NovelToon NovelToon

Bringing Back My Ex Wife

Child Free

#01

Kedua tangan Leon gemetar ketika menemukan benda yang tanpa sengaja jatuh dari tas milik Agnes. Refleknya sebagai dokter langsung bekerja, ia membaca label dalam kemasan botol obat tersebut, dan akhirnya ia menemukan jawabannya. 

Isi di dalam botol itu ternyata pil pencegah kehamilan, sejak kapan? Kenapa? Dan apa alasannya? 

Leon pikir ia sudah mengenal istrinya di 8 bulan pernikahan mereka saat ini, tapi ternyata ini hal paling luar biasa yang ia temukan sepanjang perjalanannya menjadi suami dari wanita bernama Leony Agnes. 

Tak lama kemudian Leon mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, dan melihat sang istri keluar dari sana dengan tubuh memakai bathrobe dan handuk yang membungkus rambutnya yang masih basah. 

Dari pantulan cermin, Leon melihat Agnes tengah mencari-cari sesuatu di dalam tasnya, Leon diam dan menunggu apakah Agnes akan bertanya padanya, atau tidak. Tapi bibir Leon terlanjur gatal, jadi ia yang bertanya lebih dahulu. 

“Apa yang kamu cari?” 

Agnes mendongak dengan senyum tipis, “Bukan hal penting, lupakan saja,” jawabnya. 

Kemudian Agnes duduk di depan meja rias membuka laci tempat ia menyimpan hair dryer. “Ayo, cepat! Aku ada janji bertemu Chef Vinka.” 

“Aku tanya sekali lagi, Yang. Apa yang kamu cari?” 

Leon kembali bertanya dengan wajah datar nan dingin. 

Agnes sengajai mengabaikan sang suami, ia mulai menyalakan mesin hair dryer, agar bisa segera mengeringkan rambutnya. Namun, Leon justru menarik kabel benda tersebut, hingga mesin hair dryer mati seketika. 

“Leon! Tadi kamu sengaja mengulur waktuku, sekarang justru menghambat, maksud kamu apa?” 

“Apa benda ini yang kamu cari?”

Wajah Agnes pucat, namun dengan cepat ia menguasai diri. “K-kamu, dapat dari mana benda ini? Kenapa ka—”

“Jawab saja pertanyaanku! Apa benar itu yang kamu cari?!” 

Leon kembali menegaskan pertanyaannya, menuntut jawaban yang bahkan Leon takut jika mendengarnya. 

“Iya.”

“Kenapa kamu memilikinya?”

“Sudah sangat jelas, untuk mencegah kehamilan.” 

Leon tergugu di tempatnya, tak menyangka jawaban itu meluncur dari mulut istrinya. Leon adalah anak bungsu, dan ia adalah sosok yang kesepian saat masih kanak-kanak, hingga ia sangat mendambakan untuk segera memiliki anak jika sudah berumah tangga. 

Tapi kenyataan ini tak sesuai dengan fakta yang ia harapkan, “Kenapa harus dicegah? Sementara aku sangat berharap akan hadirnya anak diantara kita?” tanya Leon dengan wajah dan bibir bergetar. 

“Aku tak menginginkan kehadiran seorang  anak, maaf.” 

“Harusnya kamu mengatakan padaku sedari awal!” 

“Sudah berusaha ku lakukan! Tapi kamu tak mau mendengarku, kamu buru-buru memutuskan pernikahan kita, padahal kita baru mulai berpacaran. Jadi jelas ini salahmu!” tuding Agnes. 

“Apa? Salahku?”

“Iya.”

Di tengah suasana tegang yang kian memanas, Leon tertawa sumbang, padahal mereka tertawa mesra ketika satu jam lalu berpadu mesra di atas pembaringan kamar tersebut. 

“Pernikahan terjadi bukan hanya karena insting alami manusia untuk pemenuhan hasrat di tempat yang seharusnya. Namun, lebih daripada itu, tujuan utama pernikahan adalah melahirkan generasi penerus, agar kehidupan manusia di alam semesta terus berjalan.”

Benar apa yang Leon katakan, tapi itu tak berlaku bagi Agnes yang sejak kecil mengalami trauma berat dengan pernikahan orang tuanya. Ia terlahir dari pasangan yang sudah menikah, tapi entah mengapa, hingga detik ini, Papanya tak pernah mengakui dirinya sebagai anak kandung. 

Agnes tumbuh besar hanya diasuh Mamanya, sementara Papanya sudah kembali menikah dengan janda beranak 1, yang sungguh sangat disayangi oleh Papa Hendrik, ayah kandung Agnes. 

“Tapi hal itu tak berlaku untukku, aku tetap tak menginginkan anak.” 

Dengan wajah dingin, dan luka masa lalu yang belum tahu kapan bisa disembuhkan, Agnes kembali menegaskan jawabannya. 

“Apa alasanmu?” 

Agnes membuang pandangannya keluar jendela, salju tipis mulai turun, dan sekarang sudah sangat terlambat untuk bertemu dengan salah seorang instrukturnya dari akademi. 

“Kamu tahu, kan? Aku adalah anak yang tak diakui oleh papa kandungku sendiri. Hingga Mamaku di campakkan, kemudian pria itu kembali menikah dengan janda beranak satu, yang ia sayangi seperti anak kandung.”

“Aku tak ingin jika kelak aku terlanjur hamil, suamiku tak mau mengakui anakku. Dan yang terburuk ia akan membuang kami dengan alasan yang sama seperti Papaku dahulu.” 

Leon kembali tertawa miris, ia menghampiri Agnes, memegang kedua lengan wanita itu dengan lembut. 

“Itu tak akan terjadi, I promise.” 

“Butuh waktu lama untuk hatiku bisa menerima dengan mudah alasan bagi pasangan menikah yang mengharuskan ada anak diantara mereka,” ungkap Agnes dengan perasaan enggan. 

Leon melihat, Agnes yang selama ini ia kenal ceria dan mandiri, ternyata menyimpan begitu banyak luka di dalam sorot matanya. 

“Do you love me?”

“Yes, I love you,” jawab Leony yakin. 

“Me too, I love you more. But please, give me one baby, I will love it with all my heart," pinta Leon, suaranya datar dan sangat lembut, mencoba menyelami hati sang istri agar mau mengubah pendiriannya. 

Agnes melihat kesungguhan dalam sorot mata itu, namun, tentu saja belum cukup bisa untuk melunturkan kebekuan hatinya. Kemudian wanita itu menepis kedua tangan Leon, “Maaf.”

“Kamu akan menyesal, kelak.” 

“Aku pastikan, itu tak akan terjadi.”

Dinginnya cuaca di luar apartemen, tak sedingin suasana di dalam ruangan tersebut, keduanya saling menatap dalam bisu, dua ego yang tak bisa menyatu, seperti dua koin yang berlawanan. 

Leon mengangkat kedua tangannya tanpa berucap sepatah kata pun lagi, pria itu ke ruang ganti, keluar sudah rapi, tinggal memakai mantel yang digantung di lemari dekat pintu masuk. 

Leon berlalu pergi tanpa permisi. Namun, sebelum pintu tertutup kembali, Leon berkata. “Aku mencintaimu, karena itulah aku sangat berharap memiliki anak bersamamu. Tapi, bila mana kamu tetap tidak berubah pikiran—”

“Lepaskan saja aku, kamu bisa menikah lagi dengan wanita lain.”

Leon menoleh cepat, tak menyangka bila Agnes akan berkata sekejam itu padanya. Bagaimana bisa ia menikahi wanita lain hanya demi anak? Tentu Leon tak akan segila itu. 

“Pikirkan lagi keinginanmu, cukup lihat cintaku, jangan hanya luka masa lalumu. Karena kelak aku yang akan berada di sisimu hingga sisa usia kita habis.”

“Di keluargaku, pantang ada perceraian, jika itu terjadi pastilah karena masalahnya sangat krusial.”

Leon pun melanjutkan langkahnya, dan Leony hanya bisa menatap pintu yang telah tertutup. 

Air matanya berderai, “Ini semua karenamu, Pa.” 

Batin Agnes menjerit pilu, teringat ketika dengan kejam ibu tirinya mengusir dirinya yang kala itu datang hanya demi meminta uang pada sang papa untuk membayar biaya ujian praktek. Tapi ia diusir seperti lalat menjijikkan, masih pula ditambah makian, seolah dirinya memang tak layak hidup di dunia ini. 

Di sela tangisannya, tiba-tiba ponsel Agnes berdering… 

###

Semoga suka 🙏

Mari Kita Akhiri Saja

#02

“Halo, Chef—”

Rupanya Chef Vinka yang menghubunginya, wanita itu mengatakan ia akan terlambat, karena salju yang turun membuat perjalanannya sedikit terlambat. 

Agnes tersenyum senang, “Tidak apa, Chef. Bagaimana kalau kita undur saja.” 

“Bagaimana kalau besok pagi-pagi sebelum kelas dimulai.” 

“Baiklah, akan ku usahakan datang pagi.” 

Agnes mengakhiri panggilan, wanita itu berganti pakaian, lalu mulai membersihkan ruangan. Karena Leon tak akan pulang malam ini, pria itu sedang shift malam di rumah sakit. 

•••

Beberapa hari berlalu, namun, apartemen semakin sepi karena Leon sama sekali tak pulang. Entah karena sibuk, atau karena masih marah pada keputusan Agnes. Yang jelas Agnes mulai kesepian. 

Beberapa kali Agnes coba menghubungi suaminya, namun, tak pernah memperoleh jawaban, bahkan pesan singkat pun tidak. Hati Agnes semakin gulana, teringat betapa Leon sangat kecewa dengan keputusannya. 

“Apa Leon akan benar-benar melepaskan aku?” tanya Agnes pada dirinya sendiri. 

Wanita itu mencoba sekali lagi menghubungi suaminya. Namun, sekali lagi tak memperoleh jawaban. Justru sengaja dimatikan. “Apa-apaan ini?! Leon tak pernah me-reject panggilan dariku?” keluh Agnes sembari menatap layar ponselnya. “Apa dia masih marah gara-gara hal kemarin?” 

Tanpa Agnes tahu, di seberang sana, Debby sedang duduk di kursi ruangan para dokter residen. Wanita itu tersenyum bahagia setelah berhasil membuat Agnes kesal, 

Sahabat Leon sejak tahun pertama kuliah tersebut, sudah lama menaruh hati pada Leon. Namun, gayung tak pernah bersambut. Leon justru jatuh cinta pada teman satu SMA nya, yakni Leony Agnes. 

Saat ini Agnes sedang serius menyelesaikan pendidikannya di sebuah akademi memasak, itupun Agnes dapat dengan susah payah melalui program beasiswa. Jika dengan biaya sendiri, mana mungkin bisa, karena Mamanya hanyalah pemilik sebuah toko kue kecil. 

Debby segera membuka ponsel Leon, wanita licik itu diam-diam mengintip password ponsel Leon. Dan jika Leon lengah ia bebas berselancar mengintip keseluruhan isi ponsel milik pria itu.

Klek! 

Pintu terbuka, tepat setelah Debby meletakkan ponsel milik Leon di meja, beberapa saat lalu, Debby menghapus semua riwayat panggilan masuk dari Agnes. Tentu saja niat busuknya sangat jelas, hanya saja Leon tak menyadarinya. 

“Aku mau makan. Kamu sudah makan?” tanya Leon pada Debby, yang sejak tadi menunggunya keluar dari ruang operasi. 

“Ayolah, aku juga sangat lapar,” sambut Debby. 

Mereka berjalan akrab menuju kantin rumah sakit, di perjalanan, Leon memeriksa barangkali ada panggilan masuk dari istrinya, namun nihil, tak ada satupun. Bahkan pesan singkat menanyakan keadaannya pun tidak ada. 

“Apa Agnes benar-benar serius dengan ucapannya kemarin?” Leon bertanya-tanya dalam hati, rasanya sedih ketika istri sendiri tak perhatian. Justru Debby yang memperhatikannya selama beberapa hari ini. 

Leon terus melamun, padahal Debby terus berceloteh, sesekali wanita itu tetap memberi dukungan pada sikap Leon yang ingin menegaskan keputusannya perihal anak. 

Setelah selesai mengisi perut, mereka melangkah pergi meninggalkan kantin rumah sakit. Mampir sejenak ke cafe untuk mengisi amunisi kafein tubuh, penunjang stamina selama bersiaga di rumah sakit. 

Keluar dari cafe, Leon disambut dengan tatapan dingin istrinya yang sengaja datang membawakan makanan, “Hai, Ag,” sapa Debby ramah, namun tidak dengan Leon yang tetap mematung. 

Dalam beberapa kesempatan, Agnes sempat mengungkapkan kecemburuan karena Leon dirasa terlalu akrab dengan Debby. Namun, Leon selalu meyakinkan bahwa mereka tak ada hubungan apa-apa selain persahabatan. 

“Kamu duluan saja, nanti aku menyusul.”

Dengan berat hati Debby pun pergi. Agnes berbalik, membuka mantel yang menghalau udara dingin, karena tiba-tiba tubuhnya merasa panas akibat rasa cemburu yang menguasainya. 

Mereka berdiri menatap taman tengah rumah sakit. 

“Aku datang mengantarkan makanan untukmu, karena sudah beberapa hari kamu tak pulang.” 

Hanya hembusan angin lembut yang terdengar. 

“Tapi sepertinya kamu tak memerlukannya, karena di rumah sakit ini, kamu bisa mendapatkan makanan dengan mudah.” 

Agnes tersenyum getir, “Bukan begitu, aku tak pulang, karena situasi di rumah sakit benar-benar sibuk, dan poli bedah jantung kekurangan orang. Jadi aku tak sempat pulang, kamu tak lihat bentukan rambutku yang minyaknya bisa di peras ini?” 

“Meski begitu, kamu tetap bisa tertawa bahagia bersamanya, sedangkan aku— hanya berteman sepi di apartemen.” 

“Hentikan kalimatmu! Karena itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”

“Aku pulang dulu,” Agnes tersenyum getir, menahan ngilu di lambungnya yang belum terisi makanan sama sekali. Ia berharap bisa menikmati makan siang bersama suaminya, namun, harapannya sia-sia. 

Leon menangkap tangan Agnes, “Nanti malam aku usahakan pulang.” 

Agnes menepis tangan tersebut, “Jangan memaksakan diri bila tak bisa.” 

Kenapa suara Agnes terdengar lebih dingin dari cuaca saat ini? Leon ingin mengikuti istrinya, minimal hingga ke halte depan rumah sakit, namun panggilan darurat mengalihkan perhatiannya. 

Leon kembali berlari kencang masuk ke rumah sakit, di saksikan Agnes, yang hatinya teriris pilu karena menyangka Leon buru-buru kembali demi yang lain. 

•••

Satu bulan berlalu, tak ada perbaikan dalam hubungan mereka, tetap dingin, dan hampa. Seperti ada rongga tak kasat mata, menjadi ruangan kosong yang memisahkan keduanya, sekat yang seharusnya diisi seorang anak. Namun, sayang Agnes enggan memilikinya. 

“Ini bulan terakhirku di akademi.” 

Agnes mencoba menceritakan kesehariannya belakangan ini. 

“Hmm, lalu?” 

Mendengar jawaban Leon yang jauh dari ekspektasinya, Agnes jadi enggan melanjutkan kalimatnya. “Tidak apa-apa. Hanya memberitahumu saja, sayangnya kamu tak tertarik, maaf, anggap saja tak pernah dengar.” 

Agnes berdiri membereskan piring dan peralatan makan lain yang ia pakai, “Apa maksud kalimatmu, barusan? Aku selalu berusaha menggunakan telingaku untuk mendengar ceritamu, bahkan keluh dan kesahmu. Lalu, dari sisi mana kamu menyimpulkan aku tak tertarik?” 

“Malah, aku merasa, justru kamu yang tak tertarik padaku lagi.” 

Prang! 

Dengan sedikit kasar, Agnes meletakkan peralatan makanannya di wastafel cuci piring. “Jangan bicara sembarangan.”

“Hal itu juga yang aku inginkan darimu.” 

Bukannya bicara baik-baik, sikap keduanya justru seperti api dan bahan bakar. Perpaduan yang pas untuk menghasilkan kobaran api raksasa yang siap melahap apa saja. 

“Jangan bicara seolah-olah kamu yang berkuasa atas tubuhmu, aku juga berhak atasmu, termasuk berhak melarangmu meminum pil kontrasepsi itu.” 

“Kok jadi ke arah sana, sih? Jadi tetap aku yang salah?” sergah Agnes dengan perasaan tak menentu. 

“Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya ingin kamu menjaga kata-katamu. Bagaimana bila Tuhan berkehendak sebaliknya? Meskipun kamu sudah minum pil untuk mencegah kehamilan, selalu ada kemungkinan kamu untuk hamil. Karena Tuhan yang berkehendak.” 

Agnes menggeleng lemah, malas membicarakan hal yang sudah menjadi keputusannya sejak lama tersebut. Baginya child free adalah keputusan mutlak, tak bisa diganggu gugat. Karena ia tak mau kisah pahit masa kecilnya kembali terulang pada anaknya. 

“Aku rasa, perdebatan ini tak akan pernah menemukan ujungnya. Mari kita akhiri saja, lalu ambil jalan masing-masing, kamu dengan keinginanmu. Dan aku dengan pilihan hidupku.”

Pelukan Terakhir

#03

Perceraian berlangsung cepat, karena mereka menikah di London, dan mengurus perceraian pun di sana. 

Hari ini hari bahagia Agnes, sekaligus menjadi hari perceraian mereka. 

Leon berharap agar Agnes merubah pikirannya, jadi pria itu diam dan menunggu, namun, angannya tak sesuai kenyataan, dan Agnes justru pilih mengakhiri hubungan mereka begitu saja. 

“Selamat tinggal, semoga kamu bahagia dengan pilihan hidupmu.” 

Agnes mengangguk, ujung perpisahan yang pahit, menyisakan selaksa luka tak kasat mata di hati keduanya. Namun, Agnes tak ingin terlihat bersedih, sebaliknya ia menampilkan senyum yang sedikit dipaksakan. 

“Kamu juga, semoga segera bertemu jodohmu yang sesungguhnya. Wanita yang benar-benar mengerti dan memahami keinginan hatimu.” 

Dengan rasa berat, Leon melepaskan genggaman tangan Agnes, karena wanita itu menarik tangannya, seolah tak ingin berlama-lama di momen terakhir mereka. 

“Boleh aku memelukmu?” 

Agnes mengangguk, dan Leon tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Hingga ia memeluk sang mantan istri dengan erat, bahkan terlalu erat. 

Susah payah Agnes menahan air matanya, ia adalah wanita yang tak ingin terlihat rapuh, sejak sang papa meninggalkan dirinya dan sang mama. Agnes telah melatih dirinya menjadi sosok rumput liar yang tegar dan tahan di segala cuaca. Termasuk cuaca sedih ekstrim seperti saat ini. 

“Aku ikut bersedih untuk kalian.” 

Sebuah suara membuyarkan momen tersebut, sekilas Agnes menunduk, mengusap air di kedua sudut matanya. “Kamu sudah dijemput,” pungkas Agnes getir. 

Sejak awal mula hubungan mereka di mulai, Debby adalah satu-satunya wanita yang menjadi pusat kecemburuan Agnes, namun, Leon selalu mengatakan bahwa dirinya dan Debby hanya berteman akrab, tidak lebih. 

“Kami bisa mengantarkan ke tujuanmu.”

Debby menawarkan, wajahnya dibuat pura-pura berduka. Padahal dalam hatinya tengah berpesta pora. 

“Ikutlah, dengan kami, kita searah. Aku meminta Debby menjemput, karena semalam aku tak tidur.” 

“Aku tak langsung kembali ke apartemen, karena aku ada perlu membeli beberapa koper baru untuk pulang ke Indonesia.” 

Nyes!

Mendengar ucapan Agnes, hati Leon seperti baru saja dipasang plat besi yang masih berpijar. Agnes kembali ke Indonesia, seorang diri. Padahal dulu ketika meminta izin menikah pada Mama Wina, Leon berjanji akan menjaga dan mengantar kepergian Agnes kemanapun. 

“Kamu— kenapa buru-buru pulang?” tanya Leon. 

Agnes tersenyum getir, “Tak ada yang bisa kulakukan di sini, tapi aku bisa memulai kembali hidupku di Indonesia. Pergilah kalian, aku juga harus bergegas.” 

“Oh, iya, satu lagi, aku sedang mengusahakan minggu ini terbang ke Indonesia, jadi tolong beri aku waktu mengemasi semua barang-barangku dulu.” 

“Tapi—”

Leon hendak melanjutkan kalimatnya, ada banyak hal yang masih ingin ia katakan, namun, Agnes buru-buru menyudahinya. Wanita itu berbalik badan dan pergi ke arah berlawanan dengan arah yang akan Leon tuju. 

“Ayo, Dokter Dante mencarimu.” 

Debby menyeret lengan Leon, dan dengan terpaksa Leon mengikuti langkah Debby, beberapa kali pria itu menoleh ke arah Agnes, berharap wanita itu pun melakukan hal serupa. Leon bahkan bersumpah akan langsung berlari mendatangi mantan istrinya saat ini juga, jika Agnes menoleh kepadanya. 

Sayang Sekali, karena hingga mobil yang Debby kemudikan melaju perlahan, Leon hanya bisa menyaksikan punggung Agnes yang semakin menjauh dari pandangannya. 

•••

Tepat seminggu kemudian, Agnes sudah tiba di Jakarta. Wanita itu segera melanjutkan perjalanan ke Cirebon dengan transportasi umum yang tersedia di Bandara Soekarno-Hatta. 

Tapi, pemandangan mengejutkan membuatnya nyaris mati berdiri, Agnes berlari kencang melupakan barang-barangnya, karena toko kue kecil milik mamanya kini habis dilalap kobaran api. 

“Mama! Mama!” jerit Agnes. Namun, petugas damkar bisa menghalaunya, hingga Agnes tak nekat masuk ke dalam kobaran api. 

“Lepaskan! Aku harus menyelamatkan Mamaku!” 

“Tenang! Tenang, Nona!” 

Petugas damkar berusaha Menenangkannya. “Ibu Anda sudah di bawa ambulance ke rumah sakit.’

“Bagaimana kondisinya?” 

“Beliau mengalami luka bakar cukup parah, karena posisi sedang di dapur, dan kami menduga api bersumber dari sana.”

Air mata Agnes luruh seketika, “A-Apa, Pak?”

“Dua karyawan yang membantu beliau, juga mengalami kondisi serupa.” 

Hati Agnes mencelos seketika, ia bingung, sesaat tak tahu harus melakukan apa. 

“Agnes?” sapa Pak Rifky salah seorang tetangga yang Agnes kenal cukup baik. 

“Om—”

“Tadi Ambulance membawa mamamu ke rumah sakit, sekarang Om mau ke sana? Kamu mau ikut?” tawarnya. 

“Mau, Om!” jawab Leony tanpa pikir panjang.

“Ayo, kemasi dulu kopermu.” 

Ketika Agnes berbalik, tanpa sengaja ia melihat seseorang yang sepertinya tidak asing, namun, Agnes berusaha mengusir pikiran buruknya, dan lagi setelah di lihat kembali, orang itu sudah hilang. 

•••

“300 juta?” 

“Iya, Nona. Itu untuk estimasi biaya satu minggu perawatan 3 orang pasien, termasuk kamar dan lain-lain,” jawab petugas administrasi. 

Tangan Agnes gemetar, bukan karena takut uangnya habis, tapi karena jumlah uangnya tak sampai sebanyak itu. Lalu kemana ia akan mencari sisanya?

“Kenapa?” tanya Om Rifky yang melihat wajah Agnes pucat pasi. 

Karena tak mendapat jawaban, Om Rifky pun menyambar kertas tagihan rumah sakit dari tangan Agnes. 

“Biar Om yang bayar,” kata Om Rifky dengan keluasan hatinya. 

“Tapi, Om. Bagaimana bila keluarga Om melarang?”

“Aku sudah lama hidup sendiri, Istriku meninggal 5 tahun lalu, dan kami tak pernah memiliki anak.” 

Om Rifky mencoba meyakinkan Leony, “Baiklah, tapi aku menganggap ini hutang, meskipun mencicil, tapi aku yakin bisa mengembalikan uang Anda.”

“Iya, kamu punya waktu banyak bila memang berniat melunasinya secara perlahan.” 

Pikiran Agnes begitu kalut, pada siapa lagi ia akan meminjam biaya pengobatan? Pada papanya? Sudah pasti uang itu tak akan didapat dengan mudah. Yang ada ia harus bersitegang dengan istri papanya.

Leon. 

Akhirnya Agnes ingat bahwa mungkin pria itu mau berbaik hati meminjamkan uang pada mantan istrinya. 

Tanpa pikir panjang, dan menghiraukan perbedaan waktu, Agnes segera menghubungi Leon. Namun, entah kebetulan, atau nasib buruk, setiap kali menghubungi Leon, Debby sedang berada di dekat ponsel pria itu. 

Leon masih di kamar mandi, jadi pria itu meninggalkan ponselnya di ruangan para dokter. 

“Mau apa lagi, dia? Mengganggu saja,” gerutu Debby sinis. Dan dengan santai mereject panggilan dari mantan istri Leon tersebut. 

Bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Karena Leon tak kunjung datang, maka Debby pun mengangkat panggilan tersebut. 

“Halo.”

“Maaf, apa ini ponsel Dokter Leon?” 

“Agnes?” 

Debby pura-pura bertanya. 

“D-Debby?” tanya Agnes dengan suara bergetar. 

Sebagai mantan istri, Agnes tentu tahu kebiasaan Leon sejak dulu. Pria itu tak suka, bahkan bisa marah besar jika ada orang lain yang menyentuh ponselnya. Benda tersebut seperti sebuah jimat, karena Leon pernah kecanduan gadget ketika masih anak-anak. 

Tapi kini, Debby menyentuh, bahkan lancang mengangkat panggilan. Apakah— ah, itu bukan urusan Agnes lagi. Terserah Leon. “Kemana Leon?” 

“Leon sedang keluar sebentar, ada sedikit urusan.” 

Agnes tersenyum getir, “Tapi—”

“Oh, ponsel ini. Aku tahu betapa posesifnya Leon pada ponsel pribadinya. tapi sedekat inilah hubungan kami, hingga ia sangat mempercayaiku.” 

Degh! 

Namun, Agnes tahu, itu bukan urusannya lagi. 

“Dengar, ya, karena sekarang kamu sudah menjadi mantannya Leon. Jauhi dia! karena kini adalah kesempatanku untuk mendekatinya. Sebelumnya aku sudah memberimu kesempatan, tapi kamu dengan bodohnya  memberikan pilihan sulit padanya. Ditambah lagi, Leon sangat menyukai anak-anak.”

Bukan perkara cinta, tapi Agnes kecewa pada sikap Leon yang tega membuka aib penyebab mereka berpisah. Agnes jelas tak terima, walau mengakui bahwa prinsip dan keinginannya lah yang menjadi penyebab perpisahan mereka. 

Agnes pun mematikan panggilan tanpa kata apa-apa lagi. Sekarang, semuanya sudah benar-benar berakhir, antara ia dan Leon tak akan pernah ada ikatan apa-apa lagi. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!