Hujan turun deras malam itu.
Langit Seoul tampak seperti lembaran abu-abu yang disobek kilat berulang kali. Di sebuah apartemen kecil di lantai tujuh, Aira Jung duduk bersandar di sofa dengan mata merah karena lelah bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama menatap layar ponsel.
Novel itu... sudah hampir selesai.
“Obsesi Sang Kaisar.”
Tiga ratus bab.
Tiga ratus bab penuh penderitaan dari seorang permaisuri yang hidupnya tak pernah dianggap.
Aira meneguk kopi hitam yang sudah dingin. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya, kesal setiap kali membaca kalimat bodoh dari tokoh utama wanita.
“Kau terlalu lembut. Kau seharusnya melawan, bukan menunduk.”
Ia bergumam pada layar ponselnya, seolah karakter di sana bisa mendengarnya.
Di bab terakhir, permaisuri itu mati sendirian, di ruang dingin tanpa cahaya, hanya karena ia terlalu mencintai seorang kaisar yang tak pernah menatapnya.
Aira melempar ponselnya ke sofa dan mendesah kasar.
“Kau terlalu bodoh, Lian… kalau aku jadi kau, aku pastikan si bajingan itu berlutut di kakiku.”
Ucapannya menggema di ruang sempit itu.
Dia tertawa kecil, tapi ada getir di ujung tawanya.
Aira Jung juara tinju nasional yang diam-diam bekerja sebagai pembunuh bayaran. Wanita yang tahu cara menghancurkan tulang rusuk seseorang hanya dengan dua pukulan, tapi malah tenggelam dalam cerita cinta tragis. Ironi, bukan?
Jam menunjukkan pukul 03.17.
Ia menghela napas panjang, lalu rebah di sofa tanpa niat tidur sungguhan.
Hujan di luar makin deras, dan dunia terasa semakin jauh.
Lalu, tanpa suara, semua menjadi gelap.
Bukan pingsan. Bukan tidur.
Hanya… sunyi yang terlalu dalam untuk dijelaskan.
Aira membuka matanya.
Rasa pertama yang ia kenali adalah dingin.
Udara lembap, aroma bunga kering, dan sesuatu yang berat di tubuhnya kain tebal bersulam emas.
Ia bangkit perlahan, terengah. Di sekitarnya, tirai panjang dari sutra menggantung tinggi. Dinding marmer putih. Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan.
Ini… bukan apartemennya.
“Yang Mulia Permaisuri, apakah Anda sudah bangun?”
Suara lembut itu datang dari seorang gadis muda yang membungkuk di depan tempat tidur.
Aira menatapnya tanpa menjawab. Matanya menyapu seluruh ruangan meja rias berlapis mutiara, sandal sutra di lantai, dan cermin tembaga besar di pojok ruangan.
Tapi bukan itu yang membuat jantungnya berhenti.
Di meja kecil di samping ranjang, terbuka sebuah buku tebal dengan tulisan yang sangat ia kenal di sampulnya:
“Obsesi Sang Kaisar.”
Aira menatap namanya di halaman depan tulisan tangan kecil:
Permaisuri Lian, istri Kaisar Kaelith Raen.
Ia terdiam lama.
Lalu satu sudut bibirnya terangkat, bukan karena terkejut, tapi karena tidak percaya.
“Kau bercanda… aku di dalam novel ini?”
Pelayan itu menunduk lebih dalam. “Yang Mulia?”
Aira mengabaikannya. Ia berdiri, memandang sekeliling. Gaun berat itu menghambat geraknya, tapi ia tak peduli.
“Jadi ini… dunia yang menulis akhir yang menyedihkan itu,” gumamnya lirih.
“Kau tahu apa yang lebih lucu? Aku tak berniat mengulangnya.”
Ia menatap keluar jendela besar, melihat taman kerajaan di bawah sinar matahari pagi yang baru muncul.
Sekelilingnya tampak damai, indah, dan berbahaya sekaligus.
Dan dalam hati, ia berbisik dengan tenang
“Baiklah, Lian. Mari kita ubah takdirmu. Dari permaisuri yang tak dianggap… menjadi wanita yang membuat kaisar berlutut.”
Matahari belum sepenuhnya naik ketika Aira atau kini, Permaisuri Elara duduk di depan meja rias besar yang dihiasi batu giok.
Puluhan pelayan perempuan berbaris rapi, menunduk dalam diam. Tak satu pun berani bicara sebelum ia memberi perintah.
Dalam ingatannya, adegan ini pernah ia baca di bab awal novel.
Permaisuri Lian yang sekarang tubuhnya ia huni biasanya akan duduk diam, membiarkan para pelayan menata rambutnya sambil menunduk patuh seperti boneka.
Tapi Aira bukan boneka.
Tangannya menyentuh sisir emas yang berat di atas meja.
“Berhenti.”
Satu kata, datar, tapi cukup membuat semua pelayan kaku.
“Bawa keluar semua ini. Aku tak suka sesuatu yang berisik di sekitarku.”
Suara itu pelan, namun penuh tekanan. Seorang pelayan muda berani bertanya dengan gemetar,
“Yang Mulia… tapi ini—”
Elara menatapnya. Tatapan tajam yang biasa ia gunakan di ring tinju, kini menusuk lebih dalam dari pukulan mana pun.
“Apakah aku terdengar seperti sedang menawar?”
Gadis itu menunduk cepat-cepat, memanggil pelayan lain, dan membawa pergi peralatan rias.
Keheningan kembali turun, tapi kali ini berbeda. Udara seolah menahan napas.
Aira menghela perlahan. Dalam hatinya, ia bergumam,
“Begitu banyak ketakutan di tempat ini. Satu kesalahan, satu tatapan bisa berarti mati. Menarik.”
Ia berdiri, berjalan menuju balkon yang terbuka. Dari sana, istana tampak luas dan menakutkan. Menara-menara tinggi berhiaskan bendera emas, dan di tengahnya berdiri bangunan utama tempat Kaisar Kaelith Raen tinggal.
Kaisar.
Nama yang hanya muncul sekilas di novel dingin, rasional, dan nyaris tanpa emosi.
Di cerita aslinya, permaisuri ini mati tanpa pernah melihat senyumnya.
“Terlalu menyedihkan untuk diulang,” gumamnya.
Suara langkah kaki terdengar dari pintu.
Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun masuk, mengenakan jubah pelayan utama berwarna biru tua. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam seperti sedang menilai.
“Selamat pagi, Yang Mulia Permaisuri. Saya Miraen, kepala pelayan yang ditugaskan langsung oleh Istana Kaisar. Saya datang untuk menyampaikan jadwal Anda hari ini.”
Aira—Elara—menatapnya sebentar. “Jadwal?”
“Ya, Yang Mulia. Pukul sembilan Anda diharapkan menghadiri jamuan sarapan bersama Selir Valen dan beberapa pejabat wanita istana. Setelah itu, Anda diizinkan mengunjungi taman dalam.”
Nama itu membuat Aira membeku sepersekian detik.
Valen.
Lady Valen wanita yang dalam novel adalah cinta sejati sang Kaisar, dan penyebab kematian permaisuri.
Aira tersenyum tipis.
“Dia yang memintaku hadir?”
Miraen menunduk. “Benar, Yang Mulia. Selir Valen berkata… ia ingin mengenal Anda lebih dekat.”
Aira tertawa pelan. Tawanya rendah, nyaris terdengar seperti bisikan.
“Mengenal, atau menilai?”
Miraen tampak kaget, tapi cepat menunduk lagi. “Saya tidak berani menafsirkan niat beliau.”
Aira berjalan perlahan melewati pelayan itu, menyentuh pinggiran meja giok dengan jemarinya. “Baiklah. Katakan padanya aku akan datang. Tapi pastikan mereka tahu satu hal.”
Miraen menegakkan tubuhnya, menunggu.
Elara menatap ke arah jendela di mana sinar matahari mulai menembus tirai.
“Aku bukan permaisuri yang sama seperti kemarin.”
Beberapa jam kemudian, istana bagian timur penuh dengan bisik-bisik.
Para selir dan pelayan berbisik di balik kipas, membicarakan bagaimana Permaisuri Elara yang lembut itu kini berubah lebih tenang, tapi dengan aura yang membuat siapa pun sulit bernafas.
Dan di menara tertinggi, Kaisar Kaelith Raen sedang membaca laporan pagi.
Tangan panjangnya berhenti di tengah halaman saat mendengar suara kasim melapor,
“Yang Mulia, Permaisuri meminta izin untuk menghadiri jamuan bersama Selir Valen.”
Kaelith tidak menatap siapa pun.
Hanya ada desah pelan keluar dari bibirnya, nyaris seperti tawa samar.
“Permaisuri?” katanya datar. “Aku pikir dia tak akan berani.”
Matanya yang tajam menatap keluar jendela.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, senyum kecil muncul di wajah yang biasanya tak berperasaan.
“Menarik,” katanya pelan.
“Mari kita lihat… sejauh mana dia berani bermain.”
Suara musik lembut dari alat petik mengalun di aula kecil istana timur.
Udara dipenuhi aroma melati dan teh mawar.
Di tengah ruangan, meja panjang berlapis sutra merah muda telah disiapkan untuk jamuan pagi para wanita istana.
Permaisuri Elara melangkah perlahan, langkahnya tenang namun pasti. Gaunnya berwarna putih gading, tanpa hiasan mencolok. Sederhana, tapi setiap gerakannya memancarkan wibawa.
Begitu ia muncul, semua kepala menunduk.
“Salam hormat kepada Yang Mulia Permaisuri.”
Elara hanya mengangguk kecil. “Bangun.”
Matanya menyapu sekeliling. Ada empat wanita di sana tiga selir berpakaian indah, dan satu di antaranya duduk di posisi kehormatan kedua.
Lady Serene Valen.
Wajahnya cantik sempurna, seperti porselen.
Matanya lembut, senyumnya manis tapi bagi Aira, yang bertahun-tahun membaca ekspresi orang sebelum memukul mereka di ring, keindahan itu seperti pisau yang disembunyikan di balik bunga.
Ah, jadi ini musuh utamaku, batinnya dingin.
Lady Serene berdiri dan menunduk sedikit. “Kehormatan besar bagi saya bisa makan pagi bersama Yang Mulia. Kami semua senang akhirnya Anda berkenan hadir.”
Nada suaranya manis, tapi mengandung racun halus.
Di novel, inilah awal dari keruntuhan permaisuri jamuan pertama yang membuat semua orang menertawakannya karena kebodohannya dalam berbicara.
Tapi kali ini, Elara bukan wanita yang sama.
“Senang akhirnya aku sempat datang,” jawab Elara datar. Ia duduk di kursi utama, pelan tapi mantap. “Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk memikirkan hal-hal penting. Menjaga kerajaan, misalnya.”
Senyum Serene menegang sepersekian detik, tapi cepat pulih.
“Ah, betapa mulianya hati Yang Mulia. Tapi bukankah urusan kerajaan sudah ada di tangan Kaisar Kaelith?”
Elara menatapnya lama, kemudian tersenyum.
“Benar. Tapi bukankah seorang istri seharusnya tahu apa yang dikerjakan suaminya? Agar jika sesuatu terjadi… ia tahu siapa yang harus diselamatkan lebih dulu.”
Sunyi.
Bahkan para pelayan menunduk lebih dalam, pura-pura tidak mendengar.
Serene tersenyum kaku, memutar cangkir tehnya pelan. “Tentu saja. Saya tak pernah memikirkan sejauh itu.”
“Wajar,” kata Elara lembut. “Beberapa orang hanya tahu menikmati, bukan memimpin.”
Kalimat itu jatuh seperti belati dalam keheningan.
Tiga selir lain menahan napas. Mata mereka berpindah-pindah antara dua wanita itu, takut sekaligus terpesona.
Aira meneguk tehnya perlahan, membiarkan keheningan bekerja untuknya.
Ia tak butuh teriak untuk menang diamnya sudah cukup menekan seluruh ruangan.
Setelah beberapa saat, Serene tersenyum lagi, kali ini dengan nada lebih hati-hati.
“Yang Mulia memang memiliki cara bicara yang… berbeda dari biasanya.”
Elara menatapnya tanpa berkedip. “Orang berubah, Lady Serene. Kadang, hanya butuh satu malam untuk membuka mata.”
Senyum Serene menipis. “Mungkin… tapi perubahan terlalu cepat biasanya tak bertahan lama.”
Elara meletakkan cangkirnya dengan tenang, tapi matanya berkilat.
“Kalau itu ancaman, jangan bungkus dengan kiasan. Aku tidak suka teka-teki di meja makan.”
Keheningan turun lagi. Kali ini, bahkan musik berhenti.
Pelayan di ujung ruangan menjatuhkan sendok karena gugup, suaranya menggema keras di antara ketegangan yang padat.
Elara bangkit dari kursinya, menatap satu per satu wanita di sekitarnya.
Tatapannya dingin, tapi bibirnya tersenyum.
“Mulai hari ini, jangan lagi anggap aku sekadar hiasan di istana ini.”
“Aku mungkin tampak tenang, tapi aku tidak diciptakan untuk diam.”
Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah keluar.
Langkahnya pelan, tapi setiap hentakan terasa seperti suara peringatan.
Ketika pintu besar tertutup di belakangnya, Lady Serene masih duduk dengan tangan yang menggenggam erat cangkir teh hingga jari-jarinya memutih.
“Dia… bukan Elara yang dulu,” bisiknya lirih.
Sementara itu, di paviliun utama, Kaisar Kaelith Raen baru saja mendengar laporan dari kasim pribadinya.
“Yang Mulia, Permaisuri menghadiri jamuan pagi. Tampaknya… terjadi sedikit ketegangan dengan Selir Valen.”
Kaelith tidak menatap. Ia hanya menutup dokumen di tangannya.
“Sedikit ketegangan?” katanya pelan. “Itu hal baru. Biasanya dia yang ditekan.”
Kasim itu ragu-ragu. “Menurut para pelayan, kini sebaliknya, Yang Mulia.”
Diam.
Lalu Kaelith tertawa kecil—dingin, nyaris tanpa suara.
“Jadi, singa akhirnya keluar dari kandangnya.”
Matanya menatap jauh ke luar jendela, ke arah istana timur tempat Elara berada.
“Menarik, Permaisuri,” gumamnya rendah. “Kita lihat… berapa lama kau bisa membuatku menoleh.”
Udara sore di istana utama terasa lebih dingin dari biasanya.
Langit berwarna keperakan, dan sinar matahari yang menembus jendela kaca panjang hanya menyentuh sebagian ruangan singgasana.
Permaisuri Elara berjalan perlahan melewati koridor marmer menuju aula utama. Setiap langkahnya menggema lembut, tapi ritmenya tegas tak ada tanda ragu.
Pelayan di belakangnya menunduk dalam-dalam, takut bahkan untuk bernafas terlalu keras.
Hari ini, ia diundang atau lebih tepatnya, dipanggil oleh Kaisar Kaelith Raen.
Setelah tiga tahun menikah, inilah pertama kalinya sang kaisar memintanya datang secara pribadi.
Aira menarik napas panjang.
“Jadi akhirnya, si penguasa dingin itu penasaran juga,” gumamnya dalam hati.
Dua penjaga membuka pintu besar berlapis emas.
Cahaya matahari yang memudar jatuh tepat di atas takhta, di mana Kaelith duduk dalam diam.
Ia mengenakan jubah hitam kebesaran, sederhana tapi penuh wibawa. Tubuh tegap, bahu lebar, dan mata kelam yang seolah mampu membaca isi kepala siapa pun yang berani menatapnya.
Namun Elara bukan wanita yang mudah goyah oleh pandangan siapa pun.
Ia melangkah maju.
Kain putih gaunnya bergeser di lantai batu seperti ombak tenang yang menutupi badai di bawahnya.
Ia berhenti beberapa langkah dari tangga takhta dan menundukkan kepala seperlunya. Tidak terlalu dalam, tidak terlalu sopan.
Sekadar cukup.
“Permaisuri Elara menghadap,” katanya pelan tapi jelas.
Kaelith menatapnya lama tanpa bicara.
Tatapan itu menusuk, tapi juga mengamati seperti seorang prajurit yang menilai lawannya sebelum duel.
Lalu perlahan, bibirnya bergerak.
>“Kau berubah.”
Elara mengangkat kepalanya.
“Mungkin.”
Ia tersenyum tipis. “Tapi mungkin juga Anda yang baru melihat dengan benar.”
Kaelith mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Berani sekali kau bicara begitu pada Kaisarmu.”
“Berani?” Elara menatap balik. “Saya hanya jujur, Yang Mulia. Atau mungkin, di istana ini, kejujuran dianggap bentuk keberanian?”
Suara pelayan yang berdiri di sudut ruangan terdengar tercekat.
Kaisar tak langsung menjawab. Ia turun dari takhta, langkahnya lambat tapi berwibawa.
Sepasang mata kelam itu kini sejajar dengan mata Elara.
“Aku tak ingat pernah meminta permaisuriku berbicara dengan tajam,” katanya datar.
Elara tersenyum lembut, tapi sorot matanya tak gentar.
“Saya juga tak ingat pernah dinikahi hanya untuk diam.”
Keheningan yang panjang turun.
Udara seakan berhenti bergerak. Bahkan suara burung di luar lenyap dari pendengaran.
Kaelith menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Tatapan itu bukan marah tapi penuh rasa ingin tahu.
Ada sesuatu di dalam Elara yang berbeda.
Cara berdirinya, cara ia menatap tanpa takut, dan nada suaranya yang seperti menantang namun tetap sopan.
Ia akhirnya tertawa kecil, samar, tapi nyata.
“Kau… menarik hari ini.”
“Sayangnya saya bukan hiburan, Yang Mulia.”
“Tapi kau membuatku ingin melihat lebih lama,” ujarnya tenang. “Itu sudah cukup jarang terjadi.”
Elara tidak tersenyum. Ia hanya menatap balik, dingin tapi tidak kasar.
Dalam hatinya, Aira menimbang-nimbang lelaki ini berbahaya.
Bukan hanya karena kekuasaannya, tapi karena matanya. Tatapan yang bisa membaca, tapi tak bisa ditebak.
Kaelith memutar cincin emas di jarinya, lalu berkata perlahan,
“Kau boleh pergi. Tapi lain kali, jika ingin menantangku… pastikan kau siap menerima akibatnya.”
Elara menunduk sedikit, matanya menatap tajam dari balik bulu mata panjangnya.
“Saya selalu siap, Yang Mulia. Bahkan sebelum Anda sempat memutuskan akibatnya.”
Ia berbalik, berjalan pergi tanpa menunggu izin lebih lanjut.
Langkahnya tetap tenang, tapi setiap hentakan sepatu di lantai batu terdengar seperti gema tantangan.
Kaelith berdiri di tempatnya, memandangi punggung wanita itu sampai pintu tertutup.
Beberapa detik kemudian, ia tersenyum kecil senyum yang hanya terlihat oleh dirinya sendiri.
“Dia bukan lagi Elara yang kutinggalkan tiga tahun lalu,” bisiknya pelan.
“Dan entah kenapa… aku ingin tahu apa yang membuatnya hidup kembali.”
Sementara itu, di koridor panjang menuju paviliun timur, Elara menggenggam ujung gaunnya, napasnya dalam dan teratur.
Ia tak memandang ke belakang, tapi di dalam dadanya, jantung berdetak cepat bukan karena takut, tapi karena adrenalin.
“Jadi ini kaisar yang membuatmu menangis sampai mati, Lian,” gumamnya lirih.
“Menarik… tapi belum cukup untuk membuatku berlutut.”
Ayok dukung aku agar si kaisar berlutut di kaki Elara(Aira Jung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!