Ada dua dunia dalam peradaban ini. Pertama, dunia manusia yang kita tinggali. Kedua, dunia hitam yang disebut dunia Guide. Di dunia manusia, kita beraktivitas seperti biasa, hidup seperti biasa, makan seperti biasa, bekerja seperti biasa, semua serba biasa. Tapi prosesnya tidaklah biasa.
Proses kehidupan di dunia manusia diatur oleh mereka yang berpengaruh tinggi. Rata-rata, para pemimpin di dunia manusia diisi oleh orang-orang yang memperoleh keuntungan dari posisinya sebagai guider.
Guider, sebutan bagi mereka yang diberkahi kemampuan saat menjelajahi dunia Guide. Semakin jauh mereka menjelajah, semakin tinggi level guider mereka.
Ada tujuh tingkatan dalam guider. Mulai dari yang terendah, guider level E, level D, level C, level B, level A, level S, level SS. Sebenarnya masih ada level SSS, tapi tidak dimasukan ke dalam kategori karena mustahil akan ada yang mencapainya. Nyatanya, petinggi di dunia manusia hanya bisa mencapai guider level B.
Siapa pun bisa menjadi guider, tak peduli berapa umurnya, tak peduli bagaimana fisiknya, semua akan diizinkan.
Hanya saja, akankah semua berminat? Bahkan jika keuntungan menjadi guider sangatlah tinggi, tetapi harga yang harus dibayar tidaklah murah. Harga dari permainan hidup, di mana kematian bisa menjadi bayarannya.
Oleh sebab itu, jika tidak ingin mati, pasang mata dan telinga. Tak ada yang bisa dipercaya, bahkan jika itu keluarga. Itulah prinsip untuk mencapai guider tingkat tinggi tanpa kehilangan nyawa.
*****
“Hantam dia!”
“Pukul dia!”
“Hhahahahaha!”
Teriakan dari para penonton hanya memperparah keadaan Riz yang meringkuk kesakitan. Darah mengalir di hidungnya, dan bonyok yang menempel di badan semakin memperburuk kesadarannya. Sampai akhirnya teriakan seorang guru menghentikan pembullyan yang terjadi.
Anak-anak pun bubar, namun sorot mata kasihan masih mengiringi Riz yang ditolong guru tersebut untuk dibawa ke UKS. Walaupun kicauan sang guru pada anak-anak yang berkumpul tanpa membantu masih memekakan telinga para pendengarnya.
Di UKS Riz hanya tidur sambil meneteskan air mata. Pengkhianatan dari teman baiknya yang membiarkan dirinya dihajar melukai hatinya. Bagaimana tidak? Ellio sang sahabat yang sering ia bantu dalam belajar, dipinjami uang saat susah, sang sahabat yang saling berbagi senang pahitnya hidup sampai mereka menginjak usia 15 tahun, lebih memilih mengikuti sang pembully karena tergiur akan kekayaannya.
Sedangkan dirinya? Anak dari pedagang pakaian yang hidup berdua dengan ibunya. Hanya kebaikan, kesetiaan dan kekayaan tak seberapa yang ia miliki dalam berteman.
“Kamu menangis?” tanya sang dokter sekolah yang sibuk membaca manga.
Riz tak menjawab, kecuali masih berdiam dalam posisi yang sama. Dokter sekolah itu pun mulai mengeluarkan nasehat berupa kutukan untuk pendengarnya.
“Akhirnya muka manismu bonyok juga. Yah, namanya juga anak laki-laki, kalau tidak berkelahi maka kamu tidak akan tumbuh besar. Tenang saja, rasa sakit adalah bukti hidup. Kupikir hidung dan gigimu patah, rupanya tidak ya, sayang sekali tapi untunglah,” ucapnya bernada wajar.
Riz tak menanggapi, tangannya mengusap kasar sudut mata yang basah karena tangisannya.
“Wow! Hot sekali! Nami memang idamanku! Hhehehehe ...” kelakar si dokter mengagumi karakter manga idolanya. “Ah! Sudah jam pulang! Hei bocah! Bangun! Cepat pulang! Aku juga mau pulang!” usir dokter tersebut setelah mendengar bel sekolah berbunyi.
Ia pun berjalan menghampiri ranjang Riz dan menyibak tirainya. “Sampai kapan kamu mau begini? Cepat pulang! Atau air matamu kering dan tak ada lagi yang bisa ditangisi,” oceh dokter tersebut.
Dengan langkah berat Riz pergi dari sana, mengambil tasnya di kelas yang kosong dan pulang dalam keadaan mata agak sembab.
Esok harinya, di sekolah ramai dengan gosip tentang beberapa anak yang ingin mendaftar jadi guider. Salah satu pendaftar adalah pembully Riz, ia merupakan anak dari seorang pengusaha yang bergelar guider level C. Tak hanya dirinya, sahabat Riz yaitu Ellio juga ikut serta.
Beritanya sudah sampai ke telinga Riz, namun ia tak ingin peduli lagi. Rasa sakit di dirinya akibat kemarin masih membekas di otak Riz. Walau sebenarnya hati kecilnya masih berharap, agar Ellio melirik dan kembali padanya.
Pendaftaran sebagai guider akan dibuka tiga hari lagi. Sedikit pun Riz tak pernah berpikir akan mengikutinya, sampai suatu kejadian yang tak diduga memicu dirinya untuk mengambil langkah sebagai guider.
Dua hari sebelum pendaftaran guider dibuka ....
“Riz, bisa tolong kamu gantikan ibu di toko? Ibu mau pergi sebentar.”
“Baik bu,” Riz pun duduk di kursi sambil menunggu pelanggan datang. Tokonya menyediakan pakaian anak-anak dan remaja. Selain berjualan pakaian, juga ada gorengan buatan ibunya yang dijajakan di depan toko.
Bagaimanapun juga, hidup dengan bergantung pada hasil jualan pakaian sangatlah tidak mungkin. Terlebih lagi zaman sekarang orang-orang lebih suka berbelanja di mall dan toko pakaian ternama. Toko sekaligus rumahnya itu tak lebih dari sekedar remahan di pinggiran kota besar.
Seorang wanita paruh baya pun berhenti di tokonya. “Baju itu, berapa harganya?”
“Ini 30 tier bu.” (Kalau dirupiahkan Rp.60.000,00 zaman sekarang)
“Mahal sekali! Padahal di toko sana cuma 10 tier!”
“Maaf bu, tapi memang segitu harganya,” balas Riz sopan.
“Kemahalan! Kamu itu kalau jualan jangan ambil untung yang banyak. Padahal toko lain gak segini harganya!” wanita itu mulai menekan.
“Maaf bu, tapi memang segitu harganya. Kalau ibu keberatan, ibu bisa pergi ke toko lain yang lebih murah bu.”
“Cih! Dasar anak kurang ajar! Gak laku-laku daganganmu baru tahu rasa!” kutuk wanita itu dengan emosi. Sebelum pergi ia sempat memukul dagangan Riz yang sedang tersusun rapi di meja. Riz hanya bisa menelan napas kecewa karena kedatangan pelanggan bermulut pedas itu.
Waktu semakin berlalu, langit senja pun mulai menyapa penontonnya. Riz sedikit cemas karena ibunya masih belum pulang. Jika bisa bersuara, jam dinding mungkin akan berteriak karena bosan ditatap Riz yang sering menanyakan waktu dalam hatinya.
Dua buah mobil mewah pun berhenti di depan tokonya. Menimbulkan tanda tanya Riz saat para penghuni mobil turun. Sampai ia terperanjat kaget, ketika melihat ibunya ditarik keluar dari salah satu mobil. “Aku sudah membawamu! Jadi sekarang cepat ganti rugi!” teriak seorang wanita.
“Apa-apaan ini?!” Riz mendekati ibunya yang kesakitan akibat ditarik itu.
“Siapa lagi ini?! Aku tak ada urusan denganmu!” bentaknya.
“Tak ada urusan?! Kalau begitu kenapa anda menarik ibuku seperti ini?!”
“Ho! Jadi dia ibumu?! Ibumu sudah merusak bajuku!” Wanita tersebut menarik baju yang dipakainya. Memperlihatkan jejak basah akibat tumpahan minuman. “Apa kau tahu berapa harga baju ini?! 40.000 tier! Dia bilang akan mengambil uang di rumah untuk ganti rugi! Sekarang ayo ambil! Cepat!” bentak kasarnya.
Mereka menjadi bahan tontonan orang-orang yang lewat, ada yang ingin tahu, merasa kasihan dan lainnya.
Riz menatap tajam wanita itu, sampai ibunya memegang dadanya untuk menahannya. “Tolong tunggu sebentar,” tukas ibunya gemetaran. Ibu Riz masuk ke dalam toko, mengambil uang simpanan yang ada di sana. Di dalam laci yang tertutup rapat, sebuah kotak berukuran sedang pun diambil lalu disodorkan pada wanita yang memakinya.
“Heh! Apaan ini! Apa kau tuli! Kubilang 40.000 tier!”
“Maafkan aku nyonya, baju anda hanya kotor. Jika harus mengganti rugi aku tak punya uang sebanyak itu,” ibu Riz membela diri walau suara yang ia keluarkan bergetar.
“Dasar miskin! Kalau begitu buat apa aku menyeretmu ke rumahmu?! Kau membohongiku?! Kalau begini seharusnya aku menghukummu tadi!” teriaknya tak henti-hentinya.
“Cukup! Sekali lagi anda membentak ibuku!” Riz mengangkat tangannya dan menunjuk wanita itu. Dua orang yang tampak seperti pengawal pun menyerangnya, karena tak terima dengan apa yang dilakukan Riz. Mereka menghajarnya secara membabi buta, sebagai balasan Riz sudah berani menunjuk-nunjuk bosnya seperti itu.
“Tolong hentikan! Jangan pukul anakku! Tolong berhenti! Hentikan!” ibunya mencoba menghentikan para penyerang.
“Buakh!” pukulan pun dilayangkan ke wajah ibunya, membuat wanita itu tersungkur kesakitan.
“Ibu! Ibu!” pekik Riz kesakitan. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri ibunya yang antara sadar dan tidak. “Br*ngs*k! Beraninya kalian!”
“Buakkh!” Tendangan keras dilayangkan ke perut Riz saat ia mencoba mendekati pengawal yang menyerang ibunya. Rasa sakit benar-benar menyelimutinya, ia terbaring tak berdaya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Heh! Beraninya orang rendahan sepertimu menunjuk-nunjukku?! Apa kau tidak tahu siapa aku?! Aku Indena! Istri Ovan sang guider level B! Jangan pikir kalian bisa selamat setelah bersikap kurang ajar padaku!” kata wanita itu dengan lantangnya.
Orang-orang sekitar hanya bisa menonton, mereka tak punya keberanian untuk membantu, apalagi setelah tahu siapa sosok mereka.
“Hancurkan semuanya! Ini ganjaran karena sudah bersikap kurang ajar padaku!” perintahnya pada para pengawalnya itu. Mereka pun berhamburan masuk ke dalam toko dan rumah, mengobrak-abrik semuanya tanpa rasa kasihan pada orang tak berdaya seperti Riz dan ibunya.
Hanya karena masalah sepele, mereka melakukan hal kejam di luar jangkauan keduanya. Merendahkan dan menginjak-nginjak harga diri, pengorbanan, serta usaha yang sudah menemani ibu dan anak itu selama bertahun-tahun.
Riz pun hanya bisa menangis menatap kekejaman yang ia dan ibunya terima, tanpa bisa melakukan apa-apa.
Setelah kepergian mereka, beberapa tetangga yang kasihan pun datang menghampiri. Membantu ibu dan anak itu, serta ikut membereskan dagangan yang berserakan.
Seorang wanita yang sedikit lebih tua dari ibu Riz pun menangis, merasa kasihan atas apa yang telah terjadi. Rasa bersalah karena tidak bisa membantu pun tertera jelas di wajah mereka yang masih memiliki nurani. Ingin membela namun apalah daya mereka, karena penyerang itu adalah orang yang berpengaruh di kota itu.
“Maafkan aku tidak membantumu nak,” ucap seorang pria yang mengobati luka Riz. Aku tak berdaya, saat melihat sosok mereka yang seperti itu. Aku benar-benar minta maaf Riz, maafkan aku,” diiringi dengan nada bersalah yang teramat sangat.
“Tidak apa-apa paman, ini bukan salahmu,” lirihnya pelan. Riz menatap ibunya yang sudah baik-baik saja, merapikan barang-barang yang rusak tanpa bicara.
Riz tahu jika itu hanyalah tipuan. Kenyataannya, ibunya tidak baik-baik saja, gemuruh di dada menyesakkan dirinya saat mengingat perlakuan kasar mereka. Ia mengepal erat tangannya, karena merasa benar-benar tak bisa memaafkan mereka.
“Riz, Ayar, kalau begitu kami kembali dulu. Kalian beristirahatlah,” tukas salah satu tetangga.
“Baik tuan, terima kasih banyak sudah membantu kami,” sahut Riz pelan.
Keheningan antara ibu dan anak sekarang memenuhi ruangan. Tetesan air mata membasahi pipi ibu Riz yang mulai terisak-isak.
“Ibu.”
Wanita itu menatap Riz yang sedang mengoleskan obat di perutnya sendiri, “maafkan ibu nak. Jika ibu berhati-hati maka ini semua tidak akan terjadi. Seharusnya ibu tidak membawa mereka, tapi ibu tidak mengira kalau semua ini akan terjadi,” ujar ibunya. Air matanya semakin deras, memacu detak jantung Riz saat menatap wajah sendu ibunya.
“Ibu! Ini bukan salahmu! Ini salah orang-orang sombong itu!”
“Maafkan ibu nak, ini salahku kamu jadi terluka seperti ini.”
“Apa yang ibu bicarakan? Ibulah yang terluka!” Riz pun menghampiri ibunya dan memeluknya dengan ekspresi yang sama. “Aku bersumpah! Sampai mati aku tidak akan memaafkan mereka!”
Waktu pun menelan rasa sakit mereka walau tak pudar.
Riz terbangun dengan memar di wajah yang terasa menendangnya. Ia pun menatap cermin, melihat wajahnya yang semakin hancur akibat ulah-ulah tangan tak bermoral para penindas. Tak peduli apa yang terjadi, ia harus tetap bersekolah. Anak yang hidup dengan modal beasiswa sepertinya tak punya kesempatan untuk bermalas-malasan.
“Riz, kamu sekolah? Bukankah lebih baik kamu libur saja?” tanya ibunya. Riz memandang kaget saat menatap memar biru yang menempel jelas di wajah ibunya. Hal itu pun menambah rasa sakit di hatinya tanpa kasihan.
“Tidak bisa bu, apa pun yang terjadi aku harus tetap sekolah,” jelas Riz pamit tanpa sarapan. Tentu saja ia tak sarapan, karena tak ada yang bisa dimakan. Uang simpanan bahkan sedikit pun tak ada di tangan untuk membeli makanan, jadi apa yang bisa dimakan?
Bukankah orang-orang itu sangat kejam? Tak hanya merusak isi rumah dan memporak-porandakan semuanya, bahkan uang-uang yang ada dirampas semua tanpa iba. Terlebih itu semua juga disertai dengan penindasan tanpa pandang bulu mereka.
Apa lagi yang lebih kejam dari itu sekarang?
“Hai Riz! Kenapa wajahmu tambah hancur begini?” tanya salah seorang temannya.
Hanya senyum tipis sebagai balasan Riz, sampai akhirnya senyum itu memudar saat Ellio lewat di sampingnya dengan lirikan sekilas. Perlakuan Ellio itu membuat Riz tak tahu lagi apa yang dirasakannya sekarang.
“Aku tidak menyangka Ellio akan seperti itu, padahal kalian sudah seperti saudara.”
Riz hanya bisa menunduk, lalu terkaget saat pemuda yang mengajaknya bicara menarik paksa tangannya. “Hei apa yang kamu lakukan?!” tanya Riz bingung.
“Di sana ada Jion! Jika dia melihatmu mungkin saja dia akan memukulmu lagi!” jelasnya.
Bagaimanapun juga, Jion adalah pembully yang sudah merebut Ellio darinya. Setidaknya itulah yang dirasakan Riz, karena dirinya menolak kenyataan kalau Ellio sendiri yang sudah membuangnya. Sebenarnya laki-laki yang menolong Riz sekarang juga takut mengajaknya bicara, karena ia tak ingin jadi target pemukulan yang sama dengan Riz.
Namun, bantuan Riz pada hidupnya yang membuat orang itu tetap bertahan di sisi Riz. Riz pernah menolongnya saat ia tenggelam di danau karena tak bisa berenang. Riz juga sering membantunya dalam belajar, bukankah itu sudah cukup jadi alasan dari tindakannya untuk bertahan?
Keduanya memasuki kelas. Riz duduk di samping kursi Ellio yang masih kosong. Sementara laki-laki yang bersamanya duduk di belakang Ellio. “Toz, lebih baik sekarang kamu tidak bicara padaku, kamu tahukan apa maksudku?” ucap Riz pada remaja itu.
Toz mengangguk paham, karena sebentar lagi Ellio dan kawanan barunya akan memasuki kelas. Walaupun pemimpin mereka Jion berada di kelas yang berbeda, tapi akan lebih baik jika Riz dan Toz saling diam agar tak jadi target lagi. Kenapa Jion sangat suka membully Riz? Itu masih menjadi tanda tanya sampai sekarang.
Jam pelajaran pun dimulai, tak ada kegaduhan yang terjadi sampai jam istirahat datang. Namun, neraka bagi Riz dimulai saat istirahat itu.
“Riz Alea! Apa-apaan wajah jelekmu itu?” ledek salah satu bawahan Jion yang sekelas dengannya. “Ini bukan ulah kami, kalau kau ingin tambah hancur maka katakan saja! Kami akan melakukannya lebih buruk dari yang kemarin!” tukasnya.
Riz tak menanggapinya. Ia memilih pergi sebelum semuanya bertambah buruk. Tapi sayang, sebuah buku pun dilempar ke kepalanya sebelum ia sempat menjauh.
“Plaak!” suara buku yang melayang ke kepalanya. Rasa sakit pun membuat Riz menoleh tajam padanya, sehingga pemuda yang melempar buku menjadi emosi.
“Br*ngs*k! Beraninya kau melihatku seperti itu?!” teriaknya berlari mendekat.
Toz yang berada di dekat Riz pun kaget dan takut dengan itu. Apa yang bisa dilakukannya? Ia hanya seorang pecundang.
Lain lagi dengan Ellio yang hanya diam menatap ulah rekan barunya. Orang tersebut menjambak rambut Riz yang kesakitan dan menyudutkannya ke dinding. “Orang miskin sepertimu tak pantas melihatku seperti itu!”
Riz pun mencoba melepaskan tangan orang yang menyakitinya, sambil melirik pada Ellio dan berharap akan ada sesuatu yang masih tersisa dalam hubungan mereka.
Apa yang diharapkan Riz? Ellio memandangnya tanpa belas kasihan. Raut wajah damai yang hangat tak lagi terpampang dari wajah Ellio. Sahabatnya itu, benar-benar sudah membuangnya dari janji pertemanan mereka.
Suasana semakin memburuk saat Jion juga datang ke kelas itu. Ia menatap anak buahnya yang sedang berulah tanpa bicara. Sampai akhirnya senyum sinis terlukis jelas di wajahnya, dan membuat yang lain bergidik takut untuk tetap berada di sana.
Toz pun gemetaran tak bisa bergerak dari kursinya, merasa takut jika ia juga akan diperlakukan sama seperti Riz.
“Sepertinya kalian sedang asyik,” sejurus kalimat itu meluncur dari mulut Jion. Sosoknya yang berotot, dengan rambut hitam ikal sebahu membuatnya tambah mengerikan. “Baiklah, bagaimana jika kita pakai dia sebagai latihan sebelum memasuki Guide?”
“Ide bagus bos!” setuju yang lainnya.
Akhirnya, pembullyan masal pun dimulai. Riz yang tak tahu apa salahnya diserang bertubi-tubi tanpa rasa kasihan. Toz yang ketakutan melihatnya pun memilih untuk segera keluar dari kelas. Setidaknya hal itu akan membantu jika ia bisa melaporkan apa yang terjadi pada guru.
“Hei! Mau ke mana?” ucap Jion tiba-tiba. Ia menarik lengan Toz dan menendang perutnya. Tubuh tak berdaya Toz pun terpental ke belakang.
Para murid lain hanya bisa berteriak takut, tanpa ada yang membantu. Sekalipun kasihan, itu lebih baik daripada diri mereka sendiri yang jadi korban. Sehingga, menonton dengan rasa iba terpendam jauh lebih baik bagi mereka daripada ikutan bersuara menentang.
Sekarang semuanya benar-benar menyedihkan. Tak hanya Riz, Toz juga bernasib sama sepertinya. Keduanya menjadi bulan-bulanan murid yang berpikir kalau diri mereka berkuasa.
Darah tak seberapa mulai berserakan ke lantai. Meninggalkan jejak dari pemiliknya yang terluka. “Inilah yang akan terjadi, jika kau bersikap sombong di hadapanku,” lirih Jion. “Bawa mereka ke kamar mandi!” perintahnya.
Ia dan anak buahnya pergi ke kamar mandi sambil menyeret Riz dan Toz yang sudah babak belur. “Ellio, kau tak ikut?” tanya Jion yang menyadari Ellio masih berdiam diri di posisinya.
“Ya,” remaja itu mengangguk dan mengikuti mereka dari belakang.
“Mmm? Sepertinya para singa mulai sombong,” gumam seorang anak laki-laki yang sedang memakan cemilannya. Ia hanya menatap kebisingan yang disebabkan Jion dan anak buahnya.
Sekolah yang menyedihkan, karena guru-guru tidak menyadari kekacauan yang sudah disebabkan para muridnya.
Kalaupun mereka tahu, tak sedikit pula yang mengabaikan karena tak ingin terlibat dengan orang tua murid yang cukup berkuasa namanya. Bahkan uang yang mengalir untuk melepaskan jeratan anak-anak bermasalah, akan ditampung oleh mereka yang bersedia tutup telinga dan tak peduli akhirnya.
Untuk anak-anak seperti Riz dan lainnya, orang-orang seperti mereka adalah sumber bencana. Walau tidak semuanya akan bersikap seperti itu, tapi sekarang bagi mereka hanya penindasan yang tampak oleh mata. Apa yang harus dilakukan Riz untuk terlepas dari jeratan itu?
Kedua tubuh kurus itu dilempar kasar menabrak pintu kamar mandi. Mata Toz mulai basah karena tak tahan dengan apa yang akan terjadi, “kenapa? Apa salah kami? Kenapa kalian seperti ini?! Memangnya apa yang sudah kami lakukan?!” teriak Toz akhirnya.
“Buaak!” Kepalanya yang diinjak Jion, ia menyeringai atas tingkahnya sendiri.
“Beraninya kau bertanya? Kau ingin tahu? Tentu saja itu karena ini menyenangkan.” Riz yang mendengarkan itu pun langsung naik pitam. Menyenangkan? Ini menyenangkan? Rasa sakit dan penghinaan yang selama ini ia terima menyenangkan?
“Dasar br*ngs*k!” teriaknya emosi. Ia bangun dan mencoba menghajar Jion yang masih menindas Toz.
“Wow! Dia melawan!” sahut yang lainnya.
Jion menghindari serangan Riz dengan entengnya, kakinya yang lihai pun dilayangkan ke dada Riz sehingga ia terjungkal kesakitan. “Dan kaulah yang paling menyenangkan untuk ditindas.”
Riz yang masih menggeliat kesakitan mulai menatap tajam Jion. “Ha-hanya karena kau anak guider, kau berani menindas kami,” lirih Riz.
“Ya benar! Bukankah itu kelebihanku? Sudah seharusnya aku bersikap seperti ini pada cacing-cacing seperti kalian! Lakukan!” perintahnya.
Para bawahan Jion pun mulai melakukan aksinya, menyobek pakaian Riz dan Toz, menyiram mereka dengan air kotor yang tak perlu lagi disebutkan dari mana asalnya. Bau busuk pun terpancar dari kedua anak itu, sehingga mereka benar-benar tampak menyedihkan.
“Kenapa? Kenapa kau melakukan ini? Apa yang sudah aku lakukan?” tanya Riz akhirnya.
“Yang sudah kau lakukan? Baiklah, aku akan memberi tahumu. Beraninya, beraninya sampah sepertimu mengambil milikku!” ucapnya sombong. “Yah! Tapi tenang saja, aku sudah merebut kembali hal itu, walau harus pakai cara kekerasan.”
Riz yang masih dibayangi rasa sakit tak mengerti apa maksud dari perkataan Jion. Keduanya pun ditinggalkan begitu saja oleh mereka, setelah puas dipermainkan seperti itu. Toz tak bersuara, begitu pula dengan Riz yang mulai merasakan kabur pandangannya. Mereka berdua pun akhirnya pingsan di sana.
Suara tawa tak jelas seolah berkicau di sekeliling Riz yang mulai sadar. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. “Aaagh!” erangnya. Tulang di wajahnya terasa ngilu, seolah akan copot dari kepalanya. Ia pun teringat atas apa yang sudah terjadi, membuat tubuh babak belur itu memutar kepala kiri dan kanan untuk mencari seseorang.
“Toz! Toz!” panggilnya.
“Hei! Berisik bocah!” gerutu seseorang yang merasa terganggu. Siapa lagi kalau orang itu bukan si dokter sekolah yang sibuk membaca manga. Sekarang entah manga karangan siapa lagi yang ia baca sampai tawanya mirip spesies horor itu. “Bocah itu masih tidur! Kau benar-benar menggangguku! Seharusnya kau tidak sadar!” oceh dokter tersebut.
Seperti biasa, apa pun yang ia keluarkan dari mulutnya pasti kutukan saja isinya. Kenapa orang seperti itu bisa menjadi dokter di sekolah? Padahal tampang jeleknya masih muda.
Ya, dokter itu sangat jelek untuk orang-orang yang tak mau mengakui kegantengannya. Tapi bagi yang lain? Jantung para perempuan yang menerima godaan dengan tangan terbuka pun akan langsung berteriak-teriak meminta tanda tangan karena tampang sang dokter.
Riz pun memaksakan dirinya untuk bangun, mencari sosok Toz yang sangat ia cemaskan. Disibaknya tirai pertama, tirai kedua, dan pada tirai ketiga tampaklah sosok Toz yang masih tidur dengan tenang.
Wajahnya memar, matanya bengkak dan ada perban di kepalanya. “Maafkan aku Toz, maafkan aku karena tidak bisa melindungimu,” pungkas Riz yang jatuh terduduk.
“Tentu saja kau tidak bisa, melindungi diri sendiri saja tidak becus! Bagaimana bisa melindungi orang lain? Jangan terlalu sering berhalusinasi agar tak kusindir begini,” ledek dokter tersebut. “Hei! Jika orang tua bicara dengarkan! Makanya kamu itu terus kena sial!”
Suara kicauan sang dokter sekolah benar-benar mengganggu istirahat. Toz pun akhirnya terbangun mendengarnya. Sebelah mata yang terasa sakit dan bonyok menimbulkan perih dan erangan pelannya.
“Toz! Toz! Kamu sudah sadar?” Riz tampak lega.
“Riz?”
“Ya! Ini aku! Bagaimana keadaanmu?!”
“Buruk!” balas Toz yang mengundang tawa sang dokter.
“Maafkan aku. Ini semua gara-garaku! Jika saja kita tidak berhubungan, mereka pasti takkan menyakitimu!”
“Sudahlah, lagi pula dengan begini sekarang aku tahu bagaimana rasa sakitmu!” ucap Toz diiringi tawa pelan.
“Baiklah! Karena kalian sudah sadar, cepat bangun dan pulang!” potong dokter itu tanpa iba.
“Anda benar-benar dokter sekolah? Kenapa menangani murid seperti ini?” tanya Toz akhirnya.
“Terserah, lagi pula salah kalian sendiri sampai babak belur. Suka atau tidak, tetap aku raja di sini! Seharusnya kalian berterima kasih karena sudah kuobati!” sahut dokter itu dengan sombongnya.
Riz pun menatap jengkel padanya, sudah delapan kali ia masuk UKS, dan sudah sebanyak itu pula ia menerima kutukan sang dokter. Jika di tampung semua kutukannya, mungkin telinga Riz berkarat isi endapannya.
“Ayo Riz, bisa tuli kita jika tetap di sini,” ajak Toz. Ia pun bangun perlahan sambil dibantu Riz.
"Tunggu sebentar!" Cegat Dokter itu sambil menyodorkan dua buah permen kaca yang tampak aneh.
"Apa ini?" tanya Riz bingung.
"Makan saja! Ini obat khusus dan mahal! Kalian tidak akan mampu membelinya!"
"Cih!" umpat Riz pelan. Akhirnya ia dan Toz memilih memakan permen itu tanpa ragu lagi.
Entah sudah berapa kali Riz terkapar di UKS sampai jam pelajaran habis. Setelah mengambil tas, mereka meninggalkan sekolah sambil berjalan pelan. Memandang langit biru yang seolah menertawakan keadaan menyedihkan keduanya.
“Maafkan aku,” gumam Riz. Toz tersenyum, memandang Riz yang tampak merasa bersalah.
“Ini bukan salahmu, hanya saja ini salah mereka yang tidak berperasaan.”
Mendengar itu, wajah Riz berubah murung, karena perkataan itu mengingatkannya pada sosok Ellio sang sahabat. Kenapa Ellio memilih berteman dengan mereka? Apa yang salah? Kenapa Ellio tidak mau mengatakan alasannya? Setidaknya dengan begitu Riz takkan berharap lagi pada Ellio jika dirinya memang ingin memutus persahabatan mereka.
Sesuatu yang menggantung dan masih misteri ceritanya sangatlah menyakitkan untuk Riz. Karena baginya, sosok Ellio takkan bisa tergantikan.
“Kudengar anak-anak akan mendaftar guider, bagaimana denganmu Riz?” tanya Toz.
“Rasanya aku tidak akan ikut.”
“Kenapa?”
“Karena aku takut akan itu, aku takut jika suatu saat nanti aku tak bisa bertemu dengan ibuku lagi. Bagaimana denganmu?”
“Aku akan ikut.”
“Benarkah?”
“Ya,” balas Toz dengan yakinnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin membantu perekonomian keluargaku. Setidaknya uang dari guider jauh lebih besar dari pendapatan orang tuaku sekarang.”
Riz tersenyum, “kamu benar-benar anak yang baik.”
“Bukankah kamu juga begitu?”
“Kita memang begitu,” keduanya pun akhirnya terpisah ke jalan pulang masing-masing.
Esok harinya, Riz terlambat datang ke sekolah. Rasa sakit membuatnya susah tidur dari kemarin, dan efeknya pun membuat Riz harus terlambat ke sekolah. Di kelas Riz merasa bingung, saat menyadari sosok Toz tak ada di sana. Saat jam istirahat, Riz segera pergi dari kelas untuk menghindari pembullyan dari Jion dan temannya. Ia pun berlari ke atap, memilih tempat yang ia rasa aman di sana.
“Hei! Apa kau sudah dengar?” sahut salah satu murid yang baru datang ke atap.
“Tahu apa?” balas temannya.
“Si culun Toz dari kelas sebelah kembali dihajar Jion!”
“Benarkah?”
Ya! Padahal kemarin ia juga dihajar, apa Jion itu ingin pamer kekuasaan? Aku jadi kasihan dengan korban-korbannya!” jelas murid yang pertama kali bicara.
“Hei! Apa maksud kalian?! Toz dihajar?” potong Riz yang keluar dari persembunyiannya dengan muka marah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!