NovelToon NovelToon

Liora: Mama Untuk Salwa

Liora dan Lagu dari Rumah Goni

🎶“Wa... wa... wa... ma...”🎶

Suara serak itu memecah keheningan pagi. Lagu yang seharusnya lucu malah terdengar seperti ratapan kecil dari dunia yang salah alamat.

Ketika Liora membuka mata, pandangannya disambut atap seng karatan yang bolong di sana-sini. Cahaya matahari menetes masuk seperti bocoran dari langit. Ia sempat berharap ini cuma mimpi buruk, tapi rasa sakit di pelipisnya membantah dengan kejam—terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Ruangan itu kecil dan pengap. Karung goni digantung seadanya, jadi pembatas antara dapur dan kamar. Di pojok ada kompor gas kecil, lemari plastik retak tanpa laci, kasur tipis di lantai penuh tambalan, dan satu meja kayu pincang yang seolah bisa tumbang kalau disentuh. Lantainya bukan semen—hanya tanah yang dilapisi plastik, mungkin sudah diganti puluhan kali.

Liora menatap semuanya lama-lama. Dunia di sekitarnya asing, tapi tubuh ini terasa nyata. Potongan kenangan yang bukan miliknya datang berdesakan: seorang perempuan bernama Liora juga, umur dua puluh satu, tanpa suami, hidup di rumah sempit di pinggiran Jakarta bersama anak kecil bernama Salwa.

Liora menarik napas panjang, separuh dongkol, separuh takut. Ia tahu dirinya sudah mati. Terakhir yang diingat, ia seorang gadis desa, umur tujuh belas tahun, cuma lulusan SD, pekerjaannya Hanya membantu neneknya mencangkul dan menanam sayur. karena menginjak kulit pisang, ia terjungkal ke belakang—ujung kayu runcing lah yang menyambutnya. Liora mengira akan berakhir dikubur. Sekarang entah kenapa, ia malah bangkit di tubuh seorang ibu muda yang bahkan tak punya laci untuk menyimpan mimpi.

“Ma... ma... wa...?”

Suara kecil itu membuatnya menoleh. Di ambang pintu berdiri seorang balita, rambut acak, mata besar, gigi depan hitam dan pecah. Liora menatapnya bingung.

“Apa?” suaranya serak.

Anak itu menatapnya lama, lalu dengan langkah gontai mengambil gelas plastik kosong di atas meja. Kukunya kotor, bajunya penuh noda. Ia mengulurkan gelas itu sambil bersuara, “Wa... wa... wa... ma...”

Liora mengerutkan kening. “Hah? Apa sih?”

Anak itu menekan gelas ke dada Liora.

“Kau... haus?” tanya Liora ragu.

Balita itu diam.

“Mau minum?” ia memastikan.

Mata anak itu langsung berbinar. “Num num num!” serunya, melompat kecil. Ia menarik baju lusuh Liora, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.

Liora berdiri—dan hampir jatuh lagi. Kepalanya berat, tubuhnya lemas. Ia bersandar pada tiang rumah sebelum melangkah ke dapur. Di sana ada botol air mineral setengah isi. Ia menuangkan air ke gelas, tapi Salwa keburu merampasnya dengan semangat, menumpahkan separuh ke tanah. Anak itu meneguknya cepat-cepat, seperti orang yang takut airnya akan direbut.

Liora hanya bisa memandangi, tak tahu harus marah atau kasihan. Ia menaruh botol di tempat semula, tapi suara prang! membuatnya menoleh panik. Gelas plastik sudah terlempar ke lantai. Salwa berbaring di tanah, tertawa kecil.

“Hey!” Liora mendekat, mengangkat anak itu. Tubuhnya begitu ringan—terlalu ringan. Sekilas ia menduga berat badan Salwa bahkan tak sampai tujuh kilo. Untuk anak empat tahun, itu seperti memeluk bayangan.

Perut Liora berbunyi. Ia menurunkan Salwa ke kasur , lalu berjalan ke dapur. Di sana ada kantong beras nyaris kosong, beberapa bungkus mi instan, dan sayur layu di pojok ember.

Ia menuang air ke panci, menyalakan kompor gas yang nyaris tak kuat menahan api. Semua bahan dimasukkan begitu saja. Tak ada garam, tak ada minyak—hanya niat untuk tetap hidup.

Uap panas perlahan memenuhi udara, baunya hambar tapi hangat.

Mereka makan di lantai, duduk bersila. Sebelumnya, Liora mencuci tangan Salwa, karena kukunya panjang dan kotor. Ia hanya mencungkil kotoran kukunya dengan lidi karena pemotong kuku tak ditemukan. Anak itu duduk diam dan tenang, wajahnya pucat, matanya seolah tak mengerti dunia di sekelilingnya. Bukan cuma kurang gizi, pikir Liora. Ada sesuatu yang rusak di sini. Terlalu sunyi untuk anak sekecil itu.

“Masih lapar?”

Salwa tidak menjawab. Liora memanggilnya dua kali, “Salwa? Hei, Salwa?” Tapi anak itu tetap diam menunduk, wajahnya menghadap ke piring. Karena penasaran, Liora menarik dagu kecil itu—dan hatinya seperti diremas. Mata anak itu tak merespons, hanya berkedip bingung, mulut belepotan mi.

“Ya Tuhan...” bisiknya, antara gemas dan khwatir. Ia mengambil mangkuk dari tangan anak itu, lalu mulai menyuapi perlahan. Namun Salwa hanya menyimpan makanan di mulutnya. Liora menepuk pipinya lembut, barulah anak itu mengunyah. Tangan Liora gemetar sedikit, tapi ia berusaha tenang. Setelah hampir sejam menyuapi Salwa dengan kesabaran tinggi, barulah selesai. Ia mencuci mangkuk dan menatanya di lemari plastik retak yang nyaris roboh.

Liora memperhatikan anak itu dari jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—bukan kasih sayang, bukan juga iba, tapi semacam rasa asing yang menempel pelan-pelan. Ia menatap telapak tangannya yang kasar dan lusuh, lalu menghembuskan napas panjang.

“Yah... selamat datang di hidup baru, Li. Tubuh orang lain, anak orang lain, utang juga mungkin orang lain. Mantap.”

Setelah perut diisi seadanya, Liora berdiri pelan, matanya menyapu isi ruangan yang nyaris tak bisa disebut rumah. Ia mencari pakaian yang pantas dipakai untuk ‘perjalanan besar’—yang, ironisnya, hanya berarti bertahan hidup sampai sore.

Begitu membuka lemari plastik retak di pojok kamar, ia mendengus pendek.

“Kalau ini disebut pakaian, aku ini presiden,” gumamnya.

Baju-baju yang tersimpan di dalam justru lebih menyedihkan dari yang melekat di tubuhnya: sobek di sisi, bau lembap, dan beberapa sudah berubah warna menjadi sesuatu antara cokelat tanah dan abu dosa.

Akhirnya, Liora menyerah. Ia hanya mencari karet rambut untuk mengikat rambut Salwa. Tak ketemu. Yang ia temukan malah tali rafia yang masih menempel manis di karung goni pembatas dapur.

“Ya sudahlah, rambutmu resmi diikat oleh hasil karya industri plastik,” katanya datar.

Salwa terkikik pelan—tawa kecil yang entah kenapa terdengar seperti ejekan halus terhadap nasib mereka berdua.

“Jangan ketawa. Aku sedang berusaha terlihat waras.”

Liora pun mengikat rambutnya sendiri dengan potongan rafia lain. “Biar kelihatan kembar,” gumamnya, seolah alasan itu cukup untuk menutupi absurditas hidupnya.

Dari pojok kamar, ia mengambil sarung satu-satunya—yang seharusnya jadi alas kasur, tapi kini beralih fungsi jadi gendongan. Salwa menempel di punggungnya, ringan seperti rahasia yang menyakitkan. Liora mengikat ujung sarung di depan dadanya, menarik napas panjang, lalu menatap pintu belakang rumah yang seakan menantangnya.

“Baiklah, dunia. Mari kita ulang lagi dari nol.”

Perang Pertama Liora

Liora mengambil karung bekas dan parang, Untungnya, ingatan ibu malang itu masih tertinggal di kepalanya; setidaknya ia tahu jalan ke gunung di belakang kampung.

Perjalanan pun dimulai. Mereka menapaki jalan setapak licin yang tampak lebih cocok untuk kambing daripada manusia. Liora menuruni sungai kecil, lalu mendaki kebun tetangga yang penuh pohon cokelat dan jambu mete—pemandangan indah, kalau saja napasnya tak terdengar seperti napas terakhir seorang veteran kehidupan. Tubuhnya basah oleh keringat, sementara Salwa di punggungnya bergumam pelan tanpa arti; entah nyanyian, entah doa pendek agar ibunya tidak pingsan di tengah jalan.

Ketika mereka sampai di pagar kebun, Liora berhenti. Matanya langsung terpaku pada beberapa pohon mangga yang berbuah lebat dan tanaman cabai yang tumbuh liar di sekitarnya. Senyum miring muncul di wajahnya, jenis senyum yang biasa muncul sebelum dosa kecil dilakukan.

Setelah memastikan tak ada manusia, ayam, atau roh penasaran yang mengintai, ia menurunkan Salwa ke tanah. Liora menyingkirkan daun-daun kering agar anak itu tidak digigit semut. Lalu ia mulai memanjat pohon mangga dengan semangat yang lebih besar dari logikanya. Pohonnya memang tinggi, tapi dibandingkan hidupnya yang lebih sering menampar kenyataan, ini hanya latihan ringan. Dulu ia pernah berperang dengan ladang batu dan tanah longsor, jadi sebatang pohon berbuah manis? Tidak ada apa-apanya.

Beberapa menit kemudian, ia turun dengan karung berisi hasil jarahan alam: mangga ranum.

“Lihat, Salwa,” katanya dengan nada bangga. “Aku ini ninja. Tapi versi miskin.”

Perjalanan dilanjutkan. Begitu tiba di atas bukit kecil, udara gunung langsung menyambutnya—dingin, segar, dan seolah mengejek paru-parunya yang payah. Liora menghirup dalam-dalam, menengadahkan wajah, lalu berteriak kencang,

“Aaaaaa... hidup, dasar sialan!”

Suara itu menggema, lalu lenyap ditelan lembah. Dari atas sana, rumah-rumah kecil di kota terlihat seperti miniatur kesedihan yang cantik. Gunung milik Liora ternyata bukan gunung besar, tapi cukup hijau untuk memelihara harapan yang hampir mati. Ada pohon cengkeh, sayur labu, beberapa terong liar, dan…

satu ekor ular hijau yang nongkrong manis di dahan.

“Anjing!” teriak Liora spontan, hampir saja Salwa ia jadikan tameng darurat.

Binatang melata itu langsung sukses memicu insting lari olimpiadenya. Ia kabur seolah baru sadar hidup masih punya harga, Salwa di punggungnya bergoyang-goyang. Begitu sudah cukup jauh dari “monster hijau”, Liora berhenti di samping pohon pisang, ngos-ngosan. Ia mendongak dengan kewaspadaan ala orang trauma—takut ketemu makhluk tak berkaki versi dua. Setelah memastikan situasi aman, ia menurunkan Salwa dengan lembut.

“Wa... wa... plok plok, Ma...”

Salwa bertepuk tangan dengan gembira. Liora cuma tersenyum lelah. Ia meletakkan anak itu di atas kedua kakinya, membaringkan di atas betis seperti orang yang punya energi keibuan. Lalu ia menggoyang kaki dan betisnya, menimang seadanya—lebih mirip latihan paha daripada gestur kasih sayang.

Salwa menguap lebar. Beberapa detik kemudian, anak itu tertidur damai. Dengan hati-hati—dan ketakutan akan membangunkan si bocah—Liora memindahkan Salwa ke atas hamparan daun pisang, menepuk pantatnya pelan.

“Tidurlah, Nak. Dunia ini lebih mudah kalau kau tidak sadar.”

Salwa tertidur dalam waktu singkat. Angin gunung yang lembut membuai mereka berdua. Liora berbaring di sebelahnya, menatap langit yang seakan terlalu biru untuk orang semalang dirinya.

Setelah beberapa saat, ia bangkit, mengambil parang, dan mulai memanen sayur. Liora melirik jarinya.

“Jadi petani lagi, huh.”

“Mungkin ini memang jalan ninjaku.”

Ia tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena kalau tidak tertawa, mungkin ia akan menangis.

Liora jongkok di ladang. Tangannya lincah memetik terong satu per satu, sementara bibirnya bersenandung kecil penuh semangat hidup:

> “🎶 Panen, panen, panen yang banyak~ ambil buahnya lalu bawa pulang~ 🎶”

Sampai di bait berikutnya, alam semesta memutuskan liriknya. Di bawah daun, seekor kaki seribu melingkar manja—hitam, berkilat, dan berbentuk spiral sempurna seperti obat nyamuk.

Liora refleks mengernyit. “Iuh… makhluk apa lagi ini?” gumamnya dengan ekspresi jijik yang tulus dari hati. Ia meraih ranting, menatapnya sejenak seperti algojo mempertimbangkan moralitas, lalu tak! menusuk tengahnya.

Kaki seribu dan rantingnya terbang bersamaan, meluncur bagai dua sahabat yang salah alamat.

> “Selamat tinggal, kenangan,” katanya sambil melambai ringan.

Lalu ia kembali memetik buah-buah terong dengan santai dan damai. Namun ketenangan itu seketika buyar begitu telinganya menangkap suara desis.

Refleks, bulu kuduknya menegak. Ia menoleh cepat, matanya menyapu rerumputan yang lumayan panjang di belakangnya. Otaknya langsung bekerja berlebihan—ya, karena manusia jarang berpikir normal dalam situasi genting.

Anaconda? Ular sanca? Piton? Kobra? Atau jangan-jangan naga yang tersesat dari dunia fantasi?

Liora menelan ludah. Langkahnya mundur perlahan, seperti aktor film laga yang sadar hidupnya sedang dipertaruhkan. Dalam pikirannya cuma ada dua pilihan: kabur atau melawan. Kalau kabur, Salwa—anak kecilnya yang polos—bisa jadi santapan duluan. Kalau melawan, ya mungkin dia yang jadi lauk.

Matanya menatap parang di tangan. Panjang. Tajam. Sedikit berkarat. Cukup untuk mengubah nasib, atau mempercepat ajal.

Baiklah, batinnya. Aku sudah mati sekali. Kalau kali ini mati lagi, mungkin aku akan reinkarnasi jadi putri bangsawan manja. Hidup di istana, tidur di ranjang empuk, disuapi buah anggur oleh pelayan tampan.

Senyum kecil yang nyaris gila melintas di bibir Liora—senyum orang yang sudah pasrah pada nasib. Ia menarik napas panjang, otot-otot tangannya menegang. Parang di genggamannya berkilat samar di bawah cahaya matahari yang remang di sela dedaunan.

Lalu, dengan tekad campur panik, ia mengambil ancang-ancang lalu berteriak lantang:

> “Hiyaaa! Mati kau, makhluk jelek!”

Parangnya menebas udara, mendesing tajam. Angin ikut berdesir, dedaunan ikut bergoyang seolah memberikan penghormatan terakhir. Suara tranggg! menggema, logam beradu dengan keras.

Percikan kecil beterbangan, dan jantung Liora hampir copot.

Ia membeku di tempat, napas tertahan. Keringat dingin menetes dari pelipis, menelusuri pipinya yang kusam. Dadanya naik turun cepat, siap menghadapi kepala ular, atau mungkin naga versi hemat. Tapi ketika matanya fokus… yang menatap balik bukan sisik, bukan taring, bukan ancaman hidup—

Melainkan sebatang linggis tua.

Benda malang itu tergolek santai di bawah batang pohon kering, setengah tertutup sulur tanaman liar, tampak tenang seperti sedang menertawakan manusia yang baru saja duel mati-matian dengannya.

Liora menatapnya lama.

Lalu, dengan wajah datar penuh penghinaan terhadap dirinya sendiri, ia mendesis pelan,

> “Serius? Aku hampir mati melawan alat kebun pensiunan?”

Angin lewat pelan, seolah ikut menepuk pundaknya, berkata: ya, hidup memang kadang seabsurd itu.

Dan di bawah pohon, seekor ayam petelur berdiri terpaku—matanya melotot, bulunya setengah berdiri karena syok. Entah ia lebih takut pada suara parang, atau pada wanita separuh sinting yang berdiri di depannya.

Tiba-tiba terdengar suara plok! kecil. Sebutir telur jatuh dari pantat ayam yang terlalu kaget untuk mempertahankan martabatnya.

> (“…”)

Liora menatap ayam itu beberapa detik, lalu menghela napas panjang. Dengan wajah bringas tapi tanpa rasa bersalah, ia meraih leher ayam itu cepat, dan brutal.

Ayam itu meronta, bulu-bulunya beterbangan ke udara, tapi Liora justru menekan lehernya makin kuat.

> “Bagus. Kau berakhir di penggorengan nanti,” gumamnya ringan, seolah baru menjatuhkan vonis paling wajar di dunia.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Sempurna.”

Liora menarik daun yang lumayan lebar sebagai wadah dan menaruh telur dan di bungkusnya.

Ia berjalan mendekati Salwa yang ternyata sudah terbangun.

“Takut?” tanya Liora memastikan.

Salwa tidak membalas, hanya menatap wajah Liora sebagai balasannya.

“Saat nya pulang.” Liora mengikat kaki ayam dengan lilitan daun panjang, lalu memasukkannya ke dalam karung yang isinya beberapa jenis sayuran. Ia memperbaiki posisi gendongan Salwa, tangan kanan karung, tangan kiri parang, dan mulutnya digunakan untuk menggigit bungkusan telur. Ia mencoba berjalan—awalnya pelan, sedikit cepat, setelah menguasai medan, ia melangkah dengan cepat. Liora berharap tak ada orang yang melihatnya dengan penampilan konyolnya.

Boneka Kain

Sesampainya di rumah, Liora menyimpan bawahannya di lantai dengan rasa lelah. Ia menurunkan Salwa, membuka baju anaknya, membawanya ke tempat cucian piring, memandikan, mengelap, dan memakaikan pakaian. Liora mendudukkan Salwa di atas kasur yang sudah tak punya pengalas—setidaknya masih lebih manusiawi dibandingkan di tanah yang hanya dilapisi plastik tipis, lapisan demi lapisan, tapi robek sana-sini. Salwa duduk tenang, menatapnya dengan mata besar.

> “Wa... wa... na...”

> “Mainanmu tidak ada, ya?”

> “Ma... ma... wa...”

Salwa menggoyangkan tubuhnya ke kiri-kanan, tangan kurusnya menarik-narik rambutnya. Jelas, bocah ini sedang mencoba menyampaikan sesuatu.

> “Wa... wa,” ujarnya mantap.

Liora menatapnya, menarik napas panjang. Dengan sisa tenaganya, Liora mengambil kain segi empat yang sebagian sudah koyak. Dengan ekspresi dramatis, ia mulai melipat dan menggulungnya.

> “Pertama, kain ini harus jadi tubuh boneka. Lipat ke sini, tekuk ke sana, jangan sampai lepas,” gumamnya.

Dengan cekatan, Liora mengisi bagian tengah kain dengan sedikit kain lain sebagai pengisi, membentuk “perut” boneka dan menekan-nekan agar tetap bulat. Ia menekuk ujung kain sebagai kepala, menambahkan simpul kecil sebagai leher. Dengan sisa benang atau tali, ia membuat mata dan mulut dengan cara paling sederhana: simpul di sana, simpul di sini. Jadilah wajah ekspresif—setengah lucu, setengah menyeramkan—tepat seperti Liora saat bangun pagi.

> “Tadaaa!”

Liora menempelkan boneka kain itu ke hidung Salwa.

> “Tuing... tuing... cantik, kan? Duhai, ibu mungilmu ahli dalam segala hal?”

> “Na... na...”

Salwa mengiyakan, lalu meraih dan merangkul boneka itu erat-erat.

> “Ca... ca...”

Sebutnya bahagia. Salwa bergoyang, mengangkat boneka itu tinggi-tinggi, menatap Liora, berdiri, dan mencium pipinya.

> “Na....”

> “Ya, ini baru seni tinggi, Nak. Banggalah pada ibumu yang setengah sinting tapi kreatif ini,” tambah Liora sambil menyeringai tipis.

Salwa asyik bermain dengan boneka kainnya, tawa kecilnya mengisi sudut dapur yang. Liora berdiri, merenggangkan tangan, lalu menepuk punggungnya dua kali, memberi semangat pada tulangnya yang mulai minta ampun. Ia melangkah ke dapur dan membuka isi karung yang berat.

> “Masih hidup, ya?” gumamnya pada ayam.

Alisnya terangkat, bibirnya tersungging—paduan puas dan geli. Dengan cekatan, ia membawa ayam itu ke belakang rumah, menempatkannya di kandang bambu dan meski sudah tua setidaknya kandang itu masih bisa digunakan. Ia menutup pintu kembali, lalu melangkah ke dapur.

Karung hasil jarahan hari itu dibongkar perlahan. Lumayan, pikirnya: mangga curian dari kebun tetangga, beberapa sayuran dari kebun Liora sendiri—cabai, terong, daun labu, dan dua jantung pisang. Ia mengerutkan hidung sambil tersenyum kecil.

> “Lumayan, bisa dijual di pasar. Hi... hi.”

Liora mengambil bungkusan telur di atas meja, membuka daun pisangnya, menyiapkan bahan untuk makan malam sederhana. Bumbu satu-satunya hanyalah sepotong kecil penyedap rasa—harga lima ratusan—dan sedikit garam yang tersisa di ujung plastik. Beras yang tersedia cuma tiga genggam, dan ia harus menggoyang-goyangkan wadah gentong kerupuk agar butirannya terkumpul cukup, meski tetap terkesan ruwet dan tidak menggumpal.

Dengan tangan cekatan tapi penuh drama, Liora mulai memasak. Pertama, tiga telur itu ia pecahkan satu per satu ke dalam mangkuk plastik. Ia mengocoknya perlahan, sesekali menatap bahan seadanya. Ia menyalakan api di tungku kecil. Tanpa minyak—ya, memang tidak ada—telur dituangkan ke wajan. Suara “sisss...” terdengar, lalu ia mengaduk perlahan, memastikan telur menjadi dadar yang matang merata tanpa gosong satu pun.

Selanjutnya, sayur bening. Daun labu dan terong dicuci cepat, dicincang kasar karena energi terbatas. Semuanya ia masukkan ke dalam panci berisi air, menambahkan sedikit garam dan sejumput penyedap rasa. Uap mulai mengepul, aroma sederhana menyebar. Ia mengaduk panci perlahan, sesekali menatap Salwa yang duduk dengan mata besar penuh harap.

> “Mmuach... dadadada!”

Liora melemparkan ciuman dari jauh ke arah anaknya. Jarak antara dapur dan kasur sangat dekat, sehingga Salwa bisa menangkapnya dengan mudah.

> “Nyamma nyamma!”

Balas Salwa, cekikikan sambil memeluk bonekanya erat. Sejak pagi tadi, ketika ibunya bangun, ia tidak lagi dipukul. Salwa boleh mencoba tertawa dan ibunya juga tidak marah. Biasanya, selama ibunya sadar, Salwa hanya menjadi sasaran tinju dan makian. Salwa tidak tahu dimana salahnya.

Tadi pagi, saat ibunya masih tertidur, Salwa yang sudah lama bangun, melihat dua bayangan melayang di atas kepala ibunya: satu keluar, satu masuk. Ibunya sempat menoleh sebentar ke arahnya, lalu bayangan ibunya perlahan menghilang, digantikan oleh sesosok asing yang masuk ke dalam tubuh ibunya. Beberapa detik kemudian, ibunya terbangun, tidak marah lagi. tidak memukulnya, menarik rambutnya, mencubit, atau menampar wajahnya. Ibunya jadi lembut, bahkan menggendongnya, memberinya makan, dan membuatkan boneka—dan Salwa suka.

Hidangan telah tersaji. Liora menaruh semuanya di lantai kamar. Ia mengangkat Salwa, mendudukkan anak itu di pangkuannya. Dengan kesabaran yang bahkan biksu pun mungkin tak punya, Liora menyuapi Salwa perlahan. Nasi, telur, dan sayur bening—menu sederhana yang seolah sudah cukup untuk menyambung napas di dunia yang pelit ini.

Salwa menurut. Mulut kecilnya mengunyah seakan sedang bernegosiasi dengan nasi itu sendiri. Satu suapan bisa memakan waktu sepuluh menit. Kadang nasi keluar lagi dari bibirnya, seperti menolak nasib. Anak ini tampak seperti baru belajar makan, dan Liora yang sudah lapar berat akhirnya ikut makan sambil menyuapi anak itu. Satu piring berdua. Kalau sepuluh suapan masuk ke mulut Liora, setengah suapan baru berhasil masuk ke Salwa. Liora kenyang duluan, tapi masih terus menyuapi.

Liora mengadahkan wajahnya ke atas, pandangannya kosong seperti orang yang baru sadar hidupnya diputar ulang tanpa izin. Kemarin ia masih memanen cabai di gunung bersama neneknya yang sudah renta, napasnya saja sudah seperti doa terakhir. Liora harus menjadi tulang punggung keluarga—demi memenuhi hidup mereka berdua. Tapi, sebelum neneknya wafat, Liora lebih dulu meninggalkan dunianya. Hidupnya berakhir dengan gaya paling konyol yang mungkin ada di daftar kematian semesta: terpeleset kulit pisang bekas makanan monyet. Kulit pisang, bayangkan. Kepalanya menabrak ujung kayu runcing yang tumbang karena angin. Ia kira akan bangun di rumah sakit atau di kuburan, tapi semesta rupanya punya selera humor yang aneh. Liora justru terbangun di tubuh seorang perempuan—janda muda yang bahkan belum sempat menikah—dengan satu anak yang fisik dan kemampuannya lebih lamban dari neneknya. Apakah tujuan Liora dihidupkan hanya untuk menjaga orang yang lemah?

Liora menunduk lagi, menatap anak kecil di pangkuannya yang sudah terlelap dengan mulut terbuka —pemandangan yang entah kenapa terasa lucu sekaligus menyayat. Ia membuka mulut salwa dengan hati-hati. Sedikit sisa nasi masih di sana. Dengan gerakan lembut, Liora membasahi ujung jarinya dan mulai membersihkan mulut mungil itu, mengusap tiap sudut kecil tempat remah makanan bersembunyi.

Ia berdiri dan membawa anaknya ke atas kasur kembali, lalu menaruh boneka kain di pelukan anaknya lalu ikut tidur di sisinya, tanpa dongeng, tanpa kisah, tanpa kecupan—hanya mata lelah yang ingin terpejam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!