NovelToon NovelToon

Kau Beri Madu, Maka Ku Berikan Racun.

Permintaan Mertua

"Besok jam berapa bisanya ketemu sama temen mama?" ucapan Mama membaur dengan denting kecil dari alat makan yang saling beradu.

"Untuk apa, Ma? Arkan sibuk, sekretarisku aja belum ada penggantinya yang cocok." Arkan mengernyitkan dahi tidak paham.

"Untuk apalagi kalau bukan untuk ketemu calon istrimu." Suara itu bagai petir di tengah terik matahari.

"Ma_af maksud Mama apa ya?" potongan daging sapi panggang yang lembut itu terasa menyangkut di tenggorokan Nadia.

Air mukanya terasa panas dadanya seperti ditusuk berbagai benda tajam, nafasnya berubah sesak. Ia tidak menyangka di umur pernikahannya yang sudah memasuki usia kesebelas tahun itu akhirnya sampai juga di ujung tanduk.

Bagaimana lagi ia harus menyikapi semua ini, jika keluarga, kekuatan dari dalam rumah sendiri yang mengatakan kalimat sakral itu.

Sebenarnya Nadia sudah susah payah untuk bersikap legowo atas apa yang didengarnya selama ini. Tentang prasangka-prasangka buruk yang orang katakan tentang pernikahannya. Sudah cukup baginya merawat satu anak adopsi dari mendiang adik iparnya 5 tahun lalu.

"Kamu kan juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. Tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu." lanjut Mama tanpa peduli pertanyaan Nadia.

"Ma?!" Arkan meletakkan garpu dengan penuh tekanan, "Mama keterlaluan ya, ada Nadia lho Ma, disini. Mama anggap Nadia apa?" Arkan menghembuskan nafasnya kasar. Telinganya memerah menahan amarah.

Sementara Nadia sudah berlinang air mata, tatapannya yang tiba-tiba send tertuju pada lantai yang dingin. Tubuhnya mematung kaku. Hingga tak cukup mampu untuk beranjak dari kursi yang terasa penuh duri, sudah mirip dengan tempat penghakiman.

"Sebelas tahun, loh. Bukan waktu singkat, Arkan."

"Kami sehat, hanya belum rezeki aja. Lagian Bilqis juga mengalir darah Mama."

"Maka darinya, kalau kalian berdua memang sehat, harusnya sudah bisa dong. Kali aja ini istrinya yang nggak cocok?" Sindir Mama sedikit melirik pada perempuan yang menunduk di meja seberangnya.

"Keterlaluan, Ma!" dengan marah Arkan berdiri dari duduknya, tangannya meraih jemari istrinya itu dan melangkah menuju tangga, menuju kamar utamanya.

Nadia melepaskan genggaman erat lelakinya. Perlahan matanya yang basah tersenyum getir mengikuti gerak bibirnya. Ia raih lengan atas suaminya yang kokoh.

"Mas, maafin aku, yah..."

"Bukan salahmu, bukan salah kita. Memang belum rezeki. Kita sudah ada Bilqis. Hakikat pernikahan bagi aku itu, bukan yang harus ini itu, asal kita berdua bahagia saja sudah cukup. Maafin Mama ya, harusnya dia ngga begitu sama kamu." Arkan menenangkan belahan jiwanya.

Arkan mendekap lembut sosok yang jauh lebih kurus dari beberapa bulan lalu. Perempuan sederhana namun berpendidikan tinggi yang ia kenal sejak masa menuntut ilmu di perguruan tinggi lima belas tahun lalu.

Ia mengecupi kepala istrinya yang terbungkus kain jilbab hijau pastel itu. Meskipun di dalam rumah selain didalam kamar, Nadia tidak pernah melepas jilbabnya. Tanpa diminta Air matanya pun ikut berlinang.

"Apa kita coba tes lagi aja?" Nadia mengurai pelukan hangat mereka.

"Udah, nggak perlu. Aku kasian lihat kamu ditusuk-tusuk jarum seperti dulu lagi, yang terakhir tes aja belum kita ambil kan?"

Nadia mengangguk.

Mereka sudah dua kali melakukan tes kesuburan dan hasilnya sama mereka tidak ada masalah sama sekali, hingga akhirnya memutuskan untuk tes yang ke tiga alias yang terakhir untuk tidak mengambilnya, mereka merasa itu sia-sia juga tidak baik untuk kesehatan mental.

Bukankah yang lebih pentin dari proses program memilik keturunan adalah mental sehat terlebih dahulu?

"Nggak usah penasaran, hasilnya sama. Kita berdua pasti sehat. Kita cuma perlu usaha lagi lebih keras, yuk!" tanpa aba-aba Arkan langsung menggendong perempuannya untuk ditidurkan di ranjang besarnya dengan maksud lain tentunya.

"Pokoknya ngga usah penasaran, kamu sehat aku sehat... Mmph" belum selesai Arkan mengatakan apa kelanjutan kalimatnya Nadia sudah lebih dulu meraih bibir seksi pangerannya itu. Laki-laki yang tidak langsung membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi laki-laki yang berusaha agar ia bisa jatuh cinta pada pandangan-pandangan selanjutnya. Lelaki yang kini jadi rumahnya.

Indra pengecap mereka saling menari menyesap nikmat satu sama lain. Penyatuan kenikmatan mereka telah mencapai puncaknya, saat tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.

"Ma... Bilqis kebangun. Temenin tidur."

"Bilqis ngga, boleh. Mama sama papa sedang capek jadi ngga boleh diganggu, yuk Mba Ayu temenin sambil dibacain dongeng." susul suara seseorang lagi dari luar pintu.

Ayu nama perempuan bersuara lembut itu, perempuan sederhana baru lulus SMA dari desa tempat ibu Nadia tinggal. Dia dititipkan oleh keluarganya untuk mencari pekerjaan di kota ikut dengan Nadia. Bekerja apapun asal halal katanya.

Beruntungnya, sekretaris Arkan baru saja mengundurkan diri, jadilah Ayu yang akan dimasukkan untuk menggantikan posisi itu rencana Nadia.

Nadia bergegas membuka pintu setelah membereskan diri dan memakai jilbab kaosnya.

"Mau dibacain dongeng sama Mama, Sayang?"

Ayu yang merasa bersalah kemudian mengangkat kepalanya untuk meminta maaf. Namun, pupil matanya berubah membesar akibat apa yang tampak dari celah pintu, gagahnya punggung polos milik Arkan yang membelakangi mereka menuju kamar mandi di dalam sana.

Perempuan Polos Dari Desa

Sekilas siapapun akan mengira melihat gadis polos dan tampak penurut jika melihat Ayu saat ini. Padahal dibalik kepang dua rambutnya, ada masa lalu yang tak bisa dicuci bersih begitu saja. Bau alkohol, lampu temaram serta suara lelaki yang memanggil namanya dengan mesra.

Ia pergi diam-diam dari kampung halamannya berdalih untuk ikut keluarga Nadia. Nyatanya ia sedang dalam masa pencarian para debt collector untuk menagih utangnya selama menjadi pemandu karaoke di kota kabupaten dulu.

Ayahnya yang kabur, meninggalkan setumpuk kewajiban, memaksakannya harus tinggal seorang diri dengan ibunya yang sakit-sakitan dengan jerat hutang. Semasa SMA ia menghabiskan waktunya bukan hanya dengan belajar.

Melainkan dengan diam-diam bekerja di tempat karaoke remang-remang, bukan lain awalnya hanya berniat untuk membantu meringankan beban orangtuanya yang setiap hari didatangi para penagih. Hingga lingkungan kotor mempengaruhi gaya hidupnya, bukan hanya menemani bernyanyi, ia sudah mulai 'dibungkus' sana-sini.

Mengandalkan tubuh molek dan senyum indahnya untuk membius para lelaki hidung belang. Memaksakan diri agar terlihat mentereng, Ayu memberanikan dirinya untuk berhutang pada rentenir seperti Ayahnya dulu.

Wajar saja bila kulitnya bisa semulus salju, dia bukan gadis desa biasa. Wajahnya sudah biasa dipoles sedemikian rupa dengan berbagai krim-krim kecantikan. Bibir mungilnya yang tampak merah alami itu juga hasil dari sulam dari salon abal-abal kabupaten.

"Bajumu ada yang lain ngga, Yu?" selidik Nadia saat mereka sedang bersama di dapur.

"Maaf, Bu. Kalau yang lebih bagus ngga ada. Saya cuma bawa tiga setelan rok dan beberapa daster aja bu," Ayu menunjuk daster bunga-bunga sebetis yang dipakainya.

Sedikit longgar, agar tidak memperlihatkan bentuk asli tubuhnya.

"Begini," ujar Nadia, "semalem kamu udah saya bilangin ke mas Arkan, coba dulu kamu bekerja di kantor. Kebetulan, sekretaris lamanya baru resign, mau nikah katanya. Nanti kalau cocok lanjutin, kalau ngga cocok ya kamu kerja di cafe saya." panjang lebar Nadia menjelaskan kemauannya.

"T-tapi bu, saya kurang berpengalaman bekerja di kantor. Pakaian saya juga..."

"Beli aja dulu nanti," potong suara dibelakang, "biar dianter sama istriku sebelum berangkat ke kafe. Nanti anterin ke kantor ya, Sayang?" Suara bariton Arkan mendirikan bulu kuduk Ayu. Pipinya memanas tanpa sebab. Pikirannya mengacau mengambang ke kejadian tadi malam.

Seusai melihat bahu bidang majikan lelakinya. Ia tidak lagi bisa tidur nyenyak, sebelum akhirnya terlelap dengan mimpi yang tidak senonoh dan mewajibkannya keramas pagi tadi.

"Ah iya. Bisa, sayang." Nadia menyerahkan kotak bekal buatannya untuk sang suami.

"Aku berangkat dulu. Bilqis udah siap dimobil kan?" Arkan memeluk pinggang istrinya itu di hadapan Ayu.

Nadia hanya mengangguk lalu menerima kecupan singkat dan manis di bibirnya. Ayu yang tidak membalikkan badan itu hanya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan hasrat yang bergejolak di batinnya.

Ia telah terperangkap pada pesona majikannya, menumbuhkan niat terselubung untuk menanam duri pada rumah tangga orang yang berbaik hati menolongnya.

Ia tahu betul kapan harus bicara lembut, dan kapan hanya cukup menunduk manja. Godaannya bukan dengan kata, tapi dengan tatapan yang dibuat seolah tak sengaja.

Prank!!

Ayu sengaja menjatuhkan cangkir dengan kopi panas didalamnya untuk menarik perhatian Arkan. Sedangkan yang menjadi target hanya melirik dingin sekilas, lalu kembali berpaling pada dokumen yang harus dia setujui.

Beling keramik itu coba diambilnya perlahan, hingga sedikit menggores jarinya. "Ah!" Ayu menyesap jarinya penuh sandiwara. Surai panjangnya yang kini digerai berhamburan dramatis ke samping badannya.

"Sudah panggil OB saja, Yu. Bajumu basah. Ada baju ganti?" Arkan yang merasa fokusnya terganggu akhirnya menanggapi.

"Maaf, Pak" sesal ayu penuh kepalsuan.

Ia berniat ke toilet khusus karyawan, namun kali ini ia benar-benar tidak tau harus pergi ke arah mana.

"Ma-af pak, harus kemana ya arahnya kalau ke toilet?"

"Ganti disana aja" tunjuk Arkan pada pintu di pojok ruangan.

Tentu saja Ayu kegirangan, Ia tidak perlu memancing tetapi ikan mendatangi umpannya. Ia bergegas keluar mengambil baju ganti yang sengaja ia siapkan diluar.

Atasan putih dengan kancing yang seharusnya bisa untuk menutup hingga bagian dada, namun dengan sengaja Ayu melepas dua kancing teratas nya. Ia padukan dengan rok hitam ketat sedikit diatas lutut.

Ia sengaja membeli beberapa setelah pagi tadi, sesuai permintaan Nadia. Namun yang tidak Nadia ketahui justru Ayu memilih pakaian yang sedikit terbuka tanpa menunjukkannya pada sang majikan.

"Maaf, Ayu. Tolong lain kali kancingnya dipasang dengan benar, ya. Saya agak terganggu." Pinta Arkan saat Ayu memberikan dokumen untuk ditandatangani.

"Oh, baik pak. Maaf" buru-buru Ayu mengancingkan kemejanya di depan Arkan. Tentu saja dengan pura-pura canggung. Yes!! lagi-lagi umpan Ayu termakan.

Dering dari smartphone tipis di saku Arkan mengalihkan kecanggungan diantara mereka. Tertulis dari My World ❤️ sebuah panggilan video masuk.

"Papa gimana hari ini?" suara renyah dari seberang memantik senyum lebar pria matang itu.

"Baik dong, kalau Bilqis gimana hari ini?" sapanya pada gadis mungil di layar.

"Seneng banget, Bilqis lagi makan kue di cafe nya Mama. Enyaak bang-eet. Papa mau?" tampaknya gadis kecil itu berbicara sambil makan.

"Mau doong, Aaa" sang Ayah pura-pura membuka mulut menerima suapan. "eh Mama mana? Kok pakai hp nya Mama?" Arkan mencari sang istri.

"Lagi ada orang beli. Papa kangen ya?" ledek Bilqis untuk Ayahnya.

"Iya niih, sampein doong salam ciuum dari Papa yaa?"

Di tempat lain seorang laki-laki kisaran 30 tahunan sedang duduk di hadapan jendela besar, mengulum senyum mengamati tingkah lucu bocah berbando beruang yang sedang menciumi manja pipi ibunya.

Es dalam gelas kopinya yang mulai mencair menyatu dengan minuman hitam di sekelilingnya. Menandakan ia sudah cukup lama berada disana. Ia meneguk pelan minumannya yang tinggal sedikit itu. Kemudian berdiri menyampirkan sneli putih di tangannya bergerak menuju pintu kaca sebelum menghilang keluar.

Nadia menatapnya sekilas, mengangguk lalu tersenyum tipis saat bertemu mata dengannya. Sekadar ucapan terima kasih sebagai pemilik tempat usaha kepada pelanggan barunya yang tampak terasa familiar.

...****************...

"Ayu! Kesini!" tatapan tidak bersahabat dari Arkan seakan menghunus jantung manusia yang dipanggilnya itu.

Ayu tergopoh-gopoh menghampiri bos nya itu kearah toilet. Aura penuh amarah menyertai panggilan itu.

"Apa ini?!" tunjuk Arkan pada benda yang menggantung di kapstok toilet khusus miliknya. Sebuah bra berenda warna hitam menumpuk dengan turtleneck knit yang ketumpahan kopi milik Ayu tadi pagi.

Sang empunya hanya menunduk tak berani bersuara. Berbeda dengan hatinya yang bersorak gembira. Tentu ada niat terselubung dari semua ini.

"Ini hari pertama kamu kerja, jika kamu berniat bekerja sama dengan saya tolong bersikap profesional. Jika niat terselubung kamu untuk menggoda saya? Maaf saya punya anak dan istri! Dan silakan pergi dari kehidupan keluarga saya! Catat itu!"

Ayu tetap diam. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Perlahan ia mengangkat wajahnya, menatap Arkan. Tatapannya bukan milih seorang korban. Melainkan milik pemburu yang baru saja menemukan jalannya.

Seberapa kuat mereka?

"Sayang sini ini masakan Mama enak bangeet," Asri memenuhi piring gadis cantik seumuran Ayu yang ada dihadapannya.

"Terimakasih banyak, Tante," senyum Alisha tampak canggung, seakan dipaksakan.

"Alisha gimana, kuliahnya? Semester lima ya?" Asri mencoba terdengar ramah, tapi nada sok ramahnya ketara dibuat-buat.

"Saya masih semester dua, Tante," Gadis cantik bak model yang dipanggil Alisha itu tampak tertekan.

Alisha mungkin gadis ke enam atau ke delapan yang pernah Asri bawa pulang dan perkenalkan ke rumah. Sejak percakapan tiga minggu lalu di meja itu. Bukan apa-apa hanya karena Arkan enggan menemui mereka diluar. Lebih tepatnya menolak sama sekali.

"Berarti..."

"Iya tante, saya baru 19 tahun ini," sambungnya.

"Wah bagus, dong. Masih kuat-kuatnya kalau gitu. Cocok ini kalau dijadiin mantu. Biar bisa segera punya cucu," lanjut Asri seolah-olah sedang membicarakan benda, bukan manusia.

Dahi mulus Alisha berkerut. Ia tidak paham apa yang sedang teman mamanya itu bicarakan. Yang ia tahu hanyalah diundang makan siang di kediaman Wicaksana.

"Assalamualaikum, kami pulang," suara riang dari arah depan mengagetkan Asri.

Nadia dan Bilqis memasuki ruangan besar itu semakin kedalam sampai menuju ruang makan. Ruang dimana Ibu Mertuanya dan Alisha, calon madunya duduk. Menghadirkan ketegangan yang hampir bisa dirasakan memenuhi ruangan.

"Maaf, maksudnya mantu..." Alisha mencoba memperbaiki kata-katanya namun terhenti.

"Bilqis masuk kamar dulu ya," potong Nadia pada putrinya. Lalu menatap Alisha dengan mata yang tajam dan penuh amarah.

"Bukankah Tante cuma punya satu anak laki-laki, ya?..." Alisha mengambil nafas panjang, "Dia Pak Arkan dan..." sambung Alisha menoleh pada perempuan bergamis bordir di seberang meja.

"Ya, mba. Saya Nadia istri Mas Arkan," jawab Nadia singkat dan dingin. Nadia benar-benar sudah muak dengan semua ini.

Hatinya mencelos. Ia merasa martabatnya sedang dikuliti di depan umum tanpa bisa melakukan apa-apa. Setiap gerakan apapun disana seolah turut mengejek kelemahan nya.

Alisha menangkup dengan gemetar uluran tangan Nadia. "Ah, maaf Mba. Saya tidak bermaksud untuk..."

"Gapapa, mba. Sudah biasa," nada sinis Nadia tepat tertuju pada Asri yang masih tanpa rasa bersalah.

"Tante Asri! Selama ini saya menghormati Tante karena paksaan Mama, katanya keluarga Wicaksana sudah banyak membantu keluarga kami. Tapi kali ini mohon maaf. Ini terakhir kalinya saya menginjakkan kaki dirumah ini..." suara Alisha bergetar penuh amarah, "Tante Asri telah mencabik kehormatan saya, terutama kepercayaan keluarga saya.Tante Asri... Gila!!!" tepat pada kata terakhirnya Alisha membanting vas kaca bening dihadapannya.

Asri terkejut. Pecahan kaca itu hampir menodai opor yang ada di piringnya. Ia berkedip cepat seolah menepis kenyataan di hadapannya.

Seringai miris muncul di wajah Nadia, ia menahan nafas, sejenak memejamkan mata lalu berbalik menaiki tangga. Bersiap menumpahkan air mata diatas bantal putihnya. Sementara ketegangan di ruang makan masih terasa sepeninggal Alisha.

Seharian Nadia mengurung diri hanya ditemani detik dari jam dinding disamping nakas, ia enggan beranjak, perubahan hormon saat menstruasi mulai menguasainya.

Arkan memasuki kamar tempat Nadia terlelap, namun ia tahu jika istrinya itu baru saja menangis lama. Sesenggukannya masih tersisa diantara nafas panjang dalam tidurnya.

"Maafkan, Aku ya..." Arkan mengelus lembut rambut Nadia, "belum bisa ngelindungin kamu, berat ya?"

Nadia menggeliat, "Mas..." matanya tidak terbuka, "kamu mau nikah lagi?" Nadia tidak kuat menahannya lagi, ia kembali berlinangan air mata.

"Apa maksudmu, kita sudah sepakat untuk terus bersama seperti ini. Kemarin kita juga sudah menotariskan perjanjian kita," suara Arkan menegas, tanda bahwa dia tidak suka pembahasan ini.

Kemarin sejak percakapan di meja makan malam itu, hari-hari dalam rumah tangga mereka hampir selalu dipenuhi ketegangan. Apalagi Asri yang terus mebahas perempuan-perempuan muda yang dibawanya pulang.

Benar, Asri tidak sembarangan memilih gadis yang akan dijodohkan dengan anaknya itu, tetapi bagi Arkan hidup berdua dengan istrinya saja sudah cukup.

"Oh, apa jangan-jangan kamu mau harta 70% itu? Harta bagianmu?" Arkan mulai tersulut emosi. Ia juga jenuh menghadapi perilaku Mama dan Istrinya yang tidak pernah akur.

"Jangan gila, kamu mas!" Nadia mendelikkan mata tajam ke arah suaminya yang belum berganti dari pakaian kerja itu, "sedikitpun aku tak terbesit akan hartamu itu," Nadia berapi-api.

Hilang sudah rasa kantuk yang barusan menderanya. Ia tidak menyangka suami yang begitu ia banggakan, bisa berpikiran sepicik itu.

"Lalu apa? Nyatanya kau menyuruhku mendua, agar kau bisa menang dariku dan mengambil bagian asetmu, tujuanmu apa kalau bukan harta?!"

"Okey! Ayo kita bagi sama rata, kamu cuma butuh menikah dan punya anak dari perempuan lain itu kan?" mata Nadia memerah, "Ayo nikahi perempuan yang aku pilihkan, setubuhi dia lalu buat Mamamu bangga dengan anak yang kau lahirkan!" tangan Nadia bergetar menunjuk ke arah pintu.

Arkan meremas rambutnya frustasi, giginya mengatup rapat menahan perkataan yang ia tahu akan semakin melukai perasaan Nadia.

"Ayo! Nikahi perempuan pilihanku. Jangan anak kecil yang Mama tawarkan. Tidak bermoral!" pekik Nadia menahan gemuruh di dadanya.

Arkan memilih pergi meninggalkan kamar penuh aura kemarahan itu menuju carport, Range Rover putihnya terdengar menjauh dari gerbang depan.

Yang tersisa hanya ruang kosong. Nadia terisak, betapa tidak kuatnya ia menghadapi semua ini sendiri. Dinginnya AC kamar tak cukup mampu meredam hawa penghuninya.

Sementara itu di meja bar yang remang Arkan meneguk scotch entah ia sudah meminta rock glass yang keberapa. Rasanya yang sedikit pahit namun anehnya menenangkannya. Aroma parfum mahal, asap rokok serta alkohol membuat ia lupa sejenak permasalahan hidupnya.

"Aku cuma lelaah..." gumamnya entah pada siapa.

Lampu bar menyorot wajah Arkan lembut, es kristal dalam gelasnya memantulkan warna keemasan, satu-satunya yang hidup malam itu.

Seseorang berpakaian minim yang sedari tadi mengamati disampingnya. Perempuan dengan wangi yang familiar itu kini mulai berani memeluk Arkan yang mulai tidak berdaya itu. Menidurkannya di pahanya.

"Gapapa, sayang. Namanya juga manusia, lelah itu wajar," ucap perempuan itu memvalidasi perasaan Arkan.

Dielusnya rambut yang masih berpomade wangi itu, menambah nyaman Arkan yang mulai terlelap damai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!