NovelToon NovelToon

REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

EPISODE 1

Di tengah Aula Harta Karun yang megah, tempat tumpukan koin emas seluas bukit dan permata berkedip lebih terang dari bintang, duduklah Dewa Kekayaan. Arta, sang pengelola rezeki semesta, tidak mengenakan jubah mewah melainkan pakaian sederhana seorang akuntan surgawi. Matanya yang biasanya penuh perhitungan kini memancarkan kelelahan.

Jauh di luar dinding aula, terdengar sorak-sorai nyaring dari perayaan yang digelar untuk menghormati Dewa Keberanian yang baru saja kembali dari perbatasan. Semangat dan decak kagum memenuhi seluruh Alam Dewa. Suara tawa dan lantunan musik suci bagaikan ombak yang tidak pernah sampai ke tepi kolam sunyi Arta.

Dewa itu membalik halaman besar buku catatan kekal yang terbuat dari giok putih. Tangan yang menguasai seluruh peredaran rezeki alam semesta ini terasa dingin dan hampa. Dia hanyalah seorang petugas yang menghitung, mengelola, dan mendistribusikan berkat yang paling dicari. Namun, Ironisnya, dia sendiri adalah dewa yang paling diabaikan dalam pesta apa pun.

{Mengapa tak ada yang pernah menawarkan bersulang untukku? Mereka menyembah benda yang kubawa, tetapi bukan diriku. Aku hanya pelayan yang membawa nampan emas, tidak lebih dari itu.}

Tiba-tiba, seorang Pelayan Langit bergegas masuk, nafasnya terengah. Dia hanya menjulurkan sebuah gulungan titah dengan tergesa-gesa, pandangannya terus-menerus melirik ke arah pintu keluar, seolah takut melewatkan keramaian di luar.

"Yang Mulia Dewa Kekayaan," Pelayan Langit itu berkata cepat, tanpa jeda. "Dewi Keberuntungan membutuhkan seribu keranjang rupiah safir untuk mendanai ritual perdamaian di Tiga Alam Bawah. Itu harus segera dikirim."

Arta mengangguk tanpa ekspresi. Permintaan mendadak dan besar seperti itu adalah hal yang biasa. Setiap keberhasilan dewa lain selalu membutuhkan dukungan finansial darinya.

"Sampaikan pada Dewi Keberuntungan," jawab Arta, suaranya datar. "Catatan sudah diperbarui. Pengiriman akan dilakukan sesuai jadwal. Jangan sampai ada kekurangan satu keping pun."

Pelayan Langit itu langsung berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun terima kasih atau menunggu izin. Dia lari sekencang mungkin menuju sumber perayaan.

Arta menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang keras, kontras dengan tumpukan permata di sekitarnya. Dia menatap pantulan cahaya abadi dari sebuah mahkota berlian di sudut ruangan.

{Semua dewa berlomba mencari pujian dan pengakuan. Aku di sini menjaga timbangan dunia, memastikan semua berjalan adil. Tapi dalam hati mereka, aku hanyalah alat yang selalu dibutuhkan, namun tak pernah dicintai.}

Dia mengambil pena bulu angsa emas dan mencelupkannya ke dalam tinta nebula. Tugasnya adalah memastikan keseimbangan ilahi, menjaga agar tidak ada kekacauan ekonomi surgawi. Dengan desahan pelan, Dewa Kekayaan kembali ke pekerjaannya, kembali menjadi pengawas kekayaan yang tidak pernah dia sentuh untuk kebahagiaannya sendiri.

Ketidakpedulian Alam Dewa akhirnya menjadi titik balik yang tak tertahankan. Arta meletakkan pena bulunya. Cahaya keemasan mulai meredup dari tubuhnya. Dia tidak ingin kekayaan, dia ingin nilai dirinya diakui. Satu-satunya cara adalah melepaskan kekuatan yang mendefinisikannya.

Di hadapan cermin perunggu surgawi, dia mengucapkan deklarasi pengunduran diri sementara. Energi ilahi yang telah dikumpulkannya selama ribuan tahun mulai terurai, meninggalkan hanya inti kesadaran yang murni. Dia tidak memilih tempatnya mendarat; dia hanya memilih untuk menjadi fana, menjadi manusia biasa yang miskin.

{Aku harus tahu, apakah seseorang bisa benar-benar menyayangiku ketika aku tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan, selain diriku yang sebenarnya.}

Sebuah lompatan yang sunyi, tanpa gemuruh atau kilatan petir. Hanya sensasi dingin yang mencengkeram jiwanya saat jatuh dari kemuliaan surga menuju lumpur kehidupan.

Saat Arta membuka matanya lagi, dia disambut oleh realitas yang menyakitkan. Tulang-tulangnya terasa ngilu, seolah baru saja dipukul. Dia terbaring di atas tikar jerami yang menusuk, di dalam gubuk kayu yang rapuh. Tubuh barunya bernama Bima, seorang pemuda yang hidupnya tertekan oleh kemiskinan.

Kepalanya berdenyut hebat. Kenangan Bima tentang rasa lapar, hutang, dan kerja keras yang sia-sia mulai membanjiri kesadaran ilahinya yang kini terperangkap. Ini adalah kesulitan yang nyata, berbeda jauh dari perhitungan angka-angka di buku gioknya.

"Kakak, kau sudah sadar?"

Suara itu lembut, renyah seperti lonceng angin. Bima memutar lehernya yang kaku. Di sampingnya berlutut seorang gadis kecil, sekitar delapan tahun, dengan rambut diikat rapi. Wajahnya yang berbentuk hati dan matanya yang besar membuat ia terlihat luar biasa cantik, bahkan di tengah keputusasaan.

Ini adalah Dinda, adik perempuan Bima. Pakaiannya lusuh, tetapi tangannya yang memegang baskom kecil air terasa hangat dan perhatian.

"Tanganmu berdarah lagi karena memungut kayu bakar. Aku sudah menggantinya dengan perban bersih," bisik Dinda, air matanya mulai menggenang. "Jangan terlalu memaksakan diri, Kakak. Aku takut."

Bima, yang dulunya adalah Arta, menatap gadis itu. Air mata, ketakutan, dan cinta tanpa pamrih. Itu adalah kekayaan yang belum pernah ia kelola. Dinda mencintai kakaknya, Bima, bukan karena kekuasaan atau emas, tetapi karena ia adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Bima mengulurkan tangan yang lemah dan menyentuh kepala adiknya.

{Inikah yang disebut harta yang sesungguhnya? Sebuah ikatan yang tidak bisa diukur, tidak bisa dihitung, dan tidak akan pernah habis.}

Dewa Kekayaan kini adalah seorang pemuda miskin, tetapi untuk pertama kalinya dalam keabadian, dia merasa tidak sendirian.

Ketenangan sesaat itu hancur oleh suara benturan keras di pintu depan.

"Bima! Kami tahu kau sudah sadar! Bayar hutangmu sekarang atau kami bongkar gubuk bobrok ini!"

Tiga sosok besar dengan wajah keras dan pakaian kotor menerobos masuk. Mereka adalah penagih hutang dari rentenir lokal, otot mereka bergelayutan di lengan yang dipenuhi tato.

Dinda menjerit kecil dan langsung menyembunyikan dirinya di balik punggung Bima. Tubuhnya gemetar ketakutan, mencengkeram kain baju kakaknya. Aura kekerasan dan ancaman memenuhi ruangan kecil itu.

Bima merasakan detak jantungnya sendiri, sebuah sensasi asing, berdetak kencang karena adrenalin. Tubuh manusianya lemah, rentan. Namun, pikiran Arta tidak pernah lemah. Mata sang Dewa Kekayaan menyapu ruangan dan para penyerang dalam sepersekian detik.

Analisis itu, perhitungan cepat yang mendetail tentang setiap variabel fisik, masih bekerja sempurna. Itu adalah bakatnya, keterampilan yang tidak bergantung pada kekuatan ilahi. Itu adalah logika murni.

Ketika penagih terdepan mengayunkan tinjunya, Bima bertindak. Bukan dengan sihir, melainkan dengan presisi mekanis. Dia menghindari pukulan itu dengan gerakan minimal, lalu mengarahkan kakinya ke gundukan kecil jerami lembap di lantai yang sudah ia catat. Dalam saat yang sama, ia menggunakan tongkat penyangga yang miring, yang tadinya dikira tongkat, sebagai tuas kecil yang membuat kaki penagih itu tergelincir sempurna.

Pria besar itu oleng, tubuhnya yang besar jatuh menimpa dua rekannya di belakang. Tiga penagih itu ambruk dalam tumpukan yang memalukan di atas tikar kotor, lebih terkejut daripada terluka.

"Kami akan kembali!" teriak pemimpin kelompok itu dengan wajah merah karena marah dan rasa malu, sebelum bergegas bangun dan menyeret rekan-rekannya keluar dari gubuk itu.

Bima berdiri tegak, napasnya berderu, tetapi matanya tenang. Dia membungkuk dan memeluk Dinda.

"Jangan takut, Dinda. Mereka tidak akan datang lagi," katanya menenangkan.

Dinda mendongak, matanya yang indah penuh kekaguman. "Kakak... kau hebat sekali."

Bima memejamkan mata. Rasa bangga yang aneh menjalari dirinya. Ini lebih berharga daripada semua pemujaan di Alam Dewa.

{Kekuatan ilahiku mungkin telah hilang, tetapi pikiranku tetap menjadi alat rezeki yang paling tajam. Aku dapat melihat setiap nilai, setiap peluang, setiap kerugian, bahkan dalam debu.}

Dia melihat ke sekeliling gubuk. Lubang di atap bukan lagi kerusakan, melainkan harga kayu untuk perbaikan.

Bima, sang Dewa Kekayaan yang terperangkap, kini menatap adiknya yang tersenyum. Tekadnya mengeras, tidak lagi untuk mencari pengakuan ilahi, tetapi untuk membangun kekayaan yang nyata dan abadi.

{Mulai sekarang, aku tidak akan menghitung kekayaan Alam Dewa. Aku akan menciptakan kekayaan duniaku sendiri. Aku akan membuat hidup Dinda bahagia. Dan aku tahu persis bagaimana memulainya.}

EPISODE 2

Pagi menyambut gubuk reot itu dengan cahaya yang menembus celah-celah dinding. Bima membuka mata dan mendapati Dinda masih tertidur pulas di sampingnya. Wajah gadis kecil itu terlihat damai, namun kelelahan. Pakaiannya yang tipis seolah tidak cukup menahan dinginnya pagi.

Bima bangkit. Tidak ada lagi keajaiban surga yang membuatnya otomatis merasa segar. Tubuh fana ini menuntutnya untuk bergerak, merasakan rasa pegal dari kerja keras Bima sebelumnya, bahkan rasa lapar yang nyata. Namun, di dalam kelelahan itu, ada sebuah kesadaran.

{Aku bukan lagi Dewa yang bertugas menghitung emas yang sudah ada. Aku adalah manusia yang harus menciptakan emas dari ketiadaan.}

Dia mengamati gubuk itu sekali lagi, tetapi kini matanya melihat data, bukan kemiskinan.

Variabel Sumber Daya Saat Ini:

Kayu Bakar (Dinda): Satu ikat penuh. Nilai tunai cepat: Rp 2.000.

Gubuk (Kerusakan Atap): Membutuhkan 2 lembar papan kayu. Biaya: Rp 10.000.

Lahan Belakang: Lahan kecil yang ditumbuhi gulma. Potensi nilai jual sayuran mingguan: Rp 5.000. Modal awal yang diperlukan: Benih sederhana (Rp 1.000).

Modal Tunai: Rp 0.

Strategi yang paling efisien, yang telah dipelajari Arta dari ribuan tahun perhitungan rezeki, adalah memulai dari aset yang paling likuid.

{Kayu bakar. Itu adalah aset Dinda. Walau kecil, itu adalah modal yang paling mudah diuangkan tanpa harus mencuri dari masa depan kami sendiri. Paling cepat, paling aman.}

Ia bergegas keluar, membawa seikat kayu bakar yang baru dipungut Dinda kemarin. Bima tidak ingin membangunkan adiknya. Ia menempatkan sebuah kertas kusut di samping kepala Dinda yang bertuliskan: Aku pergi sebentar untuk mencari sarapan. Jangan khawatir.

Dia berjalan menuju pasar kecil di pinggir desa, kira-kira satu kilometer jauhnya. Otot-ototnya memprotes setiap langkah, tetapi pikirannya sibuk merumuskan strategi penjualan.

Penjual kayu bakar biasa akan menjualnya di pinggir jalan dengan harga tetap, menunggu pembeli datang. Bima tahu itu tidak efisien. Waktu adalah mata uang yang harus dimaksimalkan.

Tujuan utama Bima bukanlah mendapatkan uang sebanyak mungkin, melainkan mendapatkan uang paling cepat untuk membeli benih. Target pasarnya bukanlah rumah tangga biasa, tetapi bisnis.

Matanya tertuju pada sebuah warung makan kecil di sudut pasar, yang asapnya mengepul tebal, menjual soto dengan kuah kuning yang menggoda. Warung itu pasti menggunakan kayu bakar dalam jumlah besar setiap hari.

Bima mendekati warung itu dengan percaya diri yang tidak dimiliki Bima si pemuda miskin, melainkan Arta si pengelola rezeki.

"Selamat pagi, Bu," sapa Bima sopan kepada pemilik warung yang sedang sibuk mengaduk kuah. "Maaf mengganggu. Saya melihat warung Ibu sangat ramai. Saya punya satu ikat kayu bakar kering terbaik. Saya tahu Ibu pasti membutuhkan pasokan cepat tanpa harus pergi jauh ke pasar utama."

"Kayu? Berapa?" tanya ibu itu, suaranya sedikit kasar karena sibuk.

"Untuk ikat biasa, harganya Rp 2.000," kata Bima. "Namun, saya berani memberikan tawaran yang jauh lebih efisien. Jika Ibu membeli milik saya, Ibu tidak perlu mengalokasikan waktu memasak untuk membeli kayu bakar baru selama sehari penuh. Waktu Ibu, seberapa berharga nilainya? Bukankah itu setidaknya Rp 4.000?"

Ibu pemilik warung menghentikan adukannya. Ia terkejut dengan nada bicara dan logika Bima yang tidak terduga dari seorang pemuda lusuh. Biasanya, penjual hanya memohon. Pemuda ini menawarkan efisiensi.

"Baiklah, aku beli. Aku butuh kecepatan," kata ibu itu, tersenyum kecil. "Ini, Rp 6.000. Ambil kembalian dari Rp 10.000 ini."

Bima mengambil uang itu. Itu adalah keuntungan 300% dari nilai standar.

{Kekayaan bukanlah tentang memiliki emas. Kekayaan adalah tentang mengenali nilai tersembunyi, lalu menukarnya dengan harga yang tepat. Nilai tersembunyi di sini adalah waktu dan kemudahan Ibu Warung itu.}

Di tangan Bima kini ada Rp 6.000.

Langkah berikutnya, benih.

Dia bergegas ke kios benih terdekat. Benih lobak (yang tumbuh paling cepat di tanah yang kurang subur) berharga Rp 1.000 per paket. Bima membeli satu paket, menyisakan Rp 5.000.

Dia tidak langsung pulang. Dengan Rp 5.000 yang tersisa, ia pergi ke warung terdekat dan membeli dua buah singkong rebus kecil. Satu untuk sarapannya, dan satu untuk Dinda.

Bima membayar Rp 2.000 untuk singkong itu, menyisakan Rp 3.000 di sakunya.

Kembali ke gubuk, Dinda sudah bangun, duduk dengan mata berkaca-kaca membaca catatan Bima. Melihat kakaknya datang, Dinda langsung berlari memeluknya.

"Kakak, kau kembali! Aku takut sekali..."

Bima menyerahkan singkong rebus itu. "Makanlah, Dinda. Ini adalah hasil kerja pertamaku. Hari ini, kita tidak lapar lagi."

Dinda menggigit singkong itu. Air mata haru mengalir di pipinya. "Singkong ini enak sekali, Kakak!"

Bagi Arta, si Dewa Kekayaan yang biasa menghitung perjamuan para dewa, makanan ini adalah sesuatu yang remeh. Namun, melihat kebahagiaan murni di mata Dinda karena singkong sederhana ini, rasa bangga itu kembali.

Setelah Dinda selesai makan, Bima mengajaknya ke halaman belakang.

"Dinda, mulai hari ini, kita akan menjadi petani. Kita akan menanam. Tanah ini adalah uang kita di masa depan."

Bima mulai menggali lahan yang tadinya penuh gulma dengan sekop lusuh milik Bima yang tersisa. Dia bekerja dengan kecepatan yang terukur dan efisien. Sementara Bima menggali, Dinda mencabut gulma, bersemangat untuk menjadi bagian dari proyek baru kakaknya.

Saat bekerja, Bima menyadari bahwa untuk melindungi Dinda dan membangun kekayaan yang stabil, gubuk itu harus diperbaiki, terutama atapnya. Dia masih membutuhkan Rp 7.000 lagi (Rp 10.000 - Rp 3.000).

{Rp 10.000 adalah harga untuk satu hari keamanan. Benih lobak akan menghasilkan Rp 5.000 dalam dua minggu. Terlalu lama. Aku perlu uang cepat, tetapi tanpa menjual aset Dinda.}

Matanya tertuju pada sebuah bangku kayu tua dan retak yang teronggok di sudut gubuk. Itu adalah bangku yang tadinya digunakan Bima untuk memotong kayu bakar, sudah tidak terpakai lagi.

Variabel Baru: Bangku Kayu Rusak. Analisis Nilai: Sebagai bangku, nilainya nol. Sebagai bahan bakar, nilainya Rp 300. Sebagai jasa pertukangan: Jika bangku ini diubah menjadi dua buah pasak penyangga dengan ukiran sederhana, ia dapat dijual kepada pedagang untuk pajangan.

Bima mengambil pisau tumpul yang tersisa dan mulai memahat bangku itu. Dalam waktu dua jam, dengan presisi perhitungan Dewa Kekayaan, ia berhasil mengubah kayu lapuk itu menjadi dua buah pasak sederhana dengan sudut pahatan yang rapi dan halus.

"Dinda, ayo kita ke pasar. Kita akan menjual benda ini."

Dengan Rp 3.000 dan dua pasak ukiran di tangannya, Bima kembali ke keramaian. Langkah ini bukan lagi tentang bertahan hidup, melainkan tentang investasi dan penciptaan nilai murni.

Dia tahu, kekayaan yang abadi dimulai dari setiap keping receh yang diperoleh melalui keringat dan kecerdasan, bukan dari berkat yang turun dari surga.

EPISODE 3

Dengan Rp 3.000 yang tersisa dari hasil penjualan kayu bakar dan singkong, serta dua pasak kayu ukiran di tangan, Bima kembali melangkah ke keramaian pasar. Dinda berjalan di sisinya, matanya berbinar penuh semangat.

{Pasak ini memiliki nilai estetika dan nilai guna. Nilai estetika dapat dijual ke pedagang suvenir, tetapi itu memerlukan waktu dan kemampuan negosiasi yang lebih tinggi. Nilai guna sebagai pasak penopang pajangan lebih cepat dan likuid.}

Ia mengarahkan langkah menuju deretan kios sembako dan warung. Strateginya kali ini berbeda. Ia tidak mencari pedagang suvenir, melainkan menargetkan pedagang yang memajang dagangannya di luar etalase, membutuhkan penyangga yang tampak rapi.

Di sudut lorong, Bima berhenti di depan sebuah warung kelontong tua. Pemiliknya, seorang pria paruh baya yang terlihat letih, sedang sibuk menata botol-botol minuman. Pajangan rokok dan kopi di depan warungnya tampak miring dan ditopang oleh batu bata yang tidak sedap dipandang.

Bima menarik napas, mengatur getaran suaranya. "Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu kesibukannya."

Pria itu menoleh. "Ada apa, Nak? Mau beli sesuatu?"

"Tidak, Pak. Saya ingin menawarkan solusi nilai untuk pajangan di depan warung Bapak," ujar Bima sambil menunjuk ke tumpukan rokok yang miring. "Lihatlah penyangga Bapak saat ini. Batu bata. Itu tidak mencerminkan kualitas dagangan Bapak yang bagus."

Bima meletakkan salah satu pasak ukiran kayunya yang telah dihaluskan. Ukiran itu hanya sederhana, hanya berupa garis-garis silang yang rapi, tetapi memiliki sudut 90 derajat yang presisi, menjadikannya penyangga yang kuat dan elegan.

"Pasak ini dibuat dari kayu tua yang kuat. Bentuknya kecil, kokoh, dan rapi. Jika Bapak menggunakannya untuk menopang pajangan di kedua sisi, pandangan pembeli akan jauh lebih baik. Ini adalah investasi kecil untuk meningkatkan citra warung, Pak. Bukankah citra adalah salah satu bentuk kekayaan?"

Pria itu mendekat, mengambil pasak itu, dan membolak-baliknya. Mata letihnya sedikit berbinar. Ia mencoba menopang beberapa botol dengan pasak itu. Hasilnya, pajangan itu berdiri tegak, terlihat jauh lebih profesional.

"Pemuda macam apa kau ini? Biasanya orang menjual kayu untuk dibakar, bukan dipajang," gumam pria itu. "Berapa harga dua pasak ini?"

"Saya hanya butuh Rp 3.500 per pasak, Pak," jawab Bima. "Total Rp 7.000 untuk sepasang penyangga yang akan bertahan lama dan membuat warung Bapak terlihat lebih terawat."

Pria itu tersenyum kecil. Angka Rp 7.000 adalah jumlah yang dibutuhkan Bima untuk membeli dua lembar papan atap baru.

"Ambillah," kata pria itu, merogoh saku celananya dan menyerahkan dua lembar uang lima ribuan. "Simpan kembaliannya. Anggap itu biaya untuk ide yang bagus."

Bima tertegun. Ia mendapatkan Rp 10.000. Keuntungan 40% lebih banyak dari yang ia targetkan.

{Kekayaan sejati didapatkan saat kita menjual bukan hanya barang, tetapi ide dan pemecahan masalah. Ia membeli solusi kerapian, bukan sekadar kayu.}

Dinda bertepuk tangan pelan di belakang Bima. "Kakak hebat!"

"Terima kasih, Pak. Semoga warung Bapak semakin maju," balas Bima tulus. Ia membungkuk, menarik tangan Dinda, dan bergegas pergi sebelum pria itu berubah pikiran.

Di saku celananya, kini Bima memiliki total Rp 13.000 (Rp 3.000 sisa sebelumnya ditambah Rp 10.000 hasil penjualan pasak).

Uang atap (Rp 10.000) sudah terkumpul, bahkan lebih.

Namun, Arta tidak bisa berpuas diri.

{Papan atap akan menyelesaikan masalah keamanan fisik hari ini. Namun, masalah fundamental, yaitu biaya hidup harian, tetap ada.}

Ia berjalan menuju kios material kecil. Ia membeli dua lembar papan kayu kualitas standar (Rp 10.000) dan beberapa paku (Rp 500), menyisakan uang tunai Rp 2.500.

Bima kembali ke gubuk. Tubuhnya lelah, tenaganya terkuras. Tetapi saat ia melihat papan kayu baru itu, ia merasakan rasa kepuasan yang belum pernah ia rasakan ketika masih menjadi Dewa Kekayaan. Ia telah menciptakan keamanan dari ketiadaan, dengan kecerdasannya sendiri.

"Dinda, tugas kita selanjutnya. Kita akan memasang atap ini sebelum matahari terbenam."

Dinda mengangguk semangat. Saat Bima mulai memanjat dengan hati-hati, memegang papan kayu itu, pikirannya sudah jauh melampaui atap yang bocor.

Rp 2.500. Hanya itu modal yang tersisa untuk makan malam dan masa depan.

{Benih lobak baru akan menghasilkan dalam dua minggu. Itu adalah investasi jangka menengah. Namun, apa yang akan kami makan besok? Bagaimana jika Dinda sakit? Aku harus membangun pondasi modal kerja yang stabil. Kekayaan harus berputar, tidak boleh diam.}

Sambil memakukan papan atap, Bima mulai menyusun tabel mentalnya, menyesuaikan variabel dengan modal Rp 2.500 yang ia miliki.

Prioritas Keuangan (Jangka Pendek):

Makanan Malam Ini: Paling minim dibutuhkan Rp 5.000 untuk nasi dan lauk sederhana agar Dinda tidak kelaparan.

Modal Kerja Besok: Harus ada minimal Rp 5.000 sebagai modal putar untuk menciptakan nilai baru, bukan hanya untuk makan.

Dilema: Uang saat ini hanya Rp 2.500. Masih kurang Rp 7.500 untuk dua prioritas itu.

{Aku tidak bisa menjual aset. Aku juga tidak bisa mencuri. Aku harus menawarkan jasa.}

Satu-satunya aset yang ia miliki sekarang adalah tubuh Bima, yang meski lemah, memiliki presisi dewa.

Bima mengambil keputusan. Malam ini, setelah atap terpasang, ia tidak boleh beristirahat. Ia harus menjual tenaga dan keahliannya.

"Dinda, ambil sisa serutan kayu yang halus ini," kata Bima sambil memotong kelebihan papan. "Kita akan membutuhkannya malam ini."

"Untuk apa, Kak?" tanya Dinda.

"Untuk menciptakan api yang lebih baik," jawab Bima. "Malam ini, Kakak akan pergi ke pasar malam. Kakak akan menjadi pedagang jasa tercepat yang pernah mereka lihat."

Bima turun dari gubuk dengan keringat membasahi tubuh. Meskipun lelah, api tekad di matanya tampak menyala lebih terang daripada cahaya matahari yang mulai meredup di ufuk barat. Ia telah menyelesaikan tugas pertamanya: menjamin keamanan fisik. Kini, ia harus menjamin keberlanjutan ekonomi.

Senja telah berganti malam sepenuhnya. Lampu-lampu minyak dan bohlam kecil mulai menghiasi pasar malam yang ramai. Bau masakan, keringat, dan debu bercampur dalam udara yang lembap. Bima berjalan kaki menuju area pusat keramaian, sambil menggendong sebuah karung kecil berisi sisa serutan kayu halus dari papan atap.

Dinda ditinggalkannya dengan kunci gubuk dan satu janji untuk segera kembali. Itu adalah keputusan yang sulit, tetapi Arta tahu: {Risiko adalah biaya yang harus dibayar untuk pertumbuhan modal. Aku akan memperkecil risiko dengan bekerja di tempat yang ramai.}

Bima menyusuri lorong pedagang makanan. Matanya menyapu dengan cepat, memproses data. Pedagang sate membutuhkan kipas paling cepat. Penjual nasi goreng membutuhkan pemotong sayur yang efisien. Tukang gorengan membutuhkan api yang stabil.

Fokusnya jatuh pada seorang ibu penjual jagung bakar yang tampak kepayahan. Asap dari arangnya mengepul tebal, tetapi api di bawahnya redup dan tidak merata. Ibu itu tampak kelelahan, sesekali mengipas dengan potongan kardus.

Bima mendekat dengan langkah mantap. "Permisi, Bu. Jagung bakar Ibu pasti enak, tetapi apinya kurang stabil. Itu membuat waktu tunggu pelanggan jadi lebih lama."

Ibu itu mengerutkan dahi, kesal karena ada pemuda lusuh yang sok tahu. "Memangnya kenapa? Kalau kau mau beli, beli saja!"

Bima tidak terpancing. Ia menurunkan karung serutan kayu. "Saya tidak menjual barang, Bu. Saya menjual efisiensi. Serutan kayu ini adalah bahan bakar ringan yang terbaik untuk menyalakan arang secara cepat dan merata, menghasilkan panas yang stabil dan minim asap. Saya bisa membuat api Ibu menyala sempurna, sehingga Ibu bisa menjual tiga jagung dalam waktu yang biasa Ibu pakai untuk dua."

Ia mengeluarkan pisau tumpul yang ia gunakan untuk memahat pasak. Dengan gerakan presisi yang cepat, ia memotong beberapa serutan menjadi ukuran yang lebih kecil, lalu dengan hati-hati meletakkannya di antara arang. Ia kemudian mengipasnya dengan teknik yang terukur. Dalam waktu kurang dari satu menit, api arang itu berkobar merata, berwarna biru kemerahan yang stabil.

Ibu penjual jagung itu terkejut. "Wah, cepat sekali apimu menyala! Aku baru tahu serutan kayu bisa seefektif ini."

Bima meletakkan kipas kardus itu. "Berapa Ibu akan menghargai waktu tunggu pelanggan yang Ibu hemat, dan jagung tambahan yang bisa Ibu jual malam ini?"

Ibu itu tersenyum lebar. "Anak pintar. Kau ingin dibayar berapa?"

"Lima ratus Rupiah per layanan, Bu. Saya akan tetap di sini selama dua jam, memastikan api Ibu stabil. Jika Ibu setuju, bayar saya di akhir," tawar Bima.

{Lima ratus Rupiah per layanan. Jika aku melayani dua belas pedagang dalam dua jam, aku bisa mendapatkan Rp 6.000. Itu hampir cukup.}

"Baiklah! Tapi kau harus ke warung sebelah juga, ya? Aku tidak mau kalah saing," kata ibu itu riang.

Bima menyeringai. {Nilai yang diciptakan melalui kompetisi. Sempurna.}

Bima segera berpindah ke warung sate di sebelah. Penjual sate itu adalah pria kekar dengan kumis tebal yang tampak sedang bergumul dengan kipasan yang lambat.

"Pak," sapa Bima, langsung ke intinya. "Saya bisa menggandakan kecepatan kipas Bapak."

Pria sate itu hanya menatap Bima dari atas ke bawah, sangsi.

"Ini bukan sulap, Pak. Tubuh saya lelah, tetapi saya tahu matematika tubuh manusia. Saya akan mengipas dengan sudut 45 derajat, memaksimalkan dorongan udara ke titik panas. Ini akan memanggang sate Bapak lebih cepat 30 persen."

Bima mengambil kipas, dan mulai mengipas dengan ritme yang stabil dan presisi seperti mesin. Bukan dengan kekuatan kasar, tetapi dengan gerakan yang efisien. Panas dari arang langsung naik.

"Lima ratus Rupiah per jam, Pak. Jika tidak terbukti cepat, Bapak tidak perlu bayar," tawar Bima.

Pria itu terkesan, dan tanpa bicara, ia mengangguk.

Bima kini bekerja sebagai "pedagang jasa tercepat," bergerak dari satu warung ke warung lain. Ia membantu penjual nasi goreng memotong daun bawang dengan irisan secepat kilat. Ia membantu pedagang minuman mengangkut balok es dengan perhitungan beban yang efisien sehingga tenaga yang dikeluarkan minimal.

Setiap jasanya dihargai Rp 500 hingga Rp 1.000, tergantung tingkat kepuasan. Ia tidak meminta, ia menuntut harga berdasarkan nilai yang ia ciptakan.

Setelah dua jam tanpa henti, dengan tubuh Bima yang menjerit minta istirahat, Arta menghitung total penerimaannya.

Rekapitulasi Malam:

Layanan Api Stabil (Ibu Jagung): Rp 1.000 (Ibu itu memberinya dua kali lipat)

Layanan Kipas Cepat (Pak Sate): Rp 1.000

Layanan Potong Cepat (Nasi Goreng): Rp 1.500

Layanan Angkut Es (Pedagang Minuman): Rp 500

Layanan Tambahan dari Empat Pedagang Lain: Rp 2.000 (rata-rata Rp 500 per orang)

Total Pendapatan: Rp 6.000

Ditambah modal tunai yang tersisa: Rp 2.500. Total Uang Saat Ini: Rp 8.500.

{Target terpenuhi, bahkan melebihi target Rp 7.500. Fondasi modal kerja untuk besok telah aman. Sekarang, makanan.}

Bima membeli sebungkus nasi dan lauk sederhana seharga Rp 4.000 (di bawah estimasi Rp 5.000 karena ia menemukan warung yang lebih murah menjelang tutup). Ia juga membeli sebungkus kerupuk renyah seharga Rp 500 untuk Dinda.

Sisa uang tunai yang dipegangnya: Rp 4.000.

Meskipun kelelahan hampir meruntuhkan tubuhnya, Bima merasakan kebanggaan yang mengalahkan rasa sakit. Ia telah menggunakan kecerdasannya, bukan kekuatannya, untuk melindungi kekayaan sejati: adiknya, Dinda.

Ia bergegas kembali menuju gubuk reot. Di bawah langit yang gelap, gubuk itu tampak berbeda. Atap barunya bersinar redup di bawah cahaya bulan, sebuah simbol perlindungan yang baru diciptakan dari ketiadaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!