah apa yang dipikirkan tuannya. Bagaimana dia bisa mengambil keputusan yang rumit?
"Baiklah, Nona, saya akan segera mendaftarkan pernikahan Anda dan tuan. Jadi, saya meminta kartu identitas Anda."
"A-apa yang kau katakan?"
Green sampai menggosok telinganya karena merasa salah mendengar apa yang dikatakan pria di hadapannya.
"Dokter mengatakan, mereka bisa saja tidak melakukan amputasi dengan kakinya tapi tentu saja itu butuh tindakan ekstra dengan biaya yang tidak sedikit."
Antonio menghela napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya. Jangankan gadis itu, dia sendiri masih terkejut dengan apa yang akan dikatakannya.
"Tuan berkata kalau Anda mungkin tidak akan sanggup membayar seluruh biaya pengobatan. Jadi, satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah merawatnya. Akan tetapi, tuan tidak suka orang lain menyentuhnya. Jadi, terpaksa kalian harus menikah."
Green seperti merasakan dunianya berputar seperti rollercoaster. Dalam waktu singkat, perubahan hidupnya benar-benar tidak terduga.
"Tunggu, tapi bagaimana kita bisa menikah? Kita saja baru bertemu belum sampai satu hari."
Green baru mengetahui namanya bahkan hanya beberapa jam yang lalu.
"Tuan mengatakan, kalau Anda menolak, Anda bisa menyelesaikan masalahnya di kantor polisi."
"Apa?"
Green menggigil mendengar hal itu. Kalau masalahnya dibawa ke kantor polisi, semuanya pasti akan menjadi rumit dan dia pasti akan dipenjara dalam waktu yang sangat lama.
"Nona, kita tidak punya lagi. Segera berikan kartu identitas Anda."
Green masih ragu tapi dia tidak punya pilihan lain dan segera memberikan kartu identitasnya pada pria di hadapannya.
Green melangkah dengan lesu menuju toserba yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Dia baru saja meninggalkan rumah sakit setelah memastikan bahwa pria bernama Rex itu tidak lagi dalam kondisi berbahaya.
Tentu saja, sebelum dia dapat pergi, ia harus melakukan negosiasi dengan anak buah Rex. Mereka memberikan banyak klausul yang harus disetujui karena perbuatannya mencelakai majikan mereka.
Yang membuat Green terkejut adalah, bagaimana mereka bisa mempersiapkan hal seperti itu dalam waktu singkat.
Green tidak ingin memikirkannya. Begitu masuk toserba, ia melangkah menuju mesin pendingin yang ada di sisi kiri pintu masuk. Dia berdiri mematung dengan bagian pintu mesin pendingin yang terbuka sepertinya dia sedang mendinginkan wajah dan seluruh tubuhnya.
Setelah semalaman tidak tidur sama sekali, Green merasakan kepalanya mulai terasa sakit dan membutuhkan sesuatu yang menyegarkan.
"Kalau kau membiarkan pintunya terus terbuka seperti itu, pendinginnya akan cepat rusak." Seorang pria penjaga toko menegur Green, tapi gadis itu seperti tuli dan masih berdiri di tempat yang sama dengan pintu pendingin terbuka.
Penjaga toko yang sepertinya sudah mengenal Green menggelengkan kepala, seolah itu bukan hal baru yang dilakukannya.
"Kau baru pulang mendaki?" tanya penjaga toko pada Green saat melihat tas besar di punggungnya, seraya menyerahkan sesuatu yang baru saja ia ambil dari balik meja kasir.
Green yang masih berdiri di mesin pendingin dan memejamkan mata segera menoleh dengan mata terbuka, dia melirik kotak bekal dari penjaga toko tapi tidak berniat menerimanya.
"Ya," jawabnya, enggan menjelaskan lebih banyak tentang apa yang terjadi.
Green memilih untuk mengambil beberapa minuman dingin, lebih dari sepuluh kaleng bir dan memasukkannya ke dalam keranjang dan membawanya ke meja kasir, mengabaikan penjaga toko yang masih berdiri di belakangnya.
"Tolong tambah beberapa botol minuman," pinta Green pada penjaga toko yang kini sudah ada di belakang meja kasir. "Jangan lupa juga masukkan beberapa bungkus kacang, Tomi."
Penjaga toko yang bernama Tomi hanya menghela napas pelan saat gadis itu mengabaikannya.
Setelah semua belanjaannya diletakkan di meja, Tomi segera menghitungnya.
"Hari ini, aku hanya ingin tidur. Kalau ada yang mencariku, tolong katakan nanti saja aku tidak ada di rumah.
Toserba itu berada di lantai satu gedung apartemen, tempat tinggal Green dan semua orang yang mengenalnya pasti akan bertanya pada Tomi setiap kali mereka mencari Green.
Tomi memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong keresek dan juga memasukkan kotak makan yang tadi ia serahkan.
"Lizbet memasakkannya untukmu, makanlah." Selain itu, Tomi juga memasukkan obat pereda pengar ke dalamnya. "Kau harus meminumnya setelah bangun tidur nanti. Kalau bisa jangan minum terlalu banyak."
"Kau cerewet sekali Tomi."
Green mengambil barang belanjaannya dan berkata lagi, "Tolong catat dulu. Begitu gajian, aku akan membayarnya."
Green langsung melangkah keluar dari toko tanpa menunggu jawaban Tomi karena mereka sudah saling menganal satu sama lain sejak lama.
Keluar dari toserba, Green melangkah masuk ke dalam gedung apartemen tempat tinggalnya yang ada di lantai tiga.
Begitu masuk, hawa dingin langsung terasa, sepertinya Green lupa mematikan AC saat pergi kemarin.
Apartemen itu tidak terlalu besar, hanya ada dapur kecil, ruang tamu dengan satu sofa panjang dan meja bundar, lalu satu kamar tidur tempatnya beristirahat.
Green meletakkan barang belanjaannya di meja setelah itu meletakkan tas besarnya sembarangan. Bagaimanapun, ia tidak pernah sempat membongkarnya saat camping semalam karena insiden konyol itu.
Tiba-tiba Green mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Dua buku berwarna merah terang.
Apa ini mimpi?
Semalam Green masih menikmati hamparan bintang di pegunungan, sekarang tiba-tiba ia sudah menjadi istri orang asing yang baru ia temu. "Sungguh konyol."
Green enggan memikirkan hal itu. Ia memilih mengeluarkan beberapa bir dan minuman beralkohol ke atas meja, lalu menenggaknya satu persatu hingga ia perlahan mulai kehilangan kesadaran.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari satu jam, 5 kaleng bir sudah kosong dan dua botol minuman keras juga sudah tergeletak tidak berdaya di atas meja.
Setelah cukup mabuk, Green bersusah payah menjauh dari meja menuju sofa panjang yang ada di belakangnya dan naik ke atasnya lalu membaringkan tubuhnya yang sudah sangat lelah dan mabuk.
Green mengambil salah satu bantal kecil yang ia letakkan di ujung dan memeluknya. Ia menatap lurus ke arah langit-langit berwarna putih dengan tatapan kosong, dengan ekspresi hampa dan kesepian.
Sepuluh menit berlalu, perlahan Green memejamkan matanya. Tanpa sadar, setetes cairan bening jatuh di sudut matanya.
"Kenapa jadi begini?" gumam Green pelan sebelum benar-benar tertidur.
Siapa yang akan menyangka kehidupannya akan berubah dalam waktu semalam? Awalnya hanya ingin menghabiskan waktu dengan berkemah di pegunungan dan menikmati bintang-bintang seperti yang sering Green lakukan setiap tahunnya di bulan dan tanggal yang sama.
Namun, hal yang tak terduga terjadi. Mulai dari seseorang yang tiba-tiba menuduhnya hendak mengakhiri hidup sampai tanpa sengaja Green menusuk kakinya dengan pisau lipat. Parahnya, orang itu meminta pertanggung jawaban dengan Green harus menikah dengannya. Sungguh ironis....
...
Entah sudah berapa lama Green tertidur, yang jelas begitu dia membuka mata, kepalanya langsung berdenyut menyakitkan dan matanya terasa perih.
Green terbangun saat mendengar ketukan keras berulang dari pintu masuk apartemennya.
"Astaga, orang bodoh mana yang melakukan itu?"
Green menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Sebentar," teriak Green kepada orang yang terus mengetuk pintu tanpa henti.
Setelah beberapa saat, meski kepalanya masih terasa sakit, Green segera bangkit dengan kaki telanjang menuju ke pintu masuk.
"Tomi, apakah kau mau mati—“
Begitu pintu terbuka, Green membeku di tempatnya saat melihat siapa pelaku yang mengetuk pintu rumahnya secara membabi buta. Ternyata bukan Tomi.
"Kau... apa yang kau lakukan di sini?"
Orang itu duduk di kursi roda dan seseorang berdiri di belakangnya.
"Bukankah ini rumah istriku?" katanya dengan senyum menawan, memperhatikan penampilan Green yang berantakan.
Pakaiannya masih pakaian kemarin, rambut acak-acakan dan wajah yang kusut.
Green tercengang mendengar hal itu, lebih tercengang lagi saat Rex berkata pada orang di belangnya.
"Tolong bawa masuk koper-koperku, setelahnya kau boleh pergi."
Antonio, asisten pribadi Rex segera melakukan perintah tuannya, membawa dua koper yang mereka bawa ke dalam apartemen milik Green, lalu ia mendorong kursi roda Rex untuk masuk juga.
"Ada apa ini? Kenapa kau membawa koper?"
Setelah tercengang beberapa saat, Green bisa mengeluarkan suaranya. Dia melangah ke hadapan kursi roda Rex.
"Karena istriku tinggal di sini, tentu saja aku juga harus tinggal di sini."
"Bagaimana bisa?" Green menoleh ke seluruh ruangan. "Apa kau tidak melihat, apartemen ini kecil dan aku hanya punya satu kamar."
Rex tersenyum tidak peduli dengan penolakan istrinya. "Memangnya kenapa? Kita sudah menikah, satu kamar saja sudah cukup."
"Antonio," panggil Rex pada asistennya.
Pria bertubuh jangkung yang sejak tadi hanya diam melangkah ke hadapan Green.
"Nyonya, seperti kesepakatan kita sebelumnya. Anda akan mengurus tuan selama proses pemulihan. Kalau Anda menolak... ." Antonio sengaja menggantung ucapannya, memberi Green waktu untuk berpikir.
Masuk penjara.
Green tahu betul konsekuensi itu. Kepalanya semakin terasa sakit memikirnya. Tidak punya pilihan lain selain menerima kesepakatan yang amat sangat konyol.
Apa seperti ini berurusan dengan orang kaya?
.
.
.
.
Hai, Readers.
Mohon dukungannya, ya, untuk karya ini untuk diikutkan lomba. Jangan lupa like, komen. Dan vote karya ini. Terima kasih...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!