Negeri Amarasana adalah negeri yang terbuat dari bisikan angin dan nyanyian sungai. Ia terbentang dari hutan-hutan Kasta yang hijau gelap hingga tebing-tebing Gahara yang pucat membentang ke lautan. Di tengahnya, terdapat Lembah Seruni, tempat Ghoki tumbuh besar. Ghoki hanyalah seorang anak laki-laki berusia tujuh belas tahun, kurus, dengan mata yang selalu terlihat seperti sedang memandang cakrawala yang jauh, seolah mencari sesuatu yang tidak pernah ia lihat.
Setiap pagi, sebelum embun sempat mengering dari rumput, Ghoki sudah berada di tepi Sungai Limana, yang membelah lembah. Ia bukan memancing untuk kesenangan, tetapi untuk bekal hidupnya dan neneknya, yang tangannya sudah terlalu lemah untuk memegang jaring. Bagi Ghoki, memancing adalah ritme; ritme lemparan senar pancing sederhana, ritme tarikan halus, dan ritme kesabaran yang tak pernah habis.
Namun, hari itu, suasana terasa berbeda.
Pagi itu, langit Amarasana tertutup selimut awan kelabu yang tebal, menjanjikan badai yang tak terhindarkan. Bahkan Lembah Seruni, yang biasanya diliputi ketenangan, terasa gelisah. Ikan-ikan Limana bersembunyi jauh di dasar sungai. Ghoki sudah mencoba di tiga titik pancing berbeda; semuanya sia-sia. Hanya ada air keruh dan keheningan yang mencekam.
"Nek akan lapar jika aku pulang tangan kosong," gumamnya, menarik senarnya untuk kesekian kali. Senar pancingnya hanyalah senar biasa, dengan kail besi yang sedikit berkarat—warisan dari mendiang ayahnya.
Tiba-tiba, dari atas, terdengar gemuruh yang jauh lebih keras daripada badai yang akan datang. Itu bukan suara guntur. Itu seperti suara logam raksasa yang bergesekan, atau gunung-gunung yang saling bertumbukan di udara. Langit kelabu di atasnya mulai retak, bukan oleh kilat, melainkan oleh sebuah cahaya putih yang menyilaukan, seperti ribuan bintang yang tumpah sekaligus.
Ghoki harus menundukkan kepala, melindungi mata. Panas dari cahaya itu terasa menjalar ke kulitnya, meskipun jaraknya masih sangat tinggi. Ini bukan fenomena alam biasa. Bahkan para tetua di Lembah Seruni tidak pernah menceritakan langit yang robek seperti ini.
Dari celah cahaya itu, sesuatu mulai jatuh.
Benda itu mulanya hanya terlihat seperti titik hitam yang sangat kecil, meluncur turun dengan kecepatan yang mengerikan, meninggalkan jejak asap tipis yang berpendar keemasan. Ghoki berdiri mematung, jantungnya berdebar kencang. Ia ingin lari, namun kakinya seolah terpaku ke tanah oleh rasa penasaran dan takut yang membeku.
Benda itu jatuh semakin dekat, semakin besar. Ghoki baru menyadari bahwa bentuknya aneh. Itu bukan batu, bukan potongan kayu dari angkasa. Semakin dekat, ia melihatnya dengan jelas—sebuah kail pancing.
Mustahil.
Bagaimana mungkin kail pancing bisa jatuh dari langit, dari celah cahaya yang membelah dimensi?
Kail itu mendarat hanya beberapa meter di depannya, tepat di bibir Sungai Limana. Bukan dengan suara keras yang menghancurkan tanah, tetapi dengan suara desisan lembut, seolah air yang disiramkan ke batu panas. Saat Ghoki memberanikan diri mendekat, ia melihat bahwa kail itu bukanlah kail biasa.
Gagang pancingnya terbuat dari materi yang tampak seperti kayu petir yang membatu—permukaannya gelap pekat, namun di dalamnya berdenyut cahaya biru seperti bintang yang terperangkap. Senarnya, alih-alih benang biasa, adalah untaian tipis cahaya perak, memancarkan aroma seperti hujan di padang bunga. Dan kailnya—kailnya sendiri berukuran tidak lebih dari ibu jari Ghoki, terbuat dari logam murni yang tidak dikenal di Amarasana, berkilauan seperti salju abadi, dengan ukiran yang menyerupai simbol-simbol kuno yang Ghoki yakini bukan bahasa manusia.
Saat Ghoki mengulurkan tangan ragu-ragu untuk menyentuhnya, ia merasakan sebuah panggilan. Bukan suara, melainkan getaran dalam tulang rusuknya, sebuah janji akan kekuatan yang tak terlukiskan, dan bahaya yang menyertainya.
Ia mengabaikan akal sehatnya. Ia memegang gagang pancing itu.
Saat jari-jarinya yang kasar menyentuh permukaan gagang yang dingin dan lembut, cahaya biru di dalamnya meledak, namun hanya dalam batas pancing itu saja. Gelombang kehangatan menjalar dari tangannya, menyebar ke seluruh tubuhnya, membersihkan rasa letih dan dingin yang selalu ia rasakan. Ghoki merasakan visinya menjadi lebih tajam, seolah ia bisa melihat menembus kabut waktu.
Dalam sekejap mata, ia mendengar bisikan, suara yang lembut seperti air, namun bergema di inti jiwanya: “Engkau telah menerima takdir. Takdir yang ditenun oleh benang-benang langit.”
Ghoki menarik napas. Ia tidak tahu apa itu, dari mana asalnya, atau mengapa ia yang terpilih. Yang ia tahu, pancing biasa yang ia pegang setiap hari terasa dingin dan tak bernyawa, sementara pancing ini—pancing dari langit ini—terasa seperti bagian dari dirinya yang hilang.
Ia menggenggamnya erat-erat. Badai di langit tiba-tiba mereda, awan kelabu tersingkap, dan matahari menembus, menyinari kail ajaib itu dengan cahaya keemasan. Ghoki tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Di negeri Amarasana yang tenang, Ghoki si anak pemancing, baru saja menarik jaring yang menangkap takdir. Pertanyaannya sekarang, takdir macam apa yang baru saja ia panggil dari langit?
Ghoki berbalik, meninggalkan tempat jatuhnya kail. Ia harus pulang, ia harus makan, dan ia harus mulai memahami apa yang ada di tangannya, sebelum kekuatan dari langit ini menariknya ke dalam arus yang tak bisa ia kendalikan. Babak baru di Amarasana baru saja dimulai.
Ghoki berjalan cepat di sepanjang tepi Limana, cengkeramannya pada Aether-Kail terasa begitu nyata. Pancing ayahnya yang biasa ia selipkan di ikat pinggangnya, kini terasa ringan dan hambar. Ia menyembunyikan Aether-Kail di balik jubahnya yang lusuh. Ia harus merahasiakan ini—setidaknya dari mata-mata desa. Di Amarasana, keajaiban adalah pedang bermata dua; ia bisa memberimu kekuasaan atau menyeretmu ke tiang hukuman.
Pikirannya dipenuhi oleh bisikan yang ia dengar: "Engkau telah menerima takdir. Takdir yang ditenun oleh benang-benang langit.” Ia mencoba mengayunkan kail itu, tetapi takut. Kail itu memancarkan aura yang begitu kuat hingga rumput di sekitarnya tampak sedikit bersinar.
Ketika Ghoki tiba di gubuk kecilnya yang terbuat dari lumpur dan atap jerami, Nenek Mina sedang menunggunya di ambang pintu. Nenek Mina adalah wanita tua yang keras kepala, dengan mata yang tajam meskipun usia telah mengaburkan penglihatannya. Ia melihat Ghoki, dan matanya yang keriput melebar.
"Ghoki," suaranya serak dan kuat, "Kamu terlambat. Dan... apa itu?"
Ghoki berusaha terlihat tenang. "Ini hanya hari yang buruk, Nek. Ikannya tak mau muncul. Dan... ini pancing tua yang kutemukan di semak-semak. Mungkin sisa milik Ayah."
Nenek Mina tidak bergeming. Ia melangkah maju, tangannya yang kurus meraih ke arah jubah Ghoki. Insting Ghoki berteriak, dan ia mundur selangkah. Itu adalah pertama kalinya ia bersikap defensif terhadap Neneknya.
"Jangan berbohong padaku, Ghoki Limana," desis Nenek Mina. Nama belakangnya disebut dengan penekanan yang dingin. "Mataku mungkin lemah, tapi aku merasakan keajaiban di udara. Keajaiban yang datang dari Langit Tinggi, bukan dari lumpur Limana."
Ghoki terdiam, terkejut. Bagaimana Neneknya tahu?
Nenek Mina menariknya ke dalam gubuk dan menutup pintu kayu yang rapuh. "Aku tahu asalmu, Ghoki. Ayahmu... dia adalah seorang Penjaga Limana. Keluarga kita ditugaskan untuk menjaga keseimbangan antara arus sungai dan arus langit. Ketika dia pergi, dia pergi mencari sesuatu yang sudah lama hilang... dan kelihatannya sesuatu itu yang kini menemukanmu."
Ghoki merasa dunia yang selama ini ia pahami sebagai gubuk, sungai, dan memancing, hancur berkeping-keping. "Penjaga Limana? Apa maksud Nenek?"
Nenek Mina menghela napas panjang. "Keluarga kita adalah keturunan terakhir yang bisa merasakan Arus Bintang, energi halus yang menghubungkan Amarasana ke alam kosmik. Ayahmu percaya ada alat kuno yang dapat menyalurkan arus itu. Alat yang sekarang ada di tanganmu."
Ghoki mengeluarkan Aether-Kail. Dalam keheningan gubuk, kail itu tampak lebih megah, lebih berbahaya. Cahaya bintang biru berdenyut lembut.
"Ini disebut Aether-Kail," kata Nenek Mina, suaranya dipenuhi rasa hormat sekaligus ketakutan. "Sebuah alat memancing yang dibuat oleh para Deva di zaman kuno. Ia tidak menangkap ikan, Ghoki. Ia menangkap Esensi."
"Esensi?"
"Ya. Kekuatan, bakat, ingatan, bahkan takdir. Selama ribuan tahun, kail ini telah menarik benang takdir dari berbagai dimensi. Dan kini, ia memilihmu." Nenek Mina menatapnya serius. "Tapi, kekuatan besar selalu menarik perhatian gelap."
Seolah-olah untuk menguji kata-kata Neneknya, sebuah jeritan tajam membelah keheningan Lembah Seruni. Itu adalah teriakan ketakutan.
Ghoki dan Nenek Mina bergegas keluar. Di ujung lembah, sebuah bayangan hitam besar sedang melayang di atas ladang gandum. Bayangan itu berbentuk seperti burung hantu raksasa, tetapi terbuat dari asap pekat dan mata merah menyala. Itu adalah Skreecher, makhluk malam yang sering memburu Esensi kegembiraan dari ternak dan tanaman. Biasanya mereka hanya muncul di tengah malam, tetapi Aether-Kail yang baru diaktifkan tampaknya telah memanggilnya lebih cepat.
Skreecher itu sedang menarik Esensi dari ladang milik Pak Tua Kael. Tanaman gandum berubah menjadi abu-abu dan mati seketika.
"Dia datang untuk kekuatan kailmu, Ghoki! Kekuatanmu menariknya!" teriak Nenek Mina. "Kamu harus mengusirnya, tunjukkan pada Aether-Kail bahwa kamu layak!"
Ghoki gemetar, tetapi amarah melihat kerusakan itu lebih kuat dari ketakutannya. Ia meremas gagang Aether-Kail. Pancing ini menangkap Esensi.
Ghoki berlari menuju Skreecher. Saat ia semakin dekat, ia mengayunkan Aether-Kail di udara dengan canggung, seperti yang biasa ia lakukan dengan pancing lamanya.
Benang Takdir perak melesat keluar, memanjang dengan kecepatan tak terbayangkan. Ghoki tidak mengarahkan benang itu, tetapi benang itu tahu ke mana harus pergi.
Ting!
Benang itu menghantam Skreecher, bukan ke tubuhnya yang berasap, melainkan ke jantung cahayanya yang berwarna merah. Detik itu juga, Skreecher berteriak kesakitan. Ghoki menarik kailnya sekuat tenaga. Rasanya seperti menarik batu karang.
"Tarik Esensinya! Tarik sumber kekuatannya!" seru Nenek Mina dari jauh.
Ghoki memejamkan mata, memfokuskan semua energinya pada tarikan itu. Ia tidak lagi menarik benang, tetapi menarik Arus Bintang itu sendiri. Tiba-tiba, ia merasakan tarikan yang jauh lebih ringan, dan sebuah bola kecil cahaya hitam, seukuran apel, melayang dari Skreecher dan mendarat di ujung Aether-Kail.
Skreecher itu mengeluarkan raungan terakhir yang lemah, dan tubuh berasapnya hancur menjadi debu. Ladang gandum yang layu perlahan mulai mendapatkan kembali warna hijaunya.
Ghoki terengah-engah. Ia menatap bola cahaya hitam yang bergetar di ujung kail. Itu adalah Esensi Malam yang telah dicuri Skreecher. Nenek Mina berlari menghampirinya, wajahnya pucat.
"Kamu berhasil, Ghoki! Ujian pertamamu..." Nenek Mina menyentuh bahunya. "Tapi ingat, setiap tarikan memiliki konsekuensi. Kamu baru saja menarik perhatian yang lebih besar dari monster malam biasa."
Ghoki menelan ludah, menatap Aether-Kail di tangannya. Kekuatan ini... terlalu besar. Babak baru dalam hidupnya baru saja benar-benar dimulai, dan ia sudah berada di medan perang yang tak pernah ia minta.
Pagi-pagi setelah insiden Skreecher, Ghoki tidak kembali ke Sungai Limana. Ia menghabiskan sisa hari itu dan sepanjang malam di belakang gubuk, berusaha memahami benda yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Nenek Mina mengamatinya dari kejauhan, sesekali membawakan teh herbal yang katanya "menstabilkan Arus Bintang."
Ghoki merasa lelah bukan karena fisik, melainkan karena jiwanya terus-menerus merasakan denyutan Aether-Kail. Ia kini bisa melihat hal-hal yang tidak ia lihat sebelumnya: aura samar yang mengelilingi setiap benda—hijau muda pada tanaman, kuning redup pada tanah, dan biru cerah yang berdenyut dari dalam kayu Gagang Petir-Biru.
"Nek, benda ini... ia membuatku merasa seperti aku melihat melalui kabut tebal sepanjang hidupku, dan sekarang kabut itu hilang," ujar Ghoki saat Nenek Mina mendekat.
Nenek Mina tersenyum samar. "Itu adalah Visio-Sonar yang kubilang. Kail itu menyaring kebisingan dunia dan membiarkanmu melihat Esensi yang murni. Gunakan itu untuk hal-hal kecil dulu, Ghoki. Jika kamu langsung mencoba menangkap naga, kail itu akan menangkap jiwamu sebagai gantinya."
Mendapat izin untuk "mengait hal kecil," Ghoki memutuskan untuk mencoba menguasai Aether-Kail dalam kesehariannya di Lembah Seruni, jauh dari mata-mata desa.
Uji Coba 1: Memancing Ikan yang Hilang
Masalah terbesar Ghoki adalah mencari ikan untuk makan. Ia kembali ke tepi Limana, tempat ia biasa memancing. Ia mengayunkan kail lamanya dan tidak merasakan apa-apa. Ia kemudian menggenggam Aether-Kail.
Menggunakan Visio-Sonar, Ghoki langsung merasakan pola energi di bawah air. Ia tidak lagi melihat permukaan sungai yang keruh, melainkan ia merasakan lokasi pasti dari setiap ikan: Esensi Kehidupan mereka.
Ia memilih satu titik kecil di tengah pusaran air tempat seekor Ikan Sungai Limana besar bersembunyi. Ghoki melemparkan Aether-Kail tanpa umpan. Benang Takdir perak yang memanjang menembus air tanpa menghasilkan riak, seolah itu adalah ilusi cahaya. Benang itu tidak melilit ikan, tetapi menyentuh Esensi Rasa Lapar ikan tersebut, memanggilnya keluar.
Tiba-tiba, tarikan halus namun kuat terjadi. Ghoki menarik. Ikan besar itu melompat ke udara, bukan karena takut, tetapi karena tertarik oleh panggilan yang tak bisa ditolaknya.
"Luar biasa," bisik Ghoki. Ia tidak melukai ikan itu. Ia hanya menariknya keluar. Memancing tidak lagi membutuhkan kesabaran yang tak terbatas, tetapi membutuhkan fokus pada niat.
Uji Coba 2: Menarik Keberuntungan
Beberapa hari kemudian, Ghoki menghadapi masalah lain. Kayu bakar di gubuknya habis. Biasanya ia menghabiskan waktu berjam-jam di Hutan Kasta mencari kayu kering yang jatuh.
Di dalam hutan yang gelap, Ghoki kembali mengaktifkan Aether-Kail. Ia tidak mencari kayu yang terlihat, tetapi mencari Esensi Kering dan Hangat dari kayu yang siap dibakar.
Ghoki mengarahkan kailnya ke semak-semak yang rapat. "Aku menarik... esensi dari kayu bakar yang paling sempurna untuk malam ini," gumamnya, menarik Benang Takdir.
Ia merasakan tarikan ringan. Dalam beberapa detik, sebatang kayu jati tua yang jatuh dan sudah mengering dengan sempurna, meluncur keluar dari rimbunan semak, tepat ke kakinya. Seolah-olah kayu itu sendiri ingin ditemukan.
Ini bukan sihir teleportasi. Ini adalah sihir Panggilan Niat. Kail itu hanya menarik benda yang paling sesuai dengan esensi yang Ghoki inginkan. Ia mengulangi proses itu lima kali, dan dalam waktu sepuluh menit, ia sudah memiliki tumpukan kayu bakar terbaik—sesuatu yang biasanya membutuhkan setengah hari kerja keras.
Uji Coba 3: Mengait Emosi
Suatu sore, Nenek Mina sakit. Ia menderita demam yang membuat tidurnya gelisah. Ghoki merasa tidak berdaya. Tabib desa tinggal terlalu jauh, dan ia tidak punya uang untuk membelinya obat.
Ia ingat kata-kata Neneknya: Kail ini menangkap Esensi... bahkan konsep.
Dengan hati-hati, Ghoki berdiri di samping tempat tidur Nenek Mina. Ia mengaktifkan Aether-Kail, mengarahkan ujung kail ke pelipis Neneknya yang berkeringat.
"Aku... menarik Esensi rasa sakit dan gelisah," bisik Ghoki dengan niat murni.
Ia menarik dengan lembut. Kali ini, ia merasakan sensasi aneh, seolah ia menyentuh jaring laba-laba yang dingin. Dari Neneknya, ia menarik sebuah kabut tipis kehitaman yang langsung larut ke udara saat mencapai kail. Itu adalah Esensi Ketidaknyamanan yang murni.
Begitu kabut itu hilang, Nenek Mina terdiam. Kerutan di wajahnya mereda, dan ia mulai bernapas dengan tenang, memasuki tidur nyenyak yang damai.
Ghoki merasa lega, namun pada saat yang sama, ia merasakan sedikit kelelahan—harga kecil untuk menggunakan kekuatannya.
Konsekuensi Kecil
Kekuatan baru ini mulai mengubah Ghoki. Ia tidak lagi harus berjuang keras untuk hal-hal sederhana. Dalam beberapa minggu, gubuknya memiliki kayu bakar terbaik, mereka makan ikan terbesar di Limana, dan Nenek Mina tidak pernah merasa senyaman ini.
Namun, keberhasilan kecil ini menarik perhatian.
Suatu sore, saat Ghoki membawa seikat kayu bakar yang terlalu sempurna untuk ukuran anak kurus sepertinya, ia berpapasan dengan Tuan Karu, pengurus gudang desa yang selalu mencurigainya.
"Kayu yang bagus, Ghoki. Terlalu bagus untuk anak pemalas sepertimu," cibir Tuan Karu, matanya menyipit curiga. "Sejak kapan kamu begitu beruntung?"
"Hanya... titik yang bagus, Tuan," jawab Ghoki gugup, menutupi Aether-Kail di balik jubahnya.
"Beruntung, ya? Lembah Seruni tidak pernah beruntung. Semuanya adalah kerja keras atau... sihir gelap." Tuan Karu tidak melanjutkan, tetapi tatapan dinginnya melekat pada Ghoki.
Saat Ghoki berjalan pergi, ia merasakan denyutan Aether-Kail yang lebih kuat dari biasanya. Visio-Sonar-nya merasakan gelombang Esensi Kecurigaan dan Kedengkian yang kuat mengarah padanya dari Tuan Karu.
Ghoki menyadari bahwa ia tidak hanya memancing ikan atau kayu, ia kini memancing emosi dan kecurigaan manusia. Semakin ia menggunakan kail itu, semakin ia menarik perhatian—bukan hanya dari makhluk malam, tetapi juga dari tetangganya sendiri. Ia harus lebih hati-hati, karena di Amarasana, rahasia adalah mata uang yang paling berharga dan berbahaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!