NovelToon NovelToon

Beauty And The Beast

Beauty and The Beast 1

Pagi yang cerah, sinar matahari hangat membangkitkan semangat untuk menjalani hari.

"Egh..." Nirmala menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhnya setelah keluar dari toko bunga miliknya. "Ehm..." Ia menarik napas panjang, menikmati segarnya udara pagi.

Nirmala Astrid Jovanka, seorang wanita cantik, ramah, dan berhati lembut, memulai usahanya dengan membuka toko bunga.

Ia adalah seorang yatim piatu yang tak pernah mengenal wajah kedua orang tuanya. Desas-desus mengatakan bahwa ia adalah anak haram yang dibuang di tempat sampah oleh orang tuanya sendiri.

Namun, takdir mempertemukannya dengan sepasang suami istri yang sudah lama mendambakan seorang anak. Mereka bukanlah orang kaya, tetapi cukup mampu memenuhi kebutuhan hidup Ratna dan Seno.

Lagi-lagi takdir mempermainkan perasaannya. Ratna, sang ibu angkat, meninggal karena sakit. Dua bulan kemudian, Seno, sang ayah angkat, menyusul karena terjatuh dari pohon saat memotong dahan dalam kegiatan kerja bakti.

Di tempat lain...

Brakkkk!

Seorang pria berbrewok dengan rambut panjang tergerai membanting sebuah map ke atas meja.

"Hasil sampah! Keluar!"

Satu per satu karyawan keluar dari ruangan CEO mereka dengan wajah pucat pasi, seolah baru melihat hantu.

Saga memijat pelan pangkal hidungnya. "Ace," panggil Saga pada asistennya. Pintu terbuka, menampakkan sosok pria yang tak kalah tampan dari sang CEO.

"Ya, Tuan," ucap Ace sambil membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat. "Siapkan mobil. Tenaga saya sudah habis untuk hari ini," ucap Saga, yang diangguki oleh Ace. Perlahan, siluet tubuh Ace menghilang di balik pintu.

Saga meminta setiap staf membuat laporan di bidang mereka masing-masing. Alih-alih mendapat laporan profesional dan berbobot, ia justru menerima laporan yang berantakan.

Seperti anak sekolah dasar yang baru belajar menulis, ejaannya kacau balau!

Saat jam makan siang, jalanan padat merayap. Sebagian orang memilih makan di luar kantor, sementara yang lain memenuhi kantin, membuat perjalanan terasa membosankan bagai mengarungi lautan manusia.

Saga memejamkan mata sejenak, mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk yang menyesakkan.

Mobil Daihatsu Terios silver tiba di halaman mansion mewah milik Tuan Saga Theodore Griffith, seorang pria muda dengan wajah angkuh, namun justru memancarkan aura yang membuat semua orang tunduk.

Para penjaga sudah berbaris rapi, membungkukkan tubuh saat Saga berjalan cepat. Ia memasuki ruang tamu yang didesain dengan warna keemasan, memancarkan kemewahan seorang Saga.

Baru saja ia menapaki dua anak tangga, suara cempreng memecah keheningan. "Heh... Anak kurang ajar! Main masuk saja, kamu tidak tahu Oma di sini? Atau kamu sudah menganggap aku tidak ada, hah?!" ucap Nyonya Griffith sambil berkacak pinggang, baru sehari ia disini tapi Sang cucu sudah membuat dirinya naik darah.

Saga tertegun sejenak, lalu menepuk pelan keningnya. Ia berputar arah menuju sang Oma dengan senyum bersalah, lalu mengecup singkat pipi Nyonya Griffith.

"Oma mau belanja apa?" tawar Saga.

Mata Nyonya Griffith berbinar nakal. Sebuah ide jahil terlintas di benaknya untuk mengerjai sang cucu yang kurang ajar. "Oma ingin cucu menantu. Apa kamu bisa memberikannya sebelum Oma menutup mata?" ucap Nyonya Griffith, menyiratkan tuntutan yang tak terduga.

Saga menggaruk keningnya, tanda kebingungan. "Oma tidak mau tas branded? Sepatu branded?" tawar Saga, mencoba mengalihkan perhatian dengan iming-iming kemewahan.

Nyonya Griffith mencebik, menunjukkan ketidakpeduliannya. Saga menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri. "Oke, Oma mau aku berbuat apa?"

"Besok, ikut kencan buta yang Oma buat. Tidak ada penolakan!"

Saga dengan enggan mengangguk dan tersenyum dipaksakan. Ia hanya ingin perdebatan ini segera berakhir, agar ia bisa segera merebahkan diri di tempat tidur.

Saga berendam di bathtub yang penuh busa sabun dan aroma menenangkan, membiarkan ketegangan hari larut dalam air hangat. Setelah merasa cukup, ia membilas tubuhnya di bawah guyuran air hangat yang memanjakan.

Ia merebahkan tubuhnya di ranjang king size miliknya, masih berbalut handuk kimononya. Permintaan sang Oma terus berputar-putar dalam benaknya, bagai melodi yang tak kunjung padam, mengusik ketenangannya.

Saga menjadi yatim piatu setelah kepergian kedua orang tuanya yang tragis. Mobil yang mereka tumpangi saat hendak berlibur disabotase, kabel remnya sengaja dipotong. Sang Ibu mendorongnya keluar dari mobil sesaat sebelum kendaraan itu kehilangan kendali sepenuhnya.

Namun, nasib berkata lain. Keduanya tidak tertolong saat mobil menabrak pembatas jalan dan langsung dilalap api. Saga, yang kala itu baru berusia sepuluh tahun, hanya bisa menangisi kepergian orang tuanya. Kini, hanya Oma satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Malam hari, di restoran termewah Saga sudah menolak beberapa wanita yang menjadi kencan buta nya, "Ayo pulang," ajak Saga pada Ace sembari bangkit dari kursinya, meninggalkan beberapa wanita yang sudah ada janji temu dengan dirinya.

dor... dor... dor...

Tiba-tiba, serentetan tembakan memecah keheningan malam. Kaca mobil pecah berantakan, serpihannya menghujani mereka berdua.

"Brengsek!" umpat Ace, refleks membanting setir ke kanan, menghindari mobil di samping mereka yang mulai merapatkan barisan.

Saga dengan tenang meraih tuas di bawah kursinya. Kompartemen rahasia terbuka, memperlihatkan koleksi senjata api yang mematikan. Matanya yang tajam memilih pistol Heckler & Koch P30L dengan peredam. "Mereka sudah lama mengincar kita," desis Saga, suaranya dingin seperti es.

Ace menginjak pedal gas dalam-dalam, mobil melaju kencang di jalanan yang sepi. Ia melirik kaca spion, melihat dua mobil hitam mengejar mereka dengan brutal. "Kita tidak bisa lari dari mereka, Saga. Mereka terlalu cepat."

"Kita tidak akan lari," jawab Saga, memasang magasin ke pistolnya. "Kita akan bertarung."

Ace membalas tembakan dengan pistol Glock 19 miliknya, sambil terus mengendalikan mobil dengan satu tangan. Peluru-peluru mereka menghantam mobil pengejar, membuat percikan api dan suara logam beradu. Namun, mobil-mobil itu tetap mendekat, semakin rapat.

Nirmala, yang baru saja pulang dengan sebungkus besar keripik singkong dan minuman dingin di tangannya, terlonjak kaget saat rentetan tembakan memekakkan telinga membelah kesunyian malam.

Suara desingan peluru dan raungan mesin mobil yang terguling membuat jantungnya berdebar kencang. Tanpa ragu, ia mematikan mesin motor Ninjanya, memarkirkannya di balik semak belukar yang rimbun, dan menyelinap perlahan mendekati sumber keributan.

Matanya yang tajam menyapu kegelapan, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tengah jalanan sepi itu. Ia bergerak bagaikan bayangan, memanfaatkan setiap celah dan bayangan untuk bersembunyi, hingga akhirnya pemandangan mengerikan itu terpampang jelas di hadapannya dua pria dalam kondisi babak belur, dikepung oleh para penyerang.

Mobil Saga berputar tak terkendali setelah dihantam tembakan bertubi-tubi. Ban mobil menjerit memekakkan telinga sebelum akhirnya terguling, menghantam aspal dengan keras. Saga dan Ace terlempar ke sana kemari di dalam kabin yang remuk.

"Ugh..." Saga mengerang, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Kepalanya berdenyut nyeri, dan pandangannya kabur.

"Ace! Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara serak.

Ace batuk-batuk, berusaha keluar dari himpitan badan mobil. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya tersengal-sengal. "Tapi kita dalam masalah besar."

Dengan susah payah, mereka berdua keluar dari mobil yang berasap. Musuh-musuh mereka sudah keluar dari mobil, mengepung mereka dengan senjata terhunus.

Saga dan Ace berdiri berdampingan, saling melindungi. Nafas mereka tersengal-sengal, tubuh mereka penuh luka dan memar Bau anyir darah menusuk hidung, bercampur aroma logam terbakar dan mesiu yang menyesakkan.

Perkelahian sengit kembali terjadi. Saga dan Ace bergerak lincah, menghindari tembakan sambil membalas serangan.

Saga menendang pistol salah satu musuh hingga terlempar jauh. Ace meninju wajah musuh lainnya hingga tersungkur ke tanah. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Mereka terus terdesak, semakin terpojok.

"Saga, awas!" teriak Ace, mendorong Saga hingga terjatuh saat seorang musuh mengarahkan pistol ke arahnya.

Dor....

Tiba-tiba, suara tembakan memecah keheningan. Musuh yang mengincar Saga tersungkur ke tanah dengan lubang di dadanya. Dari balik kegelapan, muncul seorang wanita misterius yang mengawasi mereka. Di tangannya tergenggam pistol yang tadi ditendang Saga, asap masih mengepul dari moncongnya.

Setelah menembak, wanita itu terhuyung mundur, tubuhnya gemetar hebat. Pemandangan pria yang baru saja ia robohkan, terkapar tak bergerak di tanah, menghantamnya bagai gelombang dingin. Rasa mual menyeruak, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. "Akh...." Dengan tangan gemetar, ia melemparkan pistol itu ke hadapan Saga, seolah benda itu adalah bara api yang membakar tangannya.

Ace dengan sigap meraih pistol itu, matanya tetap waspada mengawasi sekeliling.

Sebelum wanita itu benar-benar jatuh ke tanah, Saga bergerak cepat. Dengan sigap, ia menangkap tubuhnya dan menggendongnya erat. Wajahnya pucat pasi, dan napasnya lemah. Saga menatap wajah wanita itu dengan tatapan bingung dan khawatir. Siapa wanita ini? Dan mengapa ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk mereka?

Beauty and The Beast

Jangan lupa tinggal kan jejak di kolom komentar

Beauty and The Beast 2

Nirmala terbangun ia mengerang pelan, kelopak matanya berkedut-kedut saat seberkas sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai. Cahaya itu begitu menyilaukan, menusuk retinanya yang masih beradaptasi dengan kegelapan.

"Ssst..." Ia mendesis lirih, memalingkan wajahnya dari sumber cahaya itu, berusaha melindungi matanya yang sensitif. Kepalanya terasa berat dan berdenyut, sisa-sisa kejadian semalam masih menghantuinya.

Perlahan tapi pasti, ia kembali mencoba membuka mata. Kali ini, ia berhasil. Meskipun sedikit perih, matanya mulai mampu menangkap detail-detail yang ada di sekelilingnya. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha memfokuskan pandangannya.

"Di mana aku?" batinnya bertanya-tanya.

Ruangan itu terasa asing, namun nyaman. Ia berbaring di ranjang yang empuk, dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Dinding berwarna krem memberikan kesan hangat, sementara pencahayaan yang lembut tidak menyakiti matanya. Sebuah televisi layar datar besar tergantung di dinding, dan suara AC yang berdesir halus mengisi keheningan.

Nirmala menyadari, ia berada di rumah sakit. Lebih tepatnya, di sebuah kamar VIP. Ruangannya luas dan mewah, dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang membuatnya terasa seperti kamar hotel bintang lima. Ia bisa melihat sofa empuk, meja kecil dengan vas bunga segar, dan kamar mandi pribadi yang bersih dan modern.

"Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" pikirnya, mencoba mengingat kejadian semalam. Namun, yang ia ingat hanyalah suara tembakan, darah, dan ketakutan yang mencekam.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka memecah keheningan. Nirmala tersentak kaget, refleks menoleh ke arah sumber suara.

Di ambang pintu, berdiri seorang pria dengan postur tinggi tegap dan aura wibawa yang kuat. Wajahnya tampan, dengan garis rahang tegas dan mata tajam yang memancarkan kecerdasan. Janggot tipis dan rambut panjangnya yang biasanya tergerai bebas, kini diikat rapi, memberikan kesan yang lebih bersih dan profesional.

Nirmala tertegun sejenak, terpukau dengan ketampanan pria itu. Ia merasa familiar dengan wajah itu, namun ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihatnya.

Pria itu menatap Nirmala dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelegaan, kekhawatiran, dan rasa ingin tahu yang bercampur menjadi satu. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan, mendekati ranjang tempat Nirmala berbaring.

"Siapakah pria ini? Dan mengapa ia menatapnya dengan tatapan seperti itu?" Nirmala merasakan jantungnya berdebar kencang, menunggu pria itu berbicara.

Melihat sosok pria asing itu mendekat, Nirmala merasakan ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tercekat. Ia refleks memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi pria itu, namun punggungnya menabrak sandaran kasur rumah sakit yang keras.

"Siapa dia? Apa yang dia inginkan dariku?" pikir Nirmala panik.

Otaknya berusaha mengingat kejadian semalam, namun ingatannya masih kabur dan tidak jelas. Ia hanya ingat suara tembakan, kegelapan, dan rasa takut yang luar biasa.

Pikiran buruk mulai menghantuinya. Mungkinkah pria ini adalah salah satu penjahat yang semalam? Mungkinkah ia datang untuk menghabisinya karena ia telah menembak salah satu rekan mereka?

Nirmala lupa, atau lebih tepatnya belum ingat, bahwa ia adalah orang yang telah menyelamatkan nyawa Saga dan Ace pada malam itu. Yang ada di benaknya saat ini hanyalah ketakutan dan keinginan untuk melarikan diri dari situasi yang mengerikan ini.

"Ampun, Tuan!" Nirmala berseru dengan suara gemetar, mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memohon ampun. Air mata mulai membasahi pipinya.

"Saya minta maaf... Saya tidak sengaja membunuh teman Anda. Saya mohon, Tuan, lepaskan saya. Jangan sakiti saya."

Nirmala terisak, mencoba menjelaskan situasinya. "Saya anak yatim piatu. Saya tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Saya tidak punya apa-apa, Tuan. Saya orang miskin. Saya tidak punya uang untuk membayar ganti rugi."

Saga mengerutkan keningnya, menatap Nirmala dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti mengapa wanita ini begitu ketakutan.

Namun, melihat air mata yang membasahi pipi Nirmala dan mendengar permohonannya yang putus asa, Saga justru tidak bisa menahan tawanya. Ia tertawa terbahak-bahak, melepaskan semua ketegangan dan kekhawatiran yang ia rasakan selama ini. Suaranya menggema di ruangan itu, membuat Nirmala semakin ketakutan.

"Hahaha..." Saga terus tertawa, memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa juga mengelap air matanya. Ia tidak bisa berhenti. Pemandangan Nirmala yang ketakutan itu terlalu lucu dan ironis untuk diabaikan.

"Khm... " Saga berdeham keras, berusaha menghentikan tawanya dan mengendalikan diri. Ia merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, mencoba mengembalikan wibawanya yang sempat hilang karena tertawa terbahak-bahak.

Aura mencekam kembali hadir saat Saga mulai memasang ekspresi serius. Ia menatap Nirmala dengan tatapan tajam dan menusuk, seolah mencoba menembus pikiran wanita itu. Matanya yang tadi bersinar karena tawa, kini kembali dingin dan tanpa ekspresi.

Nirmala merasakan tubuhnya menegang saat Saga menatapnya seperti itu. Ia merasa seperti seekor mangsa yang sedang diintai oleh predator. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Saga dengan suara rendah dan dingin, memecah keheningan yang mencekam. Nada suaranya mengisyaratkan bahwa ia tidak akan menerima jawaban yang tidak jujur.

Nirmala semakin ketakutan mendengar pertanyaan Saga. Ia tidak bisa membuka mulutnya untuk menjawab. Lidahnya terasa kelu, dan tenggorokannya tercekat.

Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan kuat, mencoba menyiratkan bahwa ia tidak tahu apa-apa.

Tiba-tiba, pintu ruangan kembali terbuka, memecah ketegangan yang mencekam. Kali ini, sosok Nyonya Griffin muncul dari balik pintu.

Wajahnya tampak geram, dan matanya memancarkan kemarahan. Ia menatap Saga dengan tatapan tajam, seolah ingin menegur cucunya itu karena telah membuat wanita di depannya ketakutan.

Nyonya Griffin melangkah masuk ke dalam ruangan dengan cepat, menghampiri Saga yang masih berdiri terpaku di dekat ranjang Nirmala. Tanpa basa-basi, ia memukul lengan Saga dengan keras, membuat cucunya itu meringis kesakitan.

"Aduh!" Saga mengaduh sambil mengelus lengannya yang baru saja dipukul oleh Nyonya Griffin. Ia menatap omanya dengan tatapan protes, namun tidak berani membantah.

Nyonya Griffin menghampiri ranjang Nirmala dengan langkah anggun. Ia meraih tangan Nirmala yang gemetar, mengelusnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Senyum hangat menghiasi wajahnya yang sudah berkeriput.

"Hai, Sayang," Nyonya Griffin berkata dengan suara lembut dan menenangkan. "Cantik, siapa namamu?"

Mendengar sapaan lembut dari Nyonya Griffin, Nirmala terkejut dan heran. Ia tidak menyangka akan diperlakukan sebaik ini. Namun, pikiran buruk kembali menghantuinya.

"Mungkinkah wanita tua di depanku ini adalah bos dari para penjahat yang melakukan pesta tembak semalam?" pikir Nirmala curiga.

"Nyonya, maafkan saya! Ampuni saya! Saya tidak sengaja menembak anak buah Nyonya," ucap Nirmala dengan suara gemetar, memohon ampun. Air mata kembali membasahi pipinya.

"Ampuni saya, Nyonya! Lepaskan saya! Tolong... saya tidak ingin mati," Nirmala terus memohon, menggenggam erat tangan Nyonya Griffin dengan harapan wanita itu akan mengasihani dirinya.

Mendengar rintihan dan tangisan Nirmala, Saga kembali tidak bisa menahan tawanya. "Hahhaha..." Ia terbahak-bahak, membuat Nyonya Griffin melotot tajam ke arahnya.

Saga langsung terdiam, berusaha mengendalikan diri. Namun, bibirnya masih berkedut menahan tawa. Ia merasa kasihan pada Nirmala yang begitu ketakutan, namun di saat yang sama, ia juga merasa geli dengan kesalahpahaman yang terjadi.

"Tidak, Nak. Kamu bicara apa?" Nyonya Griffin bertanya dengan suara lembut. "Saya bukan bos dari pria yang kamu tembak. Saya tidak tahu apa-apa tentang mereka."

Ia mengusap lembut tangan Nirmala, mencoba meyakinkan wanita itu bahwa ia tidak perlu takut padanya. "Saya hanya ingin berterima kasih padamu karena sudah menyelamatkan cucu saya," lanjutnya dengan tulus.

Melihat tatapan tulus dan kelembutan yang terpancar dari mata Nyonya Griffin, perlahan Nirmala mulai luluh.

Tak terasa, sudah seminggu Nirmala dirawat di rumah sakit. Selama itu, ia tak henti-hentinya merengek minta pulang, merasa dirinya sudah sehat dan baik-baik saja. Namun, Nyonya Griffin bersikeras menahannya, memastikan Nirmala tetap di sana sampai dokter memberikan izin resmi.

Saga, di sisi lain, mulai merasa jengah dan jengkel dengan kehadiran Nirmala. Terlebih lagi, Nyonya Griffin selalu membelanya, membuat Saga semakin kesal.

"Nyonya, izinkan saya pulang. Saya sudah baik-baik saja," Nirmala memohon pada Nyonya Griffin dengan suara lirih.

Saga langsung melotot ke arah Nirmala, tatapannya setajam pisau, seolah ingin mencekik wanita itu saat itu juga.

Melihat situasi yang semakin memanas, Nyonya Griffin dengan sigap memukul kepala Saga dengan keras, membuat pria itu meringis kesakitan. Tuk....

Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Nirmala diizinkan pulang dari rumah sakit. Namun, di dalam perjalanan, Nirmala mulai merasa heran. Pemandangan di luar jendela mobil sama sekali tidak familiar. Jalan yang mereka lalui bukan menuju rumahnya yang sederhana.

Ada yang tahu Nirmala mau di bawa kemana?

Beauty and The Beast 3

Luka di wajah Saga dan Ace sudah mulai sembuh. Meski masih terlihat bekasnya, mereka sudah bisa beraktivitas seperti biasa.

Ace mengemudikan mobil milik Nyonya Griffith, mengantarkan mereka ke mansion, tak lupa membawa Nirmala.

Akhirnya, hari yang ditunggu tiba. Nirmala diizinkan pulang dari rumah sakit. Namun, dalam perjalanan, Nirmala mulai merasa heran. Pemandangan di luar jendela mobil terasa asing. Jalan yang mereka lalui tidak menuju rumahnya yang sederhana.

"Emh... Nyonya, kita mau ke mana? Ini bukan arah ke toko saya," ucap Nirmala dengan nada panik.

Nyonya Griffith tersenyum, "Main sebentar ke rumah Oma, ya," ujarnya.

Dengan berat hati, Nirmala mengangguk. "Emh... Nyonya, bagaimana dengan motor saya?" tanya Nirmala, berharap motornya bisa menjadi alasan untuk kembali ke tokonya.

"Motor jelek itu sudah ada di mansion," jawab Saga.

Nirmala mendengus kesal. "Iya, Tuan, motor itu memang sudah jelek, tapi hanya itu yang saya punya, yang membawa saya mencari rezeki," ucap Nirmala sambil menatap keluar jendela.

Tiba-tiba, ia melihat siluet yang mirip dengan kekasihnya, Lucky. Nirmala sampai mengucek kedua matanya untuk memperjelas penglihatannya.

Benar, itu Lucky dan... Sarah? Sarah adalah sahabatnya sejak masa sekolah. Mereka sering berbagi cerita, bahkan Nirmala tak segan menceritakan tentang Lucky, kekasihnya.

Ia dan Lucky sudah dua tahun menjalin hubungan, tanpa ada masalah yang berarti. Namun, hari ini, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Lucky memeluk Sarah dari belakang sambil berjalan masuk ke sebuah mal. Padahal, sebagai kekasihnya, Lucky belum pernah sekalipun mengajaknya ke sana.

"Berhenti," ucap Nirmala. Ace menoleh pada Saga, dan Saga mengangguk, memberikan izin untuk menuruti permintaan Nirmala.

Mobil Honda CRV merah milik Nyonya Griffith pun perlahan menepi, dan Nirmala langsung turun dari mobil. Ia berjalan cepat menghampiri mereka.

"Sarah," panggil Nirmala tepat di belakang keduanya. Sarah yang merasa namanya dipanggil pun langsung membalikkan badannya. Ia terkejut bukan kepalang, wajahnya langsung pucat pasi.

Begitu pun Lucky. Kini, keduanya tampak seperti maling yang kepergok mengambil barang oleh pemiliknya. "Sa-sayang, i-ini salah paham, biar aku jelaskan," ucap Lucky sambil berjalan mendekati Nirmala, yang kini mundur perlahan seolah tak ingin disentuh oleh Lucky.

Nirmala menggeleng pelan, air matanya sudah meleleh. Ia menahan tangis, tangannya mengusap kasar air mata yang jatuh.

Saga yang gemas langsung maju dan menggenggam baju Lucky hingga Lucky terangkat sekitar dua jengkal dari tanah. Sarah panik dan memukuli tangan Saga, "Hei, lepaskan! Kamu ingin membuatnya mati?" ucap Sarah.

Namun, Saga seolah menutup telinga terhadap ucapan Sarah. "Tuan, tolong lepaskan," suara lirih Nirmala justru mampu membuat Saga menurunkan tubuh Lucky. Lucky terduduk bersimpuh sambil terbatuk-batuk.

"Lucky, kita sudah selesai," ucap Nirmala sambil mundur perlahan, lalu membalikkan tubuhnya dan berlari memasuki mobil, diikuti Nyonya Griffith dan Saga.

Ace memilih mundur paling akhir karena ia tengah memindai wajah Sarah dan Lucky. Setelah puas, Ace pun berbalik dan segera membuka pintu mobil, lalu meninggalkan tempat itu.

Di mobil, Nirmala menangis sesenggukan di pelukan Nyonya Griffith. Saga mendengus kesal sembari menghela napas kasar, sedangkan Ace hanya melirik dari kaca spion tengah sambil mengemudi.

Ponsel Nirmala berdering, menampilkan nama si penelepon "My Heart". Saga yang melihat itu tersenyum sinis.

Nirmala memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Ia mengambil kartu SIM dan mematahkannya menjadi dua. "Ternyata bisa garang juga," ucap Saga lirih, yang langsung mendapatkan pelototan dari sang Oma melalui kaca tengah.

Saga membuang pandangannya ke luar jendela. Setengah jam waktu yang ditempuh untuk sampai di mansion, karena Saga juga memilih tempat yang agak terpencil. Ia ingin memastikan keamanan anggota keluarganya dari para musuh.

Mobil SUV merah itu tiba di halaman. Semua penjaga berbaris rapi, salah satunya membukakan pintu mobil untuk Saga dan Ace.

Nirmala tertidur pulas di pangkuan sang Nyonya. Saga hendak menyentuh untuk membangunkan Nirmala, tetapi dengan cepat tangan Oma memukul tangan Saga. Plak...

Saga terkejut, lalu dengan cepat menarik tangannya kembali. "Gendong," ucap Oma lirih. Saga mencebik, tetapi ia tetap melaksanakan perintah sang Oma.

Perlahan, ia menggendong tubuh kecil Nirmala ala bridal style. Ace membawakan tas milik Nirmala, yang isinya kemungkinan camilan yang baru dibeli Nirmala seminggu lalu.

Nirmala terbangun, ia mengucek matanya lalu merenggangkan tubuhnya. Ia melihat sekeliling ruangan.

Ia berada di kamar dengan nuansa putih, kamar yang luasnya dua kali lipat toko bunga miliknya. Ia bangkit dari ranjangnya, lalu berjalan perlahan menikmati setiap sudut kamar.

Ia melihat balkon, dengan cepat membuka pintunya lalu keluar. Ia merenggangkan tangannya, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia mengulanginya berulang kali, seolah membuang semua beban yang mengganggu.

Tanpa ia sadari, sorot mata tajam tengah mengawasinya. Saga, ia melihat pemandangan aneh malam ini, wanita yang baru saja terbangun dari tidurnya keluar ke balkon dan menari ala India di bawah sinar rembulan.

Saga tetap diam, sambil menyeruput winenya. Ia duduk santai di tengah kegelapan. Ya, Saga duduk di kursi yang tidak terkena sinar bulan. Ia memang menyukai tempat yang gelap karena baginya malam adalah hal paling menenangkan.

"Khm..." Saga berdeham keras. Mendengar suara itu, Nirmala terkejut dan langsung berjongkok seolah bersembunyi. "Siapa di sana?" tanya Nirmala, tetapi hanya suara jangkrik yang terdengar.

"Jangan macam-macam, ya, atau aku akan berteriak!" ancam Nirmala. "Berteriaklah sampai lehermu putus, tidak akan ada yang mendengarmu, walau itu Oma sekalipun," ucap Saga sambil berjalan di bawah sinar rembulan.

Perlahan, Nirmala berdiri. Ia sampai memiringkan kepalanya melihat pemandangan di depannya. Entah mengapa, kali ini Saga terlihat begitu tampan, meski dengan rambut terurai.

Pria itu berdiri di bawah sinar rembulan, memegang gelas winenya, satu tangan masuk ke dalam saku celana. Dengan gaya seperti itu saja, ia mampu membuat Nirmala terpaku.

"Hei..." tegur Saga. Namun, wanita itu masih terdiam dengan kepala yang miring. "Hei...!" tegur Saga untuk kedua kalinya dengan nada yang naik satu oktaf, sampai penjaga di bawah mendongak ke atas.

Saga menggerakkan tangannya menurun, memberi isyarat bahwa tidak ada apa-apa, alias aman. Nirmala baru sadar saat ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari hidungnya.

Ya, Nirmala mimisan. Ia segera menghapus jejak cairan merah itu dengan punggung tangannya, sambil melihat ke arah Saga yang masih berdiri di bawah sinar rembulan.

Melihat hal itu, Saga tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Ada manusia seperti dia?" ucap Saga lirih sambil berbalik badan, meninggalkan Nirmala di balkon.

Hari sudah pagi. Sinar matahari yang hangat menyinari kota London, khususnya Ruislip Lido Beach. Sinar mentari itu mengusik tidur seorang wanita cantik yang tengah bermimpi indah.

Nirmala terbangun. Ia duduk bersandar pada sandaran ranjang, mengambil air putih dan meneguknya hingga habis. Setelahnya, ia memilih untuk membersihkan diri.

Nirmala turun dari lantai atas tempat kamarnya berada. Meski sudah pagi, suasana masih sepi. Hanya beberapa pelayan yang bekerja membersihkan ruangan yang terlihat. "Permisi, saya mau tanya, dapur di bagian mana, ya?" tanya Nirmala sopan.

Namun, sepertinya ia salah memilih tempat untuk bertanya. Pelayan itu justru memandangnya dengan tatapan mengejek. Ia melihat Nirmala dengan kaus oblong hitam kebesaran, celana jeans sobek di bagian lutut, dan rambut yang dikuncir kuda.

Sungguh sederhana sekali, berbeda dengan dirinya. Meskipun hanya seorang pelayan, baju dinas yang ia gunakan harganya mahal, karena Saga menetapkan bahwa baju seragam bagi pelayan dan penjaga itu berbeda.

Tap... Tap... Tap...

Suara langkah kaki mendekat. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya Frans, kepala pelayan. "Oh iya, dapur letaknya di mana?" tanya Nirmala.

Kepala pelayan tersenyum. "Mari saya antar," ucapnya sambil berjalan mendahului Nirmala.

Sesampainya di dapur, Nirmala tertegun. "Dapurnya saja seperti lapangan sepak bola," ucapnya lirih sambil mengedarkan pandangannya.

Frans tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Dari mana Tuan mendapatkan wanita sepolos dan selugu ini?" gumam Frans dalam hati.

"Marissa," panggil Frans pada salah satu pelayan. Pelayan itu dengan segera menghadap dengan wajah tertunduk. "Yes, Pak," ucapnya.

"Bantu Nona Nirmala, saya serahkan Nona padamu," ucap Frans pada Marissa sebelum meninggalkan keduanya.

"Nirmala," ucap Nirmala sambil menyodorkan tangannya. Marissa sungkan, tetapi ia tetap menjabat tangan Nirmala. "Marissa, Nona,"

"Di sini kalau pagi sarapan apa?" tanya Nirmala. Mereka berdua berjalan sambil mengobrol. Marissa dengan gamblang menjelaskan tempat-tempat yang ada di dapur. "Di sini biasanya susu dan roti gandum, atau jika Nyonya Griffith ingin nasi goreng, baru kami buatkan," jawab Marissa.

Nirmala mengangguk. Ia meminta pada Marissa untuk membukakan lemari pendingin. Banyak sayur mayur di sana.

Nirmala mengambil beberapa sayuran seperti wortel, brokoli, sosis, bakso, dan lainnya. Ia ingin membuat capcay.

Ia hanya memasak sedikit karena mengira akan makan sendirian saja. Namun, tanpa ia tahu, aroma masakannya menusuk indra penciuman Saga dan Nyonya Griffith yang baru saja keluar dari kamar masing-masing.

Semua pelayan bergerak cepat menyiapkan sarapan. Nyonya Griffith mengerutkan kening. Tadi, ia seperti mencium aroma masakan, tetapi kenapa hidangannya hanya roti, susu, dan kopi hitam milik Saga?

"Mana yang lain?" tanya Nyonya Griffith pada sang pelayan. "Maaf, Nyonya, apa Anda ingin kami memasak menu lain?" tanya pelayan itu.

Nyonya Griffith semakin heran. Tak lama kemudian, muncullah Nirmala dengan Marissa di sampingnya. Sungguh pemandangan yang aneh, di mana pelayan berjalan beriringan dengan nona rumah.

Marissa menyadari jika ia tengah diperhatikan. Ia memilih memperlambat langkahnya hingga berada di belakang Nirmala. Nirmala heran. "Kenapa? Ayo?" ajak Nirmala, tanpa ia tahu Saga dan Nyonya Griffith sudah berada di meja makan, menatap mereka berdua.

Nirmala masih belum paham akan aturan di mansion milik Saga. Marissa menggeleng pelan sambil menunduk. Nirmala hanya mengembuskan napas pelan.

Ia berjalan dengan membawa semangkuk besar capcay, sementara Marissa membawa sepiring nasi putih miliknya. Nirmala meletakkan mangkuk itu di meja makan.

Nyonya Griffith dan Saga sampai merem melek menikmati wangi masakan itu. "Apa ini?" tanya Nyonya Griffith. "Ah.. Capcay, Nyonya." ucap Nirmala.

"Oma!" ucap Nyonya Griffith yang tak suka Nirmala memanggilnya dengan sebutan "Nyonya". "O-Oma," ucap Nirmala tak enak hati.

"O-Oma mau?" tawar Nirmala.

"Bolehkah, Sayang?" ucap Nyonya Griffith sumringah. Nirmala mengangguk sambil tersenyum.

"Marissa, tolong ambilkan piring dan nasi putih untuk Oma, ya," pintanya pada Marissa. Pelayan itu mengangguk dan berlalu mengambil yang diminta nona muda tersebut.

Saga hanya melirik, ia menyeruput kopinya dan mengambil roti, mengoleskan madu, lalu memakan roti tersebut.

Nirmala masih menunggu Marissa, ia ingin makan bersama dengan Oma barunya. Namun, Marissa hanya membawa piring kosong, sendok, dan garpu. "Maaf, Nona, nasinya hilang," ucap Marissa cemas.

"Hah?" cengo Nirmala . "Kok bisa? Tadi aku masak lumayan banyak, kan?" tanya Nirmala pada Marissa, memastikan jika dirinya tidak salah. Marissa hanya mengangguk.

Nirmala menyodorkan sepiring nasi putihnya di depan Oma. "Iya sudah, Oma makan saja punyaku," ucapnya sambil mengambilkan capcay tersebut. Oma tertegun dengan sikap Nirmala.

Tanpa ragu, Oma langsung menyiapkan capcay lengkap dengan nasi putih. Matanya melotot, dengan cepat ia mengunyah, lalu menyuapkan sekali lagi. Ia ingin memastikan rasa masakan Nirmala.

"Enak," ucap Nyonya Griffith dengan tangan membentuk huruf O. Kening Saga berkerut heran. Oma menangkap mimik wajah Saga, ia dengan cepat menyuapi Saga dengan capcay dan nasi ke dalam mulut Saga.

Mata Saga membulat, tapi ia tetap mengunyah makanan itu. Saga pun dibuat terheran, masakan wanita aneh ini kenapa bisa cocok dengan lidahnya? Padahal, chef yang ia pekerjakan saja belum tentu bisa membuat masakan seenak ini.

Tapi, ia tetaplah Saga, pria angkuh nan judes. "Biasa saja," ucapnya sambil meminum air putih. "Aku sudah selesai, aku berangkat, Oma," ucap Saga sembari mengecup singkat pipi Nyonya Griffith.

Saga dengan cepat keluar, tetapi Ace belum datang. Saga melirik jam tangannya, pantas saja Ace belum datang, masih terlalu pagi rupanya.

Saga memilih untuk duduk di kursi teras. Cukup lama ia duduk hingga akhirnya ia bosan.

Saga memilih untuk masuk ke dalam mansion. Ternyata, sudah sepi, meja makan pun sudah bersih. Ia bergegas menuju ke dapur.

Di dapur, para pelayan ketakutan ketika melihat tuannya berjalan ke dapur. Tidak biasanya Saga ke dapur, maka ini pasti ada kesalahan.

Marissa melihat itu, dengan ragu ia berjalan mendekati Saga dengan tatapan menunduk. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Marissa. "Apa masih ada itu, acay?" ucap Saga.

Mendengar itu, Marissa hampir saja tertawa jika ia tidak ingat dengan siapa ia berbicara. "Ada, Tuan. Sebentar, saya ambilkan. Tuan bisa menunggu di meja makan," ucap Marissa.

Saga membalikkan tubuhnya, ia duduk di kursi menunggu pesanannya datang. Tak lama, Marissa datang dengan nampan berisikan piring yang sudah diisi capcay dan nasi putih, sendok, garpu, dan segelas air putih.

Saga dengan cepat melahap makanan itu. Ia tak sadar jika sepasang mata tengah memerhatikannya.

Dor...

Suara gebrakan meja dan suara seorang wanita mengejutkannya hingga Saga tersedak.

Siapa yang bikin kaget singa jantan ya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!