NovelToon NovelToon

Hamil Anak CEO

1

Hujan baru saja reda ketika Dara melangkahkan kakinya keluar dari pintu kafe tempatnya bekerja. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Udara dingin menusuk kulit, namun Dara tetap melangkah cepat menyusuri trotoar yang licin.

“Dara, kamu yakin nggak apa-apa nganter pesanan sendirian malam-malam gini?” suara Rina, teman kerjanya, sempat menggema dari dalam kafe tadi.

Dara hanya tersenyum. “Nggak apa-apa, Rin. Tempat nya dekat kok, cuma sekitar dua blok dari sini. Aku sekalian lewat jalan pulang.”

Ia tahu sebenarnya ini bukan tugasnya. Tapi Rina sedang tidak enak badan dan pelanggan yang memesan itu termasuk pelanggan penting. Maka, tanpa pikir panjang Dara menawarkan diri.

Tas selempang kecilnya berisi dua box makanan dan satu minuman tak heran jika ada yang memesan makanan jam 11 malam karena memang toko Meraka akan tutup jam 12 malam.

"ya udah, hati-hati ya Ra. Aku jadi ngga enak sama kamu"

" ngga papa santai aja kali. Nanti jangan lupa tutup pintunya ya. Aku pergi dulu."

Begitu sampai di depan gedung tinggi itu, Dara mendongak. Bangunannya megah dan menjulang, ini adalah pertama kalinya dia masuk kesini selebihnya hanya lewat saja. Dia hanya rakyat jelata yang hidupnya pas-pasan.

Ia melangkah ke dalam lobby. Petugas resepsionis yang berpakaian rapi memandangnya dengan tatapan penuh penilaian. Mungkin karena pakaian kerjanya sederhana dan sedikit basah karena terkena air hujan.

“Saya mau antar pesanan untuk kamar 251,” kata Dara dengan sopan.

Petugas itu mengangguk dingin. “Silakan naik. Lift pribadi di sebelah kanan."

Dara hanya mengangguk paham. Dara masuk ke lift kaca yang meluncur cepat ke lantai paling atas. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi ada rasa gugup aneh saat lift berhenti dan pintu tujuannya terlihat jelas di ujung koridor sana.

Ting.

Dara menekan tombol yang ada di sebelah pintu itu.

“Permisi…” panggil Dara pelan.

"permisi" ucapnya sekali lagi.

Pintu terbuka menampilkan sosok pria yang tengah kacau. Dara tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena lampu tang dimatikan.

“Pesanan Anda, Pak,”

“ siapa kamu?” suaranya berat dan dalam.

“Saya… Dara. Karyawan kafe yang mengantar pesanan Anda,” jawabnya gugup.

Pria itu menatapnya lama, seolah mencoba mengenal wajahnya. “Cantik,” gumamnya tiba-tiba. Bau alkohol menyengat menusuk hidung Dara.

“Pak, kalau tidak ada lagi yang perlu—”

Tapi sebelum Dara sempat melangkah mundur, pria itu menahan pergelangan tangannya. membuat dara yang ingin meletakkan pesanan itu jatuh ke lantai “Jangan pergi…”

“Pak, tolong lepaskan…”

Pria itu tiba-tiba menarik tangan Dara dengan kasar. Tubuh Dara terhuyung ke dalam ruangan, membuat pintu menutup dengan bunyi klik di belakangnya. Jantungnya berdegup semakin cepat.

“Lepaskan! Tolong lepaskan saya!” seru Dara panik sambil mencoba menarik tangannya kembali. Namun, genggaman pria itu terlalu kuat, dan dari sorot matanya jelas—ia tidak sepenuhnya sadar karena pengaruh alkohol.

Ruangan itu terasa semakin sempit. Dara mundur perlahan, punggungnya membentur dinding. Ia bergetar ketakutan. “Pak… saya cuma nganter pesanan. Saya nggak punya maksud apa-apa,” suaranya lirih, nyaris seperti isakan.

Pria itu mendekat, langkahnya berat namun pasti. Tatapan matanya kabur, tapi sorotnya tajam seperti hewan buas yang kehilangan kendali. Dara mencoba lari ke pintu, tapi tangan pria itu lebih dulu meraih lengannya.

“Jangan…” Dara menangis kini, suaranya pecah. Ia berusaha melepaskan diri, tapi gagal.

Pria itu mulai liat, dia menghempaskan tubuh Dara ke atas ranjang dan mulai meraup bibirnya dengan rakus. Tak henti disana tangan juga mulai liar menjelajahi setiap inci dari tubuhnya.

Dara hanya bisa menangis saat pria yang tidak ia kenali itu melakukan aksinya.

Malam itu meninggalkan bekas mendalam — bukan hanya pada tubuh, tapi terutama pada hati Dara. Ia tidak tahu bagaimana semua bisa terjadi begitu cepat, dan hanya ada satu yang ia harapkan jika semua ini hanyalah mimpi.

........

Sinar matahari pagi menembus tirai besar ruangan itu, menyusup perlahan ke setiap sudut kamar. Dara membuka matanya dengan kepala terasa berat, seperti habis terbangun dari mimpi buruk. Namun begitu pandangannya mulai jelas, tubuhnya seketika menegang.

Ranjang empuk dengan sprei putih bersih, ruangan luas dengan interior mahal… bukan kamarnya. Ia buru-buru menoleh ke sisi lain ranjang. Seorang pria terbaring dengan dada terbuka, wajahnya tenang dalam tidur.

Napasnya tercekat. Ia memegangi selimut yang membungkus tubuhnya, gemetar, matanya membulat menahan panik. “Bukan mimpi…” bisiknya dengan suara bergetar.

Dalam sekejap, ingatan semalam datang bertubi-tubi. Ketakutan. Bau alkohol. Air mata menetes pelan ke pipinya. Dara menutup mulutnya agar tidak terisak keras. “Ya Tuhan… apa yang sudah terjadi…”

Dengan tergesa-gesa ia turun dari ranjang, mengambil pakaiannya satu per satu yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar hebat saat mengenakannya kembali. Ia terus menoleh ke arah pria itu, khawatir ia akan terbangun.

Begitu berpakaian lengkap, ia langsung memakannya dengan cepat. Dara mengambil tas kecilnya dan meraih gagang pintu perlahan, hati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Begitu keluar, ia berlari menuju lift. Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya terengah-engah, dan kakinya nyaris lemas. Penampilannya saat ini sangat berantakan, dan salah satu bagian tubuhnya terasa nyeri. Begitu pintu lift tertutup, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah. Dara bersandar ke dinding lift dan menangis tanpa suara, hanya air mata yang mengalir deras.

2

Dara Andini, gadis 25 tahun itu, bukanlah siapa-siapa di kota besar ini. Ia hanyalah seorang perempuan perantauan dari kampung kecil di Jawa Tengah. Kehilangan kedua orang tuanya sejak SMA membuatnya terbiasa hidup mandiri. Ia datang ke kota dengan harapan sederhana — mencari penghidupan yang layak, menabung, dan kelak membuka usaha kecil sendiri.

Pagi, siang, malam, Dara bekerja keras di kafe kecil pinggir jalan. Ia terbiasa bangun subuh, naik angkot berdesakan, dan pulang larut malam dengan tubuh lelah. Tapi baginya, semua itu tidak masalah. Ia tidak punya siapa-siapa, hanya dirinya sendiri untuk bertahan.

Pagi itu Dara pulang ke kontrakannya dengan langkah gontai. Kamarnya kecil dan sederhana, jauh dari kemewahan tempat ia tinggalkan tadi. Begitu pintu tertutup, ia merosot ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.

Semua yang terjadi tadi masih berputar-putar di kepalanya—tatapan mata pria itu, ruangan gelap, perasaan takut yang mencekik. Ia meremas dadanya sendiri, mencoba menahan sesak.

“Kenapa ini bisa terjadi padaku…” bisiknya lirih.

Tangannya gemetar saat ia menutupi wajahnya. Air mata mengalir tanpa suara. Dalam kesunyian kamar kecil itu, hanya isak pelan yang terdengar.

Tanpa pikir panjang, ia melepas pakaian kerjanya yang sudah lembap dan langsung menyalakan pancuran.

Air dingin mengguyur tubuhnya. Dara berdiri kaku di bawah pancuran, kedua tangannya menekan dinding, kepalanya tertunduk. Butiran air turun deras, bercampur dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Dengan gerakan terburu-buru, ia meraih sabun dan mulai menggosok kulitnya kuat-kuat, seolah ingin menghapus semua yang terjadi malam itu. Setiap gosokan terasa seperti usaha menghapus rasa takut, jijik, dan penyesalan yang mengendap di tubuhnya.

Ia terus menggosok bahu, lengan, dan tubuhnya sampai kulitnya memerah. Namun tak peduli seberapa keras ia menggosok, rasa itu tak juga hilang. Seolah kejadian malam tadi menempel dan tidak bisa dihapus.

Air dingin terus mengalir, tapi tubuhnya terasa panas oleh perasaan campur aduk: marah pada keadaan, takut pada masa depan, dan jijik pada dirinya sendiri. Dara menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak keras di bawah guyuran air.

.........

Di sisi lain, seorang pria baru saja terbangun dari tidurnya. Dia Arkan Mahendra membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat seperti dipukul. Nyeri di pelipis membuatnya mengerang kecil.

Ia menutup mata lagi sejenak, mencoba mengingat bagaimana ia bisa tidur di ranjangnya tanpa ingatan jelas. Aroma wine masih terasa samar di udara, dan kondisi kamar yang berantakan.

“Berapa banyak aku minum semalam…” gumamnya serak sambil memijit pelipis.

Ia menoleh ke sisi ranjang. Sepi. Kosong. Hanya bantal kusut dan selimut yang terlipat acak-acakan.

Tepat di tengah kasur, ada noda merah samar, tidak besar namun cukup jelas mencolok di atas kain putih bersih itu.

Arkan terpaku. Pandangannya mengeras, pikirannya berputar cepat. Noda itu… tidak mungkin ada tanpa alasan.

Ia menyentuh sprei dengan hati-hati, kemudian menarik napas panjang. “Siapa…” bisiknya pelan.

Ia benar-benar tidak tahu siapa perempuan itu. Tidak ada wajah yang benar-benar jelas dalam ingatannya, hanya sekilas bayangan gadis muda yang berdiri di ambang pintu dengan tas kecil dan pakaian sederhana, basah oleh hujan.

Ia menghela napas berat, kemudian melangkah cepat menuju kamar mandi.

Air pancuran dingin membasahi tubuhnya, mencoba mengusir sisa mabuk dan kekacauan di kepalanya. Ia menggosok wajah berulang kali, seolah berharap air bisa membawa pergi semua kebingungan yang menghantuinya.

“Fokus, Arkan… fokus,” gumamnya pelan, memejamkan mata di bawah pancuran. Potongan-potongan ingatan semalam tetap kabur, tidak ada yang benar-benar jelas.

Begitu selesai mandi, ia segera mengambil handuk dan melilitkannya ke pinggang. Dengan langkah tegas, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Tangannya cepat menekan nomor sekretaris pribadinya, Andre

Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara tegas dan formal menjawab,

“Selamat pagi, Pak Arkan. Anda sudah bangun?”

Suara Arkan terdengar dalam dan dingin, menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap.

“Andre, semalam… apa yang terjadi denganku? Aku tidak ingat jelas. Dengan siapa aku pergi?”

Andre terdengar sedikit kaget di seberang,

“Pak, setelah rapat dengan klien di restoran, Bapak pergi bersama beberapa tamu ke bar ‘Eclipse’. Saya sempat menawarkan untuk mengantar, tapi Bapak menyuruh saya pulang lebih dulu.”

Arkan mengerutkan dahi. “Lalu?”

“Sopir pribadi Bapak melapor kalau sekitar pukul sebelas malam, Bapak meminta diturunkan di hotel milik perusahaan. Setelah itu saya tidak menerima kabar apa pun sampai pagi ini.”

Arkan melangkah ke arah jendela, menatap keluar dengan rahang mengeras. “Tidak ada siapa pun yang menyusul ke hotel?”

“Setahu saya tidak, Pak. Tapi kalau Bapak mau, saya bisa cek rekaman CCTV dan laporan staf hotel malam itu.”

Arkan menghela napas panjang, lalu berkata tegas,

“Lakukan. Periksa semua rekaman dari pukul sebelas malam sampai pagi. Saya ingin tahu siapa yang bersamaku malam itu. Kirimkan hasilnya secepatnya.”

“Baik, Pak. Akan segera saya urus,” jawab Andre cepat.

Telepon ditutup. Arkan meletakkan ponsel di meja dengan tatapan tajam. Ada rasa tidak nyaman menyelusup dalam dadanya firasat kuat bahwa malam itu tidak pasti ada yang menjebaknya.

Dengan langkah cepat, ia mengambil pakaian seadanya yang disiapkan staf hotel, lalu mengenakannya sekadar untuk keluar dari tempat itu. Tanpa membuang waktu, ia mengambil ponsel, dompet, dan kunci mobilnya, lalu melangkah keluar kamar.

Beberapa staf hotel di koridor menunduk sopan saat ia lewat. Arkan tidak membalas satu pun, hanya berjalan lurus dengan ekspresi dingin. Begitu tiba di lobby, seorang sopir yang sudah standby segera membukakan pintu mobil hitam mewahnya.

“Selamat pagi, Pak,” sapa sopir itu dengan nada hormat.

"Ke apartemen,” jawab Arkan singkat dan tegas.

Tak butuh waktu lama, mobil memasuki area apartemen mewah Arkan di pusat kota. Bangunan tinggi dengan akses super ketat itu adalah tempat tinggal pribadinya sejak beberapa tahun lalu. Ia turun dari mobil, melangkah cepat menuju lift pribadi, dan langsung naik ke unitnya di lantai paling atas.

Begitu pintu apartemen terbuka, suasana hangat langsung menyambut Arkan. Aroma wangi sabun anak-anak samar tercium dari dalam, bercampur dengan cahaya matahari pagi yang masuk lewat jendela besar ruang tamu.

Suara langkah kecil terdengar dari arah kamar. Tak lama kemudian, muncul sosok mungil dengan piyama bergambar dinosaurus, rambut acak-acakan, dan mata masih setengah mengantuk.

“Papa…” panggilnya pelan.

Arkan tertegun. Rafa, putranya yang baru berusia empat tahun, berdiri di ambang pintu kamar dengan boneka dinosaurus kecil di tangan. Wajahnya terlihat sedih dan sedikit cemberut.

Arkan segera menutup pintu apartemen dan menghampiri bocah kecil itu. Ia berjongkok agar sejajar dengan tinggi Rafa.

“Rafa, kamu udah bangun? Biasanya masih tidur jam segini,” ucap Arkan lembut.

Rafa menggeleng pelan, matanya menatap ke bawah.

“Rafa nunggu Papa tadi malam… tapi Papa nggak pulang,” katanya dengan suara kecil.

Tatapan Arkan langsung melembut. “Iya, maaf… Papa ada urusan kerja yang penting semalam,” jawabnya hati-hati.

Rafa mencubit ujung piyamanya, masih terlihat sedih.

“Rafa semalam tidur di sofa… nunggu Papa… tapi Papa nggak datang…”

Kalimat sederhana itu membuat dada Arkan terasa sesak. Selama ini ia terbiasa tegas dan dingin di dunia kerja, tapi setiap kali berhadapan dengan Rafa—anak satu-satunya setelah istrinya meninggal tiga tahun lalu

Arkan meraih tubuh kecil Rafa dan memeluknya erat.

“Maafin Papa ya… nanti Rafa boleh ikut papa ke kantor deh” katanya lembut sambil mengusap rambut hitam lembut anaknya.

"beneran"

Arkan tersenyum tipis. “Iya"

“Sekarang Rafa cuci muka dulu, ya. Papa mau ganti baju buat kerja.”

Arkan memperhatikan punggung mungil itu sampai menghilang. Ada senyum tipis di wajahnya, namun hanya sesaat. Setelah itu ekspresinya kembali serius. Ia melangkah ke kamar utama, membuka lemari besar, dan mengenakan setelan jas rapi seperti biasa.

3

Setelah beberapa hari izin cuti dari pekerjaannya. Dara kini tengah bersiap-siap untuk pergi bekerja kembali. Untuk kejadian malam itu dia sudah tidak mau memikirkannya lagi, meskipun jauh di dalam hatinya masih menyimpan trauma dan sakit hati yang cukup mendalam.

Bagaimana tidak dia yang hanya sebatas pegawai kafe menjadi korban kekerasan seksual. Meminta pria itu untuk bertanggung jawab atas dirinya mungkin bukan suatu jalan yang baik.

Dara menatap pantulan dirinya di depan cermin, kantung matanya terlihat sangat jelas dan matanya yang sedikit membengkak yang menandakan dia kurang tidur dan masih sering menangis.

Niat hati ingin mengadu nasib ke kota orang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, malah mendapatkan yang sebaliknya.

" semangat Dara. Kamu ngga boleh terus-menerus begini. Kamu harus bangkit ngga boleh lemah ya." ujarnya pada dirinya sendiri.

Ojek yang di pesannya tadi sudah mangkal di depan kontrakan nya.

" pakai helm mbak" ujar ojol itu yang perkiraan usianya sudah masuk abad ke empat.

Dara menerima helm yang diberikan bapak itu.

" ini sesuai aplikasi ya mbak"

" iya pak, nanti saya turun di depan kafe itu aja"

Tak berselang lama ojek yang ditumpanginya sudah sampai di tempat dia berkerja. Kafe yang tidak terlalu besar tapi selalu ramai pengunjung.

" makasih ya pak, ambil aja kembaliannya" ujar dara seraya memberikan uang berwarna hijau itu.

" wah makasih ya mbak. Mbak pelanggan pertama saya pagi ini sudah di kasih tip. Semoga rezeki mbaknya lancar selalu"

"amin, maksih ya pak" ucap dara klu memberikan helm yang dia pakai tadi kepada bapak itu.

Begitu Dara melangkah masuk ke dalam kafe, aroma kopi yang kuat langsung menyambutnya. Suasana masih cukup sepi karena belum jam ramai pelanggan.

“Dara!” suara familiar memanggilnya dari arah kasir.

Dara menoleh dan mendapati Rina berlari kecil menghampirinya dengan wajah campur aduk antara lega dan rasa bersalah. Rambutnya diikat asal, dan apron hitamnya sedikit miring karena terburu-buru.

" Dara, aku minta maaf ya soal kemaren." ucap Rina dengan wajah sendu, "gara-gara aku kamu jadi sakit, mungkin kalo kamu ngga gantiin aku waktu itu kamu mungkin ngga bakalan sakit kayak kemarin."

Dara hanya tersenyum tipis."Rin, udah… bukan salah kamu. Aku yang bilang sendiri waktu itu kalau aku bisa nganterin, ingat?”

Rina menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi tetap aja… aku ngerasa bersalah banget, Ra. Selama kamu cuti, aku nggak bisa tenang. Aku terus kepikiran… gimana keadaan kamu.”

Dara menepuk pelan bahu Rina.

“Aku baik-baik aja, kok,” bohong jika dia bilang saat ini di baik-baik saja, nyatanya banyak hal yang ingin dia ungkapkan saat itu juga tapi lidahnya terasa kelu jika mengatakan itu.

Tak lama kemudian, dua rekan kerja lainnya Maya dan Vivi ikut menghampiri. Mereka membawa nampan dan beberapa gelas kopi untuk pelanggan pagi.

“Ra, kamu udah balik kerja? Syukurlah!” seru Maya dengan wajah lega.

“Iya, kita semua khawatir banget sama kamu,” timpal Vivi sambil menatap wajah Dara dengan cermat.

“Kamu… beneran nggak apa-apa?”

Dara menarik napas pelan dan berusaha memasang ekspresi tenang.

“Iya, aku nggak apa-apa kok." jawabnya sambil tersenyum tipis.

.......

Disisi lain seorang pria tengah sibuk dengan berkas yang berada di atas mejanya. Dia arkan laki-laki dengan gestur wajah yang sempurna.

Ketukan pelan terdengar di pintu.

“Masuk,” perintahnya datar.

Andre, sekretaris pribadinya, melangkah masuk dengan membawa sebuah map berwarna hitam serta tablet di tangannya. Wajahnya serius, seperti seseorang yang membawa kabar penting.

“Selamat pagi, Pak. Semua data yang Bapak minta waktu itu sudah saya kumpulkan,” ucap Andre sambil meletakkan map dan tablet di meja.

Arkan mengangkat alis, menyandarkan tubuh ke kursi. “katakan.”

Andre membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen serta foto dari CCTV hotel malam itu. Ia memulai penjelasan dengan suara teratur.

“Berdasarkan rekaman CCTV hotel pada malam itu, pukul 23.16 Bapak terlihat memasuki lift dengan keadaan mabuk, dan tak lama kemudian seorang perempuan datang mengantar pesanan makanan dengan tujuan kamar yang anda huni pak."

"Dari hasil pelacakan staf dan pesanan makanan yang masuk, perempuan tersebut diketahui bernama Dara Pratama, usia 25 tahun. Ia bekerja sebagai karyawan di kafe Deliana yang kebetulan sering menerima pesanan untuk lantai eksekutif hotel kita.”

Arkan mendengarkan dengan seksama, matanya tajam mengamati setiap foto yang ditunjukkan Andre. Di layar tablet terlihat rekaman CCTV — seorang Dara yang mengenakan jaket tipis dan membawa tas kecil, wajahnya tampak gugup saat berdiri di depan lift.

“Identitas lengkapnya juga sudah saya peroleh, Pak,” lanjut Andre sambil menyerahkan selembar kertas berisi data pribadi.

“Nama: Dara Pratama. Usia: 25 tahun. Alamat kontrakan: Jalan Cendana, Jakarta Barat. Pekerjaan: Barista kadang juga menjadi Kasir kafe. Status keluarga: yatim piatu, tinggal sendiri. Tidak memiliki catatan kriminal maupun catatan buruk lainnya.”

Arkan menatap dokumen itu lama. Setiap baris seakan menempel kuat di kepalanya. Nama itu terasa asing, namun kini mengikatnya dalam sebuah situasi yang tidak pernah ia bayangkan.

“Jadi… perempuan ini yang bersamaku malam itu?” tanyanya.

“Benar, Pak,” jawab Andre mantap. “Berdasarkan rekaman, Bapak dalam keadaan mabuk berat saat tiba di kamar hotel. Perempuan ini datang mengantar pesanan makanan. Setelah itu, CCTV menunjukkan Bapak menarik tangannya masuk ke dalam kamar. Tidak ada orang lain yang keluar masuk setelahnya. Pagi-pagi, sekitar pukul 05.27, perempuan ini terlihat meninggalkan kamar hotel sendirian.”

“Dia tidak melapor ke pihak hotel? Atau… ke polisi?”

“Tidak, Pak. Tidak ada laporan sama sekali. Ia hanya terlihat meninggalkan hotel dengan tergesa-gesa,” jawab Andre.

Keheningan mengisi ruangan beberapa saat. Arkan bersandar ke kursinya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja.

“Cari tahu lebih dalam tentang kehidupannya,” perintah Arkan akhirnya." satu lagi cari tahu siapa yang telah memasukkan obat kedalam minuman ku malam itu"

Andre yang mendengar itu sedikit syok “Baik, Pak. Saya akan segera cari tahu,” jawab Andre

Saat Andre keluar ruangan, Arkan menatap layar tablet yang masih menampilkan foto Dara. Perempuan sederhana dengan seragam kafe, rambut terikat seadanya, dan ekspresi gugup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!