NovelToon NovelToon

Kembar Jenius Milik Bos Arogan

Bab 1. Malam Kehancuran

Malam semakin larut. Hanya tersisa beberapa orang yang dalam kondisi mabuk berat. Sebagai dari mereka datang dari golongan kelas atas. Banyak pengusaha besar yang selalu berdatangan di setiap harinya.

"Tuan, ini sudah larut malam. Sebentar lagi tempat ini akan ditutup. Bisakah anda pulang sekarang?"

Seorang wanita muda takut-takut mendekati seorang pria yang masih setia dengan tempat itu. Di depan mejanya terdapat beberapa botol minuman keras yang hanya tinggal botolnya saja.

Pria itu menoleh sekilas dengan tatapan sayu, ya..., dia dalam kondisi mabuk berat.

"Tutup saja. Aku akan menginap di sini," jawab dengan parau.

Gadis itu menggeleng. Ia tidak ingin mengambil resiko. Ia belum lama kerja di tempat itu, tentunya akan berdampak buruk jika tak berhasil membuat pelanggan pergi setelah jam kunjungnya selesai. Menurut bos-nya, tidak ada alasan apapun bagi pengunjung untuk bermalam di tempat usahanya.

"Em... Tuan, kalau Tuan ingin menginap sebaiknya di hotel saja, di tempat ini tidak ada tempat penginapan, bos juga mewanti-wanti untuk tidak membuat pelanggaran. Di tempat ini bukan digunakan untuk penginapan, Tuan."

Pria bernama Edgar itu membuang nafasnya dan kembali menoleh padanya. Matanya memerah satu akibat kebanyakan minum minuman laknat.

"Mana bosmu! Aku mau ngomong sama dia"

Doni, pemilik club malam itu tidak ada di tempat, biarpun begitu peraturan tetap harus ditaati, jika tidak maka akan runyam masalahnya.

"Berisik banget sih!" Pria itu beranjak dari tempat duduknya, namun tak bertahan lama menabrak kursi di depannya.

Brak!!

"Awas hati-hati! Mari kubantu!"

Gadis itu menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dia berniat untuk membantu memapahnya keluar dari ruangan.

"Emm... Tuan datang ke sini dengan siapa?" tanya Asila dengan nada suaranya yang begitu lembut. Pria manapun bakalan terpesona oleh kecantikan dan suara merdunya.

"Aku sendirian," jawab Edgar dengan menatapnya sayu. Sebuah keberuntungan baginya, tak menyangka, ia bisa bertemu dengan gadis cantik di tempat itu.

"Sendirian? Terus sekarang mobilnya Tuan ada di mana?" Kembali Asila bertanya, bermaksud untuk mengantarkan Edgar sampai mobilnya.

Edgar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak membawa mobil. Bisakah kau membantuku?"

"Hah! Tap-tapi Tuan?" Gadis itu tercengang. Bantuan seperti apa yang diharapkan oleh pria itu? Haruskah ia membantunya? Banyak pemikiran yang buruk memasuki otak kecilnya, tapi ia juga tidak tega membiarkannya begitu saja.

"Please! Kepalaku pusing banget. Aku nggak bisa pulang sendirian."

Asila menggigit bibirnya gelisah. Bagaimana ia akan membantunya? Membawanya pulang kah? Atau membawanya ke hotel? Tapi jarak antara kontrakan dengan hotel masih dekat kontrakan. Bahkan di situ ia tak mengenali banyak orang.

"Duh, bagaimana ini? Masa iya aku membawanya pulang ke kontrakan? Kalau sampai ada tetangga yang tahu bagaimana? Aku bisa dihujat habis sama mereka."

Gadis itu serba bingung, haruskah ia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat kondisinya yang mabuk berat tak membuatnya tega.

"Nggak ada pilihan lain, aku akan bawa pulang saja. Besok pagi-pagi sekali aku akan mengusirnya!" Akhirnya Asila memutuskan untuk membawa pria itu pulang bersamanya.

***

Setibanya di kontrakan, Asila memapah Edgar masuk ke dalam rumah. Malam itu tidak ada orang yang mengetahui kepulangannya. Biasanya di pos ronda banyak pemuda yang tengah begadang, tapi malam itu terlihat begitu sepi. Suatu keberuntungan baginya tidak diganggu oleh orang-orang sekitarnya.

"Tuan. Anda tidur di sini ya?"

Asila merebahkan pria itu di kamar tamu. Edgar membuka matanya dengan sayup-sayup.  Dia menahan tangan Asila yang hendak meninggalkannya. "Temani aku di sini."

Edgar bergumam namun masih bisa didengar oleh Asila. Asila membulatkan bola matanya. 'apa? Aku harus menemaninya? Oh... Tidak! Dia pikir aku ini cewek apaan?'

Itulah yang ditakutkan, jika sampai pria itu berbuat jahat maka ialah yang akan dijadikan korban. Niatnya baik ingin membantu, tapi apakah yang dibantu memiliki niat baik padanya?

"Tuan..., maafkan aku. Aku tidak bisa menemanimu di sini. Istirahatlah terlebih dulu, biar nanti kau lebih baikan." Asila berusaha keras melepaskan tangan pria itu, tapi sayangnya pria berotot itu tak mau melepaskannya

"Kalau aku bilang jangan pergi, maka tetaplah di sini."

Asila menggeleng, raut wajahnya menciut, dia mulai dilanda ketakutan. Bagaimana kalau sampai pria itu berubah menjadi monster? Ia takut nyawanya bakalan terancam.

"Tuan! Tolong lepaskan aku. Kita belum saling mengenal. Jangan bersikap seperti ini padaku. Aku mohon." Tangis Asila pecah. Dia menyesal sudah membawanya pulang. Kini tak seorangpun yang tahu, bahkan ia tak bisa meminta pertolongan pada siapapun.

"Kenapa kau menangis cantik? Aku hanya ingin kau menemaniku." Pria itu menarik tangannya hingga membuatnya jatuh ke ranjang. Tatapan matanya yang dingin sangatlah menakutkan, bahkan baru pertama kalinya Asila berdekatan dengan seorang pria. Meskipun ia pernah memiliki pacar, tapi tak pernah sekalipun ia seintim saat ini.

"Tuan, tolong lepaskan aku! Jangan membuatku takut."

Pria itu terkekeh. "Takut? Apa yang kau takuti sayang! Malam ini akan kuberikan separuh jiwa ragaku padamu. Izinkan aku untuk memilikimu malam itu."

Asila refleks menjerit. "Tidak...!! Tolong jangan lakukan. Aku mohon lepaskan!"

Gadis itu berusaha keras untuk bisa lepas dari kungkungannya, namun sayangnya kekuatannya terbatas, tak bisa mengimbangi kekuatan pria itu.

"Diam cantik! Malam ini kau akan menjadi milikku! Anggaplah ini malam pengantin kita!"

Dalam keadaan mabuk berat, Edgar tak bisa mengendalikan nafsunya. Bahkan dia tak sadar siapa gadis yang ada dikungkungannya. Niatnya hanya ingin melepas penat setelah bekerja seharian, kini malah berurusan dengan orang asing yang sama-sama tidak saling mengenal.

"Lepas! Lepas!!"

Edgar tertawa lepas dengan menatap gemas gadis yang memberontak untuk bisa lepas darinya. Dia yang sudah dikuasai oleh nafsu yang ada hanyalah kesenangan.

Srekk

Dengan sekali tarik, Edgar berhasil menyobek pakaian yang dikenakan oleh Asila.

Asila menjerit, pakaiannya yang rapi kini sudah compang camping, bahkan nyaris terbuka semua.

"Kupikir kau seorang pria baik-baik, ternyata pria gila! Bedebah kau!"

Umpatan demi umpatan keluar dari mulut Asila sembari memberontak untuk melepaskan dirinya. Semakin gencar saja Edgar melepaskan semua pakaian yang dikenakan oleh Asila sampai membuatnya tak memakai sehelai benangpun. Dia menindih tubuh mungil Asila dan mengikat tangannya dengan dadi miliknya.

Hahaha ...

Edgar terkekeh dengan mengamati gadis itu penuh hasrat. Di bawah kungkungannya Asila hanya bisa menangis penuh penyesalan.

"Kau begitu sempurna dan menantang. Bisa kita mulai sekarang?"

Edgar mencoba mengatur  napasnya yang memburu dengan melepaskan pakaian yang dikenakannya. Tangannya terulur mengusap air mata yang meleleh di pipi gadis itu sembari bergumam. "Jangan menangis sayang, aku janji bakalan pelan-pelan. Jadikan malam ini malam terindah seumur hidupmu."

Asila hanya bisa menangis dan pasrah saat kehormatannya direnggut oleh pria asing itu. Malam itu hidupnya benar-benar hancur. Entah bagaimana ia bisa memberikan penjelasan pada orang tuanya?

Bab 2. Menolak Tanggung Jawab

Asila menangis terisak-isak di kamar mandi. Dia menyalahkan  shower dan mengguyurkan air dingin ketubuhnya yang sudah kotor. Dia sangat menyesal karena sudah mengambil keputusan yang salah. Seharusnya ia tinggalkan pria itu, kini ia telah dijadikan korban kebejatannya.

"Kenapa hidupku begini? Kenapa dunia mempermainkanku? Kalau memang aku tidak pantas untuk hidup, bukannya lebih baik aku mati saja!"

Asila mencakari tubuhnya dan merasa jijik. Sejauh ini ia tak pernah melakukan hal-hal yang melanggar. Ia bahkan menjaga kehormatannya hanya untuk pasangannya kelak, tapi kini dalam sekejap saja pria asing menjamahnya. Sungguh bagai tersayat belati, sangat perih dan menyakinkan.

"Ya Tuhan.... Dosa apa yang sudah ku perbuat hingga membuatku seperti ini. Bagaimana aku bisa menghadapi orang tuaku. Mereka begitu percaya aku bisa menjaga diri dengan baik, tapi...."

Seketika kepalanya berdenyut denyut. Ia hanya tidak sanggup kalau sampai terusir oleh orang tuanya. Ya, ia sudah diberi kesempatan untuk membuktikan bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada mereka. Segala upaya ia lakukan untuk mendapatkan pundi pundi uang untuk bertahan hidup. Ia ingin buktikan, tanpa belas kasih orang tuanya masih mampu menghidupi dirinya sendiri.

"Aku tidak boleh diam saja. Aku nggak mau urusannya bertambah panjang. Aku harus segera pergi dari sini."

Asila menatap sekeliling kamar mandinya yang hanya berukuran dua meter persegi. Dengan segera ia mematikan shower dan meraih pakaian untuk dikenakannya.

"Aku harus segera bereskan pakaianku dulu sebelum pria itu terbangun. Sungguh, ini yang terakhir kalinya aku bertemu dengan pria brengsek seperti itu."

Dengan menggerutu Asila membuka pintu kamar mandi.

Dengan mengendap-ngendap perlahan dia menuju kamarnya dan berniat untuk segera mengemasi barang-barangnya. Dia berpikir sebelum pria itu terbangun ia sudah pergi jauh meninggalkan kontrakannya.

"Astaga!!"

Rencananya tak sesuai dengan ekspektasi, pria itu rupanya sudah terbangun dan memakai handuk dililitkan ke pinggangnya.

"Aku ingin bicara denganmu!"

Tatapan dingin pria itu membuat nyalinya menciut, namun ia berusaha untuk tetap bersikap tenang.

"Apa yang perlu dibicarakan? Sebaiknya anda segera keluar dari sini. Jangan sampai ada warga yang melihat keberadaan anda karena urusannya bakalan kacau!"

"Kamu pikir aku peduli kalaupun mereka memakiku? Kalau perlu undang mereka datang ke sini buat sarapan bersama.

Refleks Asila melotot. "Kau itu benar-benar menjengkelkan! Di saat situasi seperti ini kau masih bisa santai. Kau tidak tahu betapa takutnya aku!"

"Ngapain kamu musti takut? Kalau mereka datang dan tanya mengenai diriku, kan jamu bisa kasih alasan pada mereka, contohnya kamu bilang kalau aku saudaramu yang berniat untuk mengunjungimu, kenapa harus dibuat rumit sih?"

Asila ingin sekali menggampar muka tampan pria itu. Di saat ia panik pria itu malah terlihat santai, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

"Ayo kita bicara sebentar."

Tangan Asila diraih dan dibawanya ke ruang tamu. Keduanya duduk di sofa yang sudah usang.

"Aku tanya dan kau jawab dengan jujur. Apa statusmu?" Edgar menatapnya dingin nan tajam. Rahangnya nampak begitu tegas dan berwibawa, tapi sayangnya cukup menjengkelkan.

"Ngapain tanya status! Mau aku istri orang, mau aku single, ataupun janda itu nggak ada hubungannya denganmu! Udah deh, nggak usah basa-basi! Sebaiknya anda lekas pergi dari sini sebelum warga mengetahui keberadaan anda di sini. Jika sampai ada warga melihat keberadaan anda di sini, mereka pasti menduga kalau aku bukan wanita baik-baik. Tolong mengertilah..."

Edgar terkekeh. Bagitu takutnya gadis itu mendapatkan masalah dari warga sekitar. Mungkinkah ini pertama kalinya dia membawa seorang pria ke rumahnya. Dilihat dari tampangnya gadis itu sangatlah polos.

"Bisa kamu buktikan kalau kamu itu wanita baik-baik? Seorang wanita yang kerjaannya menghabiskan waktunya untuk melayani pria di hiburan malam masih bilang kalau dirinya itu wanita baik-baik, sungguh kau nona, terlalu munafik!"

Asila terdiam dengan wajah menunduk. Benar juga apa yang dikatakan oleh pria itu. Seorang wanita baik-baik tidak akan menginjakkan kakinya di tempat yang kotor. Ya, tempat hiburan malam kaum pria bukanlah hal yang baik dan tak layak untuk dijamah, tapi demi pundi-pundi uang ia datangi. Ia bahkan mengabaikan keselamatannya.

"Kenapa kau diam nona? Apakah yang kukatakan ini benar?" Pria itu tersenyum mengejeknya. Baginya tak ada perempuan yang baik. Semua wanita bisa melakukan apapun demi uang. Buktinya ia dapatkan wanita cantik itu di dalam club malam, kalau bukan demi uang lalu untuk apa keberadaannya di sana?

"Berhubung kau sudah melayaniku, aku ingin memberikan cek padamu, kau tinggal tulis aja berapapun yang kau mau!"

Pria itu mengeluarkan kertas kwitansi beserta bolpoin dari jas kerjanya yang tergeletak di sofa. Dia menyodorkan selembar kertas beserta bolpoin kepada Asila.

Asila mendengus dan melemparkan tatapan tajam. Di situ ia merasa sudah direndahkan, harga dirinya dianggap sampah.

"Anda begitu jahat! Anda pikir dengan menyerahkan cek anda bisa bebas dan bisa terlepas dari rasa tanggung jawab?" Nina tersenyum getir. "Anda tenang saja Tuan, saya tidak akan meminta Anda untuk bertanggung jawab. Anda begitu rendah menilai saya. Mentang-mentang saya miskin dan butuh uang anda berniat untuk membeli harga diri saya."

Bola matanya berkaca-kaca. Dia begitu sedih dan terpukul dengan kejadian yang menimpanya. Jika saja ia tidak bekerja di tempat hiburan malam mungkin hal buruk tidak akan menimpanya. Jika saja ia tak menolong pria itu mungkin ia masih bisa mempertahankan harga dirinya. Kini tinggalah penyesalan yang begitu dalam. Di situ ia tak berniat untuk menyalahkan siapapun, semua itu murni kesalahannya sendiri yang terlalu mengabaikan keselamatannya

"Nona, kau jangan salah paham. Aku tidak ada maksud untuk menghinamu. Aku hanya ingin bertanggungjawab atas apa yang sudah kulakukan padamu. Semalam aku mabuk berat, aku tidak bisa mengontrol diriku dengan baik. Aku sudah mengambil keperawananmu. Jadi wajar kalau aku ingin memberimu sedikit uang untuk menebus kesalahanku?"

Asila beranjak dari tempat duduknya dan membuka pintu. Dengan suara bergetar dia berusaha untuk mengusir pria itu.

"Cepat pergi dari sini! Anggaplah kejadian malam itu tidak pernah terjadi. Anggaplah kalau kita tidak saling mengenal. Aku tidak ingin berurusan denganmu! Jadi tolong jangan menggangguku lagi!"

Pria itu tercengang menatapnya. Niat baiknya ditolak mentah-mentah. Entah wanita seperti apa yang ia hadapi. Di luar sana banyak sekali wanita yang ingin dekat dengannya, tapi wanita ini sangatlah berbeda. Bahkan di saat ia berniat untuk bertanggungjawab malah ditolaknya mentah-mentah.

"Kamu serius tidak butuh uangku? Aku hanya ingin mengingatkan, bekerja di bar bukanlah tempat yang tepat untukmu. Jika kau tetap bekerja di sana kau akan menghadapi banyak pria mabuk, terkecuali kalau kau memang senang dengan kehidupan seperti ini. Seperti yang kau minta, aku akan pergi dari sini. Aku harap kau tak menyesal sudah menolak niat baikku."

Pria itu meraih jasnya dan langsung melenggang keluar. Di situ Asila langsung menutup pintunya cukup keras.

Bab 3. Menderita Sendirian

Enam tahun telah berlalu Asila pergi meninggalkan semua orang terdekatnya. Dia meninggalkan orang tua tanpa pamit dan itu menjadi pukulan terberat buat keluarganya. Wijaya sang Ayah sangat menyesal karena sudah memberinya kebebasan. Andai saja dia tak memberinya kepercayaan mungkin anak bungsunya itu tidak akan minggat.

"Pa, aku dapat kabar mengenai keberadaan Sila," celetuk Teddy kakak laki-lakinya.

"Di mana dia sekarang?" Wijaya sangat berharap bisa bertemu dan berkumpul kembali, karena biar bagaimanapun Asila anak perempuan satu-satunya.

"Menurut temanku dia tinggal di sebuah apartemen di luar daerah. Tapi temanku bilang dia tidak sendirian, melainkan bersama dengan anak kecil."

Wijaya menautkan alisnya sembari menggumam, 'anak kecil? Apa jangan-jangan dia sudah menikah? Tapi aku ini Ayahnya! Dia butuh wali buat nikah. Sembarangan aja! Apa mungkin dia bekerja sebagai baby sitter? Masa iya bekerja selama enam tahun meninggalkan orang tua tanpa berpikir untuk pulang! Mamanya sampai sakit mikirin dia."

Dania, sang ibu sampai jatuh sakit hanya karena memikirkannya. Ibu mana yang bisa iklas ditinggal pergi oleh anaknya tanpa pamit. Entah apa yang sudah terjadi pada putrinya hingga dia menghilang tanpa jejak. Mungkinkah selama ini putrinya menyembunyikan sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh orang lain?

"Siapkan mobil, ayo kita cari dia sampai ketemu! Minta alamat pada temanmu! Kita harus segera bertindak, jangan sampai dia kabur lebih  jauh lagi."

Teddy  mengangguk. "Baik Pa, akan dihubungi temanku dulu."

***

Di tempat lain dua bocah kembar  berusia kurang lebih sekitar lima tahunan sedang bermain di dalam apartemennya. Mereka begitu aktif sampai-sampai sang ibu dibuat kewalahan.

"Aduh kalian ini! Kalau habis main ditata lagi mainannya! Jangan diberantakin kayak gini! Mommy capek bersihinnya. Memangnya kalian nggak kasihan sama mommy?"

Keduanya menjawab. "Iya nanti kita bersihin! Tenang aja! Mendingan mommy lanjut buat makanan deh, kami udah laper!"

Sheila dan Dylan adalah bocah kembar yang memiliki kemampuan lebih. Diusianya yang masih dini sudah bisa menguasai komputer. Asila sendiri terheran-heran, siapa yang ditirunya? Padahal ia tak pernah mengajarinya bermain komputer, bahkan IQ nya bisa dikatakan sangat minim.

"Makanan sudah siap, tapi sebelum makan kalian harus rapikan dulu mainannya, ditaruh di tempat asalnya!"

Tidak mudah baginya merawat dua bocah sekaligus, namun ia jalani dengan penuh semangat. Dulu sempat drop saat tahu tentang kehamilannya, dan ia berniat untuk menggugurkannya, tapi alih-alih sang dokter menyarankan untuk dipertahankan, karena pilihannya tak mudah, mungkin setelah digugurkan ia akan sulit untuk bisa hamil kembali.

"Kalau makan dulu setelah itu dirapikan gimana?" tanya Sheila protes.

Asila menggeleng. "Tidak bisa! Selama kalian nggak mau rapikan, jatah makan pun tak ada. Kalian pilih mana? Makan atau main?"

Kedua anak itu menggembungkan pipinya. Dua pilihan yang tak tepat. Sebenarnya mereka masih belum puas bermain-main, tapi di sisi lain jika tak nurut maka akan kehilangan jatah makan. Dengan terpaksa mereka menuruti keinginan ibunya. "Baiklah, kita bersihkan sekarang, tapi mommy juga harus siapkan makanannya."

Bukannya tak sayang anak, Asila hanya ingin mengajarkan kedisiplinan terhadap anak-anaknya agar mereka bisa patuh dan mau belajar untuk hidup teratur.

Setelah selesai merapikan mainannya mereka menuju ruang makan di mana Asila tengah menyiapkan di piring mereka masing-masing. Hari itu ia membuat omlet karena persediaan sayuran sudah habis. Sudah waktunya belanja mingguan, ia berniat setelah itu mengajak anak-anaknya pergi berbelanja ke mall yang tidak seberapa jauh dari tempat tinggalnya.

"Omlet lagi! Omlet lagi! Kok tiap hari makan sama omlet. Apa mommy nggak bisa masak menu lain? Ayam bakar kek, atau bebek goreng. Masa tiap hari dikasih makan sama telur," protes Sheila dengan menggerutu.

Dylan langsung memelototi dan menegurnya. "Kau itu jadi cewek bawel banget! Masih mending kita makan sama omlet, daripada makan sama garam doang? Mommy itu bukannya nggak bisa masak menu lain, tapi mommy nggak punya banyak uang buat masakin kita yang enak-enak. Mommy selama ini cari uang sendirian buat kasih makan kita, apa kamu pikir mommy seneng hidup seperti ini? Jadi orang itu harus pandai bersyukur, apapun yang kita dapatkan wajib untuk disyukuri."

Asila terharu mendengar ocehan anak laki-lakinya. Diusianya yang masih dini sudah bisa berpikir seperti orang dewasa. Meskipun mereka agak menjengkelkan tapi keberadaan mereka membuatnya memiliki semangat hidup. Setelah memutuskan untuk meninggalkan keluarga, hanyalah mereka yang ia punya.

"Sayang, maafin mommy ya, mommy belum bisa buat kalian bahagia, tapi mommy bakalan berjuang agar kalian bisa hidup sehat. Doakan mommy agar mendapatkan pekerjaan yang lebih layak ya? Biar nanti kalian bisa menikmati makanan yang enak."

Sheila mencebikkan bibirnya sedih. Ia menyesal sudah membuat ibunya sedih. Seharusnya ia tidak protes mengenai omlet buatan ibunya. Seharusnya ia lebih memahami apa yang tengah ibunya rasakan.

Sejauh ini mereka tidak pernah mengenal sosok Ayah, tapi mereka tidak banyak protes dan ingin tahu di mana ayahnya saat ini, tapi di luar sana teman-temannya suka meledek, menganggapnya anak haram yang dilahirkan tanpa adanya pernikahan. Asila cukup sedih melihat anak-anaknya tumbuh tanpa seseorang yang seharusnya bisa melindungi mereka, namun apalah dikata, kejadian di masa lalu tak membuatnya ingin mengenal sosok Ayah kandung mereka.

"Mommy, maafin aku ya? Aku udah buat mommy sedih. Omlet buatan mommy enak kok, aku menyukainya, hanya saja aku terlalu menginginkan menu lain. Maafkan aku ya mom, aku nggak bakalan protes lagi."

Asila beranjak dan memeluk putri kecilnya. Ia menumpahkan air matanya dengan hati yang sedih. Sungguh ia tak menginginkan kehidupan seperti ini, tapi takdir tak bisa ditolaknya. Mungkin ia masih bisa kembali pada orang tuanya, tapi bagaimana dengan kedua anaknya? Keluarganya tak pernah tahu kalau ia tidak lagi sendiri. Keluarganya juga tidak pernah tahu mengenai kejadian yang menimpanya hingga membuatnya hamil dan melahirkan bayi kembar. Ia tak ingin menyulitkan siapapun, apa yang dilakukannya di masa lalu harus ia tanggung sendiri akibatnya.

"Sayang, kamu nggak salah protes sama mommy, tapi memang mommy nggak punya banyak uang untuk membeli daging ayam kesukaan kalian. Mommy ada sisa uang penjualan kue, nanti kita pakai buat beli sayur dan juga daging ya?"

Gadis kecil itu mengangguk disertai dengan senyuman kecil. Dia masih belum begitu memahami perekonomian ibunya, yang ia tahu sudah membuat ibunya bersedih.

"Yaudah, ayo lekas habiskan makanannya, setelah ini ikut mommy ke mall, kita belanja kebutuhan pokok. Sekarang Mommy mau siap-siap dulu, kalian lekas habiskan makanannya."

Asila beranjak menuju kamarnya untuk bersiap-siap, dua bocah itu segera menghabiskan sisa makanannya sembari berunding.

"Kita tidak boleh diam saja. Kita harus melakukan sesuatu buat mommy. Jangan biarkan mommy menderita sendirian."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!