NovelToon NovelToon

TERPAKSA SELINGKUH

1 #GARA-GARA JERUK

Ponsel Via sedari tadi menjerit-jerit di dalam saku jeans dongkernya. Mana ponselnya pake getar lagi, jadi kerasanya kan geli-geli sedap gitu deh. Kedua tangan Via repot menjinjing kantung belanja yang sudah terisi penuh.

"Halo. Apaan si? Bentar lagi aku nyampe situ! Cerewet banget telpon Mulu!" Tak ayal Via jawab juga telpon Yana sahabatnya meski dengan kerepotan sambil berjalan cepat menuju parkiran. "Apa? Disebelah mana kedai kopinya? shareloc aja deh!" Pungkas Via.

KLIK!

Via langsung matiin ponsel tanpa nunggu jawaban Yana.

Sejak kapan si Yana suka ngopi-ngopi? lama tak ketemu makin aneh aja tuh orang, mentang-mentang mau merit sama manager hobinya sekarang nongkrong sambil ngopi-ngopi. Via membatin sepanjang perjalanan.

Motor matic Via melesat menuju kedai kopi yang dimaksud Yana. Cukup sering juga Via lewat jalan itu tapi nggak gitu merhatiin kalo ada kedai kopi baru di sana.

NOSTALGIA, Nama kedai kopi itu. bangunannya semi permanen dan tak terlalu luas tapi tampak asri dari luar.

"Mbak, belanjaannya dibawa aja!" Seru tukang parkir pada Via. "Kemarin soalnya ada yang ilang." lanjutnya sambil mendekati Via.

Duh! mana berat lagi. Via menggerutu sambil mengambil belanjanya dari cantolan motor. Ini gara-gara si Riri resek nitip macem- macem jadi penuh deh bagasi motor nggak muat lagi.

"Nggak usah dikunci stang, Mbak." Sergah si tukang parkir yang melihat Via hendak mengunci motornya.

Tapi belum sempat Via mau protes, benda di dalam saku celananya bergetar lagi.

Via gemas si Yana telpon Mulu. "Halo!" Sahut Via ketus sambil jalan cepat.

"Nyampe mana, Vi? Lama amat?" Tanya suara Yana dari seberang nggak sabaran.

Via nggak nyahut karena mendadak jinjingan plastik yang dibawanya putus dan isi belanjaannya berserakan di depan pintu masuk kedai kopi. Beberapa jeruk menggelinding tak tentu arah.

Haduuuh.... Via panik cepat mengambil belanjaannya takut ada yang liatin. Kan sama sekali nggak lucu kalo ada perempuan muda berparas menawan lagi lari kejar-kejaran sama jeruk. Tak dihiraukannya panggilan Yana yang terus berhalo-halo ria.

Hup!

Seorang pria menangkap jeruk yang menggelinding ke arah kakinya.

"Ini buah jeruk punya kamu? Kok bisa sih sampe pada ngguldung begitu, lagi main akrobat ya?" Ujar pria itu pada Via yang masih sibuk dengan belanjaannya yang berceceran.

Via mendongak. Pria tinggi berambut ikal diikat seadanya itu sok akrab banget menurutnya.

"Makasih" Sahut Via datar.

Lalu tanpa diminta si pria ikut bantuin Via. Tangannya repot menampung buah dan sayur yang dibeli Via.

"Yok, masuk!" Ajak pria itu dengan isyarat kepalanya.

Kok dia tau sih kalo aku mau masuk ke dalem? Via heran tapi nurut aja ngekor sama si cowok gondrong itu.

"Vi!" Panggil Yana agak nyaring dari bangku di pojokan dekat lukisan besar.

Yana melambaikan tangan lantas bangkit ke arah Via karena heran melihat laki-laki yang datang bersama sahabatnya itu.

"Ini siapa?" Todong Yana tanpa basa basi sambil merhatiin laki-laki di samping Via dengan tatapan kepo.

Si pria meletakkan buah dan sayur ke atas meja di sampingnya. "Ri, Ari ... !" Cowok itu memanggil pelayan yang lagi bersihin meja.

Yang dipanggil segera mendekat. " Ya? Ada apa Mas Danar?"

"Bisa minta katong plastik nggak yang besar? Buat wadah itu tuh." Si pria yang bernama Danar menunjuk buah dan sayuran dengan dagunya.

"Oh, oke. Bentar ya, Mas." Si Ari pergi.

"Oya, kenalin. Gue Danar." Danar mengulurkan tangan setelah terlebih dulu membersihkannya dengan mengelap pake ujung kemeja kotak-kotaknya.

Via dan Yana menyambutnya agak ragu.

"Kamu yang punya kedai kopi ini?" Lagi-lagi Yana bertanya tanpa tadeng aling-aling.

"Oh, bukan."

"Ini plastiknya, Mas." Ari datang membawa dua kantung plastik hitam besar.

"Makasih ya."

Ari berlalu, Danar mengemas belanjaan Via.

"Biar aku aja." Sergah Via, namun Danar lebih cekatan.

"Nah! udah selesai."

Via jadi nggak enak. "Maaf ya, ngerepotin. Makasih banyak atas bantuannya."

Danar cuman senyum. "Gue duluan ya. Ati-ati jangan sampe nggulundung lagi jeruknya." Danar pergi ke ruangan kecil di belakang mini stage kedai itu.

Via balas senyum tapi agak ragu dan malu. Yana mengajak Via menuju mejanya.

"Jadi kalian tadi baru kenal?" Yana masih kepo.

"Aduh, udah deh nggak penting." Via mengibaskan tangan kanannya lalu sroooott.... sroooott... Via menandaskan mocalatte ice milik Yana tanpa sisa.

Yana mendelik kesal.

"Sori, Yan. Haus banget, hehe ... "

"Haus sih haus, tapi jangan minuman orang juga diserobot seenaknya gitu dong."

"Kan tadi aku udah minta maaf. Sekarang cepetan bilang ada apa dan kenapa kamu ngajakin aku ketemuan di sini?" Via nggak sabar dengar alasan Yana.

Yana malah diem, dia malah mainin cincin yang melingkar di jari manis kirinya.

"Kamu mau cerita apa nggak? Keburu sore nih, kerajaanku banyak harus kelar semua. Mas Mirza mau pulang soalnya"

"Jadi si Popaye mau pulang?" Mata Yana membulat antusias. "Aduuuh, senengnya kamu Oliv si Popaye mau pulang .... " Goda Yana sambil mencubit pipi Via.

"Hiiiy ... apaan sih, Yan?" Via menghindar risih. "Kok jadi bahas yang lain?"

"Ya kan aku ikut seneng kalo suami kamu Popaye si pelaut itu pulang. itu berarti kamu nggak kesepian lagi, kamu pasti hepiiii ... terus bakalan cepet punya momongan, aku punya keponakan deeh ...."

Via mendengus, dasar aneh. suami orang yang pulang malah dia yang happy.

"Jadi kamu mau cerita apa nggak?" Celetuk Via jengah membuat keceriaan Yana hilang.

"Cerita nggak ya?" Yana ragu.

"Terserah!" Via mengangkat bahu cuek.

"Kok kamu jahat banget sih Vi, nggak perhatian sama aku?" Yana pasang tampang sedih.

Drama queen banget si Yana, hadeeeh ... bakalan sampe sore deh kalo dia udah begitu.

Jam makan siang sudah lewat sedari tadi, pantes aja perut Via mulai lapar. Via baru saja beranjak mau minta daftar menu ketika tiba-tiba Yana terisak.

"Loh, kok nangis, Yan?" Via heran dan urung memesan makanan.

"Reno ... mutusin aku, Vi ... hu ... hu... hu ..." Tangis Yana akhirnya tumpah.

Via sibuk menenangkan sahabatnya. Dia tak berani banyak tanya takut Yana makin histeris. Yana itu kalo lagi meluap suka nggak liat sikon. Wajar kalo Via celingak celinguk takut kalo ada yang merhatiin mereka.

"Reno ngaku terang-terangan udah pacaran sama cewek lain, hu ... hu ... hu ... " Bahu Yana berguncang- guncang menahan tangis. "Selama ini dia udah hianatin aku, Vi ... , huhu .... "

"Sabar, Yan. Sabar ... "

Yana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Tega banget dia, Vi. Tegaa ... "

Via bingung mau bilang apa, dielusnya pundak sahabatnya dan ikut merasakan perihnya luka Yana. Betapa tidak, dua tahun mereka pacaran dan akhirnya mantap melangkah untuk menikah dengan segala persiapan yang sangat rumit karena Reno yang seorang manager di perusahaan ekspor impor itu menginginkan pesta yang mewah dan mengesankan bagi para tamu. Tapi nyatanya Reno sendiri yang mengacaukannya.

Beberapa saat kemudian Yana mengangkat wajahnya dan menyeka air matanya dengan tisu. Terlihat Yana sudah bisa menguasai emosinya.

"Tapi nggak papa kok. Reno pasti bukan jodohku. Tuhan perlihatkan keburukannya sebelum aku menjadi istrinya."

Via lega mendengar keoptimisan dalam nada suara Yana. Via menggenggam erat tangan sahabatnya itu untuk menguatkan.

Via senyum sambil merapikan rambut Yana yang agak berantakan.

"Ya udah, kamu pulang aja gih. Siap-siap nyambut si Popaye."

"Baru besok dia pulangnya kok." Sahut Via malah nggak jadi buru-buru pulang karena tak tega meninggalkan Yana sendiri. "Mas Mirza masih di Jakarta, mampir tempat Pamannya katanya.

"Ya kalo gitu kamu ke salon dulu kek, mandi-mandi susu apa luluran gitu biar makin kinclong."

kedua sahabat itu tertawa renyah. Lega hati Via melihat Yana kembali ceria.

"Permisi, Mbak ... " Seorang pelayan datang membawakan dua matchalatte ice dan dua roti bakar selai kacang dengan aroma yang sungguh menggelitik para cacing di perut.

"Kamu yang pesan, Vi?" Tanya Yana.

"Nggak." Via menggeleng. "Mas, tapi kami nggak pesan ini. Mungkin salah orang." Lanjut Via pada pelayan.

"Ini dari Mas Danar, Mbak." Si pelayan lantas pergi setelah mengangguk sopan.

Via dan Yana saling pandang keheranan. Via celingukan mencari orang yang bernama Danar.

to be continue

2 #WELCOME HOME

Terdengar mobil memasuki halaman rumah, Via setengah berlari menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Jantungnya berirama tak karuan karena akan bertemu seseorang yang sudah lama ia rindukan.

Mirza meninggalkan Via untuk berlayar enam bulan lalu. Mirza bekerja sebagai tenaga ahli medis disebuah kapal pesiar mewah dari Inggris, DELTA CRUISE. Jangan ditanya berapa gajinya. Nggak percuma lima tahun jadi Popaye jauh dari keluarga, Mirza sudah dapat membeli dua rumah di sebuah perumahan yang ada di kota kabupaten sebagai investasi. Mirza juga sudah membangun sendiri rumah impiannya yang kini ditinggali Via. Tak ketinggalan dia juga merenovasi rumah dan toko kelontong milik ibunya yang kampungnya bersebelahan dengan rumah keluarga Via.

"Assalamualaikum." Mirza langsung mengucap salam begitu menginjakkan kaki di teras depan.

Via yang belum sempat menggapai handle pintu makin dag dig dug mendengar suara bariton itu.

"Mas Mirza ... " Senyum manis Via merekah di bibirnya yang mempesona seiring dengan pintu yang terbuka. "Wa alaikumussalam." Via menyongsong lelakinya dan lansung mencium tangannya.

Mirza balas mengecup kening Via hangat dan memeluk Via erat. "Gimana kabar kamu sayang? Sehat kan?"

Via mengangguk-angguk cepat, matanya mulai beekaca-kaca haru. Kerinduannya begitu besar, enam bulan bukanlah waktu yang sebentar. Meski mereka selalu intens komunikasi, tapi perjumpaan ragawi nyatanya lebih membangkitkan emosi.

"Kamu pasti kangen banget ya sama aku?" Mirza memeluk sekali lagi istrinya dan menciumi kedua pipi Via.

"E ehm!" Bu Endang yang sedari tadi berdiri di dekat pintu mobil menyadarkan Mirza dan Via kalau di situ ada orang lain selain mereka berdua.

"Ibu?" Via baru ngeh kalau ada ibu mertuanya. "Ada Om Jaka juga?" Via langsung menyalami mereka berdua.

"Harusnya Ehemnya nanti dulu, Yu. Lagi seru-serunya tadi itu." Seloroh Om Jaka.

"Bersambung, Om." Mirza tersenyum lebar sementara Via tersipu.

Lantas Via mengajak mereka masuk dan mengambil alih koper besar yang dibawa Om Jaka.

"Ibu mau minum apa? Om Jaka ngopi atau ngeteh?" Via menawari mereka minum.

"Nggak usah. Om tadi udah ngopi di rumah Yu Een."

"Iya sayang. Tadi aku sama Om mampir ke rumah ibu dulu. Om Jaka pingin istirahat sebentar katanya capek nyupir dari Jakarta nggak ada yang gantiin."

Via manggut-manggut.

"Sini sih, duduk sama suamimu yang ganteng ini." Mirza menarik pergelangan tangan Via untuk duduk didekatnya. "Katanya kangen .... ?" Goda Mirza sambil merangkul bahu Via.

Mirza emang gitu, dia nggak sungkan pamer keromantisan dan bermanja ria di depan keluarga.

Via agak canggung. "Itu ... aku mau masukin koper Mas Mirza dulu ke kamar." Via menunjuk koper besar yang teronggok tak jauh darinya.

"Nanti aja." Tahan Mirza.

"Sekalian aku siapin peralatan mandi Mas Mirza."

"Aku udah mandi di rumah ibu kok." Mirza tak mau melepaskan tangannya.

"Ibu bikinin teh anget, Vi." Ujar Bu Endang kemudian.

"Lho, kamu ini apa-apaan sih, Yu? Jarak rumahmu sama sini cuman deket kok masa haus?" Protes Om Jaka.

"Nggak papa, biar Via bikinin."

"Nggak usah." Sergah Om Jaka. "Mertuamu ini ada-ada aja. Udah, ayok pulang!" Ajak Om Jaka pada Bu Een yang tak lain kakak kandungnya sendiri.

Dengan berat hati Bu Een menuruti Om Jaka.

"Aku tinggal lho kalo nggak mau pulang sekarang." Seloroh Om Jaka.

"Nggak papa kalau Ibu mau di sini dulu. Nanti biar diantar Mas Mirza pulangnya." Ujar Via karena melihat raut keengganan di wajah ibu mertuanya.

"Apa kamu nggak liat sedari tadi si Mirza nyosor melulu udah kaya soang yang gak makan-makan tujuh bulan?" Bisik Om Jaka pada Bu Een sambil melirik ke arah Mirza.

"Enam bulan, Om." Ralat Mirza.

"Nah tuh!" Om Jaka bangkit mengambil kunci mobilnya. "Cepetan kita pulang aja. Katanya kamu pingin cepet punya cucu?"

Om Jaka emang suka sekali becanda. Meski usianya terpaut cukup jauh dengan Bu Een, tapi tak membuatnya sungkan pada kakaknya itu. gaya bicaranya suka ceplas ceplos.

Mirza dan Via cuma senyum-senyum. Om Jaka dan Bu Endang alias Yu Een pamit pulang.

"Sekarang tinggal kita berdua deh." Mirza mengerling genit seraya mendekatkan wajahnya.

"Mas itu pintunya belum ditutup!" Sergah Via membuat Mirza mengurungkan niatnya. Terpaksa dia pergi untuk menutup pintu tak lupa pula menguncinya.

Via mengambil koper menuju tangga.

"Mas, aku ke kamar dulu ya naruh koper."

Mirza mengejar Via dan kembali menggodanya. "Udah nggak sabar ya, mau cepet-cepet ke kamar aja?"

Via cemberut pura-pura marah. "Apaan sih, Mas?" Dicubitnya lengan kiri Mirza yang menonjol berotot kekar.

"Aduuuh ... " Mirza pura-pura kesakitan.

Aroma khas kamar tidur mereka yang berada di lantai dua langsung menyeruak begitu Via membuka pintu.

Mirza menghirup nafas dalam lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur busa yang empuk dan lebar.

"Akhirnya aku pulang juga ... " Gumamnya sambil memejamkan mata dan terlentang bebas di atas kasur itu.

"Mas nggak makan dulu?" Tawar Via sambil memasukkan baju Mirza yang masih bersih ke dalam lemari. "Aku udah masakin sayur lodeh kesukaan Mas lho." Lanjut Via tapi tanpa menoleh.

Mirza pun tak menyahut.

"Aku juga bikin peyek udang sama urap daun singkong." Sambung Via masih memilih-milih dan memisahkan perlengkapan Mirza di koper tanpa menoleh ke arah Mirza.

Mirza masih tak menyahut.

"Ibu pasti nggak masak kan, Mas? Ibu kan emang jarang masak, lebih praktis beli katanya." Via terus ngomong sendiri. "Kalo mau makan sekarang biar aku siapin ya?"

Masih tak ada jawaban, Via yang asyik sibuk tak menyadari kalo Mirza sedang memperhatikannya dari belakang.

Via berjinjit meletakkan beberapa kaos Mirza yang masih bersih di sekat lemari bagian atas.

Terlihat kaki Via yang jenjang dan mulus. Rambut lurus digulung ke atas, dress warna maroon membuat penampilan Via makin menggoda Mirza yang sudah tak sabaran.

Hup!

Mirza tau-tau memeluk Via dari belakang. Tak ayal Via memekik kaget tertahan.

"Yang mau makan itu siapa sih, sayang ...?" Mirza lebih erat lagi mendekap Via, bibirnya menempel di tengkuk Via dan terasa hangat. "Aku tuh maunya ... "

"Nanti dulu dong, Mas. Aku kan belum selesai." Potong Via seolah sudah paham maksud hati suaminya.

"Nanti aja nyeleseinnya. Ada yang lebih penting." Bisik Mirza sambil membalikkan tubuh Via dan matanya lurus menatap mata indah Via.

Via merasa lebih deg-degan dari beberapa waktu yang lalu ketika akan membuka pintu depan untuk Mirza.

"Kamu nggak lagi dapet kan, sayang ...?" Kedua tangan Mirza kini melingkar di pinggang ramping Via.

Via menggeleng pelan sambil senyum, lantas menunduk malu-malu. Mirza membelai lembut pipi istrinya dan mengangkat dagu Via, mendekatkan bibirnya dan ...

to be continue ☺️

3 #DAN RINDU PUN TERBAYAR LUNAS

Dan ...

Tluing ... tluing ... tluing ... wing ...

Tluing ... tluing ... tluing ... wing wing ...

Gawai Mirza tiba-tiba berbunyi nyaring dari atas kasur. Kontan saja itu membuat Mirza menghentikan niatannya dan menyambar gawai yang resek mengganggunya. Mirza sedikit kesal, tapi dam-diam Via bernafas lega.

Huuft! untung hpnya Mas Mirza bunyi, jadi masih bisa mengulur waktu deh.

Ini sebenarnya bukan hal baru bagi Via. Tiap kali Mirza pulang dari berlayar dan berniat menumpahkan semua hasrat terpendamnya, Via seperti canggung dan malu. Entah mengapa bisa seperti itu, apakah ini dialami juga oleh semua istri yang pernah ditinggal lama suaminya? Tapi itu biasanya hanya diawal-awal saja, selanjutnya sih lancar jaya.

"Ya halo, Bu." Sapa Mirza tetap tenang meski lagi kesal karena yang telpon adalah Bu Een.

"Za, kipas tangan ibu kayaknya ketinggalan di rumah kamu. Soalnya ini di rumah nggak ada." Papar Bu Een dari seberang.

"Iya, nanti Mirza cariin, Bu."

"Anterin sekalian kalo udah ketemu ya."

what? Ada-ada aja deh Ibu. Masa udah lagi on gini suruh nyariin kipas tangan? bisa mulai dari nol lagi nih kayak di SPBU.

"Za? Kamu denger ibu nggak sih?" Panggil Bu Een menyadarkan Mirza yang lagi ngudumel dalam hati.

"Iya nanti besok Mirza anterin, Bu." Jawab Mirza dengan suara yang disabar-sabarkan sambil melirik ke arah Via yang menghampirinya.

"Kok besok sih? sekarang dong!" Protes Bu Een. "Ibu udah kegerahan ini. Mana kipas di toko mati lagi. Ibu nggak tahan, Za. Panas banget ini ..." Ocehan Bu Een semakin menjadi.

Sama, Bu. Aku juga udah nggak tahan. Mirza membatin sambil matanya tak lepas dari Via yang kini duduk di sampingnya ingin tau apa yang dibicarakan suami dan ibu mertuanya.

"Ini kan udah sore, Bu. Mendingan Ibu tutup aja deh tokonya. Besok Mirza langsung pasang AC di toko ya?" Bujuk Mirza.

"Kok gitu sih?"

"Ya lagian ibu ada-ada aja. Mirza kan baru pulang, baru ketemu Via. Mirza mau istirahat dulu sambil lepas kangen sama Via. Besok Mirza pasti ke sana."

Nut ... nut ... nut ... nut ...

Sambungan terputus. Bu Een rupanya langsung mematikan ponselnya begitu tak berhasil menganggu Mirza.

Bu Een sejak dulu memang tak pernah sepenuh hati menerima Via sebagai menantunya. Bahkan sedari Mirza dan Via saling dekat sebelum mereka menikah.

Menurut Bu Een, Mirza bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dari Via. Padahal Via juga bukan berasal dari kalangan bawah-bawah amat. Dia sarjana dan berasal dari keluarga berpendidikan. Memang sih sawah yang dimiliki keluarga Via tak seluas sawah punya Bu Een. Karena tolok ukur kekayaan di desa memang rata-rata diukur dari luas sawah seseorang.

Tapi sebenarnya bukan itu alasan utama Bu Een. Dia lebih kepada merasa cemburu jika Mirza anak semata wayangnya nanti setelah menikah akan mengabaikannya. Apalagi dia kini seorang janda sejak suaminya meninggal sepuluh tahun lalu.

Via sendiri tak pernah berhenti bersikap baik dan manis pada Bu Een meski ibu mertuanya itu kadang suka nyinyir dan asal kalo ngomong. Baginya dengan tulus menyayangi Bu Een seperti ibu kandungnya sendiri akan membuat Mirza bahagia dan makin mencintainya.

"Kok mati?" Tanya Via.

Mirza cuman menggedikkan bahunya. Mirza menonaktifkan ponselnya dan merasa inilah saatnya untuk memulainya lagi dari awal.

Via masih dengan senyumnya yang malu-malu, dan itu makin membuat Mirza gemas.

Disentuhnya pipi Via dengan lembut coba memantikkan gairah Via yang jantungnya kini kembali bertalu kencang. Saat-saat seperti ini rasanya hampir sama seperti malam pertama bagi Via. Mendebarkan.

Mirza merebahkan tubuh Via perlahan. Posisi mereka kini saling berhadapan. Wajah mereka sangat dekat. Ahh, Mirza terlihat makin ganteng dan lebih bersih. Ternyata Via baru menyadarinya.

Aroma wangi maskulin Mirza tercium nyata. Via memejamkan matanya seolah pasrah dan tak sanggup menatap segala kharisma wajah yang ada di hadapannya. Via pun sudah mulai relax dan menikmati sentuhan demi sentuhan suaminya. Baru saja Mirza akan mendaratkan bibirnya pada bibir istrinya yang begitu menggoda itu, tiba-tiba ...

Tlolet ... tlolet ... tlolet ... ting

Tlolet ... tlolet ... tlolet ... ting

kini ponsel Via yang berbunyi nyaring berulang kali dari atas dipan berukir Jepara.

Mereka berdua terkesiap.

Ya ampun! Siapa lagi sih? Mirza membatin kesal.

Via segera bangkit meraih ponselnya.

"Riri, Mas." Ucap Via memberi tahu. "Video call dia."

Via segera merapikan rambut dan kancing atas dressnya yang terbuka.

"Ya, Ri. Ada apa?" Sapa Via setelah yakin penampilannya beres.

"Katanya Mas Mirza udah pulang ya, Mbak?" Tanya Riri adik Via dengan wajah senang.

"Iya, baru datang tadi diantar Om Jaka."

"Oh. Tumben nggak naik kereta?"

"Katanya Om Jaka mau sekalian ada perlu."

"Oh, gitu."

Riri terus saja berceloteh. Anak ke tiga Bu Suharni ini memang lebih cerewet dari Via maupun Tia kakak pertamanya.

"Eh, sekarang mana Mas Mirzanya, Mbak? Ibu mau ngomong katanya." Riri mengalihkan layar ponsel pada ibunya yang duduk di sebelahnya.

"Hus! Kok bawa-bawa Ibu sih? Kan tadi kamu yang mau telpon?" Protes Bu Suharni.

Via melirik suaminya yang tampak masygul. Via mengerti benar betapa api yang tadi sudah berkobar kini harus redup lagi.

"Mas Mirza lagi tidur, Ri. Kecapekan perjalan dari Jakarta belum sempat istirahat soalnya tadi mampir rumah Ibu dulu." Via terpaksa berbohong.

"Tuh kan, udah matiin hpnya! Ganggu orang istirahat aja." Omel Bu Suharni.

"Nanti main sini ya, Mbak? Aku dapet oleh-oleh kan?" Rajuk Riri.

"Dapet. Semuanya kebagian kok. Besok nanti sama Mas Mirza ke sana."

"Asyiik. Yes!" Riri bersorak gembira.

Riri memang paling manja. Meski sudah lulus SMA tapi kadang masih suka kekanak-kanakan.

"Ya udah deh. Salam aja buat Mas Mirza, Mbak. Jangan lupa besok ke sini sambil bawa oleh-oleh yang banyak."

Klik!

Riri mengakhiri percakapannya. Mirza pun lega bukan main. Di raihnya tubuh Via untuk kembali rebah di sampingnya.

"Tunggu dulu, Mas." Ujar Via.

"Apa lagi sih, sayang? Kamu nggak liat dari tadi aku udah nahan ..."

"Aku matiin dulu hpku." Via lantas menekan mode non aktif ponsel.

Lalu tanpa aba-aba Mirza langsung melancarkan aksinya. Mirza nggak mau gagal lagi kali ini. Gerakannya kini lebih agresif, mungkin dia khawatir ada yang bakal mengganggunya lagi.

Selanjutnya mereka sudah sama-sama tak bisa membendung lagi segala apa yang ada pada diri mereka masing-masing. "Pertarungan" itu memang sangat sengit. Tempat tidur yang tadinya rapi kini morat marit. Sprei jadi selimut, selimut jadi sprei. Bantal dan guling berjatuhan. Ranjang mereka benar-benar telah porak poranda.

Lalu setelah lunas segala kerinduan itu terbayarkan, mereka saling melempar senyuman.

to be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!