Sialan Namira!
Perempuan itu menjebak dan membuatnya terpaksa berhadapan dengan situasi ini sekarang. Rendra terus mengumpat dalam hati sementara ayahnya bicara.
"Dewan eksekutif kabarnya mau ganti kamu karena citra publik kamu rusak." Brata mengelap mulutnya dengan serbet makan, kemudian menyamankan duduknya pada sandaran kursi.
"Nggak masuk akal!" Suara Rendra meninggi. Garpu di tangannya menggantung di udara. "Tuduhan itu udah terbukti palsu. DNA-nya nagatif, kenapa masih ribut?"
"Tuduhan soal anak harammu memang palsu." Brata menatapnya datar. "Tapi fakta bahwa kamu tidur sama sembarang perempuan kan nyata. Masyarakat sensitif dengan isu moral begini. Kamu lupa kita di Indonesia?"
Rendra berdecak, mendorong piring steak-nya yang bahkan belum disentuh.
Ini konyol. Itu privasinya, kenapa orang ramai ikut campur urusan ranjangnya? Setelah belasan tahun di luar negeri, semua kemunafikan nilai Timur ini terasa menjengkelkan baginya.
Ini semua berawal empat bulan lalu.
Namira -aktris kelas dua yang dulu cuma jadi pelarian seksnya- mendadak muncul di media dengan drama air mata dan mengaku melahirkan anak darinya. Tuduhan diperkuat oleh foto mereka yang tersebar di sosial media. Di ranjang dan bertelanjang dada. Hasil tes DNA jelas mengatakan bahwa anak itu bukan darah dagingnya, tapi Namira ngotot mengatakan Rendra memanipulasi hasil tes. Netizen eat that shit up. Publik langsung melabelinya dengan stempel : 'Rendra si bajingan yang bergaya hidup bebas.'
Rendra adalah putra tunggal dari pengusaha konglomerat sekaligus Presiden Republik Indonesia, Bratasena Kusumadiningrat. Tidak heran berita soal dirinya menyebar cepat.
Ia tidak peduli pada karir politik ayahnya yang sedang mengincar kursi presiden periode kedua. Apalagi pada citra publik dirinya sendiri. Persetan. Tapi kalau ini mengganggu posisinya di kursi Direktur Utama, itu lain cerita. Ia bekerja mati-matian untuk sampai di titik ini.
Di sisi lain, Brata menyodorkan strategi rahasia yang disusun oleh Tim Public Relation Istana. Tujuannya? Untuk mengubah citra Rendra menjadi pria muda yang stabil, dan bertanggung jawab. Caranya? Dengan menikahi Dinda. Kartu aman yang bisa dikendalikan lewat ayahnya, Seno.
Brata tau Rendra. Dia tidak pernah bisa dikendalikan langsung. Brata lihat sendiri bagaimana ia selalu menolak "perempuan strategis" yang ditawarkan padanya. Jadi Brata tidak berharap sosok yang akan disukai putranya, cukup yang tidak ditolak. Sosok netral. Dan Dinda sangat netral.
"Sudah dipikirkan tawaran perjodohan tempo hari? Kamu harus menikah dengan gadis baik-baik untuk pulihkan reputasi. Citra publik Papa selamat, karirmu selamat."
"Pernikahan palsu itu?" Rendra tertawa kering, "Ini bukan sinetron, Pa."
"Ini politik, Rendra. Kamu butuh ini." Brata menyodorkan folder hitam tebal dengan emboss emas di sampulnya. Ia menunjukkan data polling, analisis sentimen media, proyeksi elektabilitas. Semuanya rapi, terukur, tanpa celah.
"Papa sudah ketemu Dinda sekali. Dia cocok. Cantik, lembut, kelihatan cerdas tapi tidak dominan. Kuat untuk dijual sebagai simbol 'rakyat biasa yang disandingkan dengan kekuasaan.'"
"Saya nggak tertarik sama pernikahan." Kening Rendra berkerut tidak setuju. Dia suka kebebasannya.
"Kalau gitu posisimu terancam." Brata tersenyum, tapi matanya dingin. "Kamu tahu kan Dewan Eksekutif sudah bergerak? Mereka sedang cari cara untuk ganti kamu. Skandal ini alasan sempurna."
Rendra mengetukkan jarinya di meja.
Benarkah pernikahan konyol ini harus dijalankan? Bisakah ia mengambil keuntungan dari situasi ini?
Ia menghela nafas dan berpikir sebentar.
"Apa yang saya dapat kalau pernikahan ini terjadi?" Tanyanya kemudian.
Brata tersenyum. Tipis, puas.
"Kamu dapat separuh dari total saham preferen Papa di Mandhala. Setelah pemilu tahun depan selesai, kamu bebas kalau mau cerai." Ia berhenti, membiarkan kalimatnya menggantung sebentar, "Namamu juga akan dibersihkan lewat tim PR khusus nanti. Full media rehabilitation. Podcast, feature di majalah, interview eksklusif. We'll rebuild you."
Rendra menarik napas dalam.
Brata sama saja menawarinya madu atau racun, ia tidak punya pilihan sebenarnya. Tapi taruhannya juga besar. Dengan saham itu, ia akan jadi pemegang saham mayoritas. Kendali penuh atas Mandhala, tanpa intervensi siapa pun termasuk Brata, ayahnya. Bukan materi yang ia kejar. Ia punya lebih dari cukup. Ia cuma mau satu hal, kekuasaan penuh.
Dan gadis itu... Dinda. Ia ingat samar wajahnya saat Brata memperlihatkan fotonya bulan lalu. Lembut, mata besar, senyum sopan. Sepertinya tidak berbahaya.
"Saya dapat sahamnya segera setelah pernikahan?" Satu alis Rendra terangkat.
"Kalian harus tampak harmonis dulu, setidaknya sampai pemilu selesai." Brata menatapnya tajam. "Dan perlakukan dia dengan baik. Dia anak Suseno, ajudan pribadi Papa."
"Dia dan keluarganya tau soal kesepakatan ini?"
Brata menggeleng. "Mereka pikir ini perjodohan biasa."
"Jadi saya harus pura-pura?"
"Kamu akan suka. Dia cantik." kekeh Brata.
Rendra mendengus pelan.
Cantik. Seakan itu cukup.
Tapi baginya ini bukan pernikahan, ini transaksi. Barter kekuasaan. Dinda hanyalah alat untuk mendapatkan keinginannya.
"Okay." Rendra bersandar, menatap ayahnya dengan senyum dingin, "Saya setuju."
Brata mengangguk puas, lalu mengangkat gelas wine-nya, "Smart choice."
...***...
Satu Minggu Kemudian
MANDHALA TOWER - RUANG RAPAT LT. 43
Rapat Dewan Eksekutif akhirnya dilaksanakan. Udara di ruangan dingin dan kaku berlebihan. Sama seperti wajah-wajah di meja oval panjang itu. Sepuluh pasang mata menyorot ke arah Rendra, seakan-akan semua masalah dunia siap mereka bebankan pada masalahnya.
Ia langsung memindai medan dalam hitungan detik. Ia tau semua manusia di ruangan itu sudah mengambil posisi masing-masing. Mendukung, netral, atau menunggu ia jatuh.
Gustav Mahendra, Komisaris Utama, langsung membuka rapat. Suaranya datar tapi tajam. "Okay, langsung ke inti. Kasus ini sudah meledak. Nama Direktur Utama terpampang di semua headline. Kita butuh sikap resmi dari Mandhala sekarang."
Lalu ia melanjutkan, nadanya tetap tenang. "Pak Brata sudah dapat laporan. Beliau bantu redam tekanan dari luar. Tapi jangan sampai beliau turun tangan dua kali."
Suryo Adinata, Komisaris Independen, bersandar santai. "Kita ini perusahaan, bukan tempat cuci dosa pribadi. Kalau Pak Dirut bikin lumpur, jangan seret kita semua ke kubangan."
Rendra menatapnya tenang. Tua bangka ini memang sepertinya sudah lama punya sentimen pribadi padanya. "Saya akan ikut strategi tim PR dari Mandhala dan Istana. Narasi sudah disusun. Saya buka akses media dan hadiri semua agenda resmi. Dan perlu kalian ingat, ini bukan cuma skandal pribadi. Ini serangan ke posisi saya. Dan kalau posisi saya tumbang, stabilitas Mandhala ikut goyah."
Vincent Halim, Komisaris yang terlihat paling muda, mengernyit. "Iya kalau berhasil. Kalau tidak? Publik tidak bodoh. Mereka tidak akan lupa hanya karena Anda senyum di depan kamera. Ini bukan sekadar gosip, ini krisis kredibilitas."
'Appreciate the wisdom, Professor Moral.' Cela Rendra dalam hati.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya tetap dingin. "Saya tanya satu hal, Pak Vincent. Empat tahun terakhir, ketika kontrak fiktif kita dibongkar KPK, hutang menjerat, saham kita hampir delisting, siapa yang berdiri di depan kamera? Siapa yang pegang kendali di ruang negosiasi?"
Hening.
"Kalau kredibilitas saya serapuh itu, investor asing tidak akan bertahan. Laba bersih kita naik tiga kali lipat. Debt-to-Equity Ratio turun dari 2,3 ke 0,7." Rendra bersandar, senyumnya tipis. "Jadi, kalau bicara soal kredibilitas, mari kita bedakan antara headline media dengan kepercayaan pasar."
Ruangan hening lagi. Beberapa komisaris bertukar pandang.
Gustav mengetuk ujung bolpoin ke meja, lalu menoleh ke Reynard Yusuf, Direktur Legal. "Dari tim legal gimana?"
Reynard membuka mapnya, menyusun kalimat dengan hati-hati. "Kasus Namira, dari kami ada tiga opsi. Pertama, tuntutan balik atas pencemaran nama baik. Kedua, kompensasi atau uang damai. Ketiga, eksplorasi celah hukum untuk menekan balik. Detail eksekusinya, nanti akan kami lampirkan tertulis."
Alia Paramitha, Komisaris Kepatuhan, mengangkat alis. "Kita bersih, harus. Tapi jangan naif. Kalau ada celah, ya kita manfaatkan. Asal jangan sampai senjata makan tuan."
Rendra mengangguk setuju. Ia tau Alia oportunis dan licin, tidak heran dia jadi satu-satunya wanita di ruangan penuh srigala ini.
Kemudian Rendra bersuara lebih pelan. "Semua opsi kita jalankan paralel. PR, hukum, dan komunikasi ke pasar. Ini bukan soal bertahan dari isu, ini soal menunjukkan bahwa Mandhala tidak bisa dipermainkan. Saya di sini untuk jaga Mandhala."
Gustav menyandarkan tubuhnya, menatap Rendra lama. Ekspresinya sulit dibaca. "Kita nggak ragu sama niat Anda," katanya datar, "Yang kita ragukan itu akibatnya."
Lalu Gustav berdehem, "Mandhala akan beri dukungan penuh pada strategi pemulihan citra Direktur Utama. Tapi--" ia menatap Rendra tajam, "...kalau langkah ini gagal, reputasi jatuh, posisi Anda akan dievaluasi. Dan Anda tahu, itu bukan formalitas."
Beberapa komisaris mengangguk, sinyal tekanan sangat jelas.
Rendra mendengus pelan.
Lucu! Mereka mau melupakan semua kontribusinya hanya karena skandal murahan ini?
Ia bersandar ke kursinya, diam-diam mengepalkan tangan menahan amarah yang diredam. Lalu ia tatap mereka satu per satu dengan senyum tipis. "Kalau Dewan merasa Mandhala bisa lebih aman tanpa saya, silakan." Suaranya tenang, tapi ada ancaman implisit di sana. "Tapi jangan lupa, pasar menilai bukan berdasarkan janji, melainkan rekam jejak. Fakta bahwa saya bawa perusahaan ini ke titik sekarang tidak bisa dihapus. Dan lagi, proses transisi bisa memakan waktu hingga satu tahun. Itu bisa mengganggu eksekusi strategi. Kalian siap?"
Ia berhenti sebentar, membiarkan kata-katanya menggantung. "Kalian bisa evaluasi saya kapan saja. Tapi sebelum itu, evaluasi dulu siapa yang benar-benar sanggup menjaga Mandhala tetap hidup di tengah badai."
Tidak ada yang bersuara, karena mereka semua tau dia benar.
Gustav akhirnya mengetuk meja, tanda rapat selesai. "Okay. Kita lanjutkan strategi ini. Eksekusi penuh. Update dua minggu sekali."
Semua mengangguk. Lalu satu per satu peserta rapat mulai keluar, termasuk Rendra. Ia keluar dengan tenang, seperti tanpa beban.
Namun dibalik ketenangan wajahnya, Rendra mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Situasi ini jelas gawat. Anjing-anjing tua itu sudah mengancamnya terang-terangan, posisinya di ujung tanduk sekarang.
Fine.
Ia akan beri mereka pertunjukan. Pernikahan itu harus terlaksana, dan harus tampak sempurna. Akan ia buat mulut sialan mereka berhenti menggonggong.
...***...
ISTANA NEGARA - RUANG KERJA PRESIDEN
Ruang kerja itu sunyi, hanya terdengar dengung pendingin ruangan. Brata baru saja menutup panggilan dengan Presiden Zhang Wei, saat ia menoleh pada ajudannya.
"Ricky, panggilkan Seno." Katanya dengan suara berat.
Tidak lama kemudian pintu ruang kerja Presiden terbuka pelan.
Kolonel Seno masuk, seragamnya rapi, langkahnya tegas namun hati-hati. Ia menegakkan badan, memberi hormat. "Perintah, Pak?"
Brata menoleh, masih berdiri di balik meja, wajahnya keras setelah percakapan panjang dengan Zhang Wei. "Duduk, Sen. Ini bukan perintah dinas."
Seno menurunkan hormatnya, lalu duduk dengan sikap kaku.
Brata pun duduk di hadapannya. "Rendra sudah saya beri tahu soal rencana perjodohan, dia setuju. Pernikahan itu akan kita jalankan."
Seno menahan napasnya, menunggu.
"Kamu tahu posisi keluargamu kan? Kita sudah lama bekerja sama. Saya anggap ini bukan paksaan, tapi simbiosis. Dinda akan aman dan terjamin. Kalau mereka cocok, bagus. Kalau tidak... anakmu tetap akan dapat bagian yang setimpal. Rumah, jaminan finansial, status." Lanjut Brata.
Seno menunduk, matanya berkedip cepat. Kemudian menyusun kalimatnya hati-hati. "Yang penting, anak saya diperlakukan dengan baik, Pak."
Brata menyandarkan diri ke kursinya, menyatukan jari-jarinya di depan wajah. "Bahagia itu relatif, Sen. Tapi masa depan anakmu akan lebih baik. Lebih dari yang bisa kamu berikan padanya. Dan kamu tahu... keluarga kalian akan lebih aman jika dekat dengan saya. Cukup pastikan dia tidak menimbulkan masalah selama pernikahan mereka."
'Aman'. Ia tau Brata sedang mengancamnya dengan kata itu. Memang ada banyak hal yang bisa dilakukan Presiden pada kolonel sepertinya.
Hening berat memenuhi ruangan. Seno hanya bisa mengangguk. Dilema dengan peran ajudan yang patuh dan ayah yang menelan getir. Dia sangat menyayangi Dinda, tapi tekanan dan iming-iming dari Brata, membuatnya lemah juga.
...***...
Untuk para readers mohon meninggalkan jejak komentar yaa ☺️
Author baru ini sangat butuh masukan. Apa yang kurang, apa yang berlebih.
Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian bersedia memberi kesan atau kritik. Tencuuu 🥰🫰💕
Di sebuah makan malam keluarga yang hangat seperti biasa, Seno -ayah Dinda- tiba-tiba menyampaikan informasi yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hanya ada mereka bertiga di meja. Seno, Rani -ibu Dinda- , dan Dinda.
"Kamu tau berita soal Mas Rendra kan, Din?" Tanya Seno.
"Tau. Temen-temen Dinda bahas itu setiap hari. Rame banget di sosmed." Jawabnya sambil terus menyuap nasi. Kepalanya penuh dengan rencana bab-bab skripsi. Ia bahkan tidak memperhatikan raut ibunya yang gelisah.
"Hasil tes DNA sudah keluar. Hasilnya negatif." Seno memberi tau.
"Negatif? Syukur deh." Jawab Dinda seadanya. Ia hanya ingin makan cepat dan kembali ke kamar.
"Kemarin Pak Brata panggil ayah, katanya mau ketemu kamu."
"Dinda? Kenapa?" Dinda mengernyit.
Untuk apa presiden ingin bertemu dengannya? Satu-satunya interaksi mereka cuma salam singkat saat Family Gathering Kabinet di Istana Bogor.
"Beliau mau kamu ketemu Mas Rendra. Tapi sebelumnya, beliau sendiri mau ketemu kamu."
Tidak biasanya ucapan ayahnya berputar-putar seperti ini. Seno adalah Kolonel TNI Angkatan Darat, ia biasa tegas dan lugas saat bicara.
"Untuk?" Dinda mulai tidak sabar.
"Pak Brata... punya niat baik pada keluarga kita. Beliau mau lamar kamu untuk Mas Rendra."
Dinda terdiam. Ia mungkin salah mengerti, jadi ia pastikan lagi.
"Lamar? Sebagai apa?"
"Calon istri." Jawab Seno.
Sendok di tangannya langsung terlepas. Seno memperbaiki posisi duduk mencari kenyamanan, sedangkan Rani pura-pura sibuk dengan nasi di piring.
"Kenapa Dinda?" Tanyanya masih tidak percaya.
"Ya... Pak Brata pikir Mas Rendra sudah saatnya menikah, tapi belum ada yang cocok."
Tidak. Dinda tau alasannya tidak sesederhana itu.
"Oke, tapi pertanyaannya kenapa Dinda? Kami nggak saling kenal."
"Karena kita orang dekat, beliau percaya sama keluarga kita."
Nah itu alasannya. Karena mereka orang dekat. Ia pasti dijadikan alat untuk bersih-bersih nama putranya. Dinda menggeleng, dia tidak bersedia, tentu saja.
Rendra mungkin salah satu bujangan kaya paling di incar di negeri ini, tapi Dinda baru berusia dua puluh satu tahun, kuliahnya bahkan belum selesai. Dia juga tidak pernah bertemu dengan Rendra sekalipun. Dan jangan lupakan citra buruk pria itu dengan wanita. Namira bukan satu-satunya figur publik yang pernah dikaitkan dengannya. Masih ada sederet nama wanita lain. Dinda bergidik, ia tidak mau ambil resiko.
"Kalau Dinda nolak?" Dinda jarang membantah ayahnya dan menjadi agak gugup.
"Coba kamu pikirkan lagi. Pak Brata sudah banyak sekali bantu kita. Waktu karir ayah hampir hancur, beliau yang bantu. Waktu Ayah difitnah, nama Ayah nyaris dicoret dari institusi, Pak Brata yang bersihkan semuanya. Bukan cuma karier Ayah yang diselamatkan, tapi harga diri juga. Sekarang beliau cuma minta satu hal, dan Ayah nggak bisa pura-pura lupa." Seno menarik napas berat, "Lagipula apa kurangnya Mas Rendra? Pintar, sukses, ganteng. Banyak perempuan yang mau, tapi Pak Brata pilih kamu."
Dinda membuang pandang ke arah lain, kemudian memberanikan diri menatap lekat pada ayahnya, "Yah, Dinda nggak mau. Pilih aja perempuan yang mau. Kuliah Dinda belum selesai. Dan Dinda nggak kenal dia." Kemudian ia berdiri dari kursinya.
"Din, dengerin ayah dulu." Rani mengingatkan. Suaranya lirih, ia sepertinya paham apa yang dirasakan putrinya.
"Maaf Yah, Bu, Dinda mau ke kamar. Ada yang mau Dinda kerjain." Tanpa menunggu jawaban, Dinda melangkah pergi.
Keheningan menelan ruangan. Seno mengembuskan napas keras, menahan emosi yang bercampur. Marah, lelah, putus asa.
Rani mengulurkan tangan, menyentuh lengan suaminya dengan hati-hati.
"Yah, mungkin lebih baik dipikir ulang. Dinda masih terlalu muda. Dia belum cukup dewasa untuk menikah."
Seno menatap meja beberapa saat, lalu mendengus kasar. "Ayah juga nggak punya pilihan, Bu. Tekanannya bukan main. Lagipula... kesempatan seperti ini nggak akan datang dua kali ke keluarga kita. Mereka keluarga kuat, akan bagus untuk masa depan Dinda."
Rani menunduk, bibirnya bergetar ingin membantah, tapi kata-kata kandas di tenggorokan. Di rumah ini, kepala keluarga yang selalu membuat keputusan.
...***...
Hari-hari berlalu, Seno terus membujuk. Mulai dari iming-iming bahwa Brata akan memberinya beasiswa S2 ke luar negeri hingga ancaman mutasi ayahnya ke daerah konflik. Tapi ia terus menolak, tetap pada pendiriannya.
"Ayah minta tolong, sekali ini saja. Paling enggak, temui mereka." ucap Seno suatu malam, suaranya berat, penuh tekanan.
"Dinda udah bilang, Yah. Dinda nggak mau. Kenapa Dinda yang harus tanggung jawab untuk hutang budi Ayah? Perjodohan ini nggak masuk akal." Sesungguhnya ia sangat ingin berteriak, tapi yang keluar hanya penolakan setengah mati.
Sampai suatu pagi, penyakit lama Seno kambuh. Ia terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi lehernya. Tekanan darahnya kembali melonjak. Sebuah kondisi hipertensi yang sudah lama menghantui dirinya, nyaris menyeretnya pada serangan stroke ringan. Dokter menyebut pemicunya bukan hal baru, melainkan stres berkepanjangan yang terus menekan. Dan sumber tekanan terbesar itu jelas, berasal dari masalah perjodohan putrinya.
Dalam kondisi lemah di ranjang, tangan kirinya masih tertusuk infus, Seno tetap mengulang-ulang permohonannya, "Temui mereka, Din... Pak Brata dan Mas Rendra..." Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan terakhir.
Wajahnya pucat, tapi suaranya memohon lirih, seolah menggenggam harapan terakhirnya lewat satu-satunya anak perempuan yang ia punya.
Sebenarnya apa yang membuat ayahnya begitu menginginkan pernikahan ini? Apa hanya karena hutang budi? Atau karena prestige? Ia tersinggung kalau hanya dijadikan alat pemuas gengsi.
Dinda berdiri diam di sisi ranjang. Napasnya berat. Ia benci merasa bersalah. Akhirnya, Dinda menyerah. Bukan karena ia setuju, tapi karena hatinya mulai lelah.
"Yaudah," ucapnya pelan. "Dinda mau ketemu mereka. Tapi itu bukan berarti Dinda setuju, ya."
Setidaknya, ia akan mencoba bertemu lebih dulu dengan Brata dan Rendra. Siapa tahu mereka berubah pikiran setelah bicara dengannya.
Dinda berulang kali merutuki nasibnya. Ia belum pernah punya pacar sebelumnya. Ia memimpikan kisah cinta pertama yang indah. Tapi kenapa malah terjebak dengan Casanova dari antah berantah?
Dan dalam diam, Dinda hanya bisa berharap. Jika pernikahan ini memang tidak bisa dihindari, semoga setidaknya masih ada waktu. Jangan dalam waktu dekat. Jangan secepat itu.
...***...
Suatu malam, setelah memberanikan diri berkata "ya" , meskipun setengah hati , Dinda membuka laptopnya. Jarinya ragu-ragu mengetik satu nama.
'Narendra Kusumadiningrat'
Halaman Wikipedia pria itu muncul paling atas. Ia membukanya.
Narendra Mahesa Kusumadiningrat, B.Sc.,MBA. Lahir di Jakarta, 07 Januari 1990. Bachelor of Science in Mechanical Engineering dari Cornell University. Master of Business Administration dari Harvard Business School.
Dinda menelan ludahnya. Bahkan nama kampusnya saja sudah membuatnya ngeri. Ia belum lulus S1, dan pria ini lulus dari Ivy League dua kali.
Direktur Utama Mandhala Group, kapitalisasi pasar gabungan US$42 miliar.
Dinda memelototi angkanya. Ada berapa digit kalau dirupiahkan? Ia berhenti menghitung. Yang jelas banyak. Terlalu banyak.
Di usia dua puluh tujuh tahun dia pernah mendapat penghargaan "Future Leader in Strategic Innovation". Setahun setelah itu, jadi pembicara di forum kebijakan internasional. Forbes 30 Under 30.
Dia luar biasa. Tentu saja.
Dinda membatu. Baru saja tadi sore ia bolak-balik merombak outline skripsinya karena dibantai oleh dosen pembimbing.
Sementara pria ini? Jadi panelis di Jenewa?
Ia menatap foto Rendra yang terpasang di laman profil. Setelan jas navy, tatapan tajam, senyum tipis, wajah sempurna.
Ia hanya bisa meneguk pahit.
Ia sudah tau Rendra bukan orang biasa. Tapi ini seperti menonton dunia lain lewat layar kaca.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ragu bukan karena takut dijodohkan, tapi karena pertanyaan yang jauh lebih jujur.
'Apa aku bisa berdiri di sampingnya tanpa kelihatan seperti itik buruk rupa?'
Mungkin tidak.
...***...
Gimana bab ini? Dan bagaimana kira-kira pertemuan pertama mereka di bab selanjutnya?? Rendra aku buat dingin atau flirty bagusnya?
Mohon pesan, kesan, dan sarannya ☺️☺️
Komentar sangat berarti untuk membakar semangat penulis meneruskan cerita ini. Trimss 💋🥰🙏
ISTANA NEGARA - RUANG TAMU PRIBADI
Dinda duduk di sofa berbalut kulit coklat tua, tubuhnya tegak tapi jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Ruangan itu dingin. Entah karena pendingin ruangan, atau karena tekanan yang menggantung di udara.
Pintu terbuka.
Brata masuk dengan jas biru tua dan langkah mantap. Meski rambutnya sudah mulai memutih, posturnya masih tegap. Tatapannya tajam, suara sepatu kulitnya menggema di lantai marmer.
"Dinda," sapanya ramah, terlalu ramah untuk sesuatu yang sifatnya politis.
Dia mengulurkan tangannya pada Dinda dan mereka berjabat tangan.
Lalu ia duduk di hadapan gadis itu, "Terima kasih sudah datang."
"Sama-sama, Pak." Dinda mengangguk sopan, aman, netral. Ia tidak ingin salah langkah.
Brata menatapnya sejenak, "Maaf ya, kamu pasti terkejut waktu dengar kabar dari ayahmu soal permintaan saya."
Dinda diam, tidak tau harus menjawab apa. Bahkan napasnya pun ia atur, jangan sampai terlihat gugup.
"Ayahmu orang yang saya hormati," lanjut Brata. "Kami sudah melewati banyak hal bersama. Dan saya percaya, putri Seno pasti bukan anak biasa."
Entah kenapa Dinda merasa kata-kata manis itu terdengar seperti tali yang siap menjeratnya.
Brata tersenyum, "Kamu mirip ibumu, ya. Tenang. Tapi sepertinya keras kepala kalau sudah punya pendirian."
"Mungkin.. Nggak banyak yang bilang gitu, Pak." Jawab Dinda seadanya. Ia tahu komentar itu basa-basi, pembuka untuk sesuatu yang lebih besar.
Brata menautkan jemarinya, berdehem sekali sebelum melanjutkan, "Jadi, saya tahu ini bukan pertemuan biasa. Bukan juga permintaan biasa. Kamu pasti sudah dengar dari ayahmu... Rendra butuh pasangan. Dan kamu... menurut saya, pilihan yang paling tepat."
"Kenapa saya?" Kali ini Dinda mengangkat wajahnya, suaranya tenang tapi tajam.
"Saya bukan siapa-siapa. Saya bahkan belum punya gelar sarjana. Saya juga nggak pernah bertemu dengan Mas Rendra."
Brata tersenyum samar, "Saya butuh seseorang yang tidak punya agenda. Tidak tertarik kekuasaan. Bukan bagian dari permainan politik."
"Saya akan dijadikan semacam... boneka?" Tanya Dinda tanpa basa-basi.
Tatapan Brata mengeras sedikit. Tapi ia tetap tenang, "Saya tidak sedang mencari boneka, Dinda. Saya hanya berusaha menyelamatkan reputasi anak saya."
Jujur. Setidaknya pria ini tidak bertele-tele.
"Saya tahu apa yang orang pikirkan soal Rendra. Dan saya tahu kamu juga sudah dengar semuanya. Tapi dia bukan pria yang kamu dengar dari media. Dia hanya... hidup dalam sorotan yang tidak dia minta." Ia berhenti sebentar, lalu sambil menatap Dinda lekat ia berkata, "Saya ingin kamu tahu, ini bukan paksaan. Ini tawaran dan permintaan tolong." Pria itu menyampaikannya dengan kata-kata yang sangat sopan.
"Apa yang Bapak harapkan dari saya?" tanya Dinda akhirnya.
"Temui Rendra. Bicara dengannya. Kalau setelah itu kamu tetap menolak, saya tidak akan menahanmu. Tapi saya percaya kamu akan melihat sesuatu yang berbeda."
Dinda menatap pria itu. Presiden negara ini, duduk di hadapannya seperti seorang ayah yang minta tolong. Ia benci dirinya karena mulai merasa bersimpati.
"Baik, Pak," jawabnya pelan. "Saya akan temui Mas Rendra. Tapi seperti yang saya bilang ke Ayah saya... itu tidak berarti saya setuju dengan pernikahan ini."
Brata mengangguk, ekspresinya sulit ditebak. "Cukup. Itu sudah lebih dari cukup."
Dan saat ia berada di lorong koridor setelah keluar dari ruangan Brata, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin yang terletak di sudut ruangan, ia bertanya dalam hati. Apa yang yang telah ia lakukan? Ia baru saja menyetujui langkah kecil menuju sesuatu yang ia tahu bisa mengubah seluruh hidupnya.
...***...
Satu Minggu Kemudian
Dan di sinilah ia sekarang. Memandang dirinya di cermin, bersiap-siap untuk bertemu Rendra. Sebenarnya ia tidak terlalu yakin pada apa yang sedang dilakukannya.
"Din, kamu udah siap? Itu Mas Rendra udah dateng." Suara ibunya terdengar dari arah pintu.
Dinda menoleh, "Ya, sebentar." Ia menelan ludahnya gugup.
Ini kencan buta pertamanya, dan pasangannya bukan orang biasa. Seperti apa ia harus bersikap? Dinda menarik napas dalam-dalam. Oh ayolah, ia harus terlihat wajar.
Dinda berjalan sangat lambat menuju ruang tamu, kemudian melihat pria itu di sana. Duduk bersandar di sofa, berhadapan dengan ayahnya, entah sedang bicara apa. Setelah menyadari kehadiran Dinda, ia berdiri. Mereka kini berhadapan.
Ya ampun, dia sangat tampan. Dinda sering melihatnya di media, tapi bertemu langsung seperti ini rasanya sangat berbeda. Dia punya semacam... aura.
Tubuhnya tinggi dan atletis, mungkin sekitar 185cm. Struktur wajah tajam, rambut coklat gelap, dan iris mata berwarna hazel. Wajahnya terlalu Eropa untuk nama Jawanya. Dengar-dengar mendiang ibunya orang Jerman.
Dia adalah pria paling menarik yang pernah Dinda temui secara langsung seumur hidupnya. Tipe pria dewasa dan memikat yang tidak pernah ada di lingkungannya.
Butuh beberapa detik bagi Dinda untuk sadar dari keterpanaan. Mata mengerjap cepat seirama dengan detak jantungnya.
"Rendra." Ia mengulurkan tangan kemudian tersenyum. Samar sekali. Suaranya rendah, tapi ringan.
Dengan canggung Dinda menyambut ulurannya, mereka berjabat tangan. Ada getaran aneh saat kulit mereka bersentuhan. Dinda cepat-cepat menarik tangannya.
"Mau jalan sekarang?" Tanya pria itu, nada bicaranya sopan.
"Ya." Dinda mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Dinda sudah duduk canggung di Mercedes S Coupe milik Rendra, sesekali memainkan jemarinya sendiri untuk menahan gugup.
"Kamu udah makan siang?" Tanya Rendra memecah keheningan.
"Udah, jam dua belas tadi." Jawab Dinda. Tentu saja, ini sudah jam dua siang.
"Okay. Kalo gitu, kita ke coffee shop aja." Ia menoleh sebentar, bibirnya sedikit terangkat, tidak sampai tersenyum.
Sepanjang perjalanan mereka nyaris tidak bicara. Rendra fokus menyetir, Dinda diam menjadi penumpang yang baik. Beberapa kali tatapan mereka bertemu di kaca spion. Entah bagaimana itu membuat sesuatu di dalam dadanya bergemuruh. Ia berdebar-debar. Astaga, ini mulai berlebihan. Ia tidak boleh merasa seperti ini.
Begitu tiba di coffee shop, mereka turun dan jalan berdampingan. Dinda mencoba mengikuti langkah Rendra yang lebar dan cepat. Ketika masuk, Rendra memandu Dinda ke pojok ruangan. Sudut paling privat. Satu sofa panjang, dua kursi kayu.
"Kamu mau duduk di sana?" Dia menunjuk sofa.
"Lebih nyaman, dan aku bisa lihat kamu lebih jelas." Lanjutnya pelan, seperti perintah yang sopan.
Untuk sesaat Dinda menyadari bahwa pipinya memerah. "Oh, okay." Jawabnya, sambil duduk. Kemudian menyesuaikan posisi tasnya di pangkuan.
Seorang pelayan datang dan mereka memesan dengan cepat.
"Jadi kamu semester berapa sekarang?" Tanyanya sambil mencondongkan tubuh ke arah Dinda.
"Semester empat." Dinda merapikan rambutnya yang tidak berantakan.
"Jurusan?"
"Aku ambil Komunikasi, konsentrasi Jurnalistik." Jawab Dinda.
"Belajar nulis fakta di tengah publik yang jago putar opini ya?" Ia mengangkat sebelah alisnya. Ada sedikit gurauan di nada bicaranya.
"Ya. Fakta memang bisa kalah sama narasi. Tapi kita bisa coba nggak ikut nyebarin sampah." Kali ini ia berusaha menatap Rendra dengan percaya diri, tapi gagal bertahan. Ia langsung tertunduk. Sia-sia opini pintarnya.
Hening lagi.
"Kamu selalu sependiam ini? Atau cuma sekarang?"
"Nggak selalu, mungkin karena kita baru pertama kali ketemu. Aku nggak terbiasa." Wajahnya lagi-lagi memerah. Ada apa dengannya?
"Nggak terbiasa sama aku?" Rendra memiringkan kepalanya sedikit dan senyum samar muncul di bibirnya. Ia menikmati kecanggungan Dinda. Ia tau gadis ini terpengaruh olehnya. Sejak awal Dinda selalu ragu-ragu saat menatap atau bicara dengannya. Ia selalu tampak tertarik tapi juga membatasi diri. Jelas bukan tipe yang biasa dihadapi Rendra, tapi ia jadi penasaran. Membangkitkan sisi pemburunya.
"Bukan. Tapi sama situasinya." jawab Dinda, suaranya makin tak percaya diri.
Senyum Rendra memudar, tiba-tiba canda dalam nada bicaranya lenyap, "Tapi situasinya akan lebih rumit dari ini." Pria itu menatapnya, lekat.
"Rumit?" Dinda mengerutkan dahinya.
"Ya. Ini bukan pertemuan biasa. Kita nggak akan cuma jadi teman kencan."
Dinda terdiam, pandangannya turun ke pangkuan. Jelas. Mereka bertemu untuk rencana pernikahan, pria ini akan jadi suaminya kalau mereka sama-sama setuju.
Ada ketegangan yang menggantung di udara. Dinda tau sebagian berasal dari dirinya sendiri tapi sebagian lagi sepertinya sengaja diciptakan oleh pria di hadapannya.
"Soal skandal, kamu nggak mau tanya?" Tanya Rendra.
"Ada yang perlu aku tau?" Dinda balik bertanya.
"Aku rasa enggak, sebagian besar udah jadi rahasia umum." Jawabnya terang-terangan.
"Oke, aku nggak akan tanya lebih jauh."
"Bagus." Nada bicaranya tidak terlalu ramah.
Dinda menarik napas dalam, kemudian bertanya, "Yang mau aku tanya, kenapa kamu mempertimbangkan perjodohan ini?"
"Aku udah setuju." Rendra menjawab dengan yakin.
"Kenapa?" Tanya Dinda lagi.
'Okay, sweetheart... let's do this.' Rendra mengulum senyumnya.
"Umurku udah lebih dari cukup. Kamu cantik dan dari keluarga baik-baik, kenapa aku nggak tertarik? Mungkin ini akan berhasil." Dia diam sebentar, kemudian melanjutkan, "Tapi ada beberapa kondisi yang perlu kita diskusikan sebelum kamu memutuskan."
Dinda diam. Menunggu.
"Kalau pernikahan ini terjadi, kita akan tinggal di tempatku yang ada di Dharmawangsa. Kamu keberatan?"
Dinda menggeleng.
"Aku mau kamu temani aku setiap kali ada acara publik atau acara-acara resmi lainnya yang membutuhkan kita hadir berdua." Nada bicaranya terlalu profesional, mereka seperti sedang membicarakan kontrak kerja. "Kamu juga diizinkan melakukan semua kegiatan yang biasa kamu lakukan. Dan aku akan kasih kamu ruang untuk keputusan pribadi. Bahkan kamu boleh punya kamar sendiri kalau mau, aku nggak keberatan."
Dia berhenti sambil menilai respon Dinda. Gadis itu hanya menatapnya. Ada tanda tanya besar di wajahnya, tapi Rendra tetap melanjutkan.
"Dan ada satu hal yang harus kita sepakati dari awal." Suaranya sedikit menurun, lebih dalam.
"Our relationship... do you want it to be exclusive, or open?"
Dinda mengerutkan kening, "Maksudnya?"
"Pernikahan bisa punya banyak bentuk. Ada pasangan yang memilih setia sepenuhnya, tapi ada juga yang membebaskan satu sama lain. Aku cuma mau posisi kita jelas dari awal."
Dinda begidik. Apa yang ada di kepala pria ini? Kalimat-kalimatnya sangat janggal, tapi Dinda tidak berani mengonfrontasi.
"Apa pertanyaan begini perlu?" tanya Dinda keheranan.
"Itu penting. Kita butuh transparansi. Kamu berhak tau apa yang akan kita hadapi. Pernikahan ini nggak akan terjadi tanpa persetujuan kamu."
"Oke." Jawabnya ragu.
"So exclusive or open?" Ulangnya.
"Eksklusif. Aku mau hubungan ini sewajarnya pernikahan." Kali ini Dinda terdengar yakin.
"Okay." dia tersenyum, kemudian melanjutkan, "Kamu mau hubungan konservatif yang setia dan pasti kamu mau aku juga melakukan hal yang sama."
"Ya." Dinda mengangguk lagi. Tentu saja. Siapa juga yang rela suaminya punya hubungan dengan perempuan lain?
Rendra diam sejenak. Matanya menatap Dinda, lalu ia bersandar sedikit ke belakang, "Aku tau ini berat untuk kamu. Semua terlalu cepat. Tapi kamu perlu tau, aku nggak cari istri untuk pajangan." Ia berhenti sebentar. "Aku nggak mau kita pura-pura jadi pasangan harmonis, tapi dingin di rumah. Kalau kita memang menikah, semuanya harus jelas. Termasuk urusan tempat tidur." Lanjutnya.
Dinda mengernyit, berusaha mencerna arah kalimatnya. Sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini.
"Aku nggak bisa pisahkan komitmen dari kebutuhan fisik." Lanjutnya.
Dia ingin pemenuh kebutuhan biologis dari Dinda. Pria ini bahkan tidak menyentuhnya, tapi tatapan mata itu membuat Dinda merasa ditelanjangi. Dinda menelan ludahnya, tidak menyangka kalimat seperti itu diucapkan Rendra dengan sangat terbuka di pertemuan pertama mereka.
Dinda tidak menjawab, hening. Untuk sesaat berusaha mencerna. Kenapa hubungan ini jadi terdengar aneh? Rasanya sangat tidak natural. Mereka seperti sedang berbisnis.
"Dan aku nggak berencana untuk punya anak." Rendra menambahkan sambil menatap Dinda, ia menunggu reaksinya.
Saat ia lihat Dinda mengerutkan dahinya, mungkin karena rasa tidak setuju atau keheranan, dia melanjutkan, "Paling nggak dalam waktu dekat. Aku hampir nggak punya waktu untuk urusan lain selain pekerjaan. Dan kamu juga sibuk kuliah kan? Mungkin akan lebih nyaman kalau kita berdua dulu. Jadi aku mau kamu konsultasi ke dokter untuk kontrasepsi. Dokternya aku yang rekomendasikan. Kalau kamu setuju, kita bisa lanjut."
Dinda lagi-lagi tidak mampu menjawab. Kepalanya masih berputar. Ia baru saja diberi proposal hidup dari orang yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Dan ada satu hal yang mencolok dari pria ini, dia seperti memastikan semua berada di bawah kendalinya. Dia sepertinya tidak bisa menoleransi ketidakpastian.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!