Bab 1
“Hah.”
Nara menghela nafas lalu menyandarkan kepala yang mulai terasa berat. Sepertinya dia salah mengambil minuman. Padahal sudah hati-hati dan memastikan tidak mengambil alkohol karena tubuhnya intoleran terhadap minuman tersebut. Saat ini ia sedang menghadiri undangan dari kolega, mewakili tempatnya bekerja. Bukan sendiri, ada dua orang rekan lainnya.
“Minuman apa tadi, perasaan nggak pahit tapi bikin kepala spaneng.” Nara menatap gelas yang sudah kosong, warna cairan bening dan agak kuning. Rasanya pun manis dan sedikit asam, agak hangat saat melewati tenggorokan. “Aku butuh air mineral,” gumam Nara lalu beranjak. Jalannya mulai terhuyung. Pandangannya mulai tidak fokus, alarm tubuhnya seakan berbunyi kalau dia memasuki tahapan mabuk.
Shittt. Bibirnya mengumpat pelan, meratapi kebod0hannya.
“Ra, ke bawah yuk, gue nggak tahan pengen goyang,” ajak rekan Nara menunjuk area dansa.
“Nggak, kepala gue udah ….” Nara memutar telunjuknya.
“Hah, biasa minum bajigur sih. Nggak asyik loh.”
Nara beranjak dari sana, dengan langkah terhuyung. Hanya bisa menggeleng saat rekannya menanyakan kemana ia akan pergi. Suara dentuman musik begitu menganggu. Seakan speaker berada tepat di telinganya.
Belum sampai pintu keluar, ponselnya bergetar.
“Iya,” ujar Nara agak berteriak tanpa memperhatikan siapa yang menghubungi.
“Di mana kamu?” tanya seseorang di ujung sana.
“Yang jelas bukan di neraka apalagi surga, aku masih hidup,” sahut Nara lalu terkekeh.
“KAmu mabuk? Dasar gadis nakal.”
Nara menarik nafasnya. Ternyata Opa Jimmy yang menghubungi. Panggilan spesial untuk dirinya, Opa selalu menyebutnya dengan kata gadis. Gadis malas, gadis nakal, gadis bodoh atau gadis lucu.
“Cepat pulang, ingat sebentar lagi kamu menikah. Jaga sikapmu dan belajarlah menjadi istri yang baik.”
Nara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tidak mau, aku tidak mau menikah karena perjodohan,” seru Nara.
“Kalau begitu bawa calonmu ke sini, temui Opa dan aku akan nikahkan kalian. Ingat dengan umur kamu, juga aturan keluarga ini. Tidak ada warisan kalau kamu belum menikah dan punya keturunan.”
“Aku tidak butuh warisan, aku hanya ingin Opa hidup selamanya sampai aku menikah dan punya banyak anak,” rengek Nara tidak menyadari di mana ia berada.
Dalam hati Nara merutuk kenapa juga dia dilahirkan di tengah keluarga itu. Dengan segala aturan yang kolot dan kuno. Padahal usianya baru dua puluh delapan dan masih sendiri, mendadak keluarganya berperan seperti Tuhan yang mengatur jodoh untuknya.
Masih terdengar suara Opa di ujung sana dengan segala macam nasehat.
“Halo, opa, suaranya tidak jelas. Opa,” tutur Nara lalu tergelak dan mengakhiri komunikasi.
Tubuhnya semakin tidak nyaman, pengaruh minuman tadi semakin menyiksa. Kepalanya semakin berat dan ingin sekali memejamkan mata, belum lagi perutnya terasa seperti diaduk.
Bergegas meninggalkan tempat itu, bahkan sempat menabrak seseorang saat menuju pintu keluar. Acara diadakan di ballroom sebuah hotel. Dengan langkah terhuyung mengeluarkan ponsel menghubungi asistennya, tapi tidak aktif. Supirnya pun sama dan entah di mana mobilnya di parkir.
Pandangannya perlahan redup, ia hampir hilang kesadaran dan …
“Woi, jalan yang bener.”
Tidak sanggup membalas ucapan itu, Nara hanya menunjukan jari tengahnya lalu tidak sadar. Sayup-sayup dia mendengar suara lagi.
“Heh, lo tidur apa pingsan. Ngerepotin aja.”
***
“Iya,” gumam Nara lalu mengeratkan selimut. Rasa dingin semakin menusuk ke kulit. Rasanya masih nyaman bergelut dengan di ranjang, mengabaikan dering ponsel yang sejak tadi berbunyi. Beruntung deringan itu pun tidak terdengar lagi.
Tidak lama kembali berdering. Mulut Nara sempat bergumam tidak jelas bahkan menarik bantal untuk menutupi telinganya.
“Astaga, berisik!”
“Iya, berisik banget sih,” sahut Nara. Tidak lama ia membuka mata dan sepenuhnya terjaga. “Itu suara siapa,” ujarnya lirih
Teringat ucapan si mbok, kalau rumah opa agak horror. Bahkan ada kamar dimana sering terjadi gangguan.
“KAmu setan ya?” tanya Nara belum berani berbalik dari posisi tidurnya.
Tidak ada sahutan hanya terdengar dengkuran halus. Nara menelan saliva, ia menatap ke depan dan merasa itu bukan kamarnya. Berusaha mengingat di mana dia sekarang berada dan apa yang terjadi sebelum ini.
“Astaga, gue mabuk,” pekik Nara beranjak duduk sambil menepuk dahinya. “Lalu siapa ….” Nara menoleh dan terbelalak mendapati seorang pria berbaring di sampingnya. Dengan posisi membelakangi dengan punggung terbuka tanpa pakaian.
Kepalanya masih berat karena mabuk, dia menduga sudah terjadi sesuatu dengan mereka. Tidak sadar dan terbangun dalam ranjang yang sama bahkan dalam keadaan tidak memakai pakaian. Nara lebih terkejut lagi karena ia hanya menggunakan pakaian dalam, menarik lagi selimutnya untuk menutupi tubuh.
“Woi, lo siapa?” Sambil berteriak kaki Nara menendang pria yang masih terbuai mimpi.
Tendangan Nara cukup bertenaga, membuat pria itu terjatuh dan mengaduh kesakitan.
“Lo siapa, kenapa ada di kamar gue?’” cecar Nara berteriak sambil mengeratkan selimut menutup tubuhnya, menggeser posisi duduk dan terpojok bersandar pada headboard.
Pria itu mengusap pantatnya lalu berdiri. Hanya mengenakan boxer, berdecak menatap Nara. Pandangan Nara tertuju pada tonj0lan di tengah boxer, entah bagaimana bentuk di balik kain itu. Dari luar saja terlihat kekar.
“Kamar lo? Lihat baik-baik ini kamar lo atau bukan?”
Pertanyaan itu menyadarkan lamunan Nara yang segera menggeleng pelan mengenyahkan pikiran me-sum yang baru saja lewat. Apa karena sudah usia matang, refleks pikirannya mulai mengarah ke hal dewasa.
Nara menatap sekeliling dan yakin kalau dia bukan berada di kamarnya. Baik itu kamar apartemen atau kamar di kediaman opa.
“Ini kamar gue,” cetus pria itu. “Gue yang bayar.”
“Jangan dekat!” sentak Nara saat pria itu menaiki ranjang. “Dasar set4n, lo apain gue!”
“Astaga, ini cewek. Makannya apaan sih, gacor banget. Teriakannya bikin kuping sakit.” Pria itu menjauh dari ranjang, tidak ingin mendapatkan lengkingan nada tinggi dari wanita yang memanggilnya setan.
“Lo merasa gue apain?”
“Kita, kenapa bisa di sini?”
“Tidurlah, ngapain lagi,” sahut pria itu.
“Lo ngapain gue dan kemana pakaian gue?” tanya Nara masih dengan suara berteriak.
“justru gue yang harusnya tanya, semalam lo minum apa sampai nggak sadar. Mana kebluk banget, pake jackpot segala. Pakaian kita lagi di laundry, kena muntah lo.”
Nara sedikit lega mendengar itu.
“Tidak ada yang terjadi semalam,” batin Nara. Mencoba merasakan lagi tubuhnya, tidak ada rasa tidak biasa. Baik itu sakit di bawah sana atau remuk redam, seperti pengalaman kehilangan keper4wanan di novel yang sering dibaca.
“Syukurlah.” Nara kembali bernafas lega.
“Harusnya lo terima kasih udah gue tolongin. Coba kalau gue biarin aja, mana tahu lo udah berakhir di ranjang pria c4bul.” Pria itu menuju toilet dan kembali sudah mengenakan bathrobe lalu mengambil ponsel di atas nakas dan terlihat fokus
Ada yang salah menurut Nara, tapi apa dia masih bingung. Masih memegang selimut agar tidak merosot turun.
“Kapan baju gue selesai?”
“Ini mau gue telpon.”
Tunggu, kalau pakaiannya di laundry, siapa yang melepaskan dari tubuhnya. Berharap pria ini memanggil petugas wanita untuk melakukan hal itu.
“Siapa yang melepas baju gue?” tanya Nara.
Pria itu menggaruk kepala lalu melirik dan kembali fokus dengan ponsel.
“Hei, lo dengar ‘kan?”
“Dengarlah, telinga gue masih berfungsi dengan baik. Karena tidak ada orang lain, jadi ya gue yang buka pakaian lo,” tutur pria itu tanpa rasa bersalah.
“Hah!!!”
Bab 2
“Dengarlah, telinga gue masih berfungsi dengan baik. Karena tidak ada orang lain, jadi ya gue yang buka pakaian lo,” tutur pria itu tanpa rasa bersalah.
“Hah!!!”
“Eits, tenang aja. Gue nggak tertarik dan tidak n4fsu juga, ukurannya standar.”
Nara mengambil salah satu bantal dan melempar kepada pria itu, yang langsung ditepis.
“Yang sopan jadi orang, seharusnya lo terima kasih. Bukan malah ngamuk nggak jelas begini. Udah tua kok aneh.”
“Lo yang aneh. Mana baju gue.”
“Lo, gue, end,” seru pria itu. “Kayak abg aja pake lo, gue. Sakti, nama gue Sakti.
“Oh, kera sakti?”
“Astaga tuh mulut, belum pernah di cip0k orang ganteng kayak gue kali. Awas lo, gue beri bisa semaput.”
Daripada berdebat dengan Nara, Sakti menuju balkon sambil menunggu petugas mengantarkan pakaian mereka. Membakar rokok dan menghis4p serta mengepulkan asapnya sambil fokus pada ponsel. tidak lama terdengar bel, Sakti gegas ke dalam. Melirik ke ranjang di mana Nara juga fokus dengan ponselnya.
Menelan salivanya mendapati kedua bahu putih mulut terekspos, hanya ada tali br4 melewatinya. Dusta, itu yang Sakti lakukan saat mengatakan tidak tertarik apalagi bern4fsu. Semalam ia berusaha menahan rasa dan gelisah setelah melucuti pakaian wanita itu. Tubuh yang begitu sempurna, pikirnya. Pasti sering melakukan perawatan dan olahraga. Kalau ia memiliki kekasih apalagi istri macam perempuan itu, tidak akan pernah dibiarkan keluar rumah akan dikaryakan di rumah terutama di kamar.
Namun, Sakti tetap pria sejati. Tidak akan mengambil kesempatan meski berakibat pada celananya yang semakin sesak. Dari awal ia ingin menolong, tidak melakukan aneh-aneh apalagi menyentuh perempuan itu.
Tunggu, dia masih gadis tidak ya, mendadak terbesit pertanyaan konyol itu dibenaknya.
“Makasih ya,” ujar Sakti saat menerima kantong plastik berisi pakaian mereka.
Menutup kembali pintu kamar lalu membuka kemasan plastik dan meletakan pakaian Nara di atas ranjang.
“Tuh, udah wangi. Semalam baunya busuk. Cantik-cantik makan apaan sih, munt4hnya bau banget.”
“Dasar ngaco, gue mabok alkohol. Pasti bau lah, kecuali gue mabok parfum,” seru Nara. “Ngapain lo disitu, gue mau pake baju.”
Saat Nara mengoceh, Sakti melepas bathrobe dan memakai kembali kemeja serta celana panjangnya. Nara sempat terpesona pada dad4 bidang serta tato nada menghiasi bahu kiri sampai ke punggung. Terlihat begitu macho dan kekar, Nara akui Sakti memang gagah. Andai saja ia kekasihnya, mungkin akan senang bermanja memeluk pria itu.
“Pake aja sih, gue nggak bakal tertarik ini.”
“Keluar atau gue panggil polisi,” ancam Nara.
“Ya ampun ini perempuan, lagi PMS kali.” Sakti menggeleng pelan lalu menatap sekeliling dan menuju pintu. “Gue mau cabut, kunci lo anter ke resepsionis ya. Tenang aja udah gue bayar. Tadinya mau staycation, malah nolongin perempuan galak.” Sakti bergidik sendiri lalu meninggalkan kamar.
“Gue galak juga lihat-lihat,” gumam Nara lalu menyingkap selimut dan beranjak dari ranjang. Memastikan sesuatu dengan mencari noda di sprei. Khawatir kalau semalam mereka, gegas ia menggeleng pelan.
Menuju toilet dan mematut wajah di cermin dan memastikan tidak ada kiss mark atau jejak cinta. Bersih dan masih mulus seperti sebelumnya. Ternyata Sakti memang pria baik, hanya berniat menolong.
“Lain kali harus hati-hati, nggak boleh minum sembarangan.” Nara mencuci muka sebelum berpakaian dan meninggalkan kamar.
Mengembalikan acces card kamar ke resepsionis, Nara menempati sofa lobby menghubungi supirnya.
“Astaga, Indro, kamu semalam kemana nggak bisa dihubungi,” seru Nara saat panggilannya terjawab.
“Ada mbak Nara, saya masih di parkiran. Justru semalam saya telpon nggak dijawab, kirain mbak mau nginep, taunya nginep.”
“Hah, kamu telpon?” Masih dalam panggilan dengan Indro -- supirnya. Nara menjauhkan ponsel dari telinga lalu membuka layar, benar saja semalam memang ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Indro, Weni asistennya juga rekannya yang datang bersama ke pesta.
“Ck, gara-gara alkohol si4lan.”
“Apa mbak,” ucap Indro.
“Ya ampun.” Nara baru sadar masih dalam sambungan dengan Indro. “Nggak pa-pa, ya udah kamu ke lobby ya.”
Nara bekerja di perusahaan Agency, bukan hanya urusan agency model dan artis saja. Perusahaannya juga membuka layanan kursus modeling dan manajemen artis. Jabatannya di perusahaan itu cukup lumayan, bahkan sudah bergabung sejak ia lulus kuliah sampai dengan sekarang dengan usia hampir tiga puluh tahun.
Panggilan berakhir, tapi ponsel Nara berdering. Nama Opa tertera di layar. Nara memukul dahinya serta menghela nafas sebelum menjawab panggilan itu.
“Selamat pagi opa, bagaimana kabarnya hari ini. Pasti seru, iya ‘kan?” tanya Nara dengan ceria.
“Apanya yang seru? Di mana kamu gadis nakal, kenapa tidak pulang. Indro bilang kamu di hotel,” cecar Opa Jimmy di ujung sana.
Mampus, ucap Nara tanpa suara.
“Aduh opa, jangan marah-marah. Ingat tekanan darah, nanti kena stroke.”
“Dasar gadis kurang ajar, kamu nyumpahin opa kena stroke.”
Nara meringis dan kembali menepuk dahinya. Ia salah bicara, bisa dipastikan Opa akan kembali mengoceh menasehatinya.
“Bukan gitu Opa.”
“Terus ngapain kamu di hotel?” tanya Opa lagi.
“Aku kerja Opa. Tahu sendiri kerjaku gimana. Nggak percaya nanti tanya Indro, semalam ada acara di sini dan baru beres.”
Terdengar decakan di ujung sana. Tidak mungkin Nara mengatakan yang sebenarnya kalau ia salah minum dan berakhir mabuk bahkan terbangan di ranjang bersama pria asing meski tidak ada yang terjadi dan segelnya masih utuh.
“Pulang sekarang, jangan alasan apalagi menghindar. Nanti sore ada pertemuan dengan keluarga Naryo, calon mertua kamu.”
Seperti tersambar petir, Nara ingin sekali melempar ponselnya ke lantai dan menginjaknya. Bukan pertama kali Opa menjodohkannya karena belum menikah. Bukan tidak laku, hanya saja begitu selektif. Semenjak bekerja, dua kali dekat dengan pria. Yang pertama si pria malah menyukai salah satu model binaannya. Pria yang kedua, ia berharap berjodoh karena menyukai karakter pria ini. Dewasa, humble dan penyayang, nyatanya belok. Nara mendapati pria yang saat itu menjadi kekasihnya di parkiran mall menuju mobil merangkul seorang pria bahkan sempat cipika cipiki sebelum berpisah. Menyewa orang untuk menyelidiki kekasihnya dan terbukti pria itu tidak cocok dengannya juga budaya keluarganya.
Masih ada beberapa pria yang mencoba dekat. siapa yang tidak tertarik dengan Nara. Selain cantik, mandiri dan pekerjaan mapan. Bahkan keluarga Nara memiliki plaza dan usaha penyewaan ruko.
“Opa, aku bisa cari sendiri. Dijamin tahun depan sudah menikah.” Nara tersenyum sambil menaik turunkan alisnya seolah Opa berada di hadapannya.
“Tidak mau tahu, kamu kenalan dengan Samir putra sulung Naryo. Orangnya baik, ganteng dan pekerjaannya jelas. Bukan kayak kamu, ngurusin orang yang suka nyanyi, akting, apalah itu.”
“Managemen artis, opa.”
“Sore ini, jangan pake lupa apalagi alasan ada acara dadakan,” titah Opa.
Bab 3
Nara menuruni anak tangga lalu menuju dapur, tampak para asisten rumah tangga sibuk mempersiapkan hidangan untuk makan malam. Bukan hanya untuk keluarga itu, tapi menyambut tamu agung. Tentu saja menurut Jimmy
Membuka pintu lemari es dan mengeluarkan botol air mineral untuk menuntaskan dahaga.
“Loh, mbak Nara kok belum rapi?”
“Lah ini udah rapi,” sahut Nara.
Padahal menggunakan kaos dan celana pendek, kostum saat dia rumah yang disebutnya rapi.
“Tamunya bentar lagi datang, masa menyambut pake baju begini. Mbok ya ganti dulu, ayo sana keburu mereka datang.”
Bibi mendorong pelan tubuh Nara keluar dari dapur.
“Drama.”
Nara menoleh, mengabaikan Serli mengejek dirinya. Tidak aneh, karena mereka memang tidak akrab. Serli adalah anak sambung dari ayah Nara dan mereka seumuran, yang berbeda hanya status saja karena Serli sudah pernah menikah.
Saat Ibu Nara tiada, ayahnya menikah lagi dengan Nola -- Ibu dari Serli. Ayah Nara kecelakaan dan meninggal setelah menjalani perawatan, sempat menitipkan Serli dan Nola pada Jimmy juga Nara. Pesan terakhir dari mendiang Ayah Nara, tetap dilaksanakan demi menghormati keinginan almarhum. Hanya saja, sifat ibu dan anak itu cenderung tidak tahu malu.
“Apa sih, nyambung aja kaya petasan,” ejek Nara.
Serli tersenyum sinis. “Wajar dijodohkan, nggak laku sih. Makanya jadi perawan tua.”
Tidak marah, Nara malah terkekeh lalu mendekati Serli. “Bukannya nggak laku, tapi gue menyeleksi benar kandidat pria yang akan menjadi teman seumur hidup. Salah pilih bisa-bisa berakhir kayak lo, menjanda.”
Serli mengepalkan tangan dan siap membalas ucapan Nara, tapi Nola menepuk bahunya.
“Kita lihat saja, dia bisa mempertahankan rumah tangganya berapa lama? Nanti juga jadi janda kayak kamu,” seru Nola pada putrinya.
Serli lalu tersenyum smirk.
“Sudah mbak, cepat ke kamar,” usir bibi menangani agar tidak kembali berdebat.
“Biar bi, biar Opa tahu kelakuan dan mulut mereka kalau dibelakang,” cetus Nara.
“Kenapa, kamu mau usir kami? Ingat ya, Ayah mewariskan juga bagiannya dan kami masih menjadi tanggung jawab opa.” Serli berkata dengan bangga sambil melirik sinis.
“Ya, ya, terserah kalian saja.”
Kali ini Nara beranjak meninggalkan ibu dan anak itu, bisa-bisa dia jantungan kelamaan bersama mereka. Alasan dia tidak nyaman di rumah adalah karena mereka itu, bahkan hal ini terjadi saat ayahnya masih ada. Nola dan Serli seakan tidak sadar atau amnesia kalau Nara adalah putri kandung dan cucu sah dari Jimmy. Tidak jarang Nara malah terpojok dan disalahkan oleh sang Ayah karena ulah Serli.
Bukan Nara namanya kalau tidak membalas, bukan dibalas dengan cara yang kasar, tapi elegan. Membuat Nola dan Serli semakin geram dengannya.
“Dandan yang cantik, mana tahu calon suami kamu ilfil,” ejek Serli.
“Nggak usah dandan, gue udah cantik dari lahir. Nggak kayak lo, muka udah kayak adonan donat, ditepungin mulu,” ejek Nara sudah menaiki anak tangga.
Jimmy keluar dari ruang kerjanya.
“Ada apa ini, siapa yang teriak?”
“Eh, Opa. Aku kira lagi di kamar,” ujar Serli langsung menghampiri dan memeluk lengan pria itu, mengarahkan menuju sofa ruang keluarga dan ikut duduk di sampingnya.
“Opa lagi kerja.” Kerja Jimmy dengan mengecek saham plaza atau berkomunikasi dengan para penyewa ruko. “Mana Nara?” tanya pria itu.
Nola ikut bergabung dengan Serli dan opa.
“Yang tadi teriak-teriak ya Nara, pih. Kami ingatkan untuk cepat siap-siap, keburu tamu datang. Tapi, ya gitu.” Nola mengedikan bahu.
“Gimana outlet kamu?” Jimmy memberikan satu ruko yang cukup luas dengan dua lantai pada Nola untuknya membuka usaha. Namun, sudah berkali-kali ganti usaha.
“Gimana ya pih, kurang luas. Tidak ada space untuk simpan stok dan ruang pajang. Harusnya kasih kami satu tempat di plaza.”
“Kamu kelola saja yang ada dulu, bangun dan kembangkan brand kalian. Kalau sudah terkenal, mau dimanapun pasti orang datang,” ujar Jimmy.
“Opa, butik dan marketing bukan bidang aku. Kayaknya nggak bisa kerja sama dengan mama, coba kasih aku pekerjaan lain.”
“Nanti opa pikirkan.” Jimmy berdiri dan beranjak ke kamar untuk berganti pakaian, ingin menyambut tamunya dengan baik.
Sedangkan di dalam kamar, alih-alih segera bersiap Nara malah santai. Sempat menonton drama dan menscroll media sosial. Baru saja selesai mandi saat pintu kamarnya diketuk.
“Apa Bik?” Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
“Tamunya sudah datang, Opa minta mbak ke bawah. Ya ampun kok belum rapih.” Bibi menerobos masuk ke kamar lalu menguncinya dan menarik Nara ke meja rias. “Duduk, bibi bantu keringkan.”
“Hah, biarin aja bik. Biar mereka menunggu. Kalau memang jodoh, harusnya mau menunggu.”
“Ck, mbak Nara ini pasti sengaja biar mereka sebel.”
“Nah, itu tahu.”
Bibi menggeleng pelan sambil mengeringkan rambut Nara dengan hair dryer.
“Sudah ini, nggak lepek. Bajunya yang mana, mbak?” Bibi menuju walk in closet dan menemukan dress sudah tergantung langsung membawanya keluar.
Nara masih melakukan touch up pada wajahnya. dengan make up sederhana, tapi tampak flawless. Sudah memiliki kompetensi untuk merias wajah dan menata rambut sederhana, tidak aneh kalau Nara bisa tampil elegan dan semakin cantik.
“Sudah cantik. Ayo, ke bawah.”
“Gimana sih, bi. Udah dasarnya aku cantik lah.”
Bibi terkekeh. “Iya. Ayo, nanti kena marah opa.”
Saat menuruni anak tangga, sudah terdengar perbincangan serta suara Opa yang khas. Bergabung di ruang tamu, Nara mengucap salam.
“Nah, ini cucuku. Nara Anjani Sukma,” ujar Jimmy. Nara tersenyum lalu menghampiri Naryo dan Sinta--istrinya, lalu mencium tangan pasangan itu.
“Sore om, tante,” ucap Nara.
“Sore, cantik,” ujar Sinta.
Nara juga bersalaman dengan Samir, sudah mencari tahu pria yang akan dijodohkan dengannya. Samir tersenyum bahkan saat bersalaman salah satu jarinya mengusap telapak tangan Nara.
Aneh dan me_sum, pikir Nara.
Nara duduk di samping Opa, Nola dan Serli juga sudah ada di sana.
“Jadi, gimana ini. Saya nggak sabar untuk bicarakan kelanjutan hubungan mereka,” seru Naryo menunjuk putranya juga Nara.
Mendadak raut wajah Nara berubah datar. ‘Ya ampun, di mana-mana pake basa-basi kali,’ batin Nara.
“Iya Pak Jimmy, biar kami lebih tenang menjalani hari tua kalau anak-anak sudah berumah tangga. Masih ada adiknya Samir yang harus kami pikirkan,” ujar Serli.
“Adik angkat.” Kali ini Samir yang bicara.
Jimmy mengangguk ia tahu kalau keluarga itu memiliki dua putra. Nara ingin sekali mencibir, bisa-bisanya di tengah acara resmi begitu Samir memperjelas status hubungan dengan adiknya.
“Loh, adikmu kemana? Tadi bukannya sudah datang.”
“Saya di sini, maaf.”
Nara menoleh ke arah pintu, seorang pria berdiri di sana. Dahi Nara mengernyit memastikan siapa pria itu. Bukan hanya Nara yang terpaku, pria itu pun menatap fokus ke arah Nara.
“Kamu ….” Ucap Nara dan Sakti bersamaan.
“Kalian kenal?” tanya Opa.
“Kera Sakti, ngapain kamu di sini?” tanya Nara menunjuk Sakti.
\=\=\=\=
Hai ketemu lagi dengan karya baru aku. Jangan lupa tinggalkan jejak dan ikuti sampai tamat ya. 🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!