Duk duk duk duk
Suara derap langkah kaki kuda berlari ditengah hutan yang gelap dengan cukup kencang.
Ringkik-kannya terdengar nyaring, ia sudah sangat jauh berlari untuk membawa ketiga penumpangnya, tetapi saat ini, ia terpaksa harus jatuh tersungkur, ketika sebuah anak panah tertancap dibagian paha kirinya.
Terlihat dibelakang sana, lampu-lampu obor sedang mengejar mereka, dan jaraknya semakin dekat, sedangkan mereka tak memiliki waktu untuk merintih kesakitan.
"Laksmi, cepatlah lari, bawa puteri kita menjauh dari tempat ini, jangan biarkan mereka menemukanmu." titah seorang pria yang berpakaian ningrat.
Wajahnya cukup tampan, dan tubuhnya tegap tinggi, dengan beberapa luka dibagian tubuhnya.
Dari cara bicara dan juga pakaiannya ia adalah seorang bangsawan yang selama ini disegani dan juga ditakuti.
Akan tetapi, malam ini semuanya berubah. Ia harus meninggalkan kadipaten dan kekuasaannya, karena sesuatu yang sangat genting.
Pria yang masih berusia tiga puluh tahun dan istrinya Laksmi yang baru saja melahirkan dua hari lalu terpaksa harus melarikan diri dari kejaran para musuh yang telah merebut paksa kepemimpinannya.
Pria itu adalah seorang Adipati didaerah yang makmur dan juga subur, dengan sumber pangan yang melimpah ruah.
Akan tetapi, semua itu sirna dalam sekejap, ketika Adipati dari wilayah selatan ingin menguasai kepemimpinannya.
Adipati Wijaya Ningrat, kini menghunuskan pedangnya untuk melawan musuh yang datang.
"Cepat, selamatkan dirimu, dan juga bayi kita. Aku akan menghalangi mereka, Dinda," Wijaya tampak bersiap menyambut para musuh yang berjumlah lebih dari sepuluh orang.
"Tapi--Kanda,"
"Tidak ada waktu, pergi!" tegasnya dengan nafas yang memburu, meski hatinya saat ini sangat sakit membayangkan ia harus berpisah dengan istri tercinta dan juga puterinya.
Laksmi tak memiliki waktu berdebat. Perutnya yang masih sakit dan bahkan tadi tergores rerumputan tajam saat terjatuh, harus ia tahan demi untuk menyelamatkan nasib puterinya.
Bayi itu masih sangat merah. Usianya baru menginjak tiga hari melihat dunia, tetapi harus mengalami hal yang sangat menyakitkan.
Dengan tali pusar yang masih menempel, ia harus ikut berlari menyusuri hutan yang lebat dan pekat.
Sedangkan sang Adipati yang dilengserkan secara paksa, harus berjuang menghadapi musuh yang baru saja berlompatan dari atas kuda.
"Lihatlah dirimu Wijaya, kamu tidak lagi dapat menyelamatkan dirimu," seorang pria bertopeng menghampirinya, dengan sebuah pedang ditangannya.
"Kalian kejar istrinya, dan bunuh mereka juga." pria bertopeng itu memberikan isyarat agar sebagian dari mereka mengejar Laksmi yang saat ini sedang menyelamatkan puterinya.
Mendengar hal itu, Wijaya melompat, lalu menyerang mereka yang mencoba menerobos gelapnya malam dan mengejar sang istri.
Wijaya mengayunkan pedangnya, lalu menyerang mereka satu persatu.
Sedangkan Laksmi masih terus berlari sembari menyusui bayinya dengan tenaganya yang semakin lemah.
Ia mengalami pendarahan, dan membuat langkahnya semakin tak dapat ia paksakan. Ditengah rasa keputusasaannya, ia melihat sebatang pohon beringin yang tumbuh tinggi dan berukuran sangat besar.
Wanita itu menghampirinya, lalu mengikat bayinya dengan sulur pohon tersebut, dan berharap jika sebuah keajaiban datang menyelamatkannya.
"Duh, Gusti Agung, selamatkan-lah puteri hamba, dan jangan biarkan apapun mencelakainya." doanya dengan penuh harap pada Dia Sang Pencipta. "Duhai puteriku, Wulan Ningrat, jika kau selamat dan panjang umur, carilah jati dirimu, dan balaskan semua perbuatan mereka yang telah mencelakai keluargamu." Laksmi meninggalkan sebuah gelang emas dengan ukiran symbol padi dan pedang dengan ukiran nama Adipati Wijaya Ningrat.
Setelah mengatakan itu semua, Laksmi memutar arah. Ia ingin mengecoh para pengejar agar tak menuju ke arah puterinya.
Sementara itu, Wijaya Ningrat sedang menahan para penyerang dengan kekuatan yang dimilikinya.
Tebasan pedang yang diayunkannya, telah membunuh tiga orang yang berusaha untuk mengejar Laksmi.
Pertarungan sengit berlangsung, dan Wijaya Ningrat masih terus berupaya untuk menyerang, hingga akhirnya sebuah pedang menembus punggung kirinya hingga ke dada.
Wijaya terpekik tertahan. Cairan pekat darah keluar dari mulutnya, dan tatapannya perlahan kosong, namun ia masih sempat memohon pada Sang Maha Kuasa agar menyelamatkan istri dan anaknya.
Sosok pria bertopeng itu menarik pedang yang menembus dada sang Adipati. Ia seolah tak punya waktu untuk berlama-lama dalam pertempuran ini.
Wijaya Ningrat menatap sayu, menengadah keatas langit kelam.Lalu tubuhnya ambruk keatas tanah.
Braaaak
Ia mengejang sesaat, lalu tak bergerak cukup lama, dan selamanya.
Sementara itu, pria bertopeng mengejar Laksmi yang sudah jauh masuk ke dalam hutan.
Langkahnya kian terseok, darah nifas tampak semakin deras, sedangkan para pengejar semakin mendekat.
"Itu, dia! Tangkap!" titah pria bertopeng, dan dengan sangat mudah untuk menangkap Laksmi yang sangat lemah.
Tanpa perlawanan, wajah pucatnya terlihat pasrah dengan takdir yang sedang dihadapinya.
Ia diseret bagaikan seekor binatang. Darah terus mengalih dari jalan lahirnya, ia sudah tak berdaya.
Pria bertopeng menatapnya dengan sinis, dan ia mengangkat dagu wanita tersebut. "Laksmi, dimana anakmu?!" tanyanya dengan penekanan.
Wanita itu hanya dapat mengerjapkan kedua matanya, ia sudah tak lagi bertenaga.
"Bedebah! Kau jangan mempermainkanku! Tidak akan ada yang dapat lari dariku!" makinya dengan kesal. "Tetapi, aku ingin menyiksamu terlebih dahulu." pria itu menarik kemben yang dikenakan Laksmi.
Wanita itu dipegang oleh dua orang pria yang mengenakan pakaian prajurit, dan dengan mudahnya, ia menanggalkan pakaian sang wanita, lalu seolah ingin mempermalukannya dihadapan banyak orang.
"Lihatlah dirimu, Laksmi. Apa lagi yang kau banggakan? Tubuhmu sudah dilihat oleh mereka semua. Meskipun kau masih mengeluarkan banyak darah, tetapi aku akan tetap mencobanya, sebelum kau akhirnya akan mati juga." pria bertopeng itu menggilir sang wanita tanpa belas kasih.
Hingga akhirnya Laksmi tak lagi bernyawa, tetapi mereka tak memperdulikannya,
Setelah puas dengan tindakan bejadnya, pria bertopeng meraih sebuah pedang ditangannya, diarahkan ke tepat jantung sang wanita berulang kali, dan memastikan jika wanita itu benar-benar telah tewas.
Braaaak
Tubuh wanita dengan lumuran darah itu dilempar begitu saja kedalam jurang, bagaikan seonggok daging yang tak berharga.
"Ayo, kita pulang!" ajak pria itu pada para prajuritnya.
"Tetapi, bayi itu belum itu belum kita ketemukan," ucap salah satu prajurit lainnya.
"Biarkan saja. Dia tidak akan dapat menyelematkan dirinya sendiri, dia akan mati dimakan macan kumbang ataupun kelaparan," ucapnya dengan meyakinkan para orang-orangnya.
Alasan sang pimpinan yang didapat diterima oleh akal, akhirnya mereka setujui juga, dan bergegas meninggalkan hutan yang semakin gelap.
Sementara, sang bayi malang yang sedang ditinggalkan dibawah pohon beringin, sedang berayun yang ditiup oleh angin.
Perlahan seekor macan kumbang keluar dari persembunyiannya, lalu berjalan menghampirinya.
Sosok macan kumbang bertubuh tegap itu melompat dan menggigit sulur pohon beringin, dan menurunkan sang bayi malang.
Sosok macan kumbang itu menggit kain bedong sang bayi, lalu berlari menembus kegelapan malam dan membawanya sebuah goa yang gelap dan juga luas.
Ia meletakkan bayi mungil itu diatas sebuah meja batuan cadas, dan setelahnya kembali lagi berlari keluar, menuju tempat dimana tadi terjadinya pertempuran antara kedua orangtua sang bayi yang melawan para pemberontak.
Sosok macan kumbang itu mengambil sebilah pedang yang digenggam oleh Wijaya Ningrat, dan senjata itu masih berlumuran darah.
Kemudian ia melepaskan ikat kepala sang Adipati, dan melilitkannya pada pedang tersebut.
Setelahnya, ia menghampiri kuda yang sedang meringkik kesakitan karena terkena anak panah.
Ia membantu mencabut anak panah dari paha kaki kuda, dan memberikan sentuhan pada luka tersebut, lalu membuat hewan tegap itu berdiri kembali.
"Ayo," ia mengajak sang kuda untuk mengikutinya ke dalam goa.
Setibanya didalam goa, sang Macan Kumbang meletakkan pedang milik Wijaya Ningrat. Lalu dengan kekuatannya, ia menghidupkan api obor, dan menghampiri sang bayi.
Bayi mungil nan cantik tersebut, tampak tersenyum padanya. Ia merasa haus, tetapi tak ingin bersuara.
Jika kau dilahirkan dua hari yang lalu, maka kau memiliki weton Jum'at Pon. Neptumu adalah tiga belas, dan jatuh pada tibo dunyo. Kau akan menjadi seorang pemimpin besar. Orang yang berbudi luhur, dan membela kebenaran," ucap sang macan kumbang dengan suara tenang.
Ia masih memandangi sang bayi mungil, yang terlihat sangat cantik rupawan.
"Kau adalah sosok yang kucari, dan aku adalah khodam macan kumbang yang menaungimu. Cakra yang kau miliki pada kelahiranmu Jumat Pon adalah gabungan Cakra Ajna Bumi (milik weton Jumat) yang berelemen air, dan Cakra Dasar Bumi (milik pasaran Pon) yang berelemen logam. Kombinasi ini membentuk watak pemimpin yang kuat, berani memberontak pada ketidakadilan, namun harus diimbangi dengan kerendahan hati agar menjadi sosok positif dan membawa keberuntungan."
Sang Macan kumbang masih memandangi wajah bayi ajaib didepannya, ia tampak sangat begitu berwibawa, meski hanya masih seorang bayi.
"Aku akan menabalkan nama untukmu," ucapnya sekali lagi. Lalu mengedipkan kedua matanya, dan terlihat bubur merah dan bubur putih tersedia diatas meja batuan cadas.
Kemudian ia memulai ritualnya.
Bismillahirrahmanirrahim..
Niat ingsun memetri jabang bayi...
Sekul petak ulam sari, kebul kukus Gondo kang Arum, ibu bumi bopo Kuoso, ingkang njangkung jabang bayi...,
Kyai Among, Nyai Among, ingkang Among maring Jabang bayi ... (Wulan Ningrat) nyuwun Sawab wilujeng slamet. Kakang Kawah, Adi Ari-ari, sedulur papat limo pancer, ingkang njangkung jabang bayi... saking kersane Allah,"
Bismillahirrahmanirrahim..
(Niat aku meiklarkan anak manusia bernama... Nasi putih beserta lauk pelengkapnya, Menggulung asap berbau wangi, asal tanah, sang pemberi titah. yang melindungi anak manusia bernama Wulan Ningrat... Kyai Pengasuh, Nyai Pengasuh, yang mengasuh anak manusia bernama... minta Do'a keselamatan. Ketuban, Plasenta dan seperti segumpal daging yang ikut serta dengan plasenta, saudara 4 yang ke 5 pusatnya, yang menjaga anak manusia bernama Wulan Ningrat.. karena Allah SWT)
Sesaat kilauan cahaya keperakan menyelimuti sang bayi, dan membuatnya merasa hangat.
Setelah penabalan itu selesai, sosok Macan kumbang membawa bubur merah putih itu keluar goa, ia meletakkannya didepan pintu, dan berharap ada binatang yang memakannya.
Sementara itu, ia kembali masuk, lalu mengerjapkan kedua matanya, dan membuat pintu goa tertutup dengan bebatuan.
*****
Disebuah kadipaten yang sebelumnya dipimpin oleh Adipati Wijaya Ningrat, kini diduduki oleh seseorang bernama Bisrah. Ia berusia sekitar empat puluh tahun.
Wajahnya sangat sangar, rambutnya ikal dan gigi bagian depannya tampak menonjol, ditambah dengan sorot mata yang tajam dan juga bengis.
Baru beberapa jam kepemimpinannya, ia sudah membuat aturan yang mencekik rakyatnya.
Ia akan mengumpulkan para Tumenggung yang ada diwilayah kadipaten dan meliputi kekuasaannya untuk menerapkan aturan yang membuat kekayaannya akan semakin berlimpah.
Upeti yang dipaksakan kepada rakyat tidak tanggung-tanggung, dimana hasil panen harus diserahkan setengah kepada Adipati, yang mana nantinya akan diserahkan kepada Adipati Agung, dan juga Raja yang memimpin dipusat pemerintahan.
Tak hanya itu, Adipati yang baru juga akan membuat aturan kerja paksa dan tanpa upah bagi rakyat, demi untuk membangun wilayahnya kekuasaannya.
Kadipaten utara yang kini dipimpin oleh Adipati Bisrah, benar-benar sangat tidak berprikemanusiaan, dan ia menerapkan aturan otoriter dan juga oligarki yang sangat menyengsarakan rakyatnya.
Setelah memberikan perintah kepada Patih Kamandaka, Adipati Bisrah meninggalkan kursi kebesarannya, lalu memasuki kamar yang disudah dinantikan oleh beberapa dayang yang berasal dari gadis desa dan dipaksa untuk ikut.
Para dayang menyambut Adipati Bisrah yang baru memimpin, dan mereka melakukan tugasnya dengan terpaksa, jika tidak, maka penyiksaan yang akan mereka dapatkan.
Sementara itu, Patih Kamandaka yang mendapatkan tugas untuk mengumpulkan para Tumenggung diwilayah kadipaten, menunggangi kudanya ditengah malam gelap.
Sedangkan Adipati yang memerintahkan sedang bermesraan dengan para dayang yang siap melayaninya.
Sementara itu, kabar kematian Adipati Wijaya Ningrat yang sangat dicintai oleh rakyatnya tersebar luas.
Rasa duka dan kesedihan menyelimuti warga kadipaten.
Mereka kehilangan sosok yang selama ini mereka agungkan. Memimpin dengan penuh bijaksana, dan adil pada seluruh rakyatnya.
Tetapi, kini sang Adipati Wijaya beserta istri dan juga puteri yang baru dilahirkannya, akhirnya pergi dengan cara yang sangat menyakitkan dan juga sadis.
Dimana keadilan yang selama ini diagungkan. Rakyat ingin memberontak, tetapi mereka tak berdaya, hanya sebuah harapan dan doa, kiranya yang Maha Kuasa dapat membuka jalan untuk kebenaran yang sedang terbungkam.
Suara derap langkah kaki kuda membelah kesunyian malam. Lampu-lampu minyak terpasang pada setiap rumah sebagai penerangan.
Setiap langkah yang dipacu oleh sang Patih, membuat hatinya berdenyut.
Sesungguhnya ia sangat tidak sejalan dengan sang Adipati Bisrah. Tetapi ia tak memiliki pilihan, sebab anak dan istrinya saat ini masih disekap oleh Adipati yang memiliki jiwa pemberontak.
Ia harus menyelamatkan anak dan istrinya yang saat ini masih dipenjara bersama dengan keluarga para pejabat lainnya yang mencoba menentang pemberontakan ini.
Kaki kuda yang dipacunya terus berlari menembus kegelapan malam. Obor ditangannya menjadi penerang jalanan.
Ia harus menyelesaikan pekerjaannya malam ini, sebab esok ia harus mengumpulkan semua para Temenggung ke kediaman Pendopo kadipaten.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya ia tiba dirumah Tumenggung Arya, dimana ia memimpin wilayah yang lebih kecil dari Adipati, dan ia bertugas untuk memungut upeti dari rakyat, dan nantinya akan diserahkan ke Adipati, yang menaunginya.
Patih Kamandaka melompat turun dari kuda yang ditungganginya. Ia berjalan menuju kediaman Tumenggung, dan mengetuk pintunya, meski hari sudah sangat larut.
Tok tok tok
Pintu diketuk, dan suara ringkik kuda yang cukup keras membuat pemilik rumah yang tampak lebih mewah dari warga lainnya terpaksa harus membuka pintu.
Patih Kamandaka mengetuk kembali pintu rumah yang cukup mewah pada masanya.
Dua buah pilar bangunan yang terbuat dari kayu berukuran besar dengan ukiran yang cukup menarik, menjadi tiang penyanggah teras yang membuatnya terlihat sangat megah.
Pintu terbuka. Terlihat seorang pria berdiri diambang pintu dengan wajahnya yang mengantuk, dan ia menatap Patih bertubuh tegap dihadapannya.
"Maaf, Kanjeng Raden Tumenggung, mengganggu tidurnya. Saya hanya diminta mengantarkan pesan ini kepada Kanjeng Raden agar kiranya esok dapat hadir ke kadipaten untuk memenuhi undangan dari Adipati Bisrah yang baru saja menjabat sebagai pemimpin yang baru." Patih Kamandaka memberikan gulungan kertas yang ditulis dengan huruf aksara hanacaraka.
Tumenggung Kamandaka membuka gulungan kertas yang berwana coklat muda. Ia membaca isinya, dan menghela nafasnya dengan berat.
Dhawuh Saking Kadipaten Pusat
ꦝꦮꦸꦃ ꦱꦏꦶꦁ ꦏꦢꦶꦥꦠꦼꦤ꧀ ꦥꦸꦱꦠ꧀
Dhumateng sedaya para Tumenggung
ꦝꦸꦩꦠꦼꦁ ꦱꦼꦢꦪ ꦥꦫ ꦠꦸꦩꦼꦁꦒꦸꦁ
Waosan: Dhawuh
ꦮꦲꦺꦴꦱꦤ꧀: ꦝꦮꦸꦃ
Wigatosing prekawis: Pasrah Panampi Dhawuh Anyar
ꦮꦶꦒꦠꦺꦴꦱꦶꦁ ꦥꦿꦼꦏꦮꦶꦱ꧀: ꦥꦱꦿꦃ ꦥꦤꦩ꧀ꦥꦶ ꦝꦮꦸꦃ ꦲꦚꦂ
Ia kembali menggulung surat undangan yang datang dari Kadipaten Pusat, dan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Patih. Saya akan memenuhi undangan ini esok," jawabnya dengan tenang, meski hatinya sangat gelisah, apalagi, ia mendengar jika Adipati Wijaya sudah digulingkan dari kedudukannya, dan kini diganti oleh Adipati yang serakah dan tamak.
"Baik, Kanjeng Raden Tumenggung, saya pamit, sebab akan mengabarkan berita ini ke Tumenggung lainnya." Patih Kamandaka berpamitan, lalu naik menunggangi kudanya.
Pria bertubuh kekar itu menatap langit yang hampir pagi, dan ia terpaksa menggunakan ajian Saifi Angin yang dimilikinya agar segera cepat tiba didaerah wilayah Tumenggung lainnya.
Patih Kamandaka melesat bagaikan angin yang dapat memindahkannya dari satu tempat ketempat lainnya dengan waktu yang cukup singkat.
Pria itu sudah mengabarkan keseluruh Tumenggung yang ada dibawah naungan kadipaten Utara, dan mau tidak mau mereka akan menghadiri undangan yang telah disebarkan, dan tidak ada penolakan yang harus mereka lakukan.
Jika sampai mereka tidak hadir dalam pertemuan ini, maka daerah kekuasaannya akan diambil alih dan jabatan yang mereka sandang dicopot dengan paksa.
****
Pagi ini terlihat sangat sibuk di pendopo Adipati Bisrah. Ia duduk diatas kursi singgasananya yang merupakan impiannya selama ini.
Para dayang sudah berdiri disisi kanan dan kirinya yang siap untuk memberikan pelayanan kepada sang Adipati.
Dari kejauhan, terlihat para Tumenggung yang datang dengan berbagai moda tranportasi. Jika yang jaraknya dekat dengan kadipaten, mereka menggunakan pedati yang menggunakan gerobak lengkap dengan penutupnya.
Sedangkan yang jaraknya jauh, mereka menggunakan kuda sebagai tunggangannya.
Tak hanya itu, mereka masing-masing memiliki kesaktian berupa ilmu kanuragan Saifi Angin yang dapat membuat mereka tiba lebih cepat, dan itu sudah bukan hal yang rahasia lagi dikalangan para pejabat.
Para Tumenggung berjumlah sekitar dua puluh orang, dan mereka memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, dan hasil bumi yang melimpah.
Diantara mereka, terlihat Tumenggung Arya yang hadir dengan tatapan tenang, meski hatinya bergolak saat mengetahui jika Adipati yang baru adalah Bisrah
Jujur saja, ia sangat muak melihat sosok tersebut, sebab sebelumnya ia hanyalah seorang Patih kepercayaan dan berubah berbelot, yang mana kabarnya hal itu dilakukan dan didukung oleh Kerajaan Medang Jaya yang dipimpin oleh raja Arsana yang berada dipusat.
Adipati Wijaya mendapatkan pencopotan jabatan karena diduga tidak mau mengikuti aturan yang sudah ditetapkan untuk memungut pajak atau upeti kepada rakyat dengan jumlah yang sangat memberatkan.
Selama ini, Adipati Wijaya selalu menolak keinginan sang Raja, dan hal ini yang membuat pimpinan pusat terpaksa melengserkan Wijaya Ningrat, dan menggantinya dengan Bisrah yang dianggap dapat bekerja sama dan melancarkan semua aturan yang telah ditetapkan.
Pilar-pilar kayu yang berjumlah sepuluh tiang yang terbuat dari kayu pilihan tampak berdiri kokoh di ruang pendopo yang menampung para undangan.
Jamuan sudah siapkan, dan mereka duduk dengan teratur, sesuai tingkatan dan nomor undangan yang sudah siapkan.
Mereka sedang menunggu arahan dari Adipati Bisrah yang saat ini duduk dengan angkuh dan sombong, setelah berhasil menyingkirkan Adipati Wijaya.
"Selamat datang para Kanjeng Raden Tumenggung yang sudah memenuhi undangan saya." ia membuka pembicaraan pagi ini.
Para Tumenggung mencoba mendengarkan dengan seksama, meski mereka merasa tak suka dengan Adipati yang baru, apalagi mendengar segelintir gosip dengan kebijakan yang diterapkannya dan berusaha mencekik rakyat.
"Saya sebagai Adipati yang baru. Mendapatkan mandat untuk disampaikan kepada kalian semua, agar menandatangi perjanjian untuk tunduk dan patuh, serta bekerja dibawah tekanan Adipati Bisrah Utara, dan pernyataan ini tidak dapat diganggu gugat," ucap Bisrah dengan nada penekanan.
Hal ini membuat parang Tumenggung saling pandang satu sama lainnya.
Mereka menganggap jika kebijakan yang saat ini sedang dibuat oleh Adipati terlalu mengada-ada, dan sangat merugikan mereka.
"Maaf, Kanjeng Gusti Adipati Bisrah, saya rasa ini sangat berlebihan dan cukup merugikan banyak pihak terutama didaerah kepemimpinan saya. Upeti yang harus dibayarkan cukup besar, dan ini dapat membuat rakyat menderita," Tumenggung Chandra yang berasal dari wilayah barat berusaha menolak kebijakannya.
Hal itu ternyata diikuti oleh Tumenggung yang lainnya. Mereka ikut menolak kebijakan yang dibuat, dan mengajukan protes.
Bisrah yang mendengarnya beranjak bangkit dari duduknya, lalu menatap para Tumenggung yang dianggap sebagai pemberontak.
Ia menarik pedangnya dan mengacungkannya keatas. "Siapa yang berani menetangku, maka unung pedang ini akan menjadi saksi sebagai kematiannya, bukan hanya diri kalian sendiri, tetapi seluruh keluarga akan aku penjarakan dan disiksa!" ancamnya nada yang tidak main-main.
Seketika para Tumenggung memucat. Mereka mengenal Bisra sebelumnya adalah Patih dari Adipati Wijaya Ningrat yang merupakan orang kepercayaannya.
Bisrah dikenal memiliki ajian Rawa Rontek, yang mana tidak dapat dikalahkan dan dibunuh sembarangan, sehingga kesaktiannya itu membuat para Tumenggung merasa takut untuk melawannya.
Ditambah lagi, Adipati Bisrah memiliki kemampuan berperang dengan taktik yang cukup lihai, sehingga para Tumenggung merasa takut, jika wilayah mereka nantinya akan diserang, jika tak menuruti keunginan sang Adipati.
Disisi lain, mereka merasa bagaikan buah simalakama. Dimana jika mereka menandatangani perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak saja, sebab sewaktu-waktu, wilayah mereka bisa saja dicaplok sesuka hatinya.
Dengan rasa keterpaksaan, akhirnya mereka menandatangani perjanjian, namun diantara mereka, seorang Tumenggung yang sedsri tadi hanya diam dan mengikuti, menyusun strategi untuk melakukan perlawanan secara masif dan terstruktur.
Melihat para Tumenggung menandatangani perjanjian secara tertulis, maka Bisrah mengulas senyum liciknya dengan begitu lebar.
~Adipati setingkat dengan Gubernur pada masa sekarang, dan Tumenggung setingkat dengan Bupati.
Maka seorang Adipati memiliki kekuasaan yang cukup besar pada masa pemerintahan sebelum kemerdekaan pada tahun 1945.
Adipati adalah pemimpin sebuah wilayah yang bersifat otonom, dan ia membangun daerahnya sendiri dengan hasil bumi yang dimilikinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!