Di barat laut Kekaisaran Zhou, berdiri sebuah sekte besar di atas bukit tinggi. Saat malam tiba, langit di atas bukit itu seolah membuka tirai dunia lain. Tampak ribuan bintang berkelap-kelip, memantulkan cahaya ke atap-atap rumah dan danau kecil di tengah sekte. Oleh karena pemandangan itulah, tempat itu dikenal dengan nama Sekte Bukit Bintang. Sebuah sekte aliran putih yang diakui sebagai yang terkuat kedua di seluruh Kekaisaran Zhou dan hanya kalah dari Sekte Pedang Langit.
Di antara puluhan ribu murid muda yang berlatih di bawah bendera Sekte Bukit Bintang, terdapat seorang anak berusia tiga belas tahun bernama Gao Rui. Tubuhnya kurus, namun matanya memancarkan semangat yang jernih dan penuh tekad. Ia dikenal sebagai murid yang rajin dan berbakat, meski bukan yang paling menonjol.
Namun, yang membuat namanya cukup dikenal bahkan oleh beberapa tetua adalah hatinya yang baik. Ia tak segan menolong siapa pun, entah itu murid pemula yang terjatuh di arena latihan, atau penjaga tua yang kewalahan mengangkat gentong air.
Sayangnya, langit tak selalu cerah bagi mereka yang berhati bersih. Dua tahun lalu, ketika Gao Rui baru berusia sebelas tahun, gurunya, Tetua Ciang Mu, gugur dalam misi sekte untuk menumpas kelompok bandit di Pegunungan Lou. Berita itu membuat dunia kecil Gao Rui runtuh seketika. Sejak itu, ia tidak memiliki pembimbing tetap dan di sekte besar seperti Sekte Bukit Bintang, murid tanpa guru ibarat daun tanpa ranting. Mudah terbawa angin dan sulit tumbuh tinggi.
Dulunya sebelum bertemu gurunya, Ciang Mu, Gao Rui hanyalah seorang anak kecil yang berjuang untuk bertahan hidup di sebuah kota kecil bernama Xiuhe, di tepi utara Kekaisaran Zhou. Ia hidup sebatang kara karena kedua orang tuanya sudah meninggal.
Hari itu, matahari baru saja naik. Jalanan pasar mulai ramai oleh pedagang sayur, penjual kain, dan tukang obat yang berteriak memamerkan dagangannya. Di antara hiruk pikuk itu, seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahun tampak berlari kecil membawa nampan kayu di tangan. Di atasnya, tersusun rapi kue-kue kecil berlapis gula, madu, dan wijen yang masih mengepulkan uap hangat.
“Kue madu! Kue madu hangat! Manisnya pas, enak untuk dicoba!”
Suara nyaring anak itu menarik perhatian banyak orang. Ia tersenyum lebar kepada setiap pembeli, matanya berbinar penuh semangat, meskipun pakaian yang ia kenakan sudah kusam dan tambal sulam. Ia berlari dari satu sisi jalan ke sisi lain, dengan semangat yang tak pernah padam seolah lelah dan lapar tak pernah ada dalam hidupnya. Anak itu adalah Gao Rui.
Tak jauh dari sana, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan berjalan perlahan melewati kerumunan. Rambutnya hitam berkilau diikat tinggi dengan pita perak. Ia mengenakan jubah abu-abu panjang yang sederhana, namun setiap langkahnya memancarkan ketenangan dan wibawa yang sulit dijelaskan. Matanya tajam namun penuh kelembutan, seolah bisa menembus ke dalam hati seseorang hanya dengan sekali pandang.
Pria itu adalah Ciang Mu, salah satu dari Tetua Sekte Bukit Bintang. Ia sedang dalam perjalanan pulang dari misi panjang di wilayah barat dan berhenti di kota Xiuhe hanya untuk beristirahat dan membeli sedikit bekal. Namun pandangannya tertarik pada sosok anak kecil yang begitu bersemangat menjajakan kue.
Ada sesuatu yang memancarkan cahaya dari diri bocah itu, bukan kekuatan, bukan juga keberanian, melainkan ketulusan yang murni.
Saat Ciang Mu hendak beranjak, matanya menangkap pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Seorang wanita melintas dengan bayi di gendongannya. Wajahnya pucat, langkahnya gontai, dan bajunya penuh tambalan. Ia berhenti di depan Gao Rui, menatap kue-kue madu di nampan itu dengan tatapan ragu.
“Bibi, ingin beli kue? Masih hangat,” tanya Gao Rui dengan suara ceria.
Wanita itu tersenyum lemah.
“Ah… tidak, Nak. Aku hanya lewat. Aku tidak punya uang.”
Gao Rui menatapnya sejenak. Lalu tanpa berpikir panjang, ia mengambil dua potong kue dan menaruhnya di tangan wanita itu.
“Ambil saja Bi. Tidak usah bayar.”
Wanita itu terkejut, menatap anak kecil itu dengan mata bergetar.
“Tapi… bagaimana dengan kau, Nak? Bukankah ini daganganmu?”
Gao Rui tersenyum kecil.
“Tenang saja Bi. Daganganku masih banyak.”
Ia bahkan mengambil sekeping uang dari kantong kecil di pinggangnya dan menyelipkannya di tangan wanita itu tanpa berkata apa pun. Wanita itu terdiam, menatap anak kecil itu lama, lalu menunduk dan menitikkan air mata.
Dari kejauhan, Tetua Ciang Mu yang menyaksikan semuanya tak dapat menahan senyum kecilnya.
“Anak ini… meski tubuhnya lemah, hatinya jauh lebih kuat daripada banyak murid yang kulatih.”
Saat tempat itu mulai sepi, Tetua Ciang Mu menghampiri Gao Rui yang sedang merapikan dagangannya.
“Nak,” katanya pelan, “Kau menjual kue sendiri setiap hari?”
Gao Rui menatapnya, lalu mengangguk.
“Ya, Tuan. Aku menjual kue buatan Bibi Lung. Ia baik padaku, tapi aku tak ingin menyusahkannya. Jadi aku membantunya menjual kue buatannya.”
“Orang tuamu di mana?” tanya Ciang Mu dengan penasaran.
Gao Rui menunduk.
“Ayah dan Ibu sudah tiada sejak kekacauan dua tahun lalu, Tuan. Aku tidak tahu harus ke mana, jadi aku tinggal di sini saja.”
Suara bocah itu datar, tanpa keluhan sedikit pun. Ciang Mu menghela napas panjang. Dalam hati, ia tahu, anak seperti ini tidak bisa dibiarkan layu di tempat seperti ini. Dunia terlalu keras bagi anak berhati lembut seperti Gao Rui.
Ia menatap anak itu dalam-dalam, lalu tersenyum lembut.
“Kau tahu, Nak, aku berasal dari Sekte Bukit Bintang. Kami melatih orang-orang untuk menjadi pendekar, bukan hanya agar kuat, tapi agar bisa melindungi orang lain.”
Mata Gao Rui perlahan melebar.
“Pendekar? Yang bisa melindungi rakyat dari para bandit itu, Tuan?”
Ciang Mu tertawa pelan.
“Kurang lebih begitu.”
Ia lalu sedikit berlutut dan menatap anak kecil itu sejajar.
“Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan mengajarimu cara bertarung dan cara melindungi. Tapi hanya jika kau mau.”
Gao Rui mematung, lalu menatap kedua tangannya.
“Tapi… aku hanya penjual kue. Apa orang seperti aku bisa jadi pendekar?”
Ciang Mu menepuk pundaknya dengan lembut.
“Justru karena kau penjual kue yang mau berbagi kepada orang lapar, aku yakin kau bisa menjadi pendekar sejati di masa depan. Siapa namamu nak?”
Mata Gao Rui perlahan berair. Ia menatap pria itu lama, lalu mengangguk dengan mantap.
“Namaku Gao Rui....”
“Baiklah Rui’er. Mulai sekarang kau akan menjadi muridku.”
“Murid memberi hormat pada guru,” Gao Rui yang tampak berkaca-kaca langsung bersujud tiga kali kepada gurunya.
Sore itu, di bawah cahaya jingga matahari yang mulai tenggelam, Tetua Ciang Mu menggenggam tangan kecil Gao Rui dan membawanya meninggalkan kota Xiuhe. Sejak hari itu, nasib bocah penjual kue madu itu berubah selamanya. Ia tinggal di Sekte Bukit Bintang dan menjadi murid dari Tetua Ciang Mu.
...*******...
Selepas kematian Tetua Ciang Mu, beberapa tetua pernah membicarakan untuk mengambil Gao Rui sebagai murid mereka. Namun, rencana itu selalu kandas.
Para murid dalam mereka menolak mentah-mentah, dengan alasan bahwa “tidak pantas” seorang murid tanpa garis keturunan besar diberi keistimewaan semacam itu. Ada pula yang berbisik bahwa mereka tak ingin muncul seorang pesaing baru yang mungkin suatu hari mengungguli mereka.
Di permukaan, kehidupan Gao Rui berjalan seperti biasa, ia masih rajin berlatih di halaman belakang, masih tersenyum setiap kali menyapa kakak seperguruan. Tapi di balik itu, ada pandangan dingin, tawa kecil di belakang punggungnya, dan bisikan yang menyebutnya anak yatim sekte.
Meski begitu, Gao Rui tidak pernah membalas kebencian dengan kebencian. Setiap hinaan ia hadapi dengan kesabaran. Setiap kesulitan ia jawab dengan kerja keras. Ia percaya bahwa jika hatinya tetap jernih seperti langit malam di atas Sekte Bukit Bintang, maka suatu hari bintangnya sendiri akan bersinar di antara ribuan cahaya lainnya.
Suatu pagi yang cerah di Sekte Bukit Bintang, udara terasa segar dengan embusan angin yang membawa aroma embun dari lembah timur. Gao Rui baru saja selesai membersihkan halaman latihan kecil di belakang kediamannya. Ia sedang menata kembali kayu bakar ketika terdengar langkah seseorang mendekat.
“Saudara Rui!” suara itu terdengar akrab dan ramah. Seorang pemuda berwajah cerah dengan jubah biru muda melambai ke arahnya. Namanya Lin Tao, teman seperguruannya semasa mereka masih dilatih langsung oleh Guru Ciang Mu.
“Saudara Tao. Sudah lama kita tidak berjumpa,” sambut Gao Rui sambil tersenyum.
Lin Tao tertawa kecil.
“Hahaha, aku merindukanmu Saudara Rui. Hei, dengar, aku baru saja menemukan tempat bagus di lembah dekat sungai selatan. Airnya jernih, udara segar, dan permukaannya datar, sangat cocok untuk berlatih. Kau mau ikut?”
Gao Rui menatapnya sejenak, sedikit ragu.
“Lembah dekat sungai? Itu bukannya agak jauh dari sini?”
“Tidak sejauh itu,” jawab Lin Tao cepat. “Bahkan beberapa murid dalam juga biasa berlatih di sana. Ayolah, kita jarang punya waktu santai bersama. Lagipula, aku ingin berdiskusi tentang jurus pedang yang dulu diajarkan guru kita.”
Mendengar nama gurunya disebut, Gao Rui tak bisa menolak.
“Baiklah,” katanya dengan lembut. “Aku ikut.”
Mereka pun berjalan menuruni jalan berbatu menuju arah selatan. Jalan itu melewati hutan pinus yang rindang. Cahaya matahari menembus di sela-sela daun, menimbulkan bayangan panjang di tanah. Gao Rui tampak tenang, bahkan sesekali bercanda ringan dengan Lin Tao.
Namun, begitu mereka sampai di lembah yang dimaksud, suasana mendadak berubah.
Di tepi sungai, sudah berdiri belasan murid Sekte Bukit Bintang dengan pakaian latihan lengkap. Wajah mereka tampak tegang, sebagian menunjukkan senyum sinis. Lin Tao melangkah ke depan dan berhenti di sisi mereka. Gao Rui berhenti di tengah, menatap satu per satu wajah mereka dengan bingung.
“Apa maksud semua ini?” tanyanya perlahan.
Dari barisan depan, melangkah keluar seorang pemuda bertubuh tinggi dengan tatapan tajam. Matanya merah karena amarah yang tertahan.
“Sudah lama aku ingin berbicara denganmu, Gao Rui,” katanya dengan suara dingin.
Gao Rui menatapnya dalam-dalam.
“Senior Yai Feng.”
Yai Feng, kakak seperguruannya. Murid dalam dari Tetua Liang, salah satu tetua tertua di Sekte Bukit Bintang. Ia dikenal keras, sombong, dan memiliki reputasi tinggi di kalangan murid.
“Untuk apa semua ini?” tanya Gao Rui hati-hati.
Yai Feng mendengus.
“Kau pura-pura tidak tahu?”
Ia maju selangkah.
“Yi Ling… adik seperguruanku… menolak cintaku beberapa hari yang lalu. Dan kau tahu apa yang dia katakan sebelum pergi?”
Gao Rui terdiam, perlahan mulai mengerti ke mana arah pembicaraan itu.
“Dia bilang,” lanjut Yai Feng dengan nada menahan amarah, “Bahwa hatinya condong pada seseorang yang lebih lembut… Seseorang yang berhati baik dan tidak haus pujian,” Yai Feng menyeringai getir. “Kau tahu kan siapa yang ia maksud, Gao Rui?”
Semua murid di sekitar mulai berbisik pelan. Beberapa menatap Gao Rui dengan tatapan iba, namun sebagian besar memandang dengan senyum puas.
“Aku tidak tahu soal itu,” kata Gao Rui akhirnya. “Aku tidak pernah berniat.....”
“Diam!” bentak Yai Feng keras. “Kau pikir aku akan percaya ucapan murid yatim sekte ini sepertimu? Semua tahu kau selalu bersembunyi di balik wajah polosmu itu. Yi Ling hanya terperdaya oleh sikap pura-pura rendah hatimu!”
“Senior Feng!” seru Lin Tao mencoba menenangkan. “Jangan begini, ini.....”
“Diam, Lin Tao!” bentaknya. “Kau hanya diminta menjemputnya, bukan mencampuri urusanku.”
Lin Tao menunduk, wajahnya tampak menyesal. Ia tidak berani menatap Gao Rui.
Gao Rui menggenggam kedua tangannya erat. Ia menatap Yai Feng, tidak dengan amarah, tapi dengan ketenangan yang membuat lawannya semakin marah.
“Jika kau ingin menebus rasa sakitmu padaku, lakukanlah,” katanya perlahan. “Tapi jangan libatkan yang lain.”
“Bagus,” sahut Yai Feng. “Kau akhirnya mengerti tempatmu.”
Ia lalu mengambil kuda kuda pertarungan.
“Hari ini aku akan mengajarimu pelajaran, murid tanpa guru sepertimu tidak layak mendapat simpati siapa pun.”
Angin di lembah mulai berhembus kencang. Daun-daun pinus berputar di udara, dan sinar matahari yang tadinya hangat kini terasa tajam menembus kulit.
Gao Rui berdiri di tengah lingkaran para murid, sendirian. Di depan, Yai Feng sudah siap bertarung.
Namun sebelum jurus pertama diluncurkan, Gao Rui perlahan menutup matanya, mengingat sosok gurunya, Tetua Ciang Mu dan suara lembutnya yang dulu pernah berkata padanya.
“Jika suatu hari dunia tidak lagi berpihak padamu, Rui’er, jangan biarkan hatimu ikut gelap.”
Gao Rui membuka matanya kembali. Tatapan jernihnya kini berubah tegas.
“Kalau begitu,” katanya dengan nada datar tapi tajam, “Aku akan membela kehormatan guru dan diriku sendiri.”
Udara di lembah itu pun bergetar. Yai Feng melangkah maju. Yai Feng menjejak tanah dengan keras, menciptakan hembusan debu yang berputar di sekitarnya. Tubuhnya condong ke depan, tangan kanannya menggenggam, dan dalam sekejap ia melesat seperti anak panah.
“Kuda Langit Menyambar!” teriaknya, menerjang Gao Rui dengan pukulan telapak yang meluncur deras seperti badai.
Namun Gao Rui tidak bergerak mundur. Ia menatap datangnya serangan itu dengan mata tenang. Saat jarak hanya tinggal sejengkal, tubuhnya berputar sedikit ke samping, dan dengan cepat ia menangkis pukulan itu menggunakan lengannya. Suara benturan terdengar keras membuat tanah di bawah kaki mereka bergetar.
Yai Feng terkejut. Ia mundur setengah langkah.
“Bagaimana mungkin…?” gumamnya pelan. Ia tahu betul bahwa kekuatannya berada di atas Gao Rui. Secara teori, satu pukulan saja cukup untuk membuat bocah itu tersungkur. Tapi tidak kali ini.
Para murid yang menonton ikut berbisik kaget.
“Dia menahan serangan Senior Feng…”
“Mustahil!”
Gao Rui menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar, tapi sorot matanya sama sekali tak goyah. Ia tahu, ia bukan tandingan Yai Feng dalam hal kekuatan. Namun tubuhnya sudah ditempa dengan disiplin keras sejak kecil, berkat metode latihan gurunya yang menekankan keseimbangan dan kendali napas.
Yai Feng menyeringai marah.
“Hmmm, hanya kebetulan. Coba tahan ini!”
Ia melompat tinggi, memutar tubuh di udara, lalu menghantam dengan siku dari atas. Serangan itu berat dan cepat, membuat udara di sekitar terasa menekan.
Gao Rui menunduk, tubuhnya bergeser ke samping dengan gerakan ringan seperti bayangan tertiup angin. Begitu siku Yai Feng menghantam tanah, serpihan debu beterbangan.
Pada saat itulah Gao Rui membalas. Dengan posisi rendah, ia melesat maju, kaki kirinya menghantam tanah, sementara tangan kanannya mengayun ke arah rusuk lawan. Gerakannya sederhana, tidak menggunakan teknik tinggi apa pun, hanya serangan dasar yang dipoles dengan ketepatan luar biasa.
"Dug!"
Tubuh Yai Feng terguncang ke belakang. Matanya membelalak tak percaya. Pukulan itu benar-benar masuk. Meski tak terlalu kuat, cukup untuk membuat napasnya sesak sesaat.
Kejutan itu membuat suasana di lembah membeku. Semua murid menatap tanpa suara, bahkan Lin Tao yang sejak tadi menunduk kini mengangkat wajahnya dengan terkejut.
Gao Rui perlahan menarik kembali tangannya, tubuhnya tetap rendah, matanya tidak lepas dari lawannya. Napasnya teratur, tenang, dan wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“Yai Feng,” ucapnya pelan, “Aku tidak ingin bertarung denganmu. Tapi jika kau terus memaksa…”
Ia mengepalkan tinjunya. “Aku tak akan tinggal diam.”
Wajah Yai Feng memerah karena amarah dan malu.
“Kauu!!!!!” teriaknya.
Yai Feng meraung penuh amarah. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menegang. Ia menatap Gao Rui seperti binatang buas yang baru saja terluka oleh mangsanya sendiri.
“Berani memukulku, hah?! Kalian semua, hajar dia! Aku ingin anak ini tahu siapa yang berkuasa di Sekte Bukit Bintang!”
Belasan murid yang sejak tadi hanya menonton dengan ragu-ragu kini saling berpandangan. Beberapa terlihat bimbang, tapi tatapan garang Yai Feng membuat mereka kehilangan keberanian untuk menolak.
“Cepat! Atau kalian ingin jadi seperti dia?” bentak Yai Feng sekali lagi.
Seketika, dua murid paling dekat melompat menyerang dari kiri dan kanan. Gao Rui hanya sempat mengangkat kedua lengannya untuk menangkis. Tubuhnya terpental ke belakang, berguling di tanah berdebu. Belum sempat ia bangkit, tiga orang lagi sudah maju, satu menendang perutnya, dua lainnya menghantam bahunya dengan keras.
“Ugh!” Gao Rui terbatuk darah, tubuhnya membentur batu di pinggir sungai. Pandangannya berkunang, namun dalam kesamaran itu ia melihat wajah-wajah yang dulu sering tersenyum padanya di halaman latihan. Kini semua tampak asing, dingin, kejam, dan takut.
“Kalian,” suaranya parau, hampir tak terdengar.
Namun mereka tak berhenti. Satu tendangan lagi menghantam rusuknya, diikuti pukulan ke wajahnya. Suara retak terdengar, entah tulangnya atau batu yang mereka tendang.
Yai Feng berdiri di depan, tangan terlipat di dada, menatap dengan tatapan puas.
“Hentikan.”
Semua murid mundur. Tubuh Gao Rui kini tergeletak di tanah basah, penuh luka dan darah. Nafasnya tersengal, namun matanya tetap terbuka, menatap ke langit.
Yai Feng berjalan mendekat perlahan. Ia berjongkok di sisi tubuh Gao Rui, lalu menepuk-nepuk pipinya yang penuh darah dengan nada sinis.
“Kau pikir dengan wajah polosmu itu kau bisa menyaingiku? Hah? Sekte ini tak butuh murid tanpa asal-usul sepertimu.”
Ia berdiri lagi, lalu memberi isyarat dengan tangannya.
“Buang dia ke sungai. Biar ikan yang menemaninya hari ini.”
Semua murid terdiam. Wajah mereka pucat. Lin Tao, yang sejak tadi berdiri di belakang, maju setengah langkah.
“Senior Yai Feng… ini sudah terlalu jauh. Kalau ia mati, kita akan....”
“Diam, Lin Tao!” bentaknya keras. “Siapa yang akan peduli pada murid yatim tanpa guru? Kau pikir sekte akan menyelidiki ke mana Gao Rui pergi. Dia bukan siapa-siapa!”
Kata-kata itu menggema di antara angin lembah yang dingin. Beberapa murid masih ragu, tapi ketakutan pada nama besar keluarga Yai Feng membuat mereka bergerak juga. Dua orang mengangkat tubuh Gao Rui dari tanah, lalu menyeretnya menuju sungai.
Tubuh itu tergelincir, jatuh ke air dengan suara yang lembut tapi menusuk hati. Riak air meluas perlahan, menelan sosok kecil yang kini tenggelam di bawah permukaan.
“Sudah,” kata Yai Feng datar sambil membalikkan badan. “Tidak ada yang bicara tentang ini. Siapa pun yang membuka mulut… aku pastikan hidupnya di Sekte Bukit Bintang berakhir. Ayo kita pergi dari sini.”
Semua menunduk. Tak ada yang berani menatapnya. Hanya Lin Tao yang diam membeku, menatap sungai yang perlahan tenang kembali. Ia menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Di dalam sungai, Gao Rui merasakan dinginnya air bukan hanya pada kulit, tetapi sampai ke tulang. Suara langkah yang menjauh, tawa sinis, instruksi kasar Yai Feng masih bergema di telinganya seperti lontaran batu yang terus membentur kesadarannya. Di dalam kegelapan bawah permukaan, dunia menyusut menjadi satu, air yang menekan, napas yang tertahan, dan rasa berat di dada yang menuntut menyerah.
Namun di sela-sela keputusasaan itu, sebuah nyala kecil tetap menyala. Ingatan akan wajah Ciang Mu, hangat dan lembut ketika pertama kali mengangkatnya dari jalanan Xiuhe, memantul di benaknya. Suara gurunya seakan terdengar ketika mengajarkannya pernapasan bukan kekuatan untuk menyerang, melainkan kunci untuk tetap hidup dalam badai apapun.
“Napasmu bukan hanya nafas, Rui’er. Ia adalah tali pengikat antara kau dan langit. Tarik pelan, tahan, lepaskan perlahan. Biarkan tenaga dalammu mengalir seperti aliran sungai bukan seperti badai."
Kata-kata itu datang tidak dalam bentuk bunyi kini, melainkan sebagai satu sensasi, ritme yang harus diikuti jika ia ingin kembali.
Gao Rui mengerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Ia menarik napas dalam-dalam, walau paru-parunya terasa seperti berisi batu, menahan sejenak sampai seluruh kepalanya berdenyut, lalu menghembuskan perlahan dengan pantang menyerah. Di dalam kegelapan, ia membayangkan gurunya, Ciang Mu berdiri di dekatnya, menuntunnya.
Saat ini ada sensasi aneh seperti tali halus yang ditarik dari bawah pusarnya, mengangkat sedikit demi Tubuh Gao Rui tidak lagi seperti batu yang runtuh. Kini ia seperti potongan kayu yang terbawa arus namun tidak tenggelam. Tubuhnya mulai mengambang
Matanya masih tertutup. Ia merasakan panik, arus sungai menelannya berkali-kali. Setiap kali ia hampir tenggelam, ia mengulang kembali pernapasan gurunya, tarik, tahan, lepaskan.
Ia merasakan tubuhnya sedikit demi sedikit mengapung, tangan kecilnya mulai mengiris permukaan, wajahnya menerobos keluar dari pelukan air.
Namun tidak selamanya, Gao Rui mampu bertahan dari derasnya arus sungai. Lama kelamaan ia terbatuk keras, air sungai keluar dari mulutnya bercampur darah. Tubuhnya menggigil, tapi matanya tetap terbuka, menatap langit yang kini buram di matanya. Ia mencoba menenangkan diri, menyalurkan sisa tenaga dalamnya untuk tetap mengapung di permukaan.
Namun tubuhnya sudah terlalu lemah. Luka di bahunya berdarah deras, dan setiap gerakan kecil terasa seperti disayat. Nafasnya semakin berat, irama napas yang diajarkan gurunya kini nyaris tak bisa diikuti lagi.
"Guru... Aku... masih belum bisa," bisiknya lirih. Kata-kata itu hilang ditelan suara arus sungai
Ketika kesadarannya mulai memudar, sesuatu di langit tiba-tiba bergerak cepat. Bayangan putih meluncur turun, menembus kabut dan berhenti di atas sungai dengan gerakan ringan seperti bulu angsa jatuh. Riak air di bawahnya hanya bergetar halus, tanda penguasaan tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Tanpa ragu, ia menurunkan tangan kanannya. Arus udara berputar dari telapak tangannya, menciptakan pusaran kecil di permukaan sungai. Tubuh Gao Rui terangkat perlahan, terbawa oleh kekuatan lembut namun kuat, lalu mendarat dengan aman di tepian berbatu.
Orang itu berlutut di sampingnya, menatap wajah pucat Gao Rui. Ia meraba nadi di pergelangan tangan bocah itu.
“Hampir kehilangan nyawanya,” gumamnya pelan. “Tapi urat nadinya masih berdenyut, hatinya masih berjuang.”
Ia menempelkan telapak tangan ke dada Gao Rui. Dalam sekejap, api berwarna biru mengalir masuk, menekan darah hitam keluar dari mulut bocah itu. Gao Rui terbatuk keras, paru-parunya terasa terbakar, tapi untuk pertama kalinya ia bisa menarik napas dalam tanpa rasa sakit menusuk.
“Tenanglah,” suara orang itu datar tapi hangat. “Selama kau masih mau hidup, dunia belum menolakmu.”
Gao Rui membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat sosok penolongnya yang memancarkan aura jernih seperti air sungai di musim semi.
“Siapa... kau…?” suaranya serak.
Terlihat di matanya sekarang, sosok penolongnya adalah seorang pemuda yang tampak berusia sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya begitu muda, tapi sorot matanya tajam dan dalam. Jubah putih panjangnya berkibar tertiup angin, rambut hitam panjangnya diikat rapi. Tampak ada dua pedang tergantung di pinggangnya.
...******...
Hai semua ini adalah salah satu novel lain dari multi-fantasi timur yang kurencanakan di masa depan. Tenang saja untuk Reinkarnasi Pendekar Dewa tetap akan update seperti biasanya kok. Anggap aja ini selingan lain untuk bacaan baru kalian.
Terima kasih sudah mau mampir ke novel baruku ini.
Pemuda itu menatap Gao Rui yang masih terbaring dengan mata setengah terbuka. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat, namun di baliknya tersimpan ketenangan yang aneh, dingin tapi lembut.
“Apa itu kalimat yang pantas ditanyakan pertama kali setelah ditolong..?” ucapnya pelan, suaranya tenang namun memiliki tekanan yang membuat udara di sekitarnya seolah menegang.
Gao Rui langsung tersadar. Wajah pucatnya memerah malu, dan ia menunduk dalam-dalam.
“M-maaf… Aku tidak tahu harus berkata apa, Senior. Terima kasih,” ucapnya lirih, mencoba bangkit tapi tubuhnya masih terlalu lemah.
Pemuda itu menatapnya sesaat, lalu menghela napas ringan.
“Sudah. Jangan memaksakan diri,” katanya, kemudian menepukkan telapak tangan ke udara.
Dalam sekejap, secercah cahaya biru muncul, membentuk semacam jaring tipis yang melingkupi tubuh Gao Rui. Luka-luka di tubuhnya perlahan berhenti berdarah, dan rasa sakit yang menusuk pun sedikit menghilang.
Gao Rui menatap dengan takjub.
“I-ini… teknik penyembuhan apa?”
Pemuda itu tidak menjawab. Ia justru menatap permukaan sungai yang beriak perlahan.
“Air ini dingin sekali,” katanya datar. “Dan di tempat seperti ini, seharusnya tidak ada yang bisa bertahan hidup setelah dilempar ke sungai. Kau cukup beruntung… atau mungkin, sesuatu masih ingin kau tetap hidup.”
Ia menatap Gao Rui lagi, kali ini lebih dalam, hingga tatapan itu membuat jantung bocah itu berdebar aneh.
“Siapa yang melakukan ini padamu?” tanyanya akhirnya.
Gao Rui menggigit bibirnya. Ia ingin menjawab, tapi bayangan Yai Feng dan semua murid yang ikut menyerangnya membuat tenggorokannya tercekat.
“Aku… hanya terjatuh,” katanya pelan, suaranya bergetar.
Pemuda itu menatapnya lama. Sekilas senyumnya muncul lagi, tipis, tapi kali ini ada nada getir di dalamnya.
“Kau terlalu baik untuk dunia seperti ini,” katanya pelan. “Tapi jangan khawatir. Aku tidak akan memaksamu bicara. Siapa namamu Bocah?"
"Namaku Gao Rui, Senior," ucap Gao Rui pelan.
Tak lama setelah ia berkata begitu, langit mendadak bergemuruh. Suara petir mengguncang lembah, dan angin dingin berembus kencang membawa aroma hujan. Dalam sekejap, butiran air sebesar kacang mulai turun deras dari langit.
Pemuda itu mendongak sedikit, membiarkan beberapa tetes hujan jatuh di wajahnya, sebelum ia kembali menunduk menatap Gao Rui yang mulai menggigil.
“Kalau terus di sini, kau bisa mati kedinginan,” ucapnya datar.
Dengan satu gerakan ringan, ia mengangkat tubuh Gao Rui tanpa kesulitan, seolah bocah itu tak memiliki bobot sama sekali. Hujan semakin deras, membasahi rambut dan pakaian mereka. Dalam sekejap, pemuda itu menyipitkan mata, memandang ke arah tebing batu di sisi utara sungai.
“Ke sana,” gumamnya.
Beberapa langkah kemudian, di antara rerimbunan akar dan batu besar, tampak sebuah lubang gelap di kaki tebing. Di sana ada mulut gua kecil yang nyaris tertutup semak basah. Pemuda itu menyingkap ranting yang menghalangi, lalu melangkah masuk sambil tetap membawa Gao Rui di lengannya.
Begitu mereka berada di dalam, ia mengibaskan jubahnya perlahan. Seketika hawa panas mengalir dari telapak tangannya, menguapkan air yang menetes dari ujung rambut hingga ujung pakaian. Api biru kecil muncul di udara, melayang tanpa bahan bakar, menerangi gua yang sempit namun cukup kering.
Pemuda itu menurunkan Gao Rui di atas batu datar yang agak bersih, lalu duduk bersila di hadapannya.
“Beristirahatlah di sini. Aku akan menjagamu sampai kau bisa berdiri sendiri,” ucapnya tenang.
Suara hujan di luar gua terdengar semakin deras, menciptakan ritme berat yang menenangkan sekaligus menggetarkan. Dalam cahaya kebiruan itu, wajah pemuda itu tampak samar, antara manusia dan bayangan. Matanya menatap jauh ke kegelapan di luar gua, seolah ingin segera pergi.
Gao Rui menggigit bibirnya.
“S-senior … bolehkah aku tahu siapa sebenarnya engkau?”
Pemuda itu tak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka matanya perlahan, menatap bocah itu dengan senyum samar yang sulit diartikan.
“Namaku… bukan sesuatu yang perlu kau tahu saat ini,” katanya pelan. “Yang penting, kau bertahan hidup malam ini.”
Pemuda itu kemudian mengulurkan tangannya. Dari dalam cincin ruang di jarinya, keluar beberapa kayu bakar kering dan sebuah kantong kecil berisi beberapa potong daging ayam mentah dan berbagai bumbunya. Ia menata kayu itu dengan rapi di tengah gua, lalu menjentikkan jari. Api biru muncul dari ujung jarinya dan segera menyala lembut di antara potongan kayu, menciptakan cahaya hangat yang menari di dinding batu.
Aroma kayu terbakar perlahan memenuhi udara. Ia lalu mengambil wadah kecil dari cincin yang sama, menuang sedikit air, dan meletakkan potongan ayam ke dalamnya. Tak lama, suara desisan halus terdengar. Asap tipis mengepul di atas api biru, membawa aroma gurih yang menggoda meski sederhana.
Gao Rui, yang sedari tadi memperhatikan, menatapnya dengan heran bercampur bingung.
“Senior… kau… membawa semua itu di dalam cincin ruang?” tanyanya perlahan, suaranya masih lemah.
Pemuda itu menoleh sedikit, alisnya terangkat seolah heran dengan pertanyaan itu.
“Lalu… cincin ruang menurutmu untuk apa?”
“U-um… biasanya para murid-murid kaya menggunakannya untuk menyimpan batu roh, pil obat, atau senjata langka,” jawab Gao Rui terbata-bata.
Pemuda itu terkekeh pelan, suaranya terdengar seperti ironi yang tenang.
“Itu sebabnya dunia ini penuh orang bodoh yang kelaparan di tengah kekayaan mereka sendiri.”
Ia mengaduk daging yang mulai matang, lalu menambahkan sejumput rempah dari kantong lain. Selanjutnya daging ayam itu dibakarnya di atas kayu bakar yang sudah disiapkannya sebelumnya.
“Ketika kau mengembara di dunia ini, benda paling berharga bukanlah senjata atau pil. Tapi makanan hangat saat hujan, dan tempat kering untuk tidur. Kau tenang saja, aku punya banyak cincin ruang. Semuanya kuisi dengan barang-barang yang kubutuhkan.”
Gao Rui terdiam. Kata-kata itu terasa sederhana, tapi entah mengapa seperti menancap dalam di hatinya. Ia menatap pemuda itu yang wajahnya tampak temaram di balik nyala api. Tenang, namun ada sesuatu yang begitu jauh dari dunia ini, seperti orang yang sudah terlalu lama berjalan sendirian.
Beberapa saat kemudian, aroma ayam panggang memenuhi gua. Pemuda itu memotong sepotong kecil dan menyodorkannya pada Gao Rui.
“Makanlah. Kau butuh tenaga.”
“T-tapi… ini untukmu, Senior.”
Pemuda itu menghela napas, nadanya lembut tapi tegas.
“Kalau aku lapar, aku masih bisa berburu. Kalau kau lapar, mungkin kau mati. Makanlah.”
Gao Rui menerima potongan itu dengan tangan gemetar, lalu menggigitnya perlahan. Rasa hangat langsung menjalar di tenggorokannya. Entah karena bumbu sederhana atau karena rasa lapar yang luar biasa, daging itu terasa luar biasa nikmat.
Pemuda itu kembali menatap ke arah api, membiarkan kesunyian mengisi gua. Hujan di luar masih deras, namun di dalam gua itu, udara terasa tenang seolah waktu berhenti sesaat.
Namun, di balik ketenangan itu, mata pemuda itu sesekali memantulkan cahaya tajam. Ia seperti sedang mendengarkan sesuatu di luar sana.
Tanpa menoleh, ia berucap pelan.
“Jangan takut. Jika kau mendengar suara dari luar… jangan bergerak, jangan bersuara.”
Nada suaranya berubah. Bukan lagi lembut, tapi dingin dan tajam, seperti bilah pedang yang baru diasah. Gao Rui menatapnya, jantungnya kembali berdebar. Ia belum tahu siapa pemuda itu… tapi ia yakin, orang di hadapannya bukanlah pengembara biasa.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hujan di luar masih mengguyur deras, menimpa dedaunan dan batu, menciptakan gema lembut yang berulang-ulang di dalam gua. Gao Rui sudah mulai merasa hangat, meski tubuhnya masih lemah. Api unggun di tengah gua terus menari lembut, memantulkan bayangan samar di dinding batu.
Namun tiba-tiba, terdengar suara berat dari sesuatu yang besar di luar. Tanah di sekitar pintu gua bergetar pelan. Gao Rui spontan menegang, matanya melebar.
Suara itu semakin dekat. Sebuah geraman rendah menggema, berat dan dalam, seperti suara binatang buas. Dalam sekejap, bayangan besar melintas di mulut gua, sepasang mata kekuningan bersinar tajam dalam gelap, diikuti bau amis yang menusuk.
“B-beruang,” bisik Gao Rui nyaris tanpa suara. Napasnya tercekat. Ia mencoba mundur, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.
Beruang itu masuk perlahan, tubuhnya besar dan gelap, bulu basahnya meneteskan air ke tanah, kuku tajamnya mencakar lantai batu, menimbulkan suara yang membuat bulu kuduk merinding. Binatang itu menundukkan kepalanya, mengendus udara, dan matanya segera tertuju pada ayam panggang yang masih mengepul di depan api.
Gao Rui memucat. Tangannya refleks hendak menutupi mulut agar tak bersuara. Ia menatap pemuda di sampingnya, namun pemuda itu tetap tenang, sama sekali tidak bergerak.
Beruang itu mendekat dua langkah, lalu menggeram keras, suara geramannya memantul di seluruh gua seperti guntur.
Tapi pemuda itu hanya memandangnya perlahan. Pandangannya tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi yang mengancam nyawa. Dalam sorot matanya, cahaya biru samar berkilat sesaat.
Wuuusss…
Udara di gua tiba-tiba berubah dingin, begitu dingin hingga napas Gao Rui membeku di tenggorokan.
Mata beruang itu langsung membesar. Tubuh besarnya bergetar keras seperti terkena sambaran petir. Ia mengeluarkan suara melengking pendek, bukan geraman, melainkan jeritan ketakutan. Dengan satu lompatan panik, beruang itu berbalik dan berlari terbirit-birit keluar dari gua, menabrak semak, menghilang ke dalam hujan dan kegelapan.
Keheningan kembali menyelimuti gua. Hanya suara hujan yang tersisa. Gao Rui menatap pemuda itu tanpa berkedip, matanya penuh campuran antara kagum dan ngeri.
“Se… senior… apa yang barusan…?”
Pemuda itu tidak segera menjawab. Ia menutup matanya kembali, seolah tak terjadi apa pun.
“Hanya mengingatkannya siapa yang ada di hadapannya.”
Nada suaranya begitu datar, tapi justru karena itulah membuat bulu kuduk Gao Rui berdiri.
Beberapa detik kemudian, pemuda itu menambahkan dengan nada pelan, hampir seperti gumaman.
“Binatang liar tahu kapan harus tunduk. Sayangnya, manusia tidak selalu sebijak itu.”
Api di tengah gua bergetar lembut seolah ikut merespons ucapannya. Gao Rui hanya bisa menatap diam-diam dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar yakin, orang di hadapannya bukanlah manusia biasa. Ada sesuatu di balik ketenangannya… sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan.
Gao Rui masih terpaku menatap pemuda itu. Rasa takut yang semula menggumpal kini berganti dengan rasa ingin tahu yang semakin kuat. Suara hujan perlahan mulai mereda, hanya tersisa tetes-tetes kecil yang jatuh dari ujung batu gua.
Pemuda itu menatap nyala api yang mulai mengecil, lalu menambahkan beberapa potong kayu bakar. Api kembali menyala, memantulkan cahaya lembut di wajah mereka berdua.
“Sekarang,” ucap pemuda itu datar, tanpa menoleh. “Katakan padaku… dari mana asalmu?”
Nada suaranya tidak mengandung ancaman, tapi ada semacam tekanan lembut di dalamnya yang membuat Gao Rui merasa tidak bisa berbohong.
“A-aku,” Gao Rui menarik napas dalam. “Aku berasal dari Sekte Bukit Bintang, Senior.”
Pemuda itu mengangguk perlahan namun selanjunya ekspresinya begitu kaget.
“Sekte Bukit Bintang…?” gumamnya, seolah mengingat sesuatu yang jauh. “Tunggu jangan bilang, kita ada di wilayah Kekaisaran Zhou?”
Gao Rui tampak kebingungan.
“Benar senior, kita ada di wilayah Kekaisaran Zhou.”
“Sial, sepertinya aku terbang terlalu jauh,” jawab pemuda itu. Ia menatap Gao Rui kembali, kali ini dengan tatapan sedikit lebih hangat. “Kau hampir saja mati. Jika orang tuamu tahu apa yang terjadi padamu, mereka pasti akan sedih. ”
Gao Rui menunduk. Suaranya melemah saat ia berbicara.
“Orang tuaku sudah meninggal sejak aku kecil. Saat aku berusia delapan tahun, guruku datang ke kota kami… Dia yang membawaku masuk ke dalam Sekte Bukit Bintang.”
Pemuda itu tidak memotong, hanya mendengarkan dengan tenang.
“Ia mengajariku banyak hal.” lanjut Gao Rui, matanya tampak menerawang. “Tapi dua tahun yang lalu… saat menjalankan misi sekte, ia meninggal.”
Gao Rui berhenti sejenak. Napasnya berat, suara kecilnya bergetar.
“Sejak saat itu, aku sendirian. Dan sekarang aku hanya menjalani hidup sebaik yang aku bisa,” Ia menggigit bibirnya, menahan emosi namun tetap berusaha tersenyum.
Gao Rui akhirnya juga menceritakan mengapa ia bisa berada di tengah sungai. Ia tidak berusaha menyamarkan apa yang dialaminya karena tekanan pemuda itu begitu besar.
Pemuda itu menatapnya lama, sorot matanya perlahan berubah. Ada sesuatu yang samar , bukan iba, tapi semacam pengakuan dalam diam.
“Apa yang kau pelajari di sektemu?” tanyanya pelan.
“Teknik dasar pendekar dan beberapa jurus pedang, Senior. Tapi… mungkin aku yang terlalu lemah.”
Pemuda itu tersenyum tipis.
“Tidak ada yang lemah di dunia ini, hanya yang belum mengerti cara bertumbuh,” Ia meraih sepotong kayu dari sisi api, menatap ujungnya yang menyala merah. “Kau tahu, api ini panas karena menghanguskan kayu dan udara di sekitarnya. Manusia juga begitu. Hanya yang tahu bagaimana menggunakan penderitaan untuk bisa semakin kuat.”
Gao Rui menatap pemuda itu tanpa berkedip.
“Jadi… kau ingin bilang penderitaan bisa membuat seseorang kuat?”
Pemuda itu memutar kayu itu perlahan, lalu menancapkannya ke tanah di antara mereka.
“Tidak selalu. Tapi mereka yang bertahan setelah terbakar… biasanya menjadi cahaya bagi orang lain.”
Kata-kata itu membuat Gao Rui terdiam lama. Hujan di luar telah berhenti sepenuhnya. Bau tanah basah bercampur dengan sisa asap kayu, menenangkan dan hangat.
“Senior,” ucap Gao Rui perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi… aku berjanji, kalau suatu hari aku cukup kuat, aku akan membalas kebaikanmu hari ini.”
Pemuda itu menatapnya lama, lalu tertawa pelan, bukan tawa bahagia, melainkan seperti seseorang yang sudah lama lupa bagaimana caranya tersenyum sungguhan.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “Pastikan kau hidup cukup lama untuk menepati janji itu.”
Pemuda itu kemudian berdiri perlahan, menepuk jubahnya dari debu batu gua. Api unggun sudah mulai mengecil, hanya menyisakan bara merah yang berkerlap-kerlip lembut. Ia mengulurkan tangannya lagi, dan dari dalam cincin ruangnya, keluarlah dua tikar tebal serta dua kasur tipis yang tampak bersih dan terlipat rapi.
Dengan gerakan ringan, ia menggelar tikar itu di sisi gua yang kering, menata kasur di atasnya seolah tengah menyiapkan tempat istirahat di rumah sendiri. Gao Rui hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu.
“Senior… kau bahkan membawa kasur?” tanyanya tanpa sadar, nada suaranya antara kagum dan bingung.
Pemuda itu tersenyum samar tanpa menoleh.
“Kalau kau berkelana sendirian selama bertahun-tahun, kau akan belajar bahwa tidur nyenyak adalah salah satu bentuk kekuatan.”
Ia menepuk tikar dan kasur satunya dan mendorongnya pelan ke arah Gao Rui.
“Tidurlah di sana. Gua ini aman. Aku akan tahu kalau ada sesuatu yang mendekat.”
Gao Rui memandang kasur itu seolah tak percaya.
“Tapi, Senior… aku tak bisa menerima ini. Aku..”..
Pemuda itu memotong dengan nada lembut tapi tegas.
“Jangan banyak bicara. Tubuhmu masih lemah. Kalau aku memberikannya, artinya aku tidak butuh alasan.”
Nada suaranya membuat Gao Rui menelan sisa kalimatnya. Ia perlahan berbaring di atas kasur itu, merasakan kehangatan yang tersisa dari kainnya. Rasanya luar biasa nyaman, terutama setelah hari panjang penuh luka dan ketakutan.
Pemuda itu kemudian tidur di kasurnya. Ia menarik napas panjang, lalu menutup matanya. Sebelum tidur ia nampak menancapkan salah satu pedangnya ke tanah gua. Suasana dalam gua seketika menjadi sunyi, hanya terdengar suara tetesan air dari dinding batu dan napas halus dari dua manusia di dalamnya.
Gao Rui menatap diam-diam, mencoba memahami siapa sebenarnya orang di hadapannya. Setiap gerakan pemuda itu tampak sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu ada sesuatu yang berat, seolah setiap gerakannya membawa beban dunia.
Tak lama pemuda itu membuka matanya sedikit, menatap Gao Rui.
“Hei Bocah, tadi kau bertanya namaku kan? Namaku Boqin Changing.”
Hari telah berganti ke esok pagi. Cahaya matahari menembus masuk melalui celah kecil di dinding batu gua, menimpa wajah Gao Rui yang masih terlelap. Udara pagi terasa sejuk, dan suara burung-burung kecil mulai terdengar samar di kejauhan.
Gao Rui perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan dibandingkan malam sebelumnya. Luka-luka di dadanya sudah menutup, dan rasa nyeri di bahunya hampir hilang sepenuhnya. Ia mengangkat tangannya perlahan, menatap kulitnya yang tak lagi membiru seperti kemarin.
“Benar-benar… sembuh.” pikirnya takjub. Ia menatap ke sekeliling, mencari sosok yang semalam menolongnya.
Matanya kemudian tertuju pada Boqin Changing yang tengah duduk di dekat pintu gua. Pemuda itu tampak begitu tenang, menyiapkan sarapan dengan peralatan masak yang bahkan lebih lengkap dari semalam. Ada panci kecil, pisau tajam, beberapa bumbu yang tersusun rapi di atas kain, dan sebatang kayu yang digunakan sebagai pengaduk. Asap tipis mengepul dari panci, membawa aroma wangi bubur daging yang lembut dan gurih.
Gao Rui hanya bisa menatap terpana. Ia tak pernah melihat seorang pendekar berpergian serumit ini. Biasanya para pengembara hanya membawa pedang dan pil obat, tapi pemuda di hadapannya ini tampak seperti seseorang yang sudah hidup ratusan tahun di alam liar.
Boqin Changing melirik sedikit ke arah Gao Rui, lalu tersenyum tipis.
“Kau sudah bangun rupanya,” katanya pelan. “Bagus. Tubuhmu jauh lebih baik sekarang. Kau sudah bisa makan sesuatu yang hangat.”
“Se-Senior…” Gao Rui berusaha duduk tegak, wajahnya masih menyimpan rasa kagum. “Aku tidak menyangka… kau benar-benar bisa menyembuhkan lukaku dalam semalam.”
Boqin Changing hanya mengangkat bahunya ringan.
“Aku hanya mempercepat proses yang seharusnya terjadi.” Ia mengaduk bubur di dalam panci, lalu melanjutkan, “Tubuhmu memang lemah, tapi masih memiliki keinginan hidup yang kuat. Itu sebabnya aku tahu kau tidak akan mati.”
Ia kemudian menuangkan bubur hangat itu ke dua mangkuk kecil yang ia keluarkan dari dalam cincin ruangnya. Uap lembut mengepul di udara, aroma daging dan rempah memenuhi gua. Boqin Changing menyerahkan satu mangkuk kepada Gao Rui.
“Makanlah. Tak ada guna berterima kasih kalau kau belum pulih sepenuhnya.”
Gao Rui menerimanya dengan kedua tangan, matanya menatap bubur itu seolah masih tak percaya dengan apa yang ia alami. Ia lalu bertanya dengan nada ragu.
“Senior… bagaimana mungkin kau bisa hidup sesantai ini? Kau tampak seperti… tak terbebani apa pun. Padahal dunia di luar sana begitu keras.”
Pertanyaan itu membuat Boqin Changing terdiam sesaat. Ia menatap uap yang naik dari mangkuknya, lalu tersenyum tipis. Senyum yang kali ini terasa lebih manusiawi daripada biasanya.
“Sesantai ini, ya?” gumamnya pelan. “Mungkin karena beberapa tahun terakhir… bukan tahun yang mudah bagiku.”
Ia mengangkat pandangannya ke arah mulut gua, menatap sinar matahari yang masuk perlahan, seolah sedang melihat sesuatu yang jauh melampaui waktu.
“Aku melihat dan banyak ikut campur dalam berbagai hal.” ucapnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Jadi… mungkin sekarang aku hanya butuh waktu untuk sedikit bersantai. Dunia ini terlalu bising kalau terus dipikirkan.”
Gao Rui menatapnya tanpa berkata-kata. Ada sesuatu dalam nada suara Boqin Changing yang membuat dada terasa berat, sebuah kelelahan yang tidak berasal dari tubuh, melainkan dari hati yang sudah terlalu lama berjuang.
Boqin Changing lalu menoleh padanya lagi, kali ini dengan ekspresi datar tapi lembut.
“Kau tahu, Bocah.” katanya, “kadang yang paling sulit bukan bertarung melawan orang lain, tapi melawan diri sendiri. Dan terkadang… satu mangkuk bubur panas di pagi hari lebih berguna daripada sepuluh pedang yang hebat.”
Ucapan itu membuat Gao Rui terdiam cukup lama. Ia menunduk, menatap bubur di tangannya, lalu tersenyum kecil.
“Aku… mengerti, Senior.”
Boqin Changing meneguk buburnya perlahan, lalu menghela napas panjang.
“Selanjutnya apa yang akan kau lakukan?”
Gao Rui terdiam cukup lama, seolah pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab. Ia menatap bubur di tangannya, lalu meneguknya perlahan sebelum akhirnya membuka suara.
“Aku… akan kembali ke sekteku.” katanya lirih, meski matanya tampak ragu. “Bagaimanapun juga, itu satu-satunya tempat yang kuanggap rumah.”
Boqin Changing menghentikan gerakannya. Sendok kayu di tangannya berhenti mengaduk, lalu ia menatap Gao Rui dengan sorot dingin namun mengandung nada geli. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis.
“Kembali ke sektemu?” ia mengulang perlahan, seolah mengecap kata-kata itu. “Untuk apa? Agar kau bisa dirundung kembali oleh para murid yang lebih kuat? Atau agar tetua-tetua di sana kembali berpura-pura tidak melihatmu saat kau dipermalukan?”
Nada suaranya tenang, tapi setiap katanya seperti bilah tajam yang menembus jantung Gao Rui. Pemuda itu menunduk, tak mampu membalas.
“Aku…” suaranya tercekat, “Aku hanya berpikir mungkin kali ini akan berbeda. Aku sudah selamat dari maut, mungkin… itu pertanda untuk mulai lagi dari awal.”
Boqin Changing tertawa kecil. Tawa yang tanpa emosi, hanya berupa hembusan dingin dari dada.
“Berpikir naif seperti itu hanya akan membuatmu terluka lagi, Bocah.” Ia meletakkan mangkuknya di atas batu, menatap lurus pada Gao Rui. “Kau kira sektemu akan menyambutmu dengan hangat hanya karena kau selamat? Dunia ini tak berubah hanya karena seseorang menderita. Kebanyakan sekte tidak peduli pada yang lemah. Mereka hanya menghormati hasil, bukan prosesnya.”
Ia berdiri perlahan, melangkah ke arah mulut gua. Angin pagi menerpa jubahnya, membuat rambutnya sedikit berkibar.
“Lagipula,” lanjutnya tanpa menoleh, “apa gunanya kembali ke sekte kalau hanya untuk berlatih sendirian di sudut terpencil? Kau sendiri sudah tahu, mereka tak akan mengajarkanmu apa pun. Mereka hanya menganggapmu beban.”
Suara Boqin Changing terdengar datar, tapi di dalamnya tersimpan nada getir yang samar. Gao Rui merasakan dadanya semakin menyesak, tapi masih berusaha berkata,
“Aku… tidak punya tempat lain untuk pergi, Senior. Sekte itu satu-satunya tempatku sejak guruku meninggal. Aku juga tidak punya keluarga.”
Boqin Changing menatap langit gua sebentar, lalu berbalik dengan pandangan tajam.
“Dan tidak ada tetua lain di sektemu yang mengangkatmu sebagai murid sepeninggal gurumu?” tanyanya dengan nada tajam tapi heran. “Tidak satu pun?”
Gao Rui menggeleng pelan.
“Tidak ada. Aku pernah mendengar beberapa tetua berminat mengajariku. Namun murid-murid mereka menentangnya.”
Boqin Changing menatapnya lama, lama sekali hingga suasana di dalam gua menjadi sunyi.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Jadi kau bertahan bukan karena ingin menjadi kuat… tapi karena tidak tahu ke mana lagi harus pergi.”
Nada suaranya kini lebih lembut, tapi tetap mengandung sesuatu yang dalam, seolah ia sedang berbicara kepada dirinya di masa lalu.
Ia berjalan mendekat.
“Kalau begitu, jangan buru-buru kembali.” ujarnya tenang. “Dunia ini luas, Bocah. Sekte bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Kadang… jalan terbaik dimulai dari luar tembok tempat kau dibesarkan.”
Gao Rui menatap Boqin Changing dengan mata yang penuh kebingungan.
“Apakah Senior… pernah mengalami hal yang sama?”
Boqin Changing tersenyum samar, tapi kali ini senyumnya mengandung sesuatu yang tak terucap, sebuah luka lama yang tak lagi berdarah.
“Pernah,” jawabnya singkat. “Dan itu sebabnya aku mungkin mengerti perasaanmu.”
Boqin Changing menatap wajah Gao Rui dalam diam cukup lama. Tatapan itu bukan sekadar pengamatan, melainkan seolah menembus lapisan waktu dan kenangan yang telah lama terkubur. Cahaya pagi yang menyorot dari celah batu membuat wajah Gao Rui tampak lebih jelas, garis rahangnya, sorot matanya yang jujur, bahkan cara ia menatap balik dengan sedikit gugup.
Setelah beberapa saat, Boqin Changing tersenyum tipis, lalu berkata pelan.
“Wajahmu… mirip dengan seseorang yang pernah aku kenal.”
Gao Rui tampak heran.
“Seseorang… yang Senior kenal?”
Boqin Changing mengangguk, pandangannya sedikit menerawang.
“Ya wajahnya mirip denganmu. Bedanya,” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Gao Rui lebih dalam. “wajahmu tampak lebih muda darinya. Seolah aku sedang melihat versi dirinya dalam fisik muda yang lebih lemah.”
Ucapan itu membuat udara di gua terasa hening. Suara burung di luar seolah ikut berhenti. Gao Rui menelan ludah, lalu bertanya hati-hati,
“Apakah orang itu… kuat?”
Boqin Changing tertawa kecil, tapi tawa itu tak mengandung keriangan sama sekali. Lebih seperti helaan napas panjang dari seseorang yang lelah mengenang masa lalu.
“Apakah dia kuat, ya…?” Ia menatap ujung jarinya, lalu menatap langit-langit gua dengan sorot mata yang sayu. “Mungkin orang itu bahkan lebih kuat dariku.”
Gao Rui terdiam, menatapnya dengan mata membulat. Ia sulit membayangkan seseorang bisa lebih kuat dari Boqin Changing. Sosok yang bisa terbang, mengobati luka parah, dan berbicara seolah memahami rahasia hidup itu sendiri.
Gao Rui menatap sosok di depannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kekaguman, tapi juga rasa iba seolah pemuda itu sedang memikul kenangan yang terlalu berat untuk dibicarakan.
Boqin Changing tersenyum tipis lagi tanpa menoleh.
“Jangan terlalu serius menatapku begitu, Bocah. Aku hanya melihat masa lalu di wajahmu, itu saja.”
“Apakah…” Gao Rui ragu sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, “Apakah orang itu masih hidup?”
Boqin Changing tidak langsung menjawab. Ia menatap api di depannya, dan dalam pantulan nyala merah itu, matanya tampak sedikit redup.
“Entahlah,” katanya akhirnya dengan suara yang hampir seperti bisikan. “Mungkin masih hidup… atau mungkin hanya tinggal di dalam ingatan seseorang seperti aku.”
Gao Rui menunduk. Hatinya bergetar, entah karena simpati atau karena firasat bahwa cerita yang ia dengar barusan bukan sekadar kisah tentang orang lain, melainkan tentang Boqin Changing sendiri.
Namun ia tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya memandang punggung Boqin Changing yang disinari cahaya matahari, dan dalam hati berbisik lirih.
“Orang seperti Senior… pasti pernah terluka lebih dalam dari siapa pun.”
Boqin Changing menoleh sedikit, senyum samar masih terukir di wajahnya.
“Sudahlah, habiskan buburmu sebelum dingin,” katanya tenang.
Boqin Changing menatap api yang mulai meredup, lalu perlahan memejamkan mata. Dalam keheningan gua itu, seolah waktu ikut berhenti. Bayangan masa lalu kembali menari di pelupuk matanya, bayangan seorang pria berambut panjang, berdiri tegak di antara hujan darah dan debu pertempuran.
Zhi Shen. Nama itu kembali menggema di dalam pikirannya. Pengikut pertamanya. Orang yang paling setia, sekaligus tombak terdepan dalam setiap perang besar yang ia hadapi.
Boqin Changing masih bisa mengingat jelas bagaimana pertama kali ia bertemu pria itu. Ia menatap dunia dengan keberanian luar biasa. Zhi Shen dengan kemampuannya tidak pernah mengecewakannya.
Ia bertarung tanpa rasa takut. Menyerbu barisan musuh tanpa ragu. Hingga akhirnya, Zhi Shen menjadi pendekar tombak paling disegani di bawah bendera Boqin Changing.
Boqin membuka matanya perlahan, tatapannya kosong menembus dinding batu gua yang lembab. Dalam diam, ia masih bisa mendengar ucapan terakhir Zhi Shen sebelum kembali ke masa lalunya.
"Jika Anda pergi, kami semua mungkin akan lenyap. Ingatan tentang kami, mungkin juga akan ikut menghilang di pikiran anda, Tuan.”
Boqin Changing menunduk dalam-dalam. Setelah sekian lama, kata-kata itu masih menancap di dadanya seperti tombak yang tak bisa dicabut. Nyatanya setelah berhasil kembali ke masa lalunya, ingatannya tentang para pengikutnya ternyata tidak hilang.
Saat ini di hadapannya, duduk seorang pemuda bernama Gao Rui, dengan wajah, tatapan, bahkan garis senyum yang nyaris sama dengan Zhi Sen. Andaikan ia lebih tua, wajah Gao Rui mungkin akan benar-benar mirip dengan pengikut pertamanya itu.
Boqin Changing menarik napas pelan, mencoba menyingkirkan bayangan itu, tapi gagal.
“Zhi Shen…” gumamnya tanpa sadar. “Apakah mungkin dunia ini benar-benar berputar untuk mempertemukan kembali jiwa-jiwa lama?”
Gao Rui menatapnya bingung.
“Senior? Tadi kau bilang sesuatu?”
Boqin Changing menggeleng perlahan, senyumnya samar tapi matanya masih menyimpan sisa nostalgia.
“Tidak, hanya berbicara pada angin.”
Ia berdiri, merapikan jubahnya, lalu menatap keluar gua. Cahaya pagi kini telah sepenuhnya masuk, menghangatkan batu-batu lembab di sekeliling mereka.
“Gao Rui,” katanya tanpa menoleh, “apakah kau ingin bertambah kuat?”
Gao Rui terdiam, lalu mengangguk perlahan.
“Tentu, Senior.”
Boqin Changing menatap langit gua sebentar, lalu menambahkan dengan nada lirih.
“Jika kau mau, aku bisa mengajarimu.”
Ucapan itu menggantung di udara, dibawa angin keluar dari gua bersama aroma tanah basah dan embun pagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!