Bugh...
Saking terburu burunya menuju kelas setelah membaca pesan dari sahabatnya kalau dosen yang mengajar di kelasnya sudah tiba, zaira tak sengaja menabrak salah satu cowok dari gerombolan mahasiswa yang berpapasan dengannya di koridor. Buku bahkan hp cowok itu terjatuh kelantai setelah tertabrak oleh ziara tadi.
“Astagfirullah. Maaf. Aku bener-bener gak sengaja,” ucap ziara seraya mengambil barang-barangnya dan barang milik cowok itu yang terjatuh.tapi saat gadis bercadar putih itu mengulurkan buku dan hp pada albian, labian justru menepis tangannya kasar sehingga semua barang yang jatuh baru diambilnya kembali terjatuh.
“ ternyata selain muka lo cacat, lo juga buta ya,” ucab albian.
tatapannya dipenuhi rasa benci pada ziara.
Dengan cepat ziara kembali mengambil buku dan hp albian. Lalu, ia ulurkan lagi padanya.
“maaf. Aku beneran gak sengaja tadi. Aku buru-buru. “ saat albian hendak menepis lagi,dengan sigap ziara menghindar. “ kamu mau ambil buku sama hp ini apa nggal? Aku udah mintak maaf dan dua kali aku banti ambilin barang- barang kamu.”
Albian berdecak. “ gue jijik barang gue dipegang cewek munafik kayak lo!”
“ waahh.... tajem banggg kayak silet,” sahut salah satu teman albian yang paling celometan. Arfa namanya.
Suara gaduh dari kedua teman albian arfa dan rifki berhasil membuat ziara terganggu. Dua pemuda itu terus menyorakinya seolah seperti tontonan menarik padahal ia tengah terburu-buru sekarang. Ditambah lagi dosen yang mengisi kelasnya hari ini adalah dosen kiler di fakultas. Terlambat lebih dari sepuluh menit, maka absensi ziara bisa ditulis alpa meski masuk dan mengikuti pelajaran.
“ohh... jadi gtu. Gapapa kalau kamu jijik. Tapi ini bukan barang milikku, jadi terserah kamu mau dibuang atau masih mau digunakan. Sekali lagi aku mintak maaf, aku ngak bisa berdebat sama kamu terlalu lama hari ini karena aku udah telat.”
Ziara mengulurkan buku dan hp albian pada arfa yang berdiris tepat dibelakang albian. Arfa reflek menangkapnya, dan mebiarkan ziara pergi begitu saja.
“ kenapa lo ambil, bego!” teriak albian kesal rahangnya mengeras seraya memperhatikan ziara yang berjalan menjauh.
Arfa menggaruk belakang kepalanya sambil cengengesan. “ ya masa gue lemparin lagi sih, al? Lagian ini buku sama hp punya lo. Dia juga udah mintak maafkan tadi. Kenapa lo masih marah juga? Ziara kayaknya juga gak sengaja deh nabrak lo.”
“ bela aja terus! Sekalian nikahin aja sana biar lo makin bisa ngelindungin dia,” balas albian dengan tatapan tajam.
Seperti menyimpan sebuah dendam yang begitu besar pada ziara, albian selalu benci tiap kali bertemu gadis bercadar itu. Ia begitu benci dengan ziara. Meski hanya berpapasan sekalipun, albian enggan melihat wajahnya yang tertutup cadar.
Tanpa albian tahu seperti apa wajah ziara sebenarnya, ia bahkan sudah yakin kalau ziara berwajah buruk rupa hingga mengenakan cadar setiap hari.
Arfa geleng-geleng melihat tingkah albian sahabatnya yang selalu naik pitam kali berurusan dengan gadis bercadar itu. Bahkan ia ikutan kena imbasnya hanya kerena sedikit membela ziara.
“ lah... ngapain malah jadi bahas nikah? Gue mah belum siap kalo soal nikah-nikahan. Masih kecil gue mana mungkin nikah sekarang? Ucap arfa sambil cekikan.
Rifki ikutan tertawa. Tak mau diam saja melihat keseruan di depannya. Cowok yang paling hobi mengolok orang ini ikutan bersuara.
“ lo gak bisa nikah, tapi pacar ganti tiap bulan hahaha.” Ucap rifki. “ lagian kayak lo gak tau akan kalo albian dari dulu benci banget sama ziara.
“gue juga heran, kenapa lo benci banget sama dia? Padahal ketemu aja jarang,” tanya arfa penasaran.
Albian mengengus kesal, lantas melanjutkan langkahnya menuju kelas. “bukan urusa lo!”
Arfa dan rifki saling lempar pandangan sambil mengendikkan bahu mereka. Meski telah berteman cukup lama dengan albian sejak mereka kuliah, keduanya tak terlalu tahu banyak hal soal cowok tertutup yang menjadikan ketua gengnya itu.
Hanya satu orang yang tahu banyak tetang albian. Cewek yang tengah melambaikan tangan pada albian di depan pitu kelas itu lah yang banyak tahu soal cowok tertutup itu. Cewek yang selalu menempel pada albian kemana pun, dan di mana pun, namanya brigita arlina. Banyak mahayang penasaran dengan hubungan albian dan brigita yang sangat dekat. Bahkan tak sedikit yang meyakini kalau keduanya punya hubungan yang lebih deri sekedar teman.
“albianku...” brigita langsung mengalungkan lengannya di leher albian
, tertawa dan melompat girang saat cowok otu datang. “gimana pertandingannya nanti malam? Jadikan?” tanyanya.
“ tentu aja jadi. Lo mau ikut?” albia mengulas senyuman tipis nyaris tak terlihat.
“ ya dong... masa gue gak ikut lo balapan sih? Jelas gue ikutlah,” balasnya brigita penuh semangat. “lo berdua juga ikutan kan?,” tanyanya pada arfa dan rifki. “jelas dong,” balas arfa dan rifki kompak.
Brigita melihat wajah albian yang kelihatan kesal. Ia colej pupi pemuda itu tanpa ragu dan menatapnya dengan jarak yang begitu dekat.
“ lo kenapa sih pagi-pagi udah cemberut? Badmood kenapa?” tanyanya penasaran.
Albian menghela napas panajang, lalu menjauhkan dirinya dari brigita dan berjalan menuju kursi yang kosong. “bukan apa-apa. Biasa aja kok,” jawabnya. Rifki yang mendengarnya mendadak menimpali.
“itu tadi ketabrak sama ziara di jalan. Lo tau sendiri gimana sensinya dia sama tuh cewek? Untuk saja kagak sampe ngebakar kampus dia, matanya aja kayak mau copot pas melotot.”
“padahal gue udah bilang sering ngingetin albian. Kalo benci jangan keterlaluan sama ziara, nanti bisa naksir beneran. Repot kan jadinya,” sahut arfa ikutan nyerocos.
“apa lo bilang? Naksir? Ngimpi!” ucap albian penuh penekanan.
Brigita tersenyum miring, lantas duduk di samping albian dan menyandarkan kepalanya pada bahu pemuda itu. “jelas lah gak mungkin albian naksir sama tuh cewek muna. Karena yang bisa buat albian jatuh cinta ada di sini,” ucapnya sambil menujuk diri sendiri.
“apa sih lo?” albian mendorong kepala brigita dari bahunya, lalu menggeser tempat duduknya dari cewek itu.
Bibir brigita mengerucut. Ia kelihatan kesal pada albian terang-terangan menolaknya. “kenapa sih? Apa lo masih belum bisa lupain tu cewek? Yang benar aja dong! Lo aja gak tau dia dimana,” sungut brigita.
“bukan urusan lo!” balas albian sengit. Cowok itu paling tak suka brigita mulai mengodanya, karena bagi albian mereka hanya sebatas teman tidak lebih.
Kelas yang awalnya begitu tenang seketika gaduh setelah pak heru dosen yang terkenal kiler meninggalkan ruang kelas. Semua mahasiswa kelas itu kembali bernapas lega setelah ketengangan selam dua jam lamanya dengan dosen kiler yang ditakuti mahasiswa.
Seorang wanita paruh baya berlari dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit setelah turun dari dalam mobilnya. Rambutnya melambai bersamaan dengan langkah kakinya yang semakin dipercepat menuju ruang IGD.
Wanita bernama diana Malik itu mengusap air matanya yang menetes tanpa bisa ia tahan setelah melihat jaket hitam milik putra tunggalnya-albian Kalvin Rahardian-tergeletak di kursi tunggu depan ruang IGD.
“arfa, gimana keadaannya albian? Dia baik-baik aja kan? Dia gak terluka parah kan?” tanya diana sambil terisak. Dadanya seketika sesak mengkhawatirkan kondisi putranya di dalam sana yang entah selamat atau tidak.
Arfa dan Rifki saling melempar pandangan. Keduanya masih bungkam di tempat. Sama-sama takutnya pada diana yang mungkin saja akan menyalahkan mereka atas kecelakaan yang terjadi pada albian.
“albia pasti selamat, Tante. Dia itu cowok yang kuat. Pasti dia bisa melewati masa kritisnya dengan mudah,” sahut brigita yang baru kembali dari toilet. Bahkan tangannya saja masih kelihatan basah.
Diana menoleh cepat, bersamaan dengan air matanya yang menetes ke pipi. “Kamu juga di sini rupanya?” tanyanya dengan tatapan tak suka. “Sudah Tante peringatkan sebelumnya sama kamu untuk tidak mengajak albian balapan lagi. Tapi, kamu gak pernah mau dengar, Git. Sekarang gimana kalau sudah begini?”
Brigita mengerutkan dahinya seraya melipat kedua tangannya di depan dada. “Loh... Kok Tante malah nyalahin aku sih? Yang balapan kan albia , sama mereka berdua tuh,” balasnya sambil menunjuk rifki dan arfa dengan dagu. “Salahin mereka aja tuh, Tante.”
Rifki dan rifki seketika panik mendengarnya. Mereka saling senggol-sengolan dengan kepala yang ditundukkan ke lantai. Keduanya takut melihat ke arah Dianara yang bisa saja murka.
Sayangnya, diana kali ini tak ingin menghabiskan tenaganya dengan sia-sia. Jangankan untuk marah, berdiri saja kakinya terasa lemas.
Diana memilih duduk di kursi, menunggu hingga salah satu dokter di dalam sana keluar memberikan kabar baik untuknya tentang kondisi sang putra.
Hingga beberapa menit kemudian, seorang perawat keluar dengan tergesa-gesa, mencari wali dari pasien di dalam IGD yang kondisinya sudah sangat parah.
“Wali dari Bu tika apa ada di sini? Beliau ingin bertemu,” ucapnya.
Diana ikut mengedarkan pandangan, memastikan orang yang dicari sang perawat itu ada di sana. Ternyata nihil.
Arfa dan rifki mendadak senggol-senggolan. Keduanya saling melempar pandangan.
“Maaf, Sus. Apa Bu tika ini korban yang tabrakan tadi?” tanya rifki memastikan rasa penasarannya. Seingatnya yang masuk ke dalam ruang IGD hanya dia lah satu-satunya wanita.
Perawat itu menganggukan kepalanya cepat. “Benar. Beliau mencari keponakannya sekarang. Saya khawatir tidak ada banyak waktu lagi. Kondisi Bu tika sudah sangat lemah. Luka di kepalanya cukup parah. Nampaknya terbentur aspal dengan keras,”jawabnya.
Diana membekap mulutnya dengan mata terbelalak. Seketika ia bangkit berdiri dan berjalan mendekati rifki yang duduk tak jauh darinya.
“Jadi albian nabrak orang, rif?” tanya Dianara memastikan kalau dugaannya salah. Ia ingin sekali tak mempercayai firasatnya itu.
Sebuah anggukan pelan dari rifki berhasil membuat tubuhnya oleng ke samping. Beruntung ada arfa yang siaga memeganginya.
Air mata diana pun luruh tanpa bisa lagi ia tahan. Lalu, bergegas ia mendekati perawat tadi yang akan masuk kembali ke dalam ruangan IGD sebab tak berhasil menemukan orang yang dicarinya.
“Maaf, Sus. Bisa saya ketemu sama Bu tika? Sepertinya saya kenal beliau. Barangkali ada pesan penting yang ingin beliau sampaikan,”Ucap diana sambil menghapus air matanya.
“Kalau begitu silahkan ikuti saya, Bu.”
Diana berjalan mengikuti perawatan tadi masuk ke dalam ruang IGD hingga tiba di ranjang tempat tika dirawat.
Tubuh tika terlihat begitu lemah. Bahkan napasnya pun sudah tidak beraturan. Detak jantungnya juga semakin melemah, ditambah banyak cairan merah ditubuhnya.
“Di mana keponakan saya, Sus?” tanya tika lirih. Suaranya nyaris tak terdengar saking lemahnya.
Belum sempat suster tadi menjawab, diana segera mendekat. Digenggamnya tangan Eva dengan erat penuh rasa bersalah.
“Maafkan anak saya ya, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Saya mewakili anak saya memohon maaf pada Ibu,” ucap diana sambil terisak.
“Saya sudah maafkan. Bukan salah putra ibu. Tapi sudah takdir saya.”
Diana harus mendekatkan telinganya agar bisa mendengar ucapan Eva. Suaranya semakin lemah, seperti tubuhnya yang makin tak berdaya.
“Kalau boleh saya mau minta tolong,” uucap tika dengan mata setengah terpejam.
“Apa itu, Bu? Saya janji akan bantu,” tanya diana.
Tika mencoba mengendalikan dirinya agar tetap tersadar. “To-long bantu keponakan saya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain saya. Dia anak baik. Tapi nasibnya malang. Saya mohon, bantu dia, Bu.”
Selesai bicara, Eva kehilangan kesadaran.Diana memanggil perawat serta dokter untuk memeriksa. Ternyata, tika sudah pergi untuk selamanya.
Diana semakin terpukul. Ia satu-satunya orang yang mendapat amanah terakhir dari tika sebelum meninggal. Dan sebagai penebusan dosa atas kesalahan fatal yang dilakukan albian, maka diana bertekad akan menjalankan amanah tika di detik terakhir sebelum kepergiannya.
Beberapa hari kemudian....
Kondisi albian semakin membaik. Bahkan luka-lukanya juga sudah mengering.
Untungnya tak ada luka yang serius. Tapi, benturan keras pada kepalanya membuat albian mengalami amnesia disosiatif, di mana ia kehilangan memori episodiknya yang entah akan berlangsung dalam berhari-hari atau bahkan tahun. Bahkan ia tak bisa mengingat kecelakaan yang dialaminya malam itu.
Albia memilih mengambil izin dari kampus hingga semua luka yang ia dapatkan dari kecelakaan itu benar-benar sembuh total.
Sedangkan ingatannya, tak ada yang tahu akan hilang sampai kapan.
Diana lega melihat kondisi putranya yang berangsur pulih meski sebagian ingatannya hilang. Meski begitu ia tak akan ingkar janji pada pesan terakhir tika padanya.
Ia sudah meminta seseorang mencari keberadaan keponakan tika. Malam itu, kondisi albian mendadak parah. Detak jantungnya menurun hingga Dokter menggunakan alat kejut jantung saat jantungnya hampir berhenti berdetak.
Diana fokus dengan kondisi albian hingga kehilangan tika yang malam itu dibawa pulang oleh ziara dari rumah sakit.
“Gimana? Sudah dapat alamatnya?” tanya diana pada pria berbadan tegap di depannya.
“Sudah, Bu. Ini alamat gadis itu. Dia sekarang tinggal sendirian di kontrakannya,” jawab pria tadi sambil mengulurkan potongan kertas kecil pada diana.
“Bagus. Hari ini juga kita temui dia. Saya tidak akan tenang sebelum bertemu dengan gadis bernama ziara itu. Kamu siapkan mobilnya. Sepuluh menit lagi kita berangkat. Saya bantu albian ke kamarnya dulu,” titah diana sebelum berlalu pergi menuju albian yang duduk di meja makan.
Tak ada yang berbeda dari pemuda itu.Semuanya nampak sama seperti sebelumnya.Hanya saja ia kadang kebingungan mengingat beberapa hal, terutama kejadian malam nahas itu.
Kata Dokter, ingatannya bisa kembali sewaktu-waktu tapi Dokter pun tak tahu kapan pastinya ingatan albian akan kembali.
“Sudah selesai makan kue nya, Sayang?” tanya diana berjalan mendekati albian yang bangkit berdiri dari tempat duduk.
“Udah, Ma. Aku udah kenyang,” jawab albian seraya memperhatikan pakaian Mamanya yang nampak rapi. “Mama mau keluar?”
“Iya. Mama ada urusan di luar. Kamu tahu sendiri kalau Mama di kantor juga banyak kerjaan. Gapapa kan kalau Mama tinggal?” Dianara menggandeng lengan albian sembari melewati tangga.
“Tentu aja gapapa, Ma. Mama pergi aja. Aku bisa naik sendiri. Lagian kan aku udah sembuh, Ma. Jangan terus memperlakukan aku kayak orang sakit. Minggu depan aku juga udah masuk kuliah.” Pegangan diana dilepaskan dari lengan albia .
“Ya udah kalau gitu. Kamu baik-baik di rumah diana mengusap lembut bahu putranya sebelum akhirnya berlalu pergi dari sana.
Dari tangga, albian menatap punggung sang Mama yang semakin jauh meninggalkannya. Senyumannya pun mengembang begitu diana tak lagi terlihat.
Tangannya merogoh saku celananya, lalu menghubungi kontak milik Brigita di HP nya.
“Halo, bian. Lo gimana keadaannya sekarang? Baik-baik aja kan?”
Belum sempat albian menyapa, Brigita sudah menyambar lebih dulu di seberang sana.
Dari nada suaranya, gadis itu terlihat sangat khawatir pada albai.
“Gue udah enakan sekarang. Minggu depan gue udah masuk kuliah. Lo bisa gak ke sini sekarang? Gue udah lama gak ngerokok nih. Mumpung Mama lagi keluar, kayaknya gapapa kalau nyoba sebatang atau dua batang.”
Tawa Brigita menguar di seberang sana, membuat albian segera menjauhkan HP nya dari telinga.
“Siap! Gue meluncur ke sana sekarang. Tungguin ya,” ucap Brigita riang.
Albian menggeser ikon merah di layar untuk mengakhiri panggilannya. Lalu sambil berjalan naik ke atas tangga, ia masukkan HP itu kembali ke saku celana.
Baju-baju beterbangan, bahkan abaya dan jilbab pun berserakan di teras. Tak hanya itu, koper besar menggelinding turun ke pelataran setelah dilemparkan kuat oleh seorang wanita paruh baya dari dalam rumah.
Suara tangisan bersahutan dengan suara teriakan wanita pemilik kontrakan itu.
Wanita dengan rambut pirang itu tak peduli meski dianggap kejam. Bahkan ia juga melemparkan buku-buku tebal ke arah ziara hingga membuat beberapa bagian tubuhnya lebam.
“Udah saya bilang kan kalau saya paling benci sama orang yang telat bayar kontrakan! Kalau gak punya uang itu jangan sok-sokan ngontrak. Tidur aja sana di kolong jembatan!” teriak wanita pemilik kontrakan itu.
“Maaf, Bu. Tapi saat ini saya lagi gak punya uang. Tolong, kasih saya waktu, Bu,” ucap ziara memohon. Semua uang tabungan dan uang peninggalan Tantenya sudah habis untuk biaya pemakaman dan biaya rumah sakit.
Tak sedikit warga sekitar yang melihat kejadian itu. Semua orang menatap iba pada gadis bercadar yang tengah menangis sambil memunguti barang-barang yang berceceran di tanah. Tak sedikit yang merasa kasihan padanya. Setelah kehilangan Tantenya, kini ia diusir dengan kejam dari kontrakan. Tapi, mereka juga takut dengan amarah pemilik kontrakan itu kalau mencoba membantunya.
Kemalangan datang silih berganti menghampiri hidup ziara, seolah semesta tak mengizinkannya untuk bahagia.
“Cepat ambil semua barang kamu sebelum orang yang sudah menyewa kontrakan ini datang. Saya udah terlalu sering kasih keringanan sama kamu dan almarhumah Tante kamu dulu. Paham?!” Suara teriakan wanita pemilik kontrakan itu melengking panjang di samping ziara hingga sang gadis terjingkat.
Kepala ziara mengangguk samar dengan pandangan ke bawah. “Baik, Bu Ratih. Saya minta maaf,” jawabnya lirih.
Begitu wanita paruh baya bernama Ratih itu akan pergi, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah kontrakannya. Lalu, dari dalam mobil itu diana turun sambil menenteng tas branded yang terkenal mahal dengan harga ratusan juta.
Wanita kaya yang terkenal sebagai pemilik perusahaan Rajasa Grup yang bergerak dibidang konstruksi itu berjalan menghampiri ziara sambil membuka kacamata hitam yang bertengger manis di hidung mancungnya.
“Permisi, apa benar ini tempat tinggal ziara Kalya, keponakan dari Bu tika?” tanya diana.
Wanita dengan dress hitam dan jilbab yang senada itu mengedarkan pandangan ke sekitar, melihat deretan rumah petak yang pintunya terbuka. Ia juga melihat satu persatu orang yang berkeliling di sana, mencoba menebak-nebak siapa pemilik nama ziara.
Sebagai pemilik kontrakan, Bu Ratih pun menghampiri diana, melihat penampilannya dari atas hingga ke bawah. Ada bau uang di setiap pakaian dan aksesoris yang diana gunakan, membuat Bu Ratih menyambutnya ramah.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu? Apa Ibu mau cari kontrakan? Semua kontrakan di sini, saya pemiliknya,” ucap Bu Ratih.
Diana yang awalnya memperhatikan ziara yang tengah memungut barang-barang jadi menoleh ke arah wanita dengan rambut pirang itu.
“Saya sedang mencari ziara Kalya, keponakan Bu Eva. Menurut info yang saya dapat, dia kontrak di sekitar sini,” balas diana.
“Kalau boleh tau, ada perlu apa ya Ibu mencari ziara?” tanyanya penasaran. “Apa jangan-jangan si tika punya hutang ya sama Ibu? Jadi Ibu ke sini mau menagihnya?”
Belum sempat diana menjawab, sang pemilik nama pun berjalan mendekat mendengar namanya beberapa kali disebutkan.
“Maaf, Bu. Saya ziara, keponakan Tante tika. Ada apa ya Ibu mencari saya?” tanya ziara dengan cadar yang nampak basah karena air matanya.
Tiba-tiba diana menarik tubuh ziara ke dalam pelukannya. Matanya langsung berkaca-kaca, hingga detik kemudian air mata menetes begitu saja tanpa dapat dicegah. Tak ia sangka ternyata gadis malang yang sempat menarik perhatiannya tadi adalah ziara, gadis yang tengah dicarinya.
“Maaf karena Tante datang terlambat, ziara,” ucap diana lirih. Tangannya mengusap lembut belakang kepala ziara.
“Tante ini siapa?” tanya ziara, setelah pelukan diana terlepas.
Diana mengulas senyuman. “Tante ini sahabat lamanya Tante kamu, zia. Tante baru dengar kemarin kabar meninggalnya Tante kamu. Makanya, Tante langsung ke sini mencari kamu.”
“Jadi Tante sahabatnya Tante tika? Kenapa Tante tika gak pernah cerita?”
Diana mengusap bahu gadis bercadar itu, sebelum akhirnya melambaikan tangan pada dua orang yang bodyguard-nya yang ada di depan mobil.
Dua pria dengan baju serba hitam itu pun berjalan mendekati diana.
“Kalian bawa semua barang-barang ini.”
Diana menunjuk ke arah semua barang ziara yang masih banyak yang berceceran.
“Baik, Bu,” balas dua pria berbadan tegap itu kompak.
Diana merangkul bahu ziara. Ia bahkan tak merasa jijik meski abaya biru yang dipakai gadis itu terlihat kotor dan lusuh.
Justru diana begitu senang melihat penampilan ziara yang tertutup.
“Aku gak nyangka. Ternyata keponakan Bu tika adalah gadis sholehah. Sekarang aku punya rencana baru,” batin Diana
Saat Dianara hendak membawa ziara pergi dari sana, tiba-tiba Bu Ratih menghadangnya dari depan. Mata wanita itu menatap nyalang ke arah ziarq yang hendak pergi begitu saja.
“Tunggu dulu. Kalau Ibu mau bawa ziara pergi, bayar saya dulu.” Bu Ratih mengulurkan tangannya ke depan. “Dia ini sudah menunggak membayar kontrakan selama tiga bulan. Jadi, jangan asal pergi gitu aja. Saya gak akan biarkan Ibu bawa ziara.”
Tatapan diana menajam. Ia membuka tas yang ditentengnya, lalu mengambil segepok uang seratus ribuan.
“Harusnya ini cukup untuk membayar kontrakan Ibu selama tiga bulan.” Diana mengulurkan uang itu ke arah Bu Ratih. Tapi, ia lemparkan uang itu ke tanah saat Bu Ratih hendak mengambilnya.
Mata Bu Ratih terbelalak melihatnya. Tapi, semua orang di sekitar sana yang menyaksikan merasa puas dengan perlakuan diana pada si pemilik kontrakan yang kejam itu.
“Maaf kalau saya kasar. Anggap saja ini sebagai balasan karena Ibu sudah bersikap kejam pada calon istri putra saya,” ucap diana tegas.
Mata Zivana membulat mendengarnya.
“Calon istri? Jadi aku akan dijodohkan dengan putra ibu ini?” gumamnya lirih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!