Langit Timur masih diselimuti kabut ketika suara dentuman gong bergema dari menara istana Noctis. Di ruang singgasana yang megah, Raja Devh As Obscura duduk di kursinya, matanya tajam menatap ke arah putranya, Zevh Obscura.
"Pernikahan ini bukan tawaran, Zevh," suara sang raja bergetar, berat dengan wibawa. "Ini adalah perintah. Dengan menikah, kau bukan hanya menyelamatkan Desa Osca, tapi juga mengikat kekuasaan Utara di bawah kendali kita."
Zevh berdiri tegap, tubuhnya terbalut jubah perang hitam berkilau, lambang keluarga Obscura terukir di bahu bajunya. Tatapan matanya tajam, tak gentar sedikit pun pada tekanan ayahnya.
"Aku lahir bukan untuk menjadi pion politik, Ayah," balas Zevh dengan suara rendah, dingin, namun penuh kuasa. "Aku adalah panglima perang. Tugas utamaku adalah melindungi desa dan rakyat kita, bukan menjual namaku di meja pernikahan.”
Raja Devh mengetukkan tongkatnya, gema logam terdengar nyaring. "Kau terlalu keras kepala. Desa Osca lemah, dan Arons dari Utara sudah menajamkan kuku untuk mencabiknya. Apa kau pikir bisa menahannya hanya dengan pedang?"
Mata Zevh menyipit. Ada kilatan amarah sekaligus tekad di dalamnya. "Selama aku masih bernafas, tidak ada seorang pun, bahkan Arons, yang akan merebut Osca."
Keheningan menegang di ruangan itu. Para bangsawan yang menjabat sebagai orang-orang penting kerajaan di wilayah timur Noctis, duduk rapih di sisi ruangan saling pandang, sebagian berbisik, sebagian lainnya menahan senyum sinis.
Bagi mereka, Zevh hanyalah seorang pangeran keras kepala yang menolak melihat "jalan mudah" lewat politik. Namun bagi rakyat Timur, namanya adalah simbol perlindungan.
Saat pertemuan selesai, Zevh keluar dari balairung. Cahaya pagi menyambutnya, dan di kejauhan, ia bisa melihat tanah Osca.
Desa sederhana yang kini menjadi jantung konflik kerajaan. Bibirnya mengeras.
"Biarkan mereka bicara soal pernikahan politik," gumamnya, menunggang kuda hitamnya. "Aku punya caraku sendiri untuk melawan Utara."
Dan itulah awal segalanya, awal dari perang yang akan menentukan tak hanya nasib kerajaan, tapi juga hatinya sendiri. Kudanya berlari menjejaki tanah timur menuju desa Osca hari itu juga.
Dan di Desa Osca sudah kacau.
Suara teriakan dan dentang logam terdengar nyaring di ujung timur Desa Osca. Pasar yang biasanya ramai kini kacau. Pedagang berlarian, anak-anak menangis, dan asap mulai mengepul dari gudang penyimpanan gandum.
"Orang-orang Utara lagi! Mereka membakar persediaan kita!" teriak seorang pria tua sambil menyeret anaknya menjauh dari kobaran api.
Zevh tiba bersama pasukannya. Tubuhnya tegak di atas kuda hitam, wajahnya dilindungi helm perang dengan lambang obsidian. Begitu rakyat melihatnya, kehebohan berganti dengan sorak lega.
"Panglima Obscura datang!"
Zevh mengangkat tangannya, memberi isyarat. Barisan prajuritnya segera mengepung jalanan sempit menuju pasar. Mata Zevh menyapu kerumunan penyerang.
Sekelompok prajurit bayaran Utara, mengenakan kain pelindung berwarna kelabu.
Salah satu dari mereka berani maju, menodongkan pedang berlumur jelaga. "Desa ini bukan milik kalian! Segera serahkan Osca pada Pangeran Arons, atau kami akan membumihanguskannya!"
Zevh turun dari kudanya perlahan, derap sepatunya berat di atas tanah yang berdebu. Ia menatap tajam, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Diamnya justru membuat para penyerang goyah.
Lalu dengan gerakan secepat kilat, Zevh menghunus pedangnya, sebilah bilah hitam berukir simbol kerajaan. Dalam satu tebasan, ia menjatuhkan lawan yang paling lantang.
"Siapa lagi yang berani membawa nama Arons di tanah ini?" suara Zevh bergema, dalam dan penuh ancaman.
Keheningan menyelimuti pasar. Para prajurit Utara saling pandang, sebagian mundur.
"Bawa pesan pada tuanmu," lanjut Zevh dengan dingin. "Selama aku berdiri di tanah Osca, tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh desa ini. Jika Arons ingin perang, katakan padanya aku akan menemuinya di medan pertempuran, bukan lewat ancaman pengecut."
Prajurit Utara yang tersisa kabur dengan terbirit-birit. Prajurit Zevh segera memadamkan api di gudang gandum.
Rakyat berbondong-bondong mendekat, sebagian berlutut memberi hormat. Seorang wanita tua menangis sambil mencium ujung jubahnya.
"Terima kasih, Panglima… jika bukan karena Anda, Osca sudah habis."
Zevh menatap wajah-wajah rakyatnya, lelah, penuh ketakutan, tapi juga penuh harapan. Ia menarik napas panjang.
"Selama aku masih hidup," katanya mantap, "Osca tidak akan jatuh ke tangan Utara."
Dan di balik tatapannya yang dingin, ada sumpah dalam hati Zevh, ia lebih memilih menghunus pedang sepanjang hidupnya daripada tunduk pada pernikahan politik yang tidak ia inginkan.
Asap terakhir dari gudang gandum rakyat desa Osca masih mengepul namun tidak di sebuah rumah besar di desa yang sama, milik seorang keluarga bangsawan.
Di ruang berlapis tirai beludru biru, Elara Elowen duduk dengan kedua tangannya menggenggam erat gaun tipis berwarna gading. Mata cokelat keemasannya menatap lantai, penuh dengan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Pernikahan ini sudah ditetapkan, Elara." Suara ayahnya, Lord Edric Elowen, bergetar dengan nada marah sekaligus memohon. "Arons adalah pangeran dari Utara. Dengan menikah dengannya, kau bukan hanya menyelamatkan keluargamu, tapi juga mengamankan posisi Osca dari gempuran politik mereka."
Elara mendongak, tatapannya tajam meski wajahnya muda dan lembut. "Menyelamatkan? Tidak, Ayah. Itu sama saja menyerahkan Osca ke tangan Arons. Dia hanya ingin tanah kita. Aku tidak akan menjadi alat politik siapa pun."
Lord Edric memukul meja kayu dengan keras. "Kau tidak mengerti, Elara! Kau hanya putri, dan putri bangsawan tidak memiliki hak untuk menolak."
"Elara punya hak untuk hidup Ayah," balasnya dengan suara pecah, tapi penuh keberanian. "Dan aku memilih hidupku sendiri. Aku tidak akan menjadi istri seorang pria tamak yang bahkan tidak mengenal kata kasih."
Ruangan seketika hening. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jantung Elara yang berpacu kencang. Ia tahu, melawan keputusan ayahnya sama saja dengan melawan tradisi bangsawan. Tapi keberanian itu menyalakan api dalam dirinya.
Malam itu juga, ketika para pelayan tertidur dan rumah bangsawan terbungkus keheningan, Elara menyelipkan beberapa helai roti kering, kepingan uang dan sekantong kecil perhiasan ke dalam mantelnya. Dengan langkah hati-hati, ia menuruni tangga batu yang dingin, menatap sekali lagi ke arah rumah tempat ia dibesarkan.
"Maafkan aku, Ayah…" bisiknya lirih. "Tapi aku tidak bisa hidup dengan belenggu ini."
Langkah Elara terhenti sejenak di gerbang kecil belakang rumah bangsawan Elowen. Angin malam berembus menusuk kulitnya, dingin, tapi lebih dingin lagi kenyataan yang menanti bila ia tetap tinggal.
Ia mendongak ke langit kelam, bibirnya bergetar, bukan karena takut, melainkan amarah yang ditahan terlalu lama.
"Pernikahan politik…" suaranya pelan, hampir seperti gumaman, tapi sarat kebencian.
"Itu bukan penyelamatan. Itu penjara. Itu rantai emas yang akan membunuhku perlahan."
Matanya berkaca-kaca, tapi Elara mengusapnya kasar.
"Arons bisa membeli tanah, bisa membeli pengkhianat… tapi ia tidak akan pernah bisa membeli diriku."
Ia meremas jubahnya erat, seolah meneguhkan sumpahnya sendiri.
"Lebih baik aku hilang dari Osca, bahkan dilupakan semua orang, daripada hidup sebagai boneka di samping pria tamak itu. Biarlah dunia menyebutku pengecut. Aku lebih memilih menjadi bayangan yang bebas, daripada Ratu yang terikat."
Ia menarik tudung jubahnya, lalu melangkah ke jalanan gelap Osca. Kabut tipis turun, menutupi wajahnya. Tidak ada yang tahu ke mana ia akan pergi, hanya satu hal yang jelas, ia lebih memilih menjadi buronan takdir daripada boneka pernikahan politik.
Dan apa yang tidak Elara sadari, pelariannya malam itu akan menyeretnya langsung ke jalur hidup Zevh Obscura, panglima perang yang keras kepala, yang sama-sama menolak takdir politik, tapi dengan cara yang sangat berbeda.
Hutan Osca pada malam hari bukan tempat yang ramah. Pepohonan menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang hendak meraih siapa saja yang melintas.
Namun Elara berlari, menahan napas sekuat mungkin, jubahnya tersangkut ranting berkali-kali, seolah alam sendiri menolak pelariannya.
Dentuman kaki kuda tiba-tiba mengguncang tanah. Dari kejauhan, cahaya obor menembus gelap, bergerak cepat. Elara terhuyung, panik, dan tanpa sengaja ia keluar dari jalur sempit ke tanah lapang yang berlumpur.
Seekor kuda hitam besar dengan penunggangnya berlari tepat ke arahnya. Elara, dalam kepanikan, tersandung dan jatuh ke depan. Tubuhnya menabrak kaki kuda, dan dengan teriakan kecil ia terhempas ke tanah… tepat di hadapan Zevh Obscura.
Sang penguasa Osca menarik kudanya berhenti mendadak. Wajahnya mengeras, matanya menyala berwarna di Kegelapan malam, bagai bara di balik kegelapan. Suara kudanya meringkik, sementara pasukan di belakang segera mengelilingi.
"Apa ini?" suara Zevh bergemuruh, penuh murka. "Berani sekali kau menghadang jalanku seperti seorang pengacau!"
Elara merangkak, tubuhnya berlumuran tanah dan dedaunan. Wajahnya merah, bukan hanya karena sakit, tapi juga malu. Ia menegakkan diri, menatap lurus pada pria yang berpakaian zirah hitam yang menatapnya bagaikan pemangsa.
"Itu… bukan salahku!" seru Elara, napasnya tersengal. "Aku hanya berlari, dan itu murni kecelakaan!x"
Zevh menunduk sedikit, sorot matanya menusuk seperti belati. "Kecelakaan? Kau membuat kudaku hampir kehilangan kendali. Kau hampir mencelakakan pasukan ku. Dan kau pikir aku akan menerima alasan konyol itu?"
Pasukan di sekeliling bersiap, menunggu perintah. Namun Elara, meski tubuhnya gemetar, tetap mendongak.
"Aku tidak akan meminta maaf atas sesuatu yang bukan salahku," katanya tegas, setiap kata terdengar bagai tantangan.
Suasana menegang. Pasukan menahan napas, terkejut dengan keberanian perempuan asing itu.
Zevh perlahan turun dari kudanya. Langkahnya berat, berwibawa, membuat tanah terasa ikut bergetar. Ia berdiri tepat di hadapan Elara, tinggi menjulang, auranya pekat dan mendominasi.
"Kau… berani menentang ku?" suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Matanya berkilat mencari sesuatu yang tampak membuat Zevh tertarik sejenak.
Elara mengangkat dagunya, meski hatinya berdegup liar. "Selama aku berada dalam kebenaran, aku tidak akan pernah meminta maaf. Bahkan pada seorang penguasa sepertimu."
Diam. Hening sejenak, hanya suara dedaunan dan napas kuda yang terdengar.
Kemudian, sudut bibir Zevh terangkat tipis, bukan senyuman ramah, melainkan ekspresi yang lebih berbahaya.
"Menarik…" bisiknya. "Jarang sekali ada yang berani menatap mataku, apalagi berbicara seperti itu."
Tangannya terulur cepat, mencengkeram pergelangan Elara, membuat gadis itu tersentak.
"Kau akan ikut denganku. Mulai malam ini, kau tawanan Zevh Obscura."
Elara berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya terlalu kuat. Ia tahu ia tidak bisa melawan Panglima yang di juluki kejam di hadapannya ini. Meski begitu, ia tetap menatapnya tanpa gentar.
"Kalau itu mau mu… tapi jangan pernah harap aku tunduk padamu."
Alih-alih marah, Zevh justru tertawa pelan, suara berat yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Semakin menarik." mata Zevh merasakan sesuatu yang menarik dari tawanannya.
Ia kemudian menyeret Elara naik ke kudanya. Malam yang tadinya hanya pelarian sunyi kini berubah menjadi awal dari jerat takdir, antara seorang penguasa kejam dan gadis bangsawan yang menolak tunduk pada siapa pun.
---
Derap kuda Zevh menghentak tanah, membawa mereka menembus hutan pekat menuju padang rumput luas. Rembulan bergantung di langit, sinarnya menorehkan kilau pucat pada hamparan perbukitan dan laut yang berkilat tenang di sisi jauh.
Elara duduk di depan, tubuhnya terjepit oleh pelukan kendali Zevh. Ia menunduk, kedua tangannya mencengkeram erat jubah hitam kuda gagah itu.
"Apa yang dilakukan seorang gadis bodoh keluar malam di desa Osca, ketika desa ini sedang tidak baik-baik saja?" suara Zevh dalam, bergemuruh tepat di telinganya.
Elara menggertakan giginya. "Itu bukan urusanmu." jawabnya ketus, tanpa ragu.
Tatapan Zevh mengeras, dan ia tanpa aba-aba memacu kudanya lebih cepat. Angin kencang menghantam wajah Elara, rambutnya terurai liar, namun gadis itu sama sekali tidak berteriak. Sebaliknya, ia semakin erat memegang jubah kuda.
Di belakang, salah satu pemimpin pengawal menoleh pada pasukannya. "Jaga jarak! Jangan dekatkan diri pada Tuan Zevh!" serunya lantang.
Kecepatan kuda meningkat, dan Zevh merendahkan suara, hampir seperti bisikan yang menekan dada Elara.
"Siapa namamu?"
"Elara." jawabnya singkat, dingin.
"Elara…" Zevh mengulang perlahan, seakan menimbang berat nama itu di lidahnya. Tiba-tiba jemarinya menyentuh tangan Elara yang mencengkeram jubah kuda.
Elara tersentak. "Jangan pernah menyentuhku!"
Namun Zevh justru merapatkan tubuhnya ke punggung gadis itu. Karena tidak menyangka Elara telah salah paham padanya.
"Menjauh dariku!" teriak Elara, suaranya pecah karena marah dan panik bersamaan.
Kuda berlari semakin kencang, menembus padang rumput liar. Angin membawa bau laut dan desir gelombang yang memecah di tebing jauh di depan.
"Kau, berhentilah! Kita bisa jatuh ke sisi tebing di ujung sana!" jerit Elara, suaranya tertelan angin malam. Jemarinya yang tadi tegas menolak, kini tanpa sadar berpegangan pada lengan Zevh, mencari keseimbangan.
Kuda itu meringkik keras. Dan seketika, Zevh menarik kendali dengan kekuatan penuh. Kudanya berhenti mendadak, tepat sebelum tebing curam. Tanah tergores tapal, debu berhamburan. Kedua kaki depan kudanya terangkat ke atas.
Para pengawal di belakang terkejut, beberapa hampir berteriak karena melihat kuda pemimpin mereka nyaris melompat ke jurang.
Elara terhuyung, punggungnya bersandar ke dada Zevh yang kokoh. Napasnya tersengal, wajahnya pucat.
"Kau gadis keras kepala," suara Zevh turun perlahan, tapi dinginnya menusuk lebih tajam dari pedang. "Diam, dan patuhlah."
Elara memaksa dirinya bangkit, menepis tangan Zevh yang melingkar di perutnya. Tatapannya keras, menantang.
"Aku tidak akan pernah patuh pada kesewenang-wenangan mu."
Senyum tipis, berbahaya, kembali terbit di wajah Zevh. "Tidak kah kau merasa senang? Aku mempertahankan desa Osca hari ini. Apa kabar itu belum sampai pada telingamu, gadis keras kepala?"
Elara membeku. Untuk sesaat, kata-katanya terhenti. Namun segera ia menggeleng, matanya menatap tajam ke arah Zevh.
"Senang? Mungkin mereka di Osca bersyukur. Tapi aku? Aku tidak pernah suka pada pria yang menyelamatkan desa dengan satu tangan… lalu dengan tangan lain merampas kebebasan seorang perempuan sesuka hati."
Keduanya terdiam, hanya napas berat dan desir angin laut yang terdengar. Benturan ego mereka menggantung di udara, seperti dua api yang saling menyambar, sama-sama enggan padam.
"Hari ini. Kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal," suara Zevh serak, rendah, namun menggetarkan.
Sebelum Elara sempat membalas, jemari kokoh Zevh melingkar di leher jenjang gadis itu. Cengkeraman dingin dan kuat menekan tenggorokannya. Elara tercekik, matanya membelalak, tangannya buru-buru menepuk-nepuk lengan Zevh, berusaha melepaskan diri.
"Argh... hentikan…!" suaranya patah-patah, terbata.
Namun tatapan Zevh tak berubah, tajam menusuk, seolah sedang menguji sejauh mana gadis keras kepala itu sanggup menantang dirinya.
Derap langkah kuda dari belakang semakin dekat. Seorang ajudan dengan wajah tegang segera bersuara, "Tuan, apakah kita akan langsung pergi ke kediaman Anda?"
Seakan baru tersadar, Zevh akhirnya melepaskan cengkeramannya. Elara jatuh tersungkur pada punggung kuda, batuk-batuk keras, napasnya terengah, matanya berair.
"Tidak." jawab Zevh datar. "Kita terus mengawasi desa Osca."
Ajudan itu sempat melirik Elara yang masih berusaha mengatur napas. "Baiklah, Tuan. Kalau begitu, gadis ini akan saya perintahkan anak buah untuk mengantarnya ke kediaman Anda."
Zevh menoleh, sorot matanya dingin bagai baja. "Tidak perlu."
Tanpa memberi peringatan, ia mendorong tubuh Elara dari kuda. Gadis itu terjatuh keras ke tanah berumput, tubuhnya terbentur kerikil kecil yang menusuk kulit.
"Ahh sshh!" Elara meringis kesakitan, tangannya memegangi siku yang tergores. "Kau sungguh tidak sopan!" teriaknya dengan suara gemetar, tapi matanya tetap menyalakan api perlawanan.
Zevh tidak memandangnya. Ia menarik kendali kudanya, berbalik dengan dingin. "Tinggalkan dia di sini. Biarkan dia merenungi kesalahannya."
Kuda gagah itu melangkah menjauh, diikuti rombongan pengawal yang sempat terdiam mendengar perintahnya.
Salah seorang ajudan menoleh ke arah Elara, suaranya lirih namun tegas. "Nona, bersyukurlah. Jangan pernah membuat kekacauan lagi di hadapan Panglima." Setelah itu, ia ikut memacu kudanya, meninggalkan Elara sendirian.
Langit malam masih menggelayut pekat. Hamparan padang rumput liar terhampar luas, dan di ujung tebing, lautan bergelora di bawah cahaya bulan.
Elara berusaha bangkit, tubuhnya gemetar namun sorot matanya membara. Ia berteriak lantang, suaranya menggetarkan udara malam.
"Zevh Obscura! Kau pria paling sombong, paling angkuh, dan aku bersumpah… aku tidak akan pernah tunduk padamu!"
Suara makiannya menggema di tanah kosong menyebar ke segala arah terbawa angin malam. Para pengawal yang sudah berjalan jauh spontan menoleh, terkejut mendengar keberanian gadis itu.
Zevh di atas kudanya tak menoleh. Tapi telinganya menangkap jelas setiap kata yang dilontarkan Elara. Rahangnya mengeras, matanya lurus menatap jalan kembali menuju desa Osca.
Sementara Elara berdiri di ujung tebing, angin laut menyibakkan rambutnya yang berantakan. Nafasnya masih memburu, dadanya sesak, namun api dalam matanya tak padam. Ia menatap punggung rombongan itu dengan rasa kesal yang semakin mengakar.
"Dia akan aman sejenak di sini" gumam Zevh dalam hatinya, saat meninggalkan Elara.
----
Elara menatap rombongan kuda Panglima yang terkenal kejam itu semakin menjauh, meninggalkan hamparan padang rumput luas yang berguncang diterpa angin laut.
Ombak di bawah tebing bergemuruh, pecah menabrak karang, seolah ikut menyuarakan kegelisahannya. Cahaya obor yang dibawa pasukan perlahan meredup, lalu lenyap ditelan rimbun hutan menuju desa Osca.
Napas Elara masih terengah, tubuhnya bergetar akibat adrenalin yang belum reda. Ia mengusap sikunya yang perih karena terbentur kerikil kecil. Darah tipis mengalir, membuat kulitnya terasa perih.
"Aku merenungi kesalahan?" desisnya lirih, menirukan ucapan Zevh dengan nada getir. "Tidak akan pernah. Lagi pula… aku tidak sepenuhnya bersalah. Tadi itu kecelakaan."
Ia mendengus pelan, mencoba menenangkan diri. Meski hatinya masih dipenuhi rasa marah, ada secuil kelegaan dalam benaknya.
"Setidaknya… aku bisa menjauh dari Osca berkat dia," gumamnya, matanya terpaku pada sisa nyala obor yang kian mengecil.
Namun rasa lega itu tak berlangsung lama. Bayangan wajah ayahnya muncul jelas dalam ingatan. Sosok yang keras, menuntut kepatuhan.
"Aku harus berjalan menjauh sekarang, sebelum Ayah menyadari aku hilang…" katanya pada dirinya sendiri, suara lirih namun sarat tekad.
Ia mengangkat gaun sederhana yang dikenakannya, gaun yang dengan berani ia curi dari salah satu pelayan. Benang kusam dan potongan kasar gaun itu berbeda jauh dari pakaian bangsawan yang biasa ia kenakan. Sederhana, namun justru itulah yang kini bisa menjadi penyelamatnya.
Elara tahu, dengan penampilan seperti ini, ia bisa mengelabui dunia. Ia bisa berjalan sebagai siapa saja, seorang pengembara, pelayan, bahkan gadis desa.
Namun, saat ingatannya kembali pada tatapan Zevh Obscura, ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Tatapan tajam itu menembus segala penyamaran, seakan menelanjangi seluruh rahasia dalam dirinya.
"Tidak di mata Panglima itu…" Elara meremas gaun lusuh di genggamannya. "Zevh Obscura bukan orang yang mudah dikelabui."
Ia menarik napas panjang, memandang langit yang gelap dengan bulan pucat menggantung sendirian. Ada ketakutan yang samar, tapi juga dorongan untuk terus maju.
"Dan sebelum pria itu kembali… sebelum benar-benar menjadikanku tawanan…" Elara menggertak kan giginya, lalu melangkah mantap ke arah berlawanan dari Osca. "Aku harus pergi. Sekarang."
Kakinya melangkah menembus padang rumput, suara desis angin dan deru ombak menjadi satu-satunya iringan perjalanan. Luka di sikunya berdenyut, namun tekad di matanya lebih kuat dari rasa sakit itu.
Di kejauhan, samar-samar, ia merasa seakan bayangan kuda hitam itu masih mengikutinya. Entah nyata atau hanya bayangan pikiran, Elara tak tahu.
Yang jelas, satu hal pasti, sejak pertemuan malam ini, bayangan Zevh Obscura akan terus menghantuinya.
Suara derap kuda rombongan Zevh belum berhenti sejak beberapa jam terakhir. Embun dini hari menempel di ujung dedaunan hutan, dan di kejauhan samar cahaya fajar mulai menyingkap gelap.
“Tuan,” salah satu ajudan menunduk hormat, “ada yang datang. Saya akan memeriksa.”
Ia memacu kudanya, lalu berhenti di depan sosok berjubah cokelat. “Tenanglah, ini kami,” ucap pria itu.
Zevh menatap datar. “Ternyata kalian, Veron. Zark.”
Dua bangsawan muda turun dari kuda. Wajah mereka sama-sama serius. Pemilik wilayah Selatan dan Wilayah Barat.
“Ada apa kalian kemari?” tanya Zevh.
“Kami mendengar kabar tentang desa Osca,” ucapan Zark terhenti ketika Zevh menatapnya dingin.
“Kembalilah. Aku masih bisa menanganinya,” potong Zevh.
“Tidak.” Veron maju setapak, suaranya rendah tapi tegas. “Kami membawa kabar buruk.”
Para ajudan spontan menoleh, menunggu.
“Arons telah masuk ke jalur politik dan perdagangan di Osca,” lanjut Veron.
“Aku sudah tahu.” Zevh menjawab tanpa ekspresi.
“Sial,” Zark mengumpat. “Kalau begitu, ayo kita bahas rencana selanjutnya. Kami sudah menaruh beberapa pasukan di Osca. Jadi kau tak perlu kembali ke sana.”
“Benar,” timpal Veron. “Ada yang lebih penting sekarang. Kita butuh strategi menyeluruh.”
Zevh mengangguk tipis. Kudanya berbalik mengikuti langkah Veron dan Zark. Para ajudan memilih tetap berjaga, memastikan Osca aman.
Saat bayangan kuda mereka mulai samar di bawah pepohonan, Elara tersandung di antara akar-akar pohon besar. Nafasnya memburu, tubuhnya lelah. Ia sudah berjalan berjam-jam, menahan lapar dan kantuk. Hingga papan kayu di jalan tanah menampakkan tulisan. Desa Asten.
“Perbatasan… akhirnya,” gumamnya.
Namun perutnya melilit. Aroma roti panggang dari kios-kios kecil menusuk inderanya, membuatnya nyaris gila. Tangannya meraba saku jubahnya. Kosong. Kepingan koin, roti kering, emas, dalam kantung kain kecilnya miliknya hilang.
“Astaga… Zevh Obscura!” Elara memaki keras. “Kau benar-benar perampok berjubah hitam! Kau bahkan merampas milikku!”
Kelaparan menindih harga dirinya. Ia mencoba menawarkan diri untuk bekerja, tapi ditolak pedagang demi pedagang. Dan akhirnya, didorong rasa lapar, ia nekat meraih sepotong roti hangat dari lapak seorang perempuan tua.
“Pencuri! Tolong tangkap dia!” teriak si pedagang.
Elara berlari panik di antara kios, roti hangat dalam genggamannya, sementara perempuan tua itu mengejarnya dengan sumpah serapah. Orang-orang berteriak, menuding, sebagian ikut mengejar. Kekacauan pun tercipta.
Di dalam sebuah kedai, Veron tengah menunduk menandai peta dengan arang. Zark memperhatikan, namun telinganya menangkap keributan dari arah pasar.
“Keramaian apa itu?” gumam Veron.
“Biar aku saja,” ucap Zevh. Ia berdiri, menyampirkan jubahnya, lalu melangkah ke arah sumber kegaduhan.
Di ujung jalan, sorot matanya menangkap sosok yang berlari kocar-kacir. Gadis berambut kuning keemasan, wajahnya tersembunyi oleh tudung jubah kepalanya dan juga rambut yang berantakan.
Elara.
Zevh mengerutkan kening. Bahkan dari jauh, auranya sudah mengganggunya. Mata Zevh berkilat merah merasakan kehadiran Elara semakin mendekat.
Dan...
Brakk!
Tubuh Elara menghantam dadanya. Ia terhuyung, roti terlepas dari genggamannya, tubuhnya jatuh ke tanah berdebu. Lagi dan lagi, ia jatuh tepat di hadapan pria yang paling ia benci.
“Dasar gadis pencuri!” si pedagang tua meraung. “Tak tahu malu mencuri dari orang tua sepertiku!”
Warga mulai berkerumun. Bisikan-bisikan menusuk telinga Elara.
“Aku tidak mencuri!” Elara berseru dengan suara serak. “Aku hanya ingin barter! Tapi dia menolak! anting-anting kecil yang aku pakai ini asli!”
“Itu trik penipu, dan lihatlah sekarang. Masih bisa bicara di hadapan Panglima?” cibir si pedagang tua.
Elara membeku. Panglima? Suara itu bergema di telinganya. Ia menoleh dan mendapati tatapan dingin Zevh tepat di depannya.
Amarahnya meledak. Pria ini lagi!
Namun sebelum sempat ia meluapkan makiannya, sepotong roti hangat menjejali mulutnya. Zevh mendorongnya masuk dengan satu gerakan cepat, matanya menusuk bagai pedang.
“Dasar pembuat onar,” gumam Zevh rendah. “Bandit kecil.”
Ia menyodorkan beberapa koin pada pedagang tua. Perempuan itu langsung bersyukur, membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih, Panglima!”
Warga pun tenang, lega kekacauan selesai.
Sementara Elara masih terdiam, terkejut. Roti itu kini memenuhi mulutnya, dan ia menahannya agar air mata tak jatuh, air mata amarah sekaligus lapar.
Zevh meraih lengan Elara, menyeretnya ke sebuah kedai kosong. “Aku butuh tempat ini,” ujarnya singkat pada pemilik kedai.
“Baik, Tuan!” pemilik buru-buru keluar, membiarkan mereka berdua. Bisikan warga terdengar samar dari luar. “Wanita itu pasti dihukum.”
“Dasar pria kejam!” teriak Elara begitu pintu menutup. “Kau sudah mencoreng harga diriku! Kau merampas masa depanku!”
Zevh hanya berdiri, tubuhnya tegak, tatapannya dingin. Kedua tangannya terlipat di belakang pinggulnya.
“Kau buang aku semalam, kau hilangkan kantung kain milikku, dan sekarang kau menuduhku pencuri di depan orang banyak!” Elara menghantam dadanya dengan kepalan kecil, penuh amarah. “Kau pencuri yang sebenarnya, Zevh Obscura!”
Zevh tidak bergeming. Sorotnya hanya semakin menusuk. “Kau keras kepala. Gadis kasar. Bandit kecil yang membuat kekacauan di wilayahku. Tapi entah kenapa… ada sisi lain darimu. Dan itu membuatku benci sekaligus… penasaran.”
Aura Zevh menguar, membuat Elara mundur beberapa langkah. Saat Zevh menyentuh kain gaun Elara di bagian ujung bahunya.
Namun ketegangan itu dipatahkan oleh keberanian nekat Elara.
Plak!
Telapak tangannya mendorong kasar bahu Zevh.
Keheningan jatuh di antara mereka. Elara menatapnya dengan mata membara, lalu berbalik, melangkah keluar dari kedai dengan kepala terangkat.
Zevh berdiri kaku sejenak, lalu menghela napas berat. “Dasar… bandit.”
Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah kantung kain kecil. Kantung koin Elara. Semalam ia berniat mengembalikannya, namun kesalahpahaman gadis itu, ditambah makian-makiannya, membuatnya menahan diri.
“Tuan, apa Anda masih di dalam?” suara ajudan memecah keheningan.
Zevh melangkah keluar.
“Tuan, pagi ini desa Osca sudah bangkit kembali. Pasukan Pangeran Zark dan Veron membantu membereskan kekacauan orang-orang Arons.”
Zevh mengangguk. Ia memberikan beberapa koin pada pemilik kedai sebagai ganti sewa. Pemilik kedai hendak menolak tapi lirikan ajudannya membuatnya menerima rezeki yang tak terduga pagi ini dengan kehadiran panglima di kedai miliknya.
“Tuan, apa perlu kami tangkap gadis itu kembali?” tanya ajudannya ragu.
Zevh berhenti, menoleh dengan sorot tajam. “Tidak perlu. Tapi jika dia membuat onar lagi…” bibirnya melengkung tipis, dingin. “…dia akan benar-benar jadi tawananku.”
“Baik, Tuan.” Ajudan menunduk.
Zevh kembali ke Veron dan Zark, langkahnya mantap. Pagi itu, strategi politik dan perdagangan untuk melawan kerakusan Arons pun dimulai.
Sementara jauh di luar kedai, Elara masih berjalan di jalanan desa Asten, menggenggam roti hangat yang tersisa.
Air matanya menetes perlahan, bukan karena kelemahan, tapi karena kebencian yang semakin mengakar.
Dan zevh tengah duduk bersandar pada kursinya di kedai sederhana Desa Asten, matanya tak pernah lepas dari peta dan garis-garis yang tergambar di atas meja.
Di hadapannya, Zark tengah berbicara dengan nada datar namun penuh perhitungan. Setiap kali Zark mengutarakan pandangan, selalu sejalan dengan strategi yang telah ada di benak Zevh. Begitulah sahabat lamanya itu, tenang, logis, dan nyaris tak pernah meleset membaca situasi.
Selalu selaras.
Itulah sebabnya Zevh mempercayai Zark lebih dari siapapun.
Sementara di sisi lain, Veron tampak sibuk menggeser beberapa pion kayu di peta, suaranya penuh semangat, sesekali disertai senyum menggoda. Ia bukan hanya pintar dalam melancarkan strategi yang telah disusun Zevh dan Zark, tetapi juga pandai menggerakkan orang-orang dengan lidah manisnya. Namun, di balik kecerdikannya, Veron selalu menyelipkan candaan, terutama soal wanita.
“Ah, lihat kalian berdua, terlalu serius,” ucap Veron sambil terkekeh. “Kalian tahu? Hidup bukan hanya tentang perang dan politik. Tiga istriku di rumah selalu membuktikan bahwa pernikahan adalah surga dunia yang wajib dinikmati.”
Zevh hanya mendengus. Ia menatap Veron dengan tatapan tajam yang seakan berkata. Ini bukan waktunya. Namun dalam hati, ia tahu, tanpa Veron, meja ini hanya akan dipenuhi rencana dingin tanpa warna.
Tiga pria dengan kepribadian berbeda duduk di satu meja. Zark dengan keseimbangan strategi, Veron dengan keluwesan dan godaannya, dan Zevh dengan tekad kerasnya dan si pemilik mata Elysight.
Meski berbeda, mereka diikat oleh satu tujuan yang tak pernah goyah, menjaga kesejahteraan kerajaan mereka masing-masing, melindungi tanah, dan rakyat dari cengkeraman Arons.
Zevh menatap kedua sahabatnya dengan tatapan dalam, lalu kembali menekankan jarinya pada peta.
“Untuk desa Osca… kita tidak boleh salah langkah.”
Di dalam hati, Zevh tahu, selama mereka bertiga tetap bersama, tidak ada badai politik atau amarah musuh yang akan mampu meruntuhkan benteng mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!