“Tuan, tuan! Keluarga Mandala datang membawa iring-iringan!”
Pelayan itu datang tergopoh-gopoh. Surya dan istrinya, Soraya, saling berpandangan.
“Keluarga Mandala?” ulang Surya tak percaya.
Vega yang tengah melewati ruang tengah sontak berhenti. “Keluarga Mandala? Maksudmu… ayahnya Rayno?”
“Benar, Nona,” jawab si pelayan.
Vega menjerit kecil. “Astaga! Rayno, pria tertampan di kota ini, ayahnya datang ke sini? Aku harus ganti baju! Mereka keluarga terkenal, Pa! Mereka pasti datang dengan tujuan besar!” katanya berbinar sebelum berlari ke kamarnya.
Surya mengangguk cepat. “Cepat sambut mereka, jangan sampai kita dianggap tak sopan.”
Tak lama kemudian, keluarga Mandala memasuki rumah dengan sikap berwibawa.
“Silakan duduk, Tuan, Nyonya, Tuan Muda,” ucap Surya ramah, penuh senyum.
“Terima kasih,” ucap Mandala, lalu duduk, diikuti Kahyang sang istri, dan Rayno, sang putra.
Surya dan Soraya menatap Mandala yang berwibawa, Kahyang yang elegan, dan Rayno yang... dingin.
“Ah, Tuan Mandala, kami sekeluarga merasa sangat tersanjung atas kunjungan Anda. Kalau boleh saya tahu, apa Anda dan keluarga datang ke gubuk kami untuk suatu urusan?” Surya nampak ragu melanjutkan kalimatnya.
Mandala tersenyum. “Maaf jika kunjungan kami mendadak. Maksud kami ke mari adalah untuk melamar putri Tuan Surya,” ucapnya tenang dan berwibawa.
Surya dan Soraya saling berpandangan. Senyum lebar, mata berbinar tak percaya. Namun sebelum Surya sempat bicara—
“Apa?! Tuan Mandala sekeluarga datang untuk melamar saya?” seru Vega yang tiba-tiba muncul, lalu buru-buru duduk di dekat ibunya. “Benarkah?” tanyanya antusias.
Surya tersenyum masam. “Jangan kurang sopan, Ve,” ujarnya pelan memperingati putrinya. Soraya ikut memberi isyarat agar Vega menahan diri.
Soraya tersenyum canggung. “Maaf, putri kami terlalu terkejut.”
Vega tersenyum manis. “Maaf,” ucapnya menunduk sopan, menyembunyikan rasa bahagia sambil melirik Rayno yang tampak begitu memesona di matanya.
Kahyang tersenyum tipis. “Tak apa. Memang salah kami yang datang tanpa kabar terlebih dulu.”
Mandala ikut tersenyum tipis. Namun di balik kesopanan itu, Mandala dan Kahyang tampak kurang bersemangat ketika melihat bagaimana sikap Vega.
Rayno hanya menatap dingin.
Surya kembali angkat bicara. “Terima kasih atas kedatangan dan niat baik Anda. Kami sangat tersanjung dengan lamaran ini.”
“Benar,” timpal Soraya. “Putri kami, Vega, sangat beruntung karena dipilih keluarga Mandala sebagai menantu.”
“Vega?” tanya Mandala dan Kahyang bersamaan.
Rayno tetap diam, seperti patung hidup.
Soraya mengangguk mantap. “Benar. Putri kami bernama Vega Astriana.”
Mandala menatap istrinya sekilas, lalu berkata pelan namun tegas,
“Maaf, tapi kami datang bukan untuk melamar Nak Vega.”
Ia berhenti sejenak, menatap Surya dan Soraya bergantian.
“Kami datang untuk melamar Nak Vexia.”
"Vexia?" Tanya Surya, Soraya dan Vega bersamaan. Raut wajah mereka jelas penuh keterkejutan.
"Benar," Sahut Mandala mantap.
Soraya dan Surya saling melirik, sementara Vega terlihat tak senang. Ia menarik sedikit ujung baju ibunya, memberi isyarat agar Soraya berbicara.
“Maaf, Tuan,” ucap Soraya tersenyum canggung, “tapi sejak kecil Vexia tinggal di desa bersama kakeknya. Ia hanya lulusan SMA. Apa Anda dan keluarga yakin ingin menikahkan putra tunggal Anda dengan gadis desa yang berpendidikan… rendah?”
Ia menyiku suaminya halus agar ikut bicara.
Surya ikut mengangguk. “Benar kata istri saya, Tuan. Vexia dibesarkan di desa, tidak terbiasa bergaul dengan orang-orang terpandang seperti Anda dan keluarga. Beda jauh dengan putri kami yang satu ini.”
Ia menatap Vega dengan bangga. “Vega dibesarkan di kota. Ia berpendidikan, tahu sopan santun, dan pandai membawa diri di hadapan kalangan terhormat. Saya yakin, jika ia menjadi menantu Anda, keluarga Anda tidak akan pernah malu.”
Rayno yang sejak tadi diam, menatap dingin. Ia bersandar di kursinya dengan wajah datar.
"Yang benar saja… kakek menjodohkanku dengan gadis seperti itu? Satu anak desa lulusan SMA, satunya lagi—"
Ia melirik Vega sekilas dari ujung mata. "Pakaian ketat, bedaknya tebal, antara leher dan wajah warnanya beda. Dia pakai bedak, atau topeng?" batinnya sinis.
Mandala dan Kahyang saling melirik, raut wajah mereka berubah tenang tapi tegas.
“Maaf,” ucap Mandala kemudian, “tapi menurut wasiat ayah kami, yang dijodohkan dengan putra kami adalah Nak Vexia.”
Soraya tersenyum, kali ini dibuat semanis mungkin. “Ah, tapi Vega juga putri kandung kami, Tuan Mandala. Bukankah sama saja? Lagi pula, saya khawatir gadis desa seperti Vexia akan mempermalukan keluarga Anda di depan orang-orang terpandang.”
Kahyang hanya menarik napas pelan, sementara Rayno melirik ayahnya seolah meminta kejelasan.
Namun Mandala menatap Surya dan Soraya dengan tatapan tegas. “Kami menghargai kekhawatiran Anda, tapi keputusan ini berdasarkan janji lama. Dan janji keluarga Mandala… tidak bisa diubah.”
Soraya dan Surya saling berpandangan. Senyum di bibir mereka menegang, sementara Vega menunduk menahan amarah, kukunya menggenggam erat ujung rok.
Mandala menegakkan punggungnya, suaranya tenang namun berwibawa.
“Jadi, di mana kami bisa bertemu dengan Nak Vexia?”
Soraya cepat menyahut, nyaris tanpa berpikir.
“Ah, sejak berusia tiga belas tahun, Vexia dibawa oleh kakeknya ke desa. Sejak itu kami tak tahu bagaimana keadaannya sekarang… dan di mana alamat jelasnya.”
Nada suaranya dibuat sesopan mungkin, namun terselip nada harap. Harap agar keluarga Mandala menyerah dengan sendirinya.
Dalam hati, Soraya menjerit getir. "Putriku cantik dan terpelajar, kenapa harus kalah dengan gadis desa itu? Kalau Vega tak bisa masuk ke keluarga Mandala, maka gadis itu pun tidak boleh!"
Vega menggigit bibirnya diam-diam, menyembunyikan rasa kesal. Matanya melirik Rayno, lelaki tampan yang bahkan dalam diamnya pun terlihat berwibawa.
"Kenapa mereka ngotot banget ingin menikahkan putra mereka dengan gadis desa itu?" batinnya panas.
Mandala mengernyit pelan, lalu tersenyum. Senyum yang lebih menyerupai ejekan halus.
“Kalian adalah orang tuanya. Bagaimana bisa tidak tahu di mana keberadaan putri kalian?”
Kahyang menimpali dengan suara lembut namun menohok,
“Dan tadi kalian bilang Vexia hanya lulus SMA. Dari mana kalian tahu itu… jika kalian bahkan tidak tahu di mana dia berada?”
Soraya membeku sesaat. Senyum yang dipaksakan di wajahnya tampak kaku. Surya ikut tertunduk, mencari-cari kata yang aman di antara rasa malu.
“Itu… kami mendengar kabar dari seorang kenalan,” ucap Soraya pelan. “Tapi dia tak mau memberitahu di mana Vexia tinggal. Kami sudah berusaha mencari, tapi… mereka sepertinya tidak ingin ditemukan. Benar begitu, Pa?”
Ia menyiku suaminya pelan.
“Ah, benar. Benar sekali,” sahut Surya tergagap, berusaha mengikuti irama kebohongan istrinya.
Keheningan kembali turun. Tatapan Mandala menajam. Sementara Rayno yang sejak tadi hanya diam bagai patung, akhirnya membuka suara.
“Sepertinya hubungan keluarga kalian… tidak baik.”
Semua kepala menoleh padanya. Suara Rayno terdengar datar, tapi setiap katanya menusuk.
“Bagaimana bisa orang tua tak tahu di mana anaknya. Apalagi anak itu perempuan. Dan kenapa dia tak mau ditemukan? Pasti ada masalah di antara kalian.”
Udara seakan berhenti bergerak. Soraya menelan ludah, Surya memejam sesaat, dan Vega menatap Rayno dengan tatapan tajam bercampur malu.
Mandala menyandarkan punggung, menatap Surya dengan dingin.
“Kami tak bermaksud mencampuri urusan keluarga Anda, tapi kami juga tidak ingin perjodohan ini berdiri di atas kebohongan.”
Suasana ruang tamu berubah tegang. Hening.
Hanya terdengar detak jam dinding yang memecah sunyi.
Dan di balik senyum tipis Soraya, terselip rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi ia berusaha tetap tenang, suaranya lembut namun penuh rekayasa.
“Ah… sejak kecil, Vexia memang tidak menyukai saya. Mungkin karena saya hanya ibu tirinya. Apalagi setelah ibunya meninggal, dia makin keras kepala dan sulit diatur. Dia.. jadi liar. Karena itulah kakeknya membawanya ke desa. Padahal, selama ibu Vexia sakit, sayalah yang mengurus semua orang di rumah ini. Saya menyayangi Vexia sama seperti saya menyayangi Vega…”
Soraya berhenti sejenak, menarik napas pura-pura bergetar, lalu menatap Mandala dengan mata berkaca.
“Tapi saya malah sering dicaci, dihina… disebut pelakor.”
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap Soraya.
Tiba-tiba—
“Memang kenyataannya begitu, bukan? Kau pelakor.”
Suara itu datang dari arah pintu. Dingin. Tenang. Namun setiap katanya seperti cambuk.
Semua kepala serempak menoleh.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Suasana ruang tamu yang semula tegang mendadak membeku.
Semua kepala menoleh ke arah sumber suara.
Langkah berat terdengar mendekat, disusul suara tongkat mengetuk lantai marmer.
Seorang pria tua berwibawa melangkah masuk dengan tatapan tajam yang membuat udara seakan menipis.
Surya, Soraya, dan Vega sontak berdiri. Wajah mereka pucat.
"A-ayah…” suara Surya bergetar.
Mandala dan Kahyang langsung menunduk hormat, senyum tipis menghiasi wajah mereka.
Rayno yang melihat sikap hormat kedua orang tuanya ikut menunduk sopan, meski pandangannya penuh tanda tanya.
Gumilang berhenti di tengah ruangan, matanya menyapu satu per satu wajah di hadapannya sebelum berhenti pada Soraya.
Senyum tua itu muncul. Bukan senyum hangat, tapi senyum yang menekan amarah.
“Kau punya anak dengan Surya yang usianya setahun lebih muda dari cucuku,” ujar Gumilang dengan nada dingin, tatapan matanya menusuk Soraya tanpa ampun.
“Kau menikah dengan Surya saat cucuku baru berusia tiga belas tahun. Hitung sendiri, Soraya…” ia berhenti sejenak, bibirnya menipis menahan amarah.
“Itu berarti anakmu, adalah hasil perselingkuhan. Anak haram.”
Suara beratnya menggema di ruangan, membuat semua yang hadir menegang.
“Bukankah sudah cukup jelas, Nyonya Soraya?” lanjut Gumilang pelan, namun suaranya cukup tajam untuk menembus harga diri siapa pun yang mendengarnya.
“Kau telah menggoda menantuku sejak putriku masih hidup. Pe-la-kor.”
Hening.
Surya terdiam tanpa kata. Soraya meremas ujung bajunya, rahangnya menegang menahan emosi.
Di sisi lain, Mandala, Kahyang, dan Rayno hanya saling melirik. Tak satu pun berani bersuara.
Udara di ruang tamu terasa pekat, seolah mereka tengah terjebak di antara bara dendam keluarga yang sudah menyala jauh sebelum mereka lahir.
Tak tahu harus berbuat apa, mereka memilih diam. Menjadi saksi… atau sekadar penonton dari masa lalu yang kembali menuntut balas.
Vega mengepalkan tangan. Wajahnya merah padam, matanya berkilat penuh amarah. Ia tak terima ibunya dihina, dan dirinya disebut anak haram.
Suara Vega akhirnya meledak, memecah udara seperti petir di siang bolong.
“Kakek bicara seolah aku dan Ibu yang salah! Hina!
Apa Kakek nggak pernah berpikir, kalau bukan karena putrimu yang keras kepala, Ibu nggak akan diperlakukan begini?! Putrimu memaksa ingin menikahi Ayahku, padahal sudah tahu Ayahku pacaran dengan Ibu! Jadi, sebenarnya siapa yang pelakor di sini, hah?!”
Soraya pura-pura menatap putrinya panik, lalu cepat-cepat menarik tangannya lembut. Mencoba menenangkan sekaligus menyembunyikan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Ia tahu anaknya baru saja menyalakan api yang lebih besar, tapi juga tahu, ucapan itu tepat mengenai sasaran.
Gumilang menahan napas panjang. Tangannya yang menggenggam tongkat bergetar. Tatapannya tajam menusuk Vega.
“Kau…” suaranya bergetar menahan amarah.
Memang benar, bagian dari hatinya tergores karena kata-kata itu. Putrinya dulu memang begitu naif, keras kepala, dan terlalu mencintai Surya.
Soraya menunduk, pura-pura meneteskan air mata.
“Saya dan Surya saling mencintai, Pak Gumilang. Kami tidak akan berpisah kalau saja putri Bapak tidak bersikeras ingin menikah dengan Surya."
Suaranya bergetar, penuh kepura-puraan yang terlatih. Soraya tahu, menangis adalah tameng paling aman di depan Gumilang.
“Hmhh…” Gumilang terkekeh pelan, dingin, sinis, penuh ejekan. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Soraya.
“Putriku memang naif karena mencintai Surya." Ia beralih menatap Surya. "Tapi kau—”
Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya dingin tapi tajam.
“—kau yang memanfaatkan perasaannya. Kau berpura-pura memutuskan hubungan dengan Soraya dan menerima perjodohan. Kau mengaku menyukai putriku sejak lama tapi merasa tak pantas karena keluargamu tak berada. Alasan konyol.”
Gumilang berhenti sejenak, senyumnya mengeras.
“Tapi setelah putriku melahirkan, saat dia masih dalam masa nifas dan berjuang memulihkan diri… kau malah kembali ke pelukan perempuan itu. Selingkuh di belakang istri yang bahkan belum pulih dari luka persalinan.”
Surya mengepalkan tangan. Rahasianya terbongkar di depan semua orang. Ia buru-buru menegakkan bahu, berusaha menguasai keadaan meski keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
“Tidak… tidak seperti itu, Yah. Aku mencintai mendiang ibu Vexia dengan tulus!"
Tatapan Gumilang tak goyah sedikit pun. “Cinta? Kalau benar cinta, mengapa satu bulan setelah putriku meninggal, kau sudah menikahi wanita yang dulu jadi selingkuhanmu? Kalau kau benar-benar mencintai putriku, kau tak akan menikahi wanita lain saat tanah makamnya bahkan belum kering.”
Surya tertunduk. Soraya kaku di tempatnya, bibirnya bergetar.
“Putri Bapak tidak bisa melayani Surya setelah melahirkan,” ucap Soraya, suaranya meninggi seiring detak jantung yang tak menentu. “Sebagai pria normal, wajar kalau Surya mencari pelampiasan. Aku hanya… terjebak dalam keadaan, bukan pencuri cinta seperti yang Bapak kira.”
Surya segera menimpali, berusaha memperkuat pembelaan istrinya.
“Soraya benar. Ibu Vexia sering sakit-sakitan sejak melahirkan. Aku pria normal, Yah… aku hanya butuh seseorang di sisiku.”
Gumilang terkekeh sinis.
“Hanya pria brengsek yang tak bisa menahan diri.”
Tatapannya berpindah ke Soraya.
“Dan hanya perempuan tak berakhlak yang mau melayani pria yang jelas-jelas sudah beristri.
Pengkhianat memang cocok dengan pelakor.”
Suasana mendadak mencekam.
Tak ada satu pun yang berani bicara
Suara Gumilang kembali terdengar. Berat, tapi dingin menusuk. “Bukan hanya mengkhianatinya. Kau bahkan memanfaatkan cinta putriku… untuk menguasai seluruh hartanya.”
Surya mengangkat wajahnya, menatap Gumilang lurus.
“Putri Bapak sendiri yang bilang dia tak bisa mengurus perusahaan, makanya dia menyerahkan semuanya padaku!” sergahnya, mulai kehilangan kesabaran.
Gumilang tersenyum hambar.
“Seharusnya aku tak pernah menuruti keinginan putriku untuk menikah dengan pria sepertimu. Dia buta karena cinta.”
Tatapannya tajam menelusuri wajah Surya dan Soraya bergantian.
“Cuma elok rupa, tapi miskin hati. Tak setia, tak tahu malu.”
Udara di ruang tamu itu seolah membeku.
Soraya menunduk dalam, pipinya menegang menahan malu.
Surya tak lagi berani menatap siapa pun.
“Jadi kalau ditanya siapa yang salah,” lanjut Gumilang lirih namun tegas, “semuanya salah. Tapi kalau ditanya siapa pengkhianat dan siapa yang tak tahu malu, jawabannya jelas.”
Ia menatap Surya dan Soraya bergantian.
“Kalian berdua.”
Tak ada yang berani bicara.
Bahkan Vega yang tadi lantang kini hanya menunduk, napasnya memburu menahan emosi.
Mandala menarik napas panjang, jemarinya memijat pelipis perlahan.
“Tampaknya kisah masa lalu ini jauh lebih rumit dari yang saya dengar…” gumamnya tenang, tapi ada nada berat di balik suaranya.
Kahyang menatap suaminya dengan tatapan pasrah, seolah ingin berkata,
"Aku pun tak menyangka sejauh ini."
Rayno hanya menatap kosong ke depan. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menusuk. Dingin, jenuh, dan muak.
"Keluarga yang bahkan tak bisa menyelesaikan masa lalunya…" batinnya datar.
"Dan aku harus dijodohkan dengan salah satu dari mereka?"
Ia menarik napas dalam, lalu menatap Mandala yang kini balas menatapnya, seolah ingin menegaskan tanpa kata:
Suka atau tidak, ini janji yang harus ditepati.
Gumilang mengalihkan pandangannya pada Rayno. Tatapannya tajam, seolah menilai bobot jiwa cucu dari keluarga yang hendak menjadi besannya itu.
“Kalau kau memang putra keluarga Mandala,” ujarnya pelan tapi tegas, “bersiaplah. Kau akan menikahi cucuku. Bukan karena harta, tapi karena janji yang telah diucapkan jauh sebelum pengkhianatan ini terjadi.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit, nadanya mengeras.
“Dan ingat baik-baik, Nak. Cucuku sangat berharga. Jika kau berani menyakitinya, aku akan menghapus hubungan baik antara keluarga kita, sekalipun sudah terjalin puluhan tahun. Aku tak akan tinggal diam.”
Rayno menatap pria tua itu dalam diam. Bibirnya menegang, matanya meredup. Ia tidak tahu apakah harus menolak atau menerima, tapi satu hal pasti:
Perjodohan ini bukan sekadar tradisi. Ini medan perang masa lalu.
Mandala akhirnya menghela napas panjang, memecah ketegangan yang menggantung di udara.
“Baiklah,” ucapnya datar. “Kalau begitu, di mana cucu Bapak yang akan dinikahkan dengan putra kami?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Gumilang menghela napas pelan sebelum menjawab.
“Tadi dia sedang tak enak badan. Masalah wanita,” ujarnya tenang. “Datang bulan.”
Namun, di balik nada datarnya, ia menahan jengkel, mengingat cucunya yang kabur saat mereka dalam perjalanan menuju rumah itu.
“Besok aku sendiri yang akan mengantarnya ke rumah kalian. Tak perlu datang ke sini lagi. Kami baru tiba dari desa, masih mencari tempat tinggal yang cocok.”
Mandala mengangguk kecil. “Baiklah. Kami tunggu Bapak dan Nak Vexia di rumah. Dan soal tempat tinggal, kami bisa bantu jika Bapak berkenan.”
“Terima kasih,” jawab Gumilang datar. “Aku bisa mencari sendiri. Aku tak mau merepotkan siapa pun.”
Mandala tersenyum sopan, tapi dalam hati tahu:
Besok, pertemuan itu akan menjadi awal sesuatu yang besar.
---
Begitu Gumilang dan keluarga Mandala meninggalkan rumah itu, tiga sosok yang tertinggal di ruang tamu seolah kehilangan tenaga.
Surya menjatuhkan diri ke sofa, disusul Soraya dan Vega yang masih memasang wajah masam.
“Mertuamu itu…” Soraya bersungut, “mulutnya tajam, nyebelin!”
“Tua bangka!” Vega ikut menimpali sengit. “Kenapa gak mati aja sih?”
Surya menatap keduanya dengan nada waspada. “Lebih baik jangan menyinggung dia. Meski sudah tua, Gumilang masih punya banyak koneksi. Kalau dia mau, dalam sehari dia bisa menghancurkan usaha kita.”
Ucapan itu membuat Vega mendengus kesal. Tapi sorot matanya menyimpan ketakutan yang sama. Mereka tahu, perusahaan yang kini dipegang Surya berdiri di atas saham milik Gumilang. Saham yang dulunya milik mendiang istri Surya, ibu Vexia.
Gumilang memang tak pernah menyerahkan semua kekayaannya. Sejak awal, ia tak pernah benar-benar percaya pada menantunya.
Ia hanya menoleransi Surya… karena putrinya terlalu mencintai pria itu.
“Kenapa anak desa itu bisa seberuntung itu, sih?” Vega menggeram pelan. “Tinggal di kampung, tiba-tiba dilamar pria paling tampan dan kaya di kota ini?!” Nada suaranya bergetar antara iri dan tidak percaya.
Soraya melirik suaminya tajam. “Apa Papa benar-benar gak tahu soal perjodohan itu?”
Surya menggeleng perlahan. “Aku benar-benar gak tahu.”
Soraya menghela napas panjang. “Sayang sekali. Kalau saja Vega yang jadi menantu keluarga Mandala… status sosial kita bakal melonjak tinggi.”
Ruangan hening sejenak. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Mereka saling bertukar pandang, penuh rasa penasaran, iri, dan amarah yang dipendam rapat.
Namun satu hal pasti:
meski mereka tak bisa berbuat apa-apa sekarang, niat buruk itu sudah tertanam.
***
Malam turun di pinggiran kota.
Lampu-lampu jalan berpendar keemasan, memantul di genangan hujan yang belum kering.
Raungan mesin memecah kesunyian. Keras, liar, dan menantang.
Di bawah cahaya neon, seorang gadis muda berdiri di samping mobil sport hitam. Makeup smoky eyes gelap, lipstik merah anggur, dan contour tajam menyamarkan wajah aslinya. Kulitnya berkilat disapu cahaya, rambut hitamnya terurai tertiup angin malam.
Ia mengenakan jaket kulit dan celana denim ketat.
Vexia.
Senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Kakek, Kakek gak bisa mengekangku. Pada akhirnya aku bisa kabur juga, 'kan?” batinnya puas.
“Hei, gadis desa! Udah siap belum?” seru seorang pria dari balik kemudi mobil lawan, membuyarkan lamunannya.
“Selalu,” jawabnya dingin, menarik helm hitam dan menurunkannya ke kepala.
Saat helm menutupi wajahnya, hanya mata itu yang terlihat. Tajam, penuh nyala perlawanan.
“Lo siap kalah dari gadis desa?” ujarnya, senyum sinis terbit di bibirnya sebelum melangkah ke mobilnya.
Suara mesin meraung lagi, lebih keras kali ini.
“Si bocah desa kayak lo beneran mau lawan gue?” seru pria di mobil sebelah sambil menurunkan kaca lebih rendah. Senyumnya miring. “Balik aja ke dapur, Sayang. Jalanan bukan tempat gadis manja.”
Vexia menatap lurus ke depan. Suaranya tenang tapi menggigit.
“Buat seseorang yang sebentar lagi gue tinggalin di belakang, lo banyak bacot.”
"Gadis ini..." geram pria di dalam mobil.
Asap tipis mengepul dari knalpot.
Beberapa orang di pinggir jalan bersorak, sebagian lagi mengangkat ponsel untuk merekam.
Seorang gadis berrok pendek berdiri di depan dua mobil, bendera di tangannya terangkat tinggi.
“Tiga!”
“Dua!”
“Satu!”
Dan di detik berikutnya—
WUUUUUSH!
Mobil-mobil itu melesat, ban berdecit gila-gilaan di aspal basah.
Vexia mencengkeram kemudi erat, napasnya memburu di balik helm.
Lampu-lampu kota berlari mundur di kaca depan dalam garis-garis cahaya.
Mobil lawan menyalip dari kiri, hampir menyenggol bumper-nya.
“Berani banget!” geramnya pelan, lalu memutar kemudi tajam.
Ban berdecit keras, tubuh mobil berbelok nyaris mencium pembatas jalan. Tapi Vexia malah tersenyum.
Tangannya lincah memindahkan gigi, kaki kanannya menghantam pedal gas.
120... 130... 140...
Jarum speedometer menukik naik.
Detak jantungnya berpacu dengan deru mesin.
Dari kejauhan, sekelompok orang di pinggir gudang tua bersorak.
Beberapa menatap layar ponsel yang menayangkan kamera drone di atas lintasan.
“Gila, tuh cewek ngebut banget!”
“Dia dari desa? Kayak pembalap profesional, anjir!”
Suara raungan mesin menelan sorakan itu.
Di dalam mobil, Vexia mencondongkan tubuh ke depan.
“Ayo, Sayang… tunjukkan siapa yang paling liar malam ini,” gumamnya, menekan pedal gas lebih dalam.
Mobil lawan menyalip lewat kanan, nyaris menyentuh spion.
“HA! Cewek cuma modal gaya!” teriak pria itu lewat jendela yang terbuka, disambut tawa kecil.
Vexia menatap lurus ke depan. Suaranya rendah, nyaris seperti geraman.
“Modal gaya? Kita lihat siapa yang ngerem duluan.”
Beberapa meter di depan, dua truk kontainer parkir rapat di sisi jalan, menyisakan celah sempit di antara keduanya.
“WOI! Jangan gila!” teriak lawannya lewat radio, sadar arah mobil Vexia.
Tapi Vexia tidak melambat. Ia menyalakan lampu jauh. Menilai jarak.
“Kalau ragu, lo kalah,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Tangannya memutar kemudi sepersekian detik sebelum celah itu. Ban depan nyaris menghantam truk pertama—
SRET!
Percikan logam berloncatan ketika spion mobilnya menyenggol sisi kontainer.
Semuanya terjadi begitu cepat. Detik melambat, suara mesin berubah jadi dengung berat di telinganya.
Lalu—
WUUUSH!
Mobil hitam itu lolos, keluar dari celah sempit seperti peluru. Ban belakang menyapu debu dan potongan karton dari bawah truk.
“Anjir! Gila tuh cewek!”
“Dia lewat?! Gak mungkin!”
Lawannya teriak frustrasi di radio.
“WOI! Mau mati, hah?! Lo pikir ini film action?!”
Tapi Vexia sudah tak mendengarnya lagi.
Jantungnya berdebar cepat, adrenalin menyatu dengan suara mesin.
“Kakek… lihatlah cucumu sekarang,” katanya pelan. “Aku bukan boneka yang bisa dikurung di balik nama besar keluarga.”
Garis akhir semakin dekat.
Drone mengikuti dari atas, lampu-lampunya menyorot dua mobil yang hampir sejajar.
“Buset! Dia naik ke trotoar!”
Mobil Vexia melompat kecil melewati gundukan jalan, lalu menuruni jalur lurus terakhir.
“Dan inilah… kebebasanku.”
Mobil hitam itu melesat lebih dulu melewati garis akhir dan berhenti dengan presisi.
Asap, sorakan, dan suara klakson pecah di udara.
Vexia keluar dari mobil, menurunkan helmnya perlahan, menatap lawannya.
“Mana taruhannya?” tanyanya tenang.
“Hmhh…” pria itu tertawa pendek. “Gak nyangka lo jago juga. Gue terlalu remehin lo,” ujarnya, menyerahkan cek pada Vexia.
Vexia mencium cek itu dengan senyum penuh kemenangan. Tapi tiba-tiba—
“Awh… awh! Sakit!” pekiknya.
Telinganya ditarik seseorang dari belakang.
“Dasar gadis badung. Kau kabur dan malah balapan di sini?!”
Gumilang berdiri di antara suara mesin yang belum sepenuhnya padam. Wajahnya merah padam menahan marah.
“Awh… sakit, Kek…”
Vexia meringis ketika telinganya ditarik.
“Siapa suruh kau kabur dari perjodohan, hah?!” bentak Gumilang.
Beberapa penonton yang masih bertahan di sekitar area start menahan tawa. Ada yang bersandar di mobil, ada pula yang menonton dari jauh lewat teropong.
“Itu cucunya ya, Kek? Kabur dari perjodohan demi balapan?”
“Pantas aja ngebutnya kayak setan.”
“Awas kabur pas akad nanti, Kek.”
“Cucu kakek ini kalau nyetir habis nikah bisa bikin suaminya kena serangan jantung sebelum naik ranjang.”
Tawa meledak. Gumilang menatap tajam ke arah mereka, lalu dengan nada setengah sinis berkata,
“Jadi, dari semua yang di sini, gak ada yang tertarik sama cucu Kakek?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!