Langit malam di negeri Han yue berubah pucat, perlahan ditelan bayangan bulan yang merayap. Gerhana itu bukan sembarang gerhana,gerhana tersebut berwarna merah menyala, semerah darah, seolah langit sendiri sedang berkabung. Orang-orang berkerumun di jalanan, wajah mereka penuh ketakutan. Tabib-tabib tua,peramal bahkan menteri urusan keagamaan bergumam bahwa itu adalah pertanda buruk seperti kutukan yang akan menelan dua jiwa pada malam yang sama.
Dan benar saja.
Di negeri Qing lan, jauh dari pusat Han yue, istana megah terbakar oleh kegelisahan. Putri Han yue bernama Yu xuan yang diperistri oleh Putra Mahkota Qing lan,terbujur kaku di kamarnya. Darah mengalir deras dari dada yang ditusuk belati hitam. Api obor menjilat kain tirai, menelan tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Tidak ada yang tahu siapa pria misterius yang masuk ke kamarnya malam itu, hanya ada bau arang dan daging terbakar, meninggalkan mayat yang bahkan sulit dikenali. Malam itu, dua kerajaan yang diikat pernikahan politik, diguncang oleh tragedi yang sama yaitu hilangnya seorang putri.
Sementara itu, di jantung kota Han yue, di antara gang-gang sempit dan rumah bordil yang beraroma arak basi, seorang budak wanita bernama Chen xi berlari di lantai atas bangunan reyot. Langkahnya goyah, matanya penuh air, seakan tengah melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat. Teriakan samar terdengar, namun lenyap ditelan gemuruh suara lelaki mabuk. Saat bulan merah sepenuhnya menelan langit, kakinya terpeleset. Tubuh mungilnya terhempas ke bawah. Suara retakan tulang bergema di antara lantai kayu yang basah oleh darah. Ia meninggal seketika, dengan mata yang masih menatap langit merah itu yang seolah langit ingin menyaksikan tragedinya.
Tak ada yang tahu, apa hubungan antara kedua kematian itu. Seorang putri yang seharusnya dilindungi, dan seorang budak yang tak pernah dipedulikan. Namun gerhana darah malam itu telah mengikat takdir keduanya dengan benang yang sama.
Dan di balik semua itu, ada rahasia besar yang belum terbongkar. Sebuah rencana yang melibatkan tahta, dendam, dan jiwa-jiwa yang menolak mati dengan tenang.
Di negeri Qing lan malam itu sibuk memadamkan api yang membesar di kamar putri mahkota, sedangkan di rumah bordil Yue zhi orang-orang disana mengerumuni dan menatap kasihan dengan Chen xi.
“Padamkan api! . ”suara teriakan pelayan istana Qing lan.
Mereka berbondong-bondong mengambil air dalam ember kayu, untuk memadamkan api yang sudah membesar.
Teriakan pelayan dan prajurit bercampur dengan gemuruh api yang melalap kamar Putri Mahkota. Istana dipenuhi kepanikan. Kaisar belum tidur, wajahnya muram, sementara Putra Mahkota menatap dingin kobaran api yang menelan tempat istrinya dan senyum tipis seolah menghiasi wajah tampan putra mahkota Qing lan.
Akhirnya aku terbebas dari wanita yang tidak menarik itu. suara hati putra mahkota Qing lan.
Namun jauh di Han yue, di sebuah rumah bordil termewah bernama Yue zhi, keheningan justru terasa lebih mencekam. Tubuh Chen xi yang remuk terbujur di lantai. Darah segar mengalir, membasahi lantai kayu yang pecah di beberapa tempat. Wanita-wanita penghibur menjerit, menutup mulut mereka dengan tangan gemetar, sebagian lainnya pingsan tak kuat menatap pemandangan itu.
Di antara kerumunan, seorang perempuan paruh baya yang berwajah cantik dengan penampilan seperti penghibur senior merangsek maju, wajahnya penuh air mata. Dialah Nyonya Heng, yang selama ini dikenal hanya sebagai pemilik rumah bordil itu yang tak ada yang tahu bahwa ia menyimpan rahasia paling besar yaitu budak yang tidak mereka anggap,adalah putri nyonya Heng.
“Xi’er… Xi’er-ku… bangunlah… jangan tinggalkan ibu…” Suara parau Nyonya Heng pecah, ia mengguncang tubuh putrinya yang dingin. Tangisnya menggetarkan hati, bahkan lelaki pemabuk yang biasanya tak peduli ikut terdiam, menatap dengan iba.
Salah satu karyawan nya, mencoba menenangkan nona Heng. “Nyonya, hentikan kasihan Chen xi!. ”
Tak lama kemudian, keajaiban terjadi setelah itu.
Langit yang masih merah pekat. Gerhana itu belum berakhir. Namun perlahan, bayangan bulan bergerak, meninggalkan sinar pucat keperakan yang menembus celah jendela rumah bordil. Cahaya itu jatuh tepat ke tubuh Chen xi, seperti sentuhan ilahi.
Tiba-tiba, hawa dingin menusuk ruangan. Lilin-lilin padam serentak, hanya tersisa sinar merah dari langit. Para wanita menjerit. “Dewi… dewi marah! Ini kutukan gerhana!”
Nyonya Heng tak peduli. Ia merangkul erat jasad putrinya. Air matanya menetes, jatuh ke wajah Chen xi yang pucat.
Dan saat itu terjadi saat tetesan terakhir air mata jatuh, gerhana merah mulai menghilang. Langit kembali pucat, sinar bulan murni memancar. Tubuh Chen xi tiba-tiba tersentak. Tangannya bergerak kaku, matanya terbuka perlahan.
“Haahh—!”
Suara helaan napas panjang keluar dari bibirnya, seolah ia baru saja kembali dari kedalaman lautan.
Kerumunan terdiam. Wanita-wanita penghibur menjerit lebih keras, ada yang berlari keluar rumah, ada yang berlutut memohon ampun pada langit.
Sedangkan nyonya Heng hanya terdiam terpaku, dengan wajah yang memucat karena tidak percaya dengan yang ia lihat didepan nya.
Chen xi terbatuk, darah tipis mengalir dari bibirnya. Matanya yang semula kosong kini dipenuhi cahaya berbeda. Bukan sekadar seorang budak yang hidup kembali tapi tatapannya dalam, seakan menatap menembus jiwa setiap orang di ruangan itu.
“Xi’er… kau hidup… kau hidup kembali!” Nyonya Heng menjerit, mencium wajah putrinya berkali-kali dan memeluknya.
Namun Chen xi hanya menatap bulan dari celah jendela, matanya berkilat aneh. bagaimana bisa aku disini?bukankah aku sudah menjadi mayat terbakar oleh api. tapi ini dimana?.pikirnya yang bingung dengan tempat asing dan orang -orang disekitarnya.
Chen xi melihat kearahnya sendiri, ia memperhatikan tangannya dan wanita cantik didepan nya.
“Nyonya siapa?. ”
“Aku ibumu. ”
“Ibu?. ”
Lalu kilatan ingatan tentang kehidupan Chen xi yang lalu, ter selip dalam kepalanya.
Chen Xi menatap wajah cantik paruh baya di depannya. Kata “ibu” terasa asing di lidahnya, namun hangat sekaligus menyakitkan di hati. Tapi seiring ia menatap lebih lama, kilatan cahaya menyambar di benaknya sebuah bayangan-bayangan asing, kehidupan yang bukan miliknya.
Kilatan pertama datang begitu jelas.
Seorang gadis kecil berambut kusut, tubuh kurusnya penuh memar, berdiri di sudut ruangan remang. Ia menatap sosok Nyonya Heng dengan mata basah, sambil membawa semangkuk bubur basi.
“Ibu… Xi’er sudah membersihkan lantai. Lihat… Xi’er bisa membantu, jangan marah lagi.” Suaranya kecil, penuh harap.
Namun yang ia dapatkan hanya tamparan keras. Bubur itu tumpah ke lantai.
“Kau pikir dengan wajah busukmu itu aku bisa mengakuimu sebagai anakku? Jangan bermimpi! Kau hanya budak hina di rumah ini! Kau hanya beban, mengerti?!”
Gadis kecil itu menangis, memegangi pipinya yang memerah. Tapi di matanya masih ada secercah harapan dimana harapan yang terus ia bawa hingga dewasa, meski setiap hari ia hanya menerima hinaan, pukulan, dan kata-kata yang menusuk hati.
Kilatan lain menghantam. Malam-malam panjang ketika tubuh gadis itu dipaksa bekerja, membersihkan kamar pelanggan yang bau arak dan keringat. Saat ia jatuh sakit, Nyonya Heng bahkan tidak meliriknya. Yang keluar hanya kalimat dingin seperti.
“Kalau mati, kuburkan saja di belakang rumah. Tak ada yang peduli.”
Ingatan itu begitu nyata, membuat Chen xi gemetar. Tubuhnya bergetar, kedua tangannya mencengkeram kain lusuh di dadanya.
Itu… kehidupan Chen Xi yang asli.
Malangnya nasib gadis ini, ibu yang seharusnya memeluknya. tapi Chen xi mendapatkan tamparan dan pukulan rotan dari ibunya yang ia sayangi. pikir Yu xuan.
Sekarang dia sudah menyadari, dia bukan lagi putri Yu xuan, Putri Mahkota Qing lan. Tapi ia adalah Chen xi gadis budak, putri pemilik rumah bordil Yue zhi.
“Tidak mungkin…” bisiknya pelan, air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. “Jadi… aku berada di tubuh seorang budak hina yang bahkan tidak diakui ibunya sendiri?”
Nyonya Heng yang masih memeluknya membeku sejenak. Ia menatap wajah putrinya,wajah yang kini menatapnya dengan sorot mata berbeda, bukan tatapan lemah penuh permohonan kasih sayang, melainkan tatapan tajam yang menelanjangi jiwa.
“Ibu? Hah… sejak kapan kau mengakuiku anakmu?” Chen Xi tersenyum miring, suaranya dingin. “Bukankah dulu setiap kali aku memanggilmu begitu, kau menamparku? Kau menyebutku budak hina. Jadi sekarang… mengapa kau menyebut dirimu ibuku?”
Nyonya Heng tersentak. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar. “Xi’er… Ibu…”
Namun Chen xi menepis pelukannya, menatapnya dengan mata yang berkilat samar oleh sinar bulan.
Setelah mengatakan kata yang menyakiti nyonya Heng, Chen xi berdiri dan berjalan masuk kedalam rumah bordil tersebut. meninggalkan ibunya yang duduk termenung, seakan ia terkejut dengan yang didengarnya.
Para pekerjaan dan tamu disana, memberikan jalan pada Chen xi. mereka tidak berani berbicara, hanya menatapnya dengan ketakutan karena mereka pikir mayat hidup masuk kedalam rumah bordil tersebut.
Namun di balik kerumunan itu, seorang wanita memperhatikan Chen xi dari jauh dengan tatapan kekesalan.
Nyawanya banyak sekali, sudah tubuh penuh darah. ia bisa hidup, entah ini keajaiban atau kutukan. suara hati wanita misterius itu.
Dua Tahun yang Lalu.
Di Istana Han yue, angin musim semi bertiup lembut membawa aroma bunga plum. Paviliun indah dengan tiang giok hijau dan tirai sutra berkilau menjadi saksi kehidupan penuh kemewahan seorang putri muda bernama Xu yuan.
Xu yuan adalah putri Kaisar, tetapi lahir dari seorang selir rendah. Walau darah kerajaan mengalir di nadinya, ia tidak pernah diperlakukan sejajar dengan saudara-saudaranya. Hidupnya tampak indah di mata rakyat seperti gaun sutra emas, makanan lezat di piring giok, dan taman bunga yang dirawat khusus untuknya. Namun di balik semua itu, Xu yuan hanyalah putri yang tidak pernah dianggap penting.
Mereka tidak menyadari bakat yang dimiliki Xu yuan, ia sebisa mungkin tidak menunjukkan dirinya didepan umum.
Karena tidak mau mengundang permusuhan antara saudara, ia selalu berpura-pura malas dan bodoh untuk bertahan hidup.
“Putri... ”panggil Ling, dia pelayan setia Xu yuan dan teman satu-satunya di istana.
Xu yuan yang saat itu sedang bersantai di kursi panjang di halaman istananya, sambil memejamkan mata. “Ada apa Ling?. ”
“Putri kenapa tidak bersiap-siap?. ”
“Bersiap-siap!. ”Xu yuan langsung membuka matanya. Xu yuan lalu bangkit dari kursinya. “untuk apa?. ”
“Di istana mengadakan pesta musim semi. ”
“Ah.., malas aku. nanti mereka akan membicarakan keburukan ku. lebih baik nikmati suasana pagi dibawah pohon plum. ”
“Putri!, tahun kemarin anda beralasan sakit. sekarang anda tidak datang, apa anda tidak takut dengan kaisar yang marah?. ”
Tapi Xu yuan tidak merespon malah kembali bersantai, Ling yang tahu jika tuannya bersikap seperti ini terus. Ling yang tidak mau tuannya mendapatkan masalah karena sikapnya seperti itu.
Ling segera menarik lembut tangan nonanya, dan membujuknya dengan lembut agar mau ikut bersama dengan nya dan karena bujukan Ling ia menuruti permintaan Ling.
Akhirnya Xu yuan hadir dalam pesta istana tersebut, walaupun ia tahu dia hanya mendapatkan hinaan.
“Yang Mulia, pesta musim semi akan segera dimulai. Para pangeran dan putri telah berkumpul.” pelayan berlutut, menunduk.
Xu yuan mengangguk pelan, matanya redup. Ia tahu pesta itu hanyalah panggung besar untuk putri utama dan pangeran pewaris. Dirinya? Hanya hiasan, sekadar nama di daftar keluarga kekaisaran. Ia berjalan dengan anggun, gaun panjang berwarna biru laut berhiaskan bordir burung bangau. Cantik, tapi tatapan orang-orang hanya melintas tanpa henti di tubuhnya,tidak ada yang benar-benar memperhatikan.
“Putri selir itu… hanya numpang nama,” bisik seorang selir tua di balik kipasnya.
Xu yuan mendengar, tetapi ia tetap tersenyum lembut, menahan luka di hatinya. Ia tahu, kemewahan yang ia miliki tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Di sisi lain, jauh dari istana megah, di sebuah desa terpencil di pinggiran Han yue, seorang gadis kecil bernama Chen xi sedang memeluk erat seorang nenek renta yang tubuhnya dipenuhi batuk.
“Xi’er, jangan menangis. Kau harus kuat… meski hidup kita susah.” suara neneknya lembut, tangannya yang kasar membelai rambut kusut cucunya.
Chen xi tidak pernah mengenal ibunya. Yang ia tahu hanya nenek yang merawatnya dengan sisa tenaga. Hidup mereka sederhana, makan bubur tipis sehari sekali sudah dianggap mewah. Namun Chen xi bahagia dimana neneknya adalah dunia baginya.
Tapi takdir kejam datang lebih cepat. Pada suatu malam musim dingin, hujan deras mengguyur desa. Nenek Chen xi jatuh sakit parah. Dengan sisa napasnya, ia menggenggam tangan cucunya.
“Xi’er… kau harus pergi ke kota. Carilah ibumu, Nyonya Heng… dia masih hidup… dia pemilik rumah… rumah hiburan. Katakan padanya… kau anaknya…” suara nenek itu melemah, lalu senyap selamanya.
Chen xi menangis meraung. Dunia kecilnya runtuh. Namun kata-kata terakhir sang nenek menjadi satu-satunya cahaya yang ia genggam.
Setelah itu Chen xi mencari keluarga satu-satunya, ia yang masih berduka harus pergi ke kota mencari ibunya yang tidak pernah ia temui.
Dengan langkah goyah, Chen xi berjalan ke ibu kota Han yue. Ia masih muda, tubuhnya kurus, wajahnya lusuh, tapi semangat dalam hatinya menyala. Berhari-hari ia mencari, hingga akhirnya tiba di depan rumah bordil paling mewah yaitu Yue zhi.
Lampion merah bergoyang, suara kecapi, tawa lelaki mabuk, dan aroma arak memenuhi udara. Chen xi berdiri di ambang pintu, tubuhnya gemetar.
“Siapa kau?!” seorang penjaga menatapnya dengan tatapan jijik.
Chen xi menggenggam ujung bajunya erat-erat. “Aku… mau bertemu dengan Nyonya Heng. Aku… Xi’er…”
Tawa keras pecah. Para penghibur di pintu menatapnya seakan mendengar lelucon konyol.
Mereka tidak percaya kalau mucikari nya memiliki keluarga, karena yang ia tahu nyonya Heng tidak pernah memiliki keluarga.
Namun tak lama, seorang wanita cantik paruh baya muncul. Dialah Nyonya Heng, pemilik Yue zhi, dengan tatapan tajam yang bisa membuat orang gemetar.
“Siapa kau? Aku tidak kenal dengan mu. Pergi, sebelum aku suruh mereka mengusirmu.” Suaranya dingin.
Chen xi berlutut, air matanya jatuh. “Ibu… aku Xi’er… nenekku sudah meninggal. Tolong… jangan usir aku…”
Ingatan nyonya Heng kembali muncul, dimana ia mengendong bayi dan memberikan nama Chen xi lalu diberikan ke ibunya yang ada didesa.
Wanita-wanita lain tertawa, beberapa menggelengkan kepala.
Begitu juga nyonya Heng, dia tidak mengakui Chen xi putrinya karena pekerjaannya.
Tapi Chen xi tidak menyerah. Hari demi hari ia berdiri di depan pintu, meski diteriaki, dilempari, bahkan dipukul. Ia membersihkan lantai tanpa disuruh, mengangkut air, menggosok dapur, semua dengan tubuh kurusnya.
“Hentikan! Kau bukan siapa-siapa!” bentak Nyonya Heng suatu malam.
Namun Chen xi hanya menunduk, tangannya berdarah karena memegang ember kayu terlalu lama. “Biarkan aku tinggal… meski jadi budak pun tak apa. Aku hanya ingin dekat dengan ibu…”
Tatapan Nyonya Heng bergetar sesaat, namun segera ia keras kembali. “Baik. Kalau kau mau jadi budak, tetaplah di sini. Tapi jangan pernah memanggilku ‘ibu’.”
Sejak malam itu, Chen xi resmi tinggal di Yue zhi bukan sebagai anak, melainkan sebagai budak hina yang diperlakukan lebih rendah dari pelayan biasa.
Dua tahun lalu, ketika Xu yuan duduk di balairung istana dengan gaun sutra indah tapi hati penuh sepi, Chen xi justru berjongkok di lantai bordil, membersihkan lantai yang kotor oleh muntah lelaki mabuk.
Xu yuan punya segalanya namun tidak dianggap.
Chen xi tidak punya apa-apa, bahkan kasih sayang ibunya.
Tak ada yang tahu, dua nasib berbeda itu akan dipertemukan oleh gerhana merah momen yang dianggap sebagai kutukan jaman itu.
Dimana sekarang jiwa Xu yuan berada di tubuh Chen xi, nasibnya sama tidak dianggap tapi kehidupan yang berbeda.
Sekarang Xu yuan tidak bisa menjadi dirinya lagi, karena harus hidup sebagai Chen xi budak rumah bordil.
Xu yuan pun bertanya-tanya apakah jiwa Chen xi berada didalam tubuhnya, dalam ingatannya ia terbakar dalam kamarnya.
“Apakah aku masih selamat? dan Chen xi juga bertukar jiwa seperti ku?. ”
Pertanyaan itu selalu menghantui kepala Chen xi, karena sekarang tubuh Xu yuan di negeri Qing Lan.
Kobaran api di Istana Qing lan memang akhirnya berhasil dipadamkan, namun yang tersisa hanyalah puing-puing arang dan abu berbau anyir darah. Di dalam kamar Putri Mahkota, dua tubuh ditemukan hangus yaitu satu adalah jasad wanita yang diyakini Yu xuan, Putri Han yue, dan satunya lagi tubuh seorang pelayannya Lian yang menyertainya sejak masih tinggal di negeri Han yue.
Namun sesuatu yang aneh segera tercium oleh para tabib istana yang diminta untuk memeriksa. Tulang belulang wanita yang terbakar itu bukan mati karena terbakar tapi karena sebuah senjata yang mengenai organ vital nya. Yang bermodalkan perhiasan yang di kenakan pada mayat terbakar itu,seperti gelang emas bertuliskan lambang Han yue dan cincin jade pemberian pernikahan putra mahkota,karena itulah mereka menyakini kalau wanita yang terbakar itu adalah putri mahkota
Kaisar Qing lan tampak murka, bukan karena kehilangan menantu, melainkan karena kematian itu dapat menjadi alasan Han yue menuntut balas. Sebuah pernikahan politik yang dimaksudkan menyatukan dua negeri, kini justru menjadi bara api perang.
“Apakah Han yue akan percaya bahwa ini kecelakaan?” tanya salah satu menteri dengan wajah pucat.
Putra Mahkota, dengan senyum tipis yang nyaris tak bisa disembunyikan, menjawab dingin, “Jika mereka tak percaya, biarkan mereka menanggung akibatnya. Seorang putri mahkota yang lemah dan tak berguna, dan jasad itu adalah istriku, aku tidak perduli dengan kecurigaan mereka!.”
Ucapan itu membuat banyak pejabat saling pandang, tetapi tak ada yang berani membantah.
Namun, jauh di sudut istana, ada seorang kasim tua bernama Zhao yang wajahnya semakin muram. Ia tahu persis bahwa malam kebakaran itu, seorang wanita berjubah hitam terlihat menyelinap masuk ke kamar Putri Mahkota. Hanya sebentar sebelum api meledak. Dan yang lebih ganjil, tubuh Putra Mahkota sama sekali tidak tampak cemas. Ia bahkan tidak berusaha menyelamatkan istrinya sendiri.
Kaisar yang berusaha melindungi putranya, ia lalu memutuskan untuk menyebarkan berita tentang putri Xu yuan.
“Jangan biarkan kematian putri Xu yuan menjadi awal perang negeri kita. sebarkan berita putri Xu yuan kabur dari Qing lan dengan pria lain, dan di temukan tubuhnya terbakar di rumah yang tidak jauh dari Qing lan. mereka berdua meninggal karena kebakaran. ”
“Tapi yang mulia itu berarti kita membohongi negeri Han yue. ”ucap salah satu menteri.
“Lebih baik mengorbankan nama baik wanita, daripada harus berperang dengan Han yue. Yang dimana kita tidak bisa menghadapi peperangan ini, karena masalah dalam negeri. ”
Titah kaisar pun dilakukan, walaupun seperti itu rakyat Qing lan merasa bersedih karena putri Xu yuan sangat di cintai rakyat disana.
Rumor pun mulai beredar.
Ada yang mengatakan Putra Mahkota sengaja membunuh istrinya karena ingin bebas menikahi selir favoritnya.
Ada yang berbisik bahwa orang Han yue sendiri yang mengirim pembunuh, untuk menciptakan alasan menuntut Qing lan.
Ada pula yang percaya, Putri Mahkota Yu xuan tidak mati di kamar itu. Bahwa yang terbakar hanyalah pelayan penggantinya.
Rakyat Qing lan sendiri sudah meragukan berita yang disebarkan istana, karena tidak mungkin putri Xu yuan melakukan hal tersebut yang bisa merusak namanya.
Dan memang, ada kejanggalan. Tidak ada yang benar-benar melihat Yu xuan setelah perjamuan makan malam. Hanya pelayannya yang terus keluar-masuk kamar, dan tak seorang pun berani memastikan apakah Putri Mahkota ada di dalam saat api berkobar.
Di sisi lain, di negeri Han yue, kabar kematian Yu xuan disambut duka mendalam bercampur kecurigaan. Kaisar Han yue menghantam meja giok dengan marah.
“Qing lan menghina kita! Mengirim putriku untuk dibakar dan sekarang malah merusak reputasi putriku?!”
Para pejabatnya bersimpuh, beberapa mendesak agar segera dikirim utusan untuk menuntut penjelasan. Namun sebagian lain khawatir, jika perang pecah, Han yue yang baru saja melemah karena kelaparan musim dingin tak akan mampu menahan kekuatan Qing lan.
Karena kaisar Han yue tidak mau melakukan perang lagi, ia mengorbankan nama baik putrinya untuk kedamaian. hanya sebatas itu nyawa putri Xu yuan, tidak berarti dimata kaisar dan yang lain.
Di rumah bordil Yue zhi.
Chen xi terbaring di atas dipan reyot di kamar sempit yang pengap. Bau arak basi dan asap dupa murahan bercampur dengan aroma darah yang masih segar dari lukanya. Tubuhnya remuk, tulang kakinya nyaris tak bisa digerakkan, dan jemari tangannya membiru karena retakan tulang. Setiap kali ia berusaha bangun, rasa nyeri menjalar sampai ke tulang rusuknya.
“Xi’er, jangan bergerak terlalu banyak.” Suara pelan Nyonya Heng terdengar serak, penuh penyesalan yang samar. Ia duduk di sisi ranjang, menatap wajah pucat anaknya atau yang ia kira sebagai anaknya. “Luka-lukamu parah… jika kau terus memaksa, bisa-bisa nyawamu melayang lagi.”
Chen xi dengan jiwa Xu yuan di dalamnya yang hanya menatap dingin. “Aku sudah mati sekali, apa artinya mati kedua kalinya?” suaranya lirih tapi menusuk.
Nyonya Heng terdiam, tidak mampu menjawab. Di matanya, Xi’er berubah menjadi orang asing tapi tatapan tajamnya bukan lagi milik budak hina yang dulu selalu memohon kasih sayang, melainkan tatapan putri agung yang pernah terbiasa hidup di istana.
Chen xi menutup matanya, mencoba mengingat kembali kobaran api yang menelan kamarnya di Qing lan. Panas yang membakar kulit, asap hitam yang mencekik, suara jeritan pelayannya yang setia. Lalu… gelap. Ia yakin dirinya mati. Tapi mengapa kini ia terjebak di tubuh rapuh ini, di tempat hina ini?
Ia menggenggam sprei lusuh, tubuhnya gemetar. Kalau aku di sini… maka jiwa Chen xi yang asli? Apakah jiwanya… menggantikan tempatku?
Namun sebelum pikirannya semakin kacau, pintu kamar berderit terbuka. Seorang pelayan muda masuk terburu-buru, wajahnya pucat.
“Nyonya! Nyonya Heng! Ada kabar dari luar…” bisiknya panik.
Nyonya Heng berdiri cepat. “Kabar apa?”
Pelayan itu ragu sejenak, melirik ke arah ranjang di mana Chen xi berbaring. Lalu ia mendekat, berbisik, “Mereka bilang… Putri Xu yuan dari Han yue… meninggal terbakar di istana Qing lan. Tapi,istana Qing lan menyebarkan kabar bahwa ia lari bersama pria lain, lalu tewas dalam kebakaran.”
Suasana kamar mendadak sunyi.
Chen xi yang terbaring tiba-tiba membeku. Jantungnya berdegup kencang, darah seakan berhenti mengalir.pria apa maksudnya?.
“Apa… yang kau katakan?” suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh tekanan.
Pelayan itu menunduk ketakutan. “I-itu… berita yang tersebar di jalanan, Nyonya. Semua orang membicarakan kehinaan Putri Xu yuan. Mereka bilang… dia melarikan diri dengan selingkuhan, lalu mati terpanggang.kaisar sendiri diam, seolah-olah menerima tuduhan itu…”
“Tidak… mustahil…” bisik Chen xi, matanya melebar. Nafasnya terengah, tubuh lemahnya berusaha bangkit tapi rasa sakit di tulang membuatnya jatuh kembali. “Itu bohong! Itu fitnah! Aku tidak mungkin… melakukan hal memalukan seperti itu!”
Air mata panas merembes di sudut matanya. Ia, Xu yuan, seorang putri yang sepanjang hidupnya sudah terpinggirkan, kini setelah mati pun nama baiknya diinjak-injak.
Nyonya Heng menatap putrinya atau siapa pun yang kini bersemayam di tubuhnya yang dengan wajah bingung. Ia melihat api kemarahan dan kepedihan di mata Chen xi, api yang tak pernah ada pada putrinya yang dulu karena perlakuan nya.
Chen xi menggertakkan giginya, suaranya pecah oleh tangis dan amarah.
“Kalau dunia ini percaya pada kebohongan itu… maka aku sendiri yang akan membuktikan kebenaran! Aku akan cari siapa yang membunuhku… siapa yang menukar takdirku… dan aku akan membuat mereka berlutut di bawah kakiku!”
Suara lirih namun penuh tekad itu menggema di kamar kecil, membuat Nyonya Heng dan pelayannya merinding.
Namun tubuh Chen xi terlalu lemah. Setelah meluapkan amarahnya, ia terbatuk keras, darah segar mengalir dari bibirnya. Kesadarannya memudar, matanya perlahan terpejam, meninggalkan janji dendam yang terpatri dalam jiwanya.
Nyonya Heng yang panik segera pelayan memerintahkan nya mencarikan tabib untuk putrinya, nyonya Heng mulai meragukan Chen xi dan menyakini bahwa sesuatu telah terjadi pada bulan merah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!