NovelToon NovelToon

Sayap Patah Angkasa

Janji yang beku

Api menjilat tepi foto itu dengan rakus. Warna-warni pudar dari cetakan lama mengerut, menghitam, lalu menyerah menjadi abu. Asap tipis mengepul, membawa aroma pedih dari kertas dan kenangan yang terbakar. Di tengah apartemennya yang sunyi, Angkasa memegang korek api dengan jemari yang menolak untuk gemetar, sebuah kebohongan yang ia paksakan pada tubuhnya sendiri.

Mata wanita dalam foto itu masih tersenyum, seolah tak peduli pada api yang merayap mendekatinya. Senyum yang sama, yang terpatri di ingatan Angkasa selama delapan belas tahun. Senyum yang terasa seperti madu sekaligus racun. Di bawah tatapan beku dari sepasang mata birunya sendiri, Angkasa menyaksikan wajah ibunya meleleh, terdistorsi oleh panas sebelum lenyap selamanya. Ini adalah ritual pembebasan. Setidaknya, itulah yang ia bisikkan pada kehampaan di dadanya.

Namun, semakin api itu melahap kertas, semakin jelas gema dari masa lalu itu berdentang. Sebuah gema yang membawanya kembali pada sore yang dingin di penghujung musim hujan, ketika langit Jakarta tampak sama bekunya dengan hatinya sekarang.

Flashback on.

Delapan belas tahun lalu, tangan itu terasa hangat.

Tangan Laras menggenggam jemari mungil Angkasa begitu erat, seolah takut terlepas. Namun, bagi Angkasa yang baru berusia tujuh tahun, genggaman itu terasa aneh. Tidak seperti biasanya yang lembut dan menenangkan, genggaman ini membawa getar samar, getar kegelisahan yang merambat naik ke bahunya yang kecil.

Mereka berdiri di depan sebuah gerbang besi hitam yang menjulang tinggi, lebih tinggi dari pohon mangga di halaman rumah mereka. Di baliknya, sebuah bangunan tua bergaya kolonial berdiri megah namun sunyi. Cat putihnya sudah mengelupas di beberapa bagian, memperlihatkan semen abu-abu yang muram. Panti Asuhan Harapan Bunda. Angkasa mengeja tulisan di plang kayu itu dalam hati, bibirnya bergerak tanpa suara. Ia tidak mengerti apa artinya.

"Ibu, kita mau ke mana?" suaranya nyaris tak terdengar, tertelan oleh deru kendaraan di jalan raya.

Laras berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan sang putra. Diusapnya rambut Angkasa yang tebal dan sedikit ikal, persis seperti rambut ayahnya. Senyum yang terukir di bibirnya tampak familier, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Mata itu berkelana, menatap ke mana saja selain ke wajah Angkasa yang penuh tanya.

"Angkasa di sini dulu, ya, Sayang? Sebentar saja," bisik Laras. Suaranya serak.

"Di sini banyak teman baru. Lihat," ia menunjuk ke arah halaman dalam, di mana beberapa anak seusianya sedang berlarian mengejar bola plastik yang kempes.

"Nanti Angkasa bisa main sama mereka."

Kening Angkasa berkerut.

"Kenapa Ibu nggak ikut main?"

Sebuah jeda yang terlalu lama. Laras menelan ludah, tampak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.

"Ibu… Ibu harus pergi. Ada urusan penting sekali."

"Urusan apa?" desak Angkasa, nalurinya mulai merasakan ada yang salah. Aroma parfum Laras yang biasanya menenangkan kini terasa menyesakkan.

"Angkasa ikut. Angkasa janji nggak akan nakal."

"Nggak bisa, Sayang." Kali ini, suara Laras lebih tegas, memotong rengekan Angkasa. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, memaksakan kembali senyumnya yang rapuh.

"Ini tempat yang bagus. Nanti kalau urusan Ibu sudah selesai, Ibu pasti jemput Angkasa lagi. Pas liburan sekolah tiba, Ibu datang lagi ke sini."

Mata bocah itu membesar, mencari secercah kejujuran di mata ibunya.

"Janji?" Satu kata itu keluar dengan getar harapan yang begitu murni, begitu polos.

Laras mengangguk cepat. Terlalu cepat.

"Janji," jawabnya, sambil memeluk Angkasa dengan kaku.

Pelukan itu singkat, tidak sehangat pelukan selamat malam yang biasa ia dapatkan. Saat Laras melepaskannya, ia menyelipkan sebuah foto kecil ke dalam saku kemeja Angkasa. Foto dirinya yang sedang tersenyum.

"Pegang ini, ya. Biar Angkasa nggak lupa sama wajah Ibu."

Seorang wanita paruh baya berwajah ramah keluar dari dalam gedung, menyambut mereka.

"Selamat sore, Ibu Laras. Ini Angkasa, ya? Tampan sekali."

Laras hanya tersenyum tipis, lalu menyerahkan tas ransel kecil milik Angkasa kepada wanita itu. Ia mengusap kepala putranya untuk terakhir kali.

"Angkasa jadi anak baik, ya. Jangan cengeng. Ibu pergi dulu."

Dan begitulah. Laras berbalik, berjalan cepat menuju gerbang tanpa menoleh lagi. Angkasa hanya bisa terpaku, melihat punggung ibunya menjauh. Ia ingin berteriak, ingin berlari mengejar, tetapi kakinya seolah terpaku di tanah. Ia hanya bisa menyaksikan sosok yang paling ia cintai di dunia itu membuka gerbang, melangkah keluar, dan menutupnya kembali.

KLANG!

Suara gerbang besi yang terkunci terdengar seperti vonis mati bagi dunia kecilnya. Angkasa menatap melalui celah-celah jeruji, melihat ibunya berjalan semakin jauh, semakin kecil, hingga akhirnya hanya menjadi titik yang ditelan oleh keramaian kota.

Flashback off

Angkasa kecil tidak menangis. Tidak saat itu. Ia hanya berdiri mematung, tangannya merogoh saku, meraba tepi foto yang baru saja diselipkan ibunya. Jemarinya mencengkeram kertas itu erat-erat. Di kepalanya, satu kata terus berulang seperti kaset rusak.

Janji. Janji. Janji.

Liburan sekolah datang dan pergi. Musim berganti. Tahun-tahun berlalu seperti halaman kalender yang disobek angin. Tapi Laras tidak pernah kembali. Janji itu, jangkar harapan yang Angkasa pegang erat-erat, perlahan berkarat dan tenggelam ke dasar lautan kekecewaan. Tembok es pun mulai terbentuk di sekeliling hatinya, dinding pertahanan yang ia bangun bata demi bata dengan setiap harapan yang pupus.

Api kini sudah menjilat jempolnya.

Panas yang menusuk itu menyentakkan Angkasa kembali ke masa kini. Ia tersentak kaget, refleks menjatuhkan sisa foto yang membara ke dalam asbak keramik. Desis kecil terdengar saat bara terakhir itu padam. Bau hangus memenuhi udara.

Tangannya yang tadi ia paksa untuk tegar, kini gemetar hebat. Bukan karena rasa sakit akibat luka bakar kecil di ujung jarinya, melainkan karena getaran lain yang datang dari tempat yang jauh lebih dalam. Ia gagal. Lagi-lagi ia gagal. Ia pikir dengan membakar bukti fisik terakhir dari keberadaan wanita itu, ia bisa membakar habis pula perasaan yang membelenggunya.

Ia salah.

Wajah Laras yang tersenyum kini telah menjadi abu, tetapi ingatannya, kenangan akan janji palsu di depan gerbang panti yang dingin itu, terbakar semakin terang di benaknya. Rasa sakit itu tidak lenyap, ia hanya berubah bentuk. Dari luka menganga menjadi bara api yang diam-diam membakar dari dalam.

Angkasa menatap abu hitam di asbak, napasnya memburu. Tiba-tiba, sebuah denyut tajam menghantam kepalanya, membuat ruangan sedikit berputar. Pandangannya mengabur sejenak, dan ia harus berpegangan pada tepi meja untuk menjaga keseimbangan. Rasa lelah yang aneh, yang belakangan ini sering datang tanpa diundang, kembali merayap di sekujur tubuhnya. Ia mengabaikannya, menganggapnya hanya efek dari kurang tidur dan terlalu banyak kafein.

Namun, saat ia menegakkan tubuhnya dan tanpa sengaja menyentuh hidungnya, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah mengalir. Ia menunduk, melihat telapak tangannya. Merah. Setetes darah jatuh dari ujung hidungnya, menodai lantai keramik yang putih bersih. Lalu setetes lagi. Panas yang menusuk itu bukan hanya membakar kertas, tetapi juga...

Terlalu manis

Tapi juga ... urat-urat rapuh di balik selaput hidungnya. Ia menekan pangkal hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk, berusaha menghentikan aliran hangat yang terasa asing itu. Kepalanya masih berdenyut, sebuah simfoni minor yang mengiringi bau hangus dari abu kenangan di atas meja. Diabaikannya. Sama seperti ia mengabaikan rasa lelah yang menggantung di bahunya seperti jubah timah selama berminggu-minggu. Ini hanya kelelahan, bisiknya pada diri sendiri. Hanya kopi dan kurang tidur.

Ya benar mungkin hanya itu .. Kecapekan.

.

.

.

.

.

Aroma biji kopi yang baru digiling adalah satu-satunya parfum yang Angkasa kenal sebagai rumah. Di balik konter bar Senja Kopi, dunia terasa lebih teratur. Ada resep yang pasti, takaran yang presisi, dan suhu yang terkendali. Di sini, ia adalah sang alkemis, mengubah bubuk hitam pahit menjadi kehangatan cair yang didambakan orang-orang. Di sini, ia memegang kendali.

“Satu Iced Americano, tanpa gula, seperti biasa?” Suara Angkasa datar, sebuah kontras yang tajam dengan senyum yang ia paksakan untuk pelanggan di hadapannya.

“Tentu saja tidak!”

Sebuah suara renyah memotong rutinitasnya. Angkasa mengangkat kepala, matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat yang berbinar jenaka. Gadis itu sudah berdiri di depan konter, menyandarkan sikunya di atas permukaan kayu dengan gaya yang terlalu santai untuk seorang pelanggan. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya yang selalu tampak seperti baru saja mendengar lelucon terbaik di dunia.

Ia adalah anomali dalam semesta Angkasa yang monokrom. Gadis itu sudah menjadi pelanggan tetap selama sebulan terakhir, dan kedatangannya selalu terasa seperti seseorang menyalakan lampu neon di tengah ruangan yang remang-remang. Terlalu terang. Terlalu berisik. Namun, entah kenapa, Angkasa mendapati dirinya selalu menantikan sore hari.

“Hari ini gue lagi butuh yang manis-manis,” lanjutnya, mengetuk-ngetukkan jarinya di menu.

“Kasih gue sesuatu yang paling manis yang lo punya. Yang bisa bikin diabetes dalam sekali teguk.” Gadis berambut panjang itu mengedipkan sebelah matanya menggoda.

Angkasa mengangkat sebelah alisnya.

“Di sini kami menjual kopi, bukan menjual syarat masuk rumah sakit.”

Gadis itu tertawa. Tawa yang pertama kali menarik perhatian Angkasa. Lepas, tanpa beban, seolah dunia belum pernah memberinya alasan untuk berhenti. Tawa yang membuat beberapa kepala menoleh, bukan karena terganggu, tetapi karena terinfeksi oleh keceriaannya.

“Ayolah, Mas Barista Kaku,” godanya, memberinya julukan yang entah sejak kapan melekat.

“Kejutkan gue. Bikin racikan spesial. Anggap aja ini tantangan. Oke!" serunya bersemangat dengan mengacungkan dua jempol pada Angkasa.

Angkasa menghela napas, tetapi sudut bibirnya terangkat sedikit tanpa ia sadari. Ia berbalik, tangannya bergerak dengan lincah di antara mesin espreso dan botol-botol sirup. Ia tidak pernah meracik minuman di luar menu. Itu melanggar keteraturan. Namun, untuk gadis ini, aturan terasa bisa sedikit dilonggarkan.

Beberapa menit kemudian, sebuah gelas tinggi berisi lapisan warna-warni kopi, susu, dan saus karamel pekat, tersaji di depan wanita muda yang mengusik dunia monokrom Angkasa. Di atasnya, whipped cream menjulang dengan taburan bubuk cokelat.

Mata gadis itu membelalak.

“Woah ... Ini kelihatan… mematikan. Apa namanya?” tanyanya antusias.

“Racun,” jawab Angkasa tanpa ekspresi.

Lagi-lagi G

Lagi-lagi gadis itu tertawa, lebih keras dari sebelumnya.

“Gue suka! Lo ternyata punya selera humor juga, ya?” Ia mengambil sedotan, mengaduk minuman itu sedikit sebelum menyesapnya. Matanya terpejam sejenak.

“Mmm… sempurna. Manisnya pas, kopinya masih berasa. Lo jago banget.”

“Itu pekerjaan saya,” balas Angkasa, mulai membersihkan konter dengan lap, sebuah gestur untuk menciptakan jarak.

“Gue rasa bukan hanya karena pekerjaan,” sanggahnya, menatapnya lekat.

“Pekerjaan lo itu bikin kopi. Tapi yang ini, rasanya beda. Kayak ada… sentuhan personalnya.”

Angkasa berhenti mengelap. Tatapan gadis itu terlalu tajam, seolah bisa menembus tembok es yang telah ia bangun selama delapan belas tahun.

“Hanya ilusi. Gula bisa memanipulasi persepsi rasa.”

“Atau mungkin lo yang terlalu takut buat ngaku kalau lo bisa bikin sesuatu yang indah?” balas wanita itu pelan, senyumnya sedikit memudar, digantikan oleh sorot yang lebih dalam.

Skakmat. Angkasa tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa membuang muka, kembali pada kesibukannya yang dibuat-buat. Keheningan yang canggung menggantung di antara mereka, hanya dipecah oleh suara dengungan mesin pendingin.

“Gue Mia,” katanya tiba-tiba, mengulurkan tangan melewati konter.

Angkasa menatap tangan itu sejenak. Ragu. Sentuhan adalah sebuah keintiman. Sebuah gerbang menuju koneksi yang selalu ia hindari. Namun, menolak uluran tangan itu akan terasa lebih aneh. Dengan enggan, ia menyambutnya. Tangannya terasa hangat.

“Angkasa.”

“Angkasa,” ulang Mia, seolah merasakan nama itu di lidahnya.

“Bagus namanya. Kayak… luas, tapi sayang yang punya nama kakunya minta ampun.”

Lagi. Gadis ini lagi-lagi berhasil meruntuhkan sedikit pertahanannya hanya dengan beberapa kata.

“Saya harus lanjut kerja,” kata Angkasa cepat, menarik tangannya.

“Oke, oke, Mas Angkasa yang sibuk,” Mia terkekeh, mengangkat minumannya.

“Gue duduk di pojok sana, ya. Makasih buat Serangan Jantung Manisnya!”

Angkasa hanya mengangguk, mengawasinya berjalan menuju meja favoritnya di dekat jendela. Ia melihat gadis itu mengeluarkan laptop dan buku-buku tebal, lalu tenggelam dalam dunianya. Namun, sesekali, Angkasa menangkap basah Mia sedang menatap ke arahnya sambil tersenyum tipis. Setiap kali mata mereka bertemu, sebuah sengatan aneh menjalar di dadanya. Perasaan yang terasa familier sekaligus berbahaya. Harapan.

Satu jam berlalu. Kafe mulai ramai, lalu kembali lengang saat jam makan siang berakhir. Angkasa sibuk melayani pelanggan lain, mencoba mengusir bayangan gadis di pojok itu dari kepalanya. Namun, usahanya sia-sia. Kehadiran Mia seperti melodi latar yang terus berputar, menolak untuk berhenti.

Tiba-tiba, Mia tampak panik. Ia melihat jam tangannya, lalu buru-buru membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Dengan tergesa, ia bangkit dan berjalan cepat ke arah pintu keluar, hanya berhenti sejenak di depan konter.

“Eh, gue cabut duluan, ya! Ada kelas mendadak!” serunya, sedikit terengah.

“Kopinya enak banget. Ma aciwww!”

Sebelum Angkasa sempat menjawab, Mia sudah mendorong pintu kaca dan menghilang di antara keramaian trotoar. Angkasa hanya bisa menatap pintu yang berayun pelan sebelum kembali diam. Ada sedikit rasa kecewa yang aneh.

Ia baru saja akan berbalik untuk membersihkan meja yang ditinggalkan Mia ketika matanya menangkap sesuatu di lantai. Sebuah dompet kulit berwarna merah muda tergeletak tak berdaya di dekat kaki meja. Dompet Mia.

Tanpa pikir panjang, Angkasa keluar dari balik konter dan memungutnya. Nalurinya menyuruhnya untuk segera berlari keluar dan mengejar gadis itu. Tapi jalanan sudah terlalu ramai. Mia sudah pasti hilang ditelan kerumunan.

“Sial,” gumamnya.

Ia membolak-balik dompet itu di tangannya, ragu. Ia harus mencari identitasnya agar bisa menghubunginya. Itu satu-satunya alasan, katanya pada diri sendiri. Murni untuk mengembalikan barang yang hilang.

Dengan jemari yang sedikit bergetar, ia membuka kancing dompet itu. Di dalamnya ada beberapa lembar uang, kartu mahasiswa, dan beberapa kartu lainnya. Matanya langsung tertuju pada slot transparan tempat kartu identitas berada. Kartu Tanda Penduduk.

Wajah Mia tersenyum dari foto kecil itu, senyum yang sama cerianya dengan aslinya. Angkasa tersenyum tipis melihatnya. Lalu, matanya turun membaca deretan huruf kapital di bawah foto itu.

MIA ANINDITA PRADANA

Seketika, udara di paru-paru Angkasa seolah tersedot habis. Waktu berhenti. Suara mesin espreso, obrolan pelanggan, dan deru kendaraan di luar kafe mendadak lenyap, digantikan oleh denging tajam di telinganya. Dunianya yang teratur runtuh dalam sepersekian detik.

Pradana.

Nama belakang itu. Nama yang sama yang terukir di nisan ayahnya. Nama yang sama yang Laras, ibunya, pakai setelah menikah dan meninggalkannya. Nama yang begitu membekas untuknya.

Napasnya tercekat di tenggorokan. Dompet itu terasa membakar telapak tangannya, seolah bukan terbuat dari kulit, melainkan dari bara api masa lalunya. Kakinya terpaku di lantai keramik yang dingin, tubuhnya membeku menjadi patung es di tengah kafe yang hangat, sementara di dalam kepalanya, sebuah nama terus bergema seperti lonceng kematian.

Hanya sebuah nama

Pradana.

Nama itu bergema bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran dingin yang merambat dari telapak tangannya, naik ke lengan, lalu membekukan jantungnya di tengah satu detak yang terlewat. Di tengah kehangatan aroma kopi dan obrolan sayup-sayup pelanggan, Angkasa berdiri di dunianya sendiri yang tiba-tiba senyap dan beku. Dompet merah muda di tangannya terasa seberat batu nisan.

Kebetulan.

Kata itu muncul di benaknya, sebuah rakit penyelamat yang ia lemparkan ke lautan kepanikan. Tentu saja hanya kebetulan. Pradana adalah nama yang cukup umum. Jakarta adalah kota dengan jutaan manusia. Kemungkinan dua orang dengan nama belakang yang sama sama sekali tidak berhubungan sangatlah besar. Logika berteriak begitu. Namun, instingnya,naluri yang diasah oleh delapan belas tahun kekecewaan, berbisik tentang hal lain. Sesuatu yang lebih gelap, lebih mustahil.

“Mas?”

Sebuah suara menyentaknya. Salah satu pegawai baru menatapnya dengan cemas.

“Mas Angkasa nggak apa-apa? Pucat banget.”

Angkasa mengerjap, menarik napas dengan paksa. Udara terasa berat, seperti baru saja ia muncul ke permukaan setelah tenggelam.

“Nggak apa-apa,” jawabnya, suaranya serak. Ia segera menutup dompet itu, kancingnya berbunyi klik dengan suara yang memekakkan telinga.

“Cuma sedikit pusing.”

Ia harus bergerak. Berpikir jernih. Ia memasukkan dompet itu ke dalam laci di bawah mesin kasir, di tempat barang-barang hilang biasa disimpan. Aman di sana. Tersembunyi dari pandangannya. Ia akan menunggu Mia kembali. Pasti gadis itu akan sadar dompetnya hilang dan kembali ke sini. Ya, itu skenario yang paling masuk akal.

.

.

.

.

.

Satu bulan berlalu lebih cepat dari yang Angkasa duga.

Tembok es di sekeliling hatinya tidak runtuh, tetapi Mia, dengan caranya yang ceria dan tanpa tedeng aling-aling, berhasil menemukan celah-celah kecil untuk menyusupkan kehangatan. Gadis itu kembali keesokan harinya, panik karena dompetnya hilang, dan berubah lega luar biasa saat Angkasa mengembalikannya. Sejak saat itu, sesuatu berubah.

Percakapan mereka tidak lagi terbatas pada pesanan kopi. Mia akan bercerita tentang dosennya yang menyebalkan, tentang tugas akhirnya yang membuatnya ingin mencabut rambutnya sendiri, atau tentang film baru yang baru saja ia tonton.

Angkasa, pada gilirannya, tetap menjadi pendengar yang baik. Ia jarang berbagi, lebih sering melempar pertanyaan balik atau komentar singkat yang sarkastis, tetapi Mia tampaknya tidak keberatan. Gadis itu seolah bisa membaca keheningan Angkasa sebagai sebuah bahasa tersendiri.

Dan nama ‘Pradana’ itu? Angkasa telah berhasil mendorongnya ke sudut terjauh di benaknya, menguburnya di bawah tumpukan rasionalisasi. Itu hanya kebetulan. Titik.

Sore itu, kafe sedang lengang. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang terbawa masuk setiap kali pintu terbuka. Mia duduk di kursinya yang biasa di depan konter, laptopnya tertutup. Ia hanya menatap Angkasa yang sedang mengelap mesin espreso dengan gerakan yang repetitif dan menenangkan.

“Lo tahu nggak,” Mia memulai tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.

“Gue kadang mikir, lo itu kayak kopi hitam tanpa gula.”

Angkasa berhenti mengelap, mengangkat sebelah alisnya. “Maksudnya?”

“Pahit pada awalnya,” Mia tersenyum jenaka.

“Tapi kalau udah kenal, ada rasa lain di baliknya. Kompleks. Bikin nagih.”

Angkasa mendengus pelan, sebuah suara yang nyaris terdengar seperti tawa.

“Itu pujian atau hinaan?”

“Anggap aja dua-duanya,” balas Mia. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan.

“Gue habis teleponan sama nyokap barusan. Beliau khawatir gue kecapekan ngerjain skripsi.”

Sebuah tusukan kecil yang familier terasa di ulu hati Angkasa setiap kali kata ‘nyokap’ disebut. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, menjadikan kain lap sebagai perisai.

“Bokap lo nggak khawatir?” ia bertanya, sekadar untuk menjaga percakapan tetap berjalan, menjauh dari topik yang berbahaya.

“Bokap udah meninggal beberapa tahun lalu,” jawab Mia pelan, senyumnya sedikit meredup.

“Serangan jantung. Makanya nyokap jadi protektif banget. Dia sekarang jadi single parent yang super.”

“Maaf,” gumam Angkasa, merasa canggung.

“Nggak apa-apa, udah lama kok,” Mia melambaikan tangannya, keceriaannya kembali.

“Justru karena itu gue salut banget sama nyokap. Dia itu… panutan gue. Meski ada bokap, tapi dia bisa urus semuanya sendiri. Dia tetap kerja, tetap aktif di kegiatan sosial, tapi nggak pernah sekalipun lupa buat nanyain kabar gue. Masakannya paling enak sedunia, nasihatnya selalu tepat sasaran. Dia itu kayak… paket lengkap.”

Angkasa hanya diam, tangannya terus bergerak memoles baja tahan karat mesin espreso hingga berkilau. Setiap kata pujian yang keluar dari mulut Mia terasa seperti butiran garam yang ditaburkan di atas luka lamanya. Ia membayangkan sosok Laras, ibunya. Apakah Laras juga seperti itu sekarang? Seorang ibu yang sempurna bagi keluarga barunya?

“Dia pasti bangga banget sama lo,” kata Angkasa datar, sebuah kalimat basa-basi yang terasa pahit di lidahnya.

“Gue harap gitu,” Mia tertawa kecil.

“Tapi kadang gue ngerasa belum cukup. Nyokap itu orangnya kuat banget. Gue nggak pernah lihat dia nangis, bahkan waktu bokap kerja jauh

. Dia yang nguatin gue. Dia bilang, ‘Kita harus kuat, Sayang. Demi Papa.’ Gila, kan? Wanita macam apa yang bisa setegar itu?”

Asam lambung terasa naik ke kerongkongan Angkasa. Ia menelan ludah, mencoba mengusir bayangan seorang wanita yang menangis tersedu-sedu saat meninggalkan bocah tujuh tahun di depan gerbang panti asuhan. Wanita yang sama? Tidak mungkin.

“Lo beruntung punya ibu kayak dia,” desis Angkasa, lebih kepada dirinya sendiri.

Mia mengangguk antusias, tidak menangkap nada aneh dalam suara Angkasa.

“Banget! Makanya gue pengin cepat lulus, dapat kerja yang bagus, biar bisa bahagiain dia. Gue mau ajak dia keliling dunia. Itu impiannya dari dulu, tapi selalu tertunda.”

Dunia Angkasa menyempit. Ia teringat janji ibunya.

“Nanti kalau urusan Ibu sudah selesai, Ibu pasti jemput Angkasa lagi. Pas liburan sekolah tiba, Ibu datang lagi ke sini.”

Janji liburan yang ditukar dengan janji keliling dunia. Kebahagiaan Mia, yang begitu tulus dan murni, terasa seperti dibangun di atas puing-puing kebahagiaannya sendiri. Apakah ini harga yang harus ia bayar? Menjadi fondasi yang terlupakan agar orang lain bisa membangun istana mereka?

“Lo kenapa?” Suara Mia terdengar lebih dekat. Angkasa tidak sadar ia telah berhenti bergerak, tangannya mencengkeram kain lap begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

“Nggak,” jawabnya cepat, memaksakan senyum tipis.

“Cuma lagi mikir. Kopi di gudang kayaknya mau habis.” Sebuah kebohongan yang payah.

Mia menatapnya lekat, matanya menyipit seolah mencoba memecahkan sebuah teka-teki.

“Lo nggak pernah cerita tentang keluarga lo, ya.”

Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.

“Nggak ada yang menarik buat diceritain,” potong Angkasa, nadanya lebih tajam dari yang ia maksudkan. Ia segera menyesalinya saat melihat ekspresi Mia yang sedikit terkejut.

“Sorry,” kata Mia pelan. “Gue nggak bermaksud—”

“Nggak apa-apa,” Angkasa menghela napas, mencoba melunakkan suaranya.

“Gue… nggak begitu dekat sama mereka.”

Itu adalah kebenaran versi paling sederhana yang bisa ia tawarkan.

Keheningan yang canggung menggantung di antara mereka. Mia tampak merasa bersalah. Ia mulai membereskan barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas.

“Kayaknya gue pulang duluan, deh. Udah sore juga,” katanya, menghindari tatapan Angkasa.

“Mia, tunggu.”

Gadis itu berhenti, menatapnya penuh tanya.

“Maaf,” kata Angkasa tulus.

“Gue nggak bermaksud kasar tadi.”

Mia tersenyum, kali ini senyumnya sedikit dipaksakan.

“Santai aja kali. Gue yang kebanyakan ngomong. Sampai ketemu besok, ya, Mas Kopi Pahit.”

Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Angkasa hanya bisa menatap punggungnya, merasa seperti orang paling brengsek di dunia. Ia baru saja merusak satu-satunya cahaya kecil yang masuk ke dalam hidupnya.

Tiba-tiba, sebuah rasa gatal yang aneh terasa di hidungnya, diikuti oleh pusing yang berputar sesaat. Ia memejamkan mata sejenak, berpegangan pada konter. Mungkin hanya karena ia belum makan siang. Kelelahan biasa.

Ia mengusap hidungnya dengan punggung tangan, sebuah gerakan refleks. Saat ia menarik tangannya, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah. Ia menunduk.

Merah.

Setetes darah pekat menodai punggung tangannya yang pucat. Lalu setetes lagi jatuh, mengenai permukaan konter yang baru saja ia bersihkan, menciptakan noda kecil yang mengerikan.

“Angkasa?”

Suara Mia terdengar dari arah pintu, penuh keterkejutan dan nada panik yang tajam. Ia belum pergi. Ia melihat semuanya.

“Hidung lo…”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!