NovelToon NovelToon

Angkot Jemputan

(Bagian 1 : Mbak Rosa)

“Baru pulang Mbak?” Aditia menyapa penumpang mobil angkotnya.

“Iya Dit, biasalah shift siang jadi pulangnya malam.” Rosa yang seorang buruh pabrik penggulung kabel menjawab angkot langganannya.

Rosa biasa duduk di depan saat menumpang angkot, terlebih supirnya Aditia, dia sangat percaya bahwa Aditia adalah orang yang ramah dan sopan. Tidak seperti supir angkutan yang lain, cenderung kurang ajar kalau sudah malam.

“Dit, sepi ya nggak kayak biasa.” Rosa bertanya.

“Ah enggak kok, rame.” Aditia tersenyum.

“Untung nggak ujan ya Dit, kalau nggak susah jalan dari pabrik keluar.” Memang pabrik tempat dia bekerja jauh dari jalanan besar tempat angkot mangkal.

“Besok saya nggak narik ya, jadi naik aja yang lewat duluan, jangan pulang terlalu malam, kasihan anak-anakmu Mbak, nungguin di rumah.” Rosa memang janda anak 3, suaminya pergi dengan perempuan lain, Rosa merasa nyaman bercerita karena Aditia memang orang yang baik dan enak diajak ngobrol, makanya mereka terlihat akrab.

“Kamu tau aja aku nungguin kamu, abis kalau yang lain aku takut Dit, maklum, aku kan perempuan, udah malam juga, walau bajuku tertutup gini tetap aja kalau niatnya jahat mah.”

“Iya makanya aku bilangin, kalau perlu minta jemput ojek langganan aja ya, Mbak.”

“Nggak Dit, mahal, kan rumah Mbak Jauh.”

“Yaudah yang penting hati-hati aja yang mbak.” Aditia mengingatkan kembali. Aditia memang menganggap Rosa seperti kakaknya sendiri, karena dia melihat sosok ibunya dalam diri Rosa. Berjuang sendirian merawat 3 anak. Bedanya kalau Rosa ditinggal suami karena perselingkuhan, kalau ibunya Aditia ditinggal meninggal oleh ayahnya dan angkot inilah satu-satunya warisan dari beliau.

...

“Baru pulang Ka?” Dita, adiknya Adit bertanya.

“Iye, Mana ada makanan nggak?” Aditia bertanya.

“Tuh di meja makan, ibu udah tidur sekitar 30 menit yang lalu lah. Nungguin lu tau, pulang malem banget jam berapa ini.” Dita menunjuk jam dinding yang sudah menunjukan pukul dua lewat sepuluh malam.

“Bawel," jawab Aditia.

“Lu yang rese, angkot tuh biasanya cuma sampe jam sepuluh, trus pulang. Nah elu jam dua lewat baru pulang, nganter setan lu!”

“Huss .... “ Aditia menutup mulut adiknya dengan telapak tangan.

“Napa?” Walau sudah ditutup Dita masih bisa bertanya.

“Ntar disamperin setan lu.” Aditia menakuti adiknya yang memang sangat penakut.

Seketika Dita langsung memeluk kakaknya dengan serampangan, Aditia tertawa puas karena berhasil mengerjai adiknya, walau yang dikatakan Dita tidak sepenuhnya salah.

“Dah lepas, berat lu, nggak nyadar diri badan gede masih aja penakut.”

“Elu yang rese, udah ah gue mau tidur di kamar.” Dita dan ibunya tidur sekamar, karena memang rumah mereka yang hanya memiliki 2 kamar.

“Dit,”Aditia memanggil Adiknya, menyalakan senter dari telepon genggam dan mengarahkan ke wajahnya sendiri, tepat saat Dita menengok.

“Kak!!!” Dita langsung kabur ke kamar ibunya.

Tok ... tok ... tok ....

Ada yang mengetuk pintu ketika Aditia sedang menikmati makanan sederhananya. Dia memang tidak pernah makan di luar, selalu pulang jika merasa lapar.

Aditia melihat jam menunjukan pukul tiga dini hari.

Dia lalu mendekati pintu, saat dia sudah dekat pintu ketukan menjadi keras dan tidak beraturan.

“To-looonggg .... “ Suara berat dan parau datang dari balik pintu, Aditia mengambil sesuatu dari kantung celana jinsnya.

Ketukan di pintu kembali berbunyi namun perlahan seperti semula.

Aditia mulai merapal,

“Diteuteup ti hareup sieup,

Mikaeunteup mikasieup,

Mangka eunteup mangka sieup,

Ka awaking,

Ti luhur kuwung-kuwungan,

Panca buana di buana panca tengah,

NYINGKAH SIA!!!”

Bersamaan dengan teriakan mengusir, dia juga menekan benda yang dia ambil dari kantung celananya ke pintu, sehingga benda itu menempel di pintu, ketukan pintu masih ada tapi sangat lemah sekali, lagi Aditia menempelkan benda itu dengan tangannya ke pintu dengan lebih rapat dan seketika suara dari luar berhenti.

...

“Mbak Rosa, ayo naik.” Tidak seperti biasanya Rosa yang langsung sadar kalau angkot Aditia lewat, Aditia harus berkali-kali memanggilnya kali ini.

“Kok tumben nggak ngeh kalau saya lewat?” Aditia bertanya. Rosa hanya menunduk.

“Mbak, ada masalah?” Aditia bertanya lagi, sementara yang ditanya masih tertunduk.

Udara malam terasa lebih dingin, Aditia sesekali menatap Rosa yang masih saja menunduk.

“Mbak? anak-anak sehat?” Aditia mencoba mencairkan suasana lagi.

“Dit, berhenti disini,” Rosa berbicara. Akhirnya setelah hampir 30 menit mereka saling diam.

“Kenapa Mbak?” Aditia heran, tapi tetap memberhentikan laju kendaraannya dekat gerbang areal pemakaman, Aditia tidak ingin berhenti terlalu lama di sini.

“Dit benar kata kamu ya, ternyata angkot kamu ini rame setiap malam.” Rosa berbicara dengan tatapan kosong ke depan.

Aditia melotot dan bertanya, “Memang apa yang mbak lihat?”

“Mereka.” Rosa menunjuk kebelakang angkot Aditia, tanpa menolehkan badan, hanya jarinya yang menujuk ke arah belakang.

Aditia lemas dan memperhatikan seluruh tubuh Rosa dengan seksama, Aditia memang jarang sekali melihat jelas tubuh penumpangnya, karena itu tidak sopan, apalagi seseorang yang duduk di sebelah supir, bisa dianggap pelecehan. Tapi kali ini dia terpaksa memperhatikan tubuh Rosa dan memastikan sambil berharap bahwa apa yang dia sangka itu salah.

“Mbak!!!” Aditia menangis setelah berteriak memanggil nama Rosa, dia menangis seperti anak kecil dengan air mata yang luruh tak henti.

“Adit, Mbak udah coba nurutin seperti yang kamu bilang, naik angkot yang pertama lewat, tapi memang sepertinya hari itu adalah waktunya Mbak.” Rosa menangis.

“Hari itu setelah tiga hari kamu nggak ngangkot, Mbak pulang larut sekali karena Mbak Shift siang dan pulang jam sepuluh malam tapi lanjut lembur untuk menambah uang karena si bungsu mau masuk sekolah, mbak jadi pulang larut sekali, jam 11 malam baru pulang. Mbak naik angkot pertama yang mbak temuin. Memang agak mencurigakan karena tidak lama beberapa pemuda naik, mereka berbau alkohol, Mbak duduk di samping supir seperti biasa, tapi entah kenapa tiba-tiba si supir membelokan angkotnya ke pemakaman ini.”

Aditia masih menangis tapi fokus mendengarkan.

“Setelahnya angkot itu berhenti di tengah pemakaman, mereka memaksa Mbak turun, lihat Adit.” Rosa menunjukan kedua tangannya. “Mbak tidak pakai perhiasan, memakai pakaian yang tertutup. Tapi, lihat Adit apa yang mereka lakukan.” Rosa menunjukan perutnya.

Perut itu sudah tertancap sebuah kayu yang terlihat tajam dikedua sisi, darah segar keluar dari perut itu, Aditia menangis lagi.

“Mereka memperkosa Mbak beramai-ramai, lalu membunuh Mbak dengan kayu ini. Mereka mabuk Adit, sakit sekali rasanya. Mereka mengubur Mbak yang masih dalam keadaan kotor di pemakaman ini dengan tidak layak.”

Rosa menunjukan tempatnya, Aditia dan Rosa sudah di dalam areal pemakaman.

“Tolong Mbak, Adit. Sudah seminggu mereka menunggu Mbak pulang, anak-anak Mbak, Adit.”

Adit mengangguk dan menelpon polisi, mencari jejak kejahatan pemuda-pemuda itu, setelahnya datang polisi dan menggali kuburan yang ditunjuk Mbak Rosa, tentu polisi yang biasa dia hubungi.

“Berapa pemuda Dit?” Pak Dirga yang seorang kepala polisi divisi kejahatan bertanya, lelaki ini sudah mengenal Aditia sejak kecil, dulu sekali ayahnyalah yang selalu melapor kejadian seperti ini.

“Rosa bilang lima Pak, satunya supir angkot, tapi ciri-ciri yang dikatakan Rosa tidak aku kenal, mungkin supir aplusan karena aku kenal semua supir angot di trayek ini.”

Pak Dirga menghembuskan nafas dan berdoa untuk Rosa.

“Katakan pada Rosa, pulanglah ke alamnya, di dunia akan menjadi urusanku,” Pak Dirga berkata.

“Mbak, jangan khawatir,tiga anak Mbak akan aku bantu bertemu dengan orang baik agar mereka tetap bisa bersekolah, aku sudah punya donatur tetap untuk anak-anak yatim piatu, tanpa mereka harus ke panti asuhan. Ikhlas Mbak, setelah ini biarkan nenek mereka merawatnya.”

Rosa mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu pergi bersamaan dengan munculnya wangi melati dari kubur yang telah tergali. Di sanalah jasadnya dikubur dengan hina, tapi sekarang dia akan dikubur dengan layak dan kembali kepada Tuhannya.

Aditia kembali ke angkotnya dan melihat penumpangnya masih ada lima, sekarang dia harus mencari kepala Pak Asep, katanya dia di begal dan kepalanya dipenggal dengan golok lalu di tinggalkan begitu saja di semak dekat kali, tidak sulit mencari kali sesuai ciri-ciri yang Pak Asep katakan.

Lalu ada seorang kakek yang ditinggalkan kelaparan oleh cucunya yang merantau jauh, kakinya sudah membusuk, Aditia menghela nafas dan mulai membayangkan Dita bakal ngomel-ngomel lagi, tapi mau gimana lagi, ini amanah dari Ayah.

...

Namanya Aditia, saat ini dia berumur 22 tahun, masuk kuliah di Universitas Indonesia karena dapat beasiswa, kalau pagi dia kuliah sore narik angkot, dia harus kuliah dan kerja karena ayahnya sudah meninggal, satu-satunya yang mencari nafkah adalah Aditia, dia harus membiayai ibu dan adiknya, walau terkadang ibu mengambil job catering di tempat orang, tapi itu tidak cukup untuk kebutuhan mereka sehari-hari.

Pada umur Aditia yang ke 20 tahun, ayahnya sakit-sakitan dan akhirnya kritis karena penyakit yang sampai sekarang menjadi misteri bagi keluarga mereka, tapi bukan itu yang membuat hidup Aditia berubah, Aditia seorang anak muda milenial harus memegang amanah dari ayahnya, amanah yang jika siapapun mendengarnya akan tertawa bahkan menghina.

“Nak, kemudikan angkot ini, terima semua jenis penumpang dan antarkan mereka dengan segala keperluannya.” lalu ayahnya memberikan keris mini ke tangan Aditia, benda yang selalu ada di saku celananya, karena mereka yang meminta tolong terkadang adalah jiwa yang jahat dan bermaksud mengambil alih tubuh manusia yang peka. Makanya Ayahnya Aditia mewanti-wanti untuk melihat lebih jauh saat menolong orang.

Awalnya Aditia takut, tapi setelah membantu beberapa makhluk yang tersesat, akhirnya Aditia sadar, amanah ayahnya adalah tanggung jawab yang telah Tuhan berikan pada mereka yang terberkahi.

Karena itu, kuliahnya terbengkalai dan belum juga diselesaikan, karena tugas sebagai seorang kepala rumah tangga dan pengemban amanah dari ayahnya.

Dari sanalah kisah Aditia berawal, sang supir penjemput jiwa yang tersesat.

_____________________

Catatan Penulis :

Aditia, lelaki muda yang mencoba mengatarkan semua makhluk, baik terlihat maupun tidak, mampukah dia?

Jangan lupa Like, Vote dan Coment ya.

(Bagian 2 : Ayah & Aku)

Tahun 2005

“Adit mau ikut Ayah?” Pak Mulyana bertanya pada anaknya yang baru berumur delapan tahun.

“Mau, tapi beliin ciki ya Ayah?” Aditia suka sekali ikut ayahnya narik angkot, sebenarnya Pak Mulyana enggan mengajak Adit karena dia pasti akan pulang dini hari. Tapi mimpi itu jelas, sebuah wasiat yang tidak bisa diabaikan ataupun ditolak, seperti dulu ayahnya Pak Mulyana atau kakeknya Aditia mewariskan pada dirinya. Pembukaan kembali mata batin.

“Ayah dia minta naik.” Adit menunjuk keluar angkot yang  melewati pinggiran hutan, tempat dimana Mimpi terlebih dulu membawa pak Mulyana kedalam hutannya, Pak Mulyana memberhentikan laju kendaraan dan membiarkan makhluk itu masuk.

“Mau kemana Nek.” Pak Mulyana bertanya, bau melati semerbak di mobilnya.

Nenek dengan kebaya hijau dan kain jarik yang dililit sebagai roknya terkekeh, udara sekitar menjadi lebih dingin selain karena nenek itu, mungkin karena sudah jam satu malam juga.

“Itu ada lagi Ayah.” Adit menunjuk keluar, kali ini anak kecil berdiri di pinggir sawah. Setelah hutan ada persawahan membentang, sebenarnya ini bukan trayek angkotnya Pak Mulyana, tapi dia harus kesini karena ‘tugas’. Pak Mulyana tidak memberhentikan angkotnya.

“Kenapa nggak berhenti Ayah?” Aditia bertanya.

“Dia jin yang menyamar Nak, jangan dihiraukan. Dia melihatmu makanya dia keluar.”

“Nenek ini juga jin?” Aditia bertanya.

“Dia jiwa yang tersesat, mari kita bantu dia pulang Nak.” Pak Mulyana mengajak Adit untuk kesekian kalinya mengantar pulang jiwa yang tersesat.

“Nenek, pulangnya kemana?” Nenek yang duduk di bangku paling belakang angkot pak Mulyana menengok, kepalanya berputar sedang badannya masih ditempat yang sama, bibirnya tersenyum lebar melewati batas garis yang seharusnya, lalu keluar darah dari garis bibir itu.

“Dia nggak akan takut, dia udah biasa liat hal seperti yang kamu tunjukan.” Pak Mulyana menegur nenek itu yang mencoba menakuti Adit.

“Pulang Ni, anak cucumu menunggu, kasihan mereka.” Sekali lagi Pak Mulyana membujuk.

“Teu hoyong uih. (Tidak mau pulang)." Nenek itu menjawab kepalanya masih saja menatap Adit.

“Kunaon? (Kenapa?)" Pak Mulyana bertanya.

“Cing cangkeling manuk cingkleng cindeten

plos ka kolong bapa satar buleneng

Kleung dengdek buah kopi raranggeuyan

Keun anu dewek ulah pati dihereuyan

Cing cangkeling manuk cingkleng cindeten

plos ka kolong bapa satar buleneng.”

Nini bernyanyi lagu Cing Cangkeling dengan nada yang begitu menyayat hati, biasanya lagu ini dinyanyikan dengan nada riang oleh anak-anak.

“Upami teu hoyong uih, teras bade kamana?” (kalau nggak mau pulang lalu mau kemana?) Pak Mulyana bertanya.

“Nuturkeun anjeun, nuturkeun kasep. (Ikut kamu, ikut anak kamu)."

Pak Mulyana memberhentikan laju kendaraannya dan berbicara, “Abdi teu bisa ngajak anjeun, Incu ngantosan di bumi, hayu uih nyak. (saya nggak bisa ajak kamu, anak cucu menunggu di rumah, ayu pulang)."

“Maneh teu nyaho saha aing!” Nenek itu berubah menjadi kasar, tubuhnya membesar, rambut putihnya yang semula tersanggul rapih menjadi berantakan, kebaya dan kain jariknya compang-camping.

“Adit, jangan lihat kebelakang ya, Ayah mau ngomong dulu sama Nini.” Pak Mulyana ke bagian belakang mobil, tempat dimana biasanya penumpang duduk dengan formasi empat dan enam. Mulyana menutup sekat yang memang dia pasang antara supir dan penumpang sehingga Adit tidak bisa melihat apa yang terjadi di belakang. Aditia menurut untuk tetap di dalam dan tidak keluar.

Sementara Pak Mulyana duduk bersila di bagian belakang angkotnya berhadapan dengan Nini yang sudah berdiri dengan membungkuk karena tubuhnya yang berubah menjadi besar.

“Uih sareng abdi, upami teu hoyong uih, hayang jadi setan anu teu ditarima bumi?! (Pulang bareng saya, kalau nggak mau, apa mau jadi setan yang tidak diterima bumi?!)" Pak Mulyana mulai keras, untuk berjaga-jaga dia mengeluarkan keris mininya dan menaruh di telapak tangan, keris itu menempel sempurna walau tidak di genggam.

Nenek itu mendekatkan wajahnya yang berukuran tiga kali lipat kepala orang dewasa, bau melati berganti menjadi bau busuk, darah menetes di lantai angkot.

“Bejakeun ka Incu, aing hayang aranjeun PAEH!!! (Bilangin ke anak cucuku, aku ingin mereka semua mati!!!)" Suara nenek itu berubah menjadi berat dan menyeramkan, Pak Mulyana masih berusaha tenang, walau saat ini nenek itu berusaha meraih lehernya dan mencekik dengan kencang.

Pak Mulyana menempelkan keris pada kening nenek itu, seketika dia kepanasan dan berlari ke ujung angkot, tubuhnya berangsur kembali seperti semula.

“Hampura .... (Maaf)" Pak Mulyana meminta maaf dan mendekati nenek yang sudah duduk di pojok ketakutan.

“Uih Ni, incu parantos ngalaman. (Pulang nek, anak cucu sudah menderita)." Pak Mulyana mengelus kepala jiwa nenek yang terluka karena sakit hati oleh anak cucunya.

“Anterkeun abdi, bade uih sareng anjeun jeng kasep. (Antarkan saya pulang, mau sama kamu dan anak kamu dianternya)."

Nini Karti memiliki dua orang putra yang sangat sukses. Dari dua orang putra dia memiliki tujuh orang cucu. Ni Karti tinggal di pedalaman bandung, sementara anak cucunya tinggal di kota besar meninggalkan dia sendirian setelah sukses.

Nini Karti kecewa karena untuk menjadikan anak-anaknya sukses dia terpaksa melakukan pesugihan dengan tumbal suaminya sendiri, tapi setelah sukses kedua putranya meninggalkan dia sendirian, karena marah dan sudah renta atas pengabaian anaknya, dia bersumpah akan membuat anak cucunya mati perlahan.

Begitulah jiwa yang sudah tergadai pada iblis jahanam, maka tidak ada belas kasih sebagai seorang ibu dihatinya, kemarahan membuatnya lupa bahwa bayi yang dulu dia lahirkan bisa saja sedang Khilaf dan lupa ibunya, tidak seharusnya dia mengucap sumpah bala.

Sementara anak cucunya menderita dan kembali pulang menemui dirinya, Nini Karti bahkan tidak bisa lagi melihat mereka dengan raganya, karena sumpah yang dia ucapkan adalah sumpah bala yang mengorbankan si pemberi bala yaitu dirinya sendiri, dia tidak mati ataupun hidup, dunia medis menyebutnya koma.

Setelah jiwa Nini Karti pulang dan masuk ketubuhnya, maka sakaratul maut menyambut diiringi pelepasan semua pegangan yang dia miliki, lalu kembalilah jiwa dan raganya pada Tuhan. Anak cucunya memohon maaf dan mulai memperbaiki diri, belajar dari kesalahan ibunya dan menata hidup dengan mendekatkan diri pada Tuhan.

Bagaimana Pak Mulyana bisa menolong Nini Karti? Itu karena dia bermimpi bertemu dengan suami dari Nini Karti yang meminta pertolongan, menyelamatkan keluarganya dari kehancuran, maka disinilah dia sekarang, membawa pulang jiwa tersesat Nini Karti. Bagaimana suaminya bisa minta tolong, karena dikalangan jiwa tersesat, nama Pak Mulyana sangat terkenal, buat manusia dia hanya supir angkot, tapi buat ‘mereka’ Pak Mulyana adalah orang mulia yang mau membantu dengan tulus.

Setelah meninggalnya Pak Mulyana maka nama Aditia lah yang menjadi begitu terkenal, anak muda pandai, yang tampan, membantu mereka yang tersesat.

...

“Adit tidak takut?” Suatu ketika masih diumurnya yang belum genap sepuluh tahun Pak Mulyana bertanya.

“Takut apa Ayah?” Aditia memakan es krim yang dibelikan ayahnya sebelum mereka mulai narik Angkot ke tempat bukan trayek angkotnya, tapi tempat dimana ‘tugas’ menjemput harus dilaksanakan.

“Mereka.” Pak Mulyana menunjuk sesosok yang berdarah dari ujung kepala hingga kakinya, jin yang menyamar menjadi korban tabrakan.

“Enggak, kan udah sering liat. “Aditia memang terbiasa melihat yang lain dari bentuk manusia, karena dari lahir memang dia sudah bisa melihat mereka.

“Tapi masih tetap pegang janji kan?” Pak Mulyana memastikan.

“Iya, nggak boleh bilang sama ibu sama ade juga. Soalnya Adit beda makanya nggak takut, kalau Ibu sama Ade takut.”

“Pintar kamu nak, ini rahasia Adit dan Ayah ya.” Ayahnya Adit mengusap kepala Adit dan menciumnya.

“Adit Ayah tau setelah ini, setelah kamu menggantikan Ayah pasti akan berat untukmu, tapi sebisa mungkin Adit akan Ayah ajari menghadapi mereka, memilah mereka dan mengantarkan mereka sampai pada tujuannya, selain mental Adit juga harus belajar ilmu bela diri ya, karena mereka yang berjenis jin terkadang bisa menyentuh kita melalui orang yang mereka tumpangi, lindungi dirimu dengan agama dan ilmu beladiri, jangan lupa mintalah perlindungan pada Tuhan.”

Nasehat Pak Mulyana saat itu memang tidak dimengerti Aditia kecil, tapi setelah dewasa barulah Aditia mengerti kenapa Ayahnya begitu keras dalam soal agama dan ilmu beladiri, Aditia kecil tumbuh lebih dewasa dibanding teman sebayanya, Aditia kecil menjadi pribadi riang dan tampan tidak takut oleh hal-hal yang tidak diliat orang lain, karena pemahaman yang baik diberikan oleh ayahnya. Walau tetap setelah ayahnya meninggal, warisan pekerjaan di luar nalar yang diberikan ayahnya membaut ia syok dan sempat lupa pelatihan yang diberikan selama ini.

Perlahan tapi pasti Aditia menjadi pribadi yang mirip bahkan lebih baik dari Pak Mulyana, dikalangan mereka yang tak terlihat, Aditia dikenal dengan nama KASEP ....

...

Tahun 2019

“Hei, hei, hei .... “ Ada suara dari belakang tengkuknya itu.

Aditia mengusap tengkuk lehernya.

Lelaki itu mendekati Aditia, dia duduk tepat di belakang bangku supir, dia meniup-niup tengkuk Aditia dengan mulut birunya.

Aditia berusaha untuk mengabaikan apa yang dilakukan lelaki itu, karena dia masuk ke mobil bahkan tanpa dipersilahkan, dari jenisnya dialah paling jahil. Dia dikenal dengan nama Al-Amir, jin paling iseng dan tentu saja menakutkan, dia paling suka menakut-nakuti orang secara frontal, apalagi orang yang peka seperti Aditia.

“Kau tidak takut pergi ke tempat sepi seperti ini? bukankah ini bangunan rumah tua? untuk apa kau kesini, pulang saja.” Jin iseng itu berbicara tepat di tengkuk Aditia, dingin sekali rasanya, tapi dia tidak mudah diusir.

Aditia keluar dari mobil, saat ini dia memarkir mobilnya di pelataran rumah kosong yang memiliki bangunan sangat besar, luas tempat kosong ini mencapai satu hektar, untuk mencapai bangunan dari gerbang masuk, kita harus berjalan sekitar seratus meter, karena sudah tidak berpenghuni hampir lima belas tahun, maka sepanjang jalan dari gerbang sampai bangunan, ada banyak pohon besar menjulang yang hampir menutupi jalan.

Gelap sekali, untung Aditia mengendarai angkot, jadi dia tidak perlu jalan kaki, terbanyang bagaimana mencekamnya jika dia harus menjemput dengan berjalan kaki.

“Hei, kau yakin berani?” Jin iseng itu sudah berada di samping Aditia, lalu perlahan tangannya memegang bahu Aditia dan kakinya diangkat lalu ditekuk, seketika Aditia menggendong jin itu. karena kaget reflek Aditia mencoba melepaskan gendongan, tapi jin itu tertawa cekikikan karena memegang bahu Aditia dengan erat, kakinya mengikat pinggang Aditia dengan kencang.

“Bisakah kau meninggalkanku sehari saja, kenapa kau selalu ikut!” Aditia kesal karena jin ini susah sekali diusir, posisinya masih menggendong Aditia.

Bukannya turun jin itu menjulurkan lidahnya ke pipi Aditia dan menjilatnya dalam sekali usapan, Aditi berteriak, sakit dan panas sekali rasanya.

Belum masuk kerumah kosong itu untuk menjemput, kenapa harus hari ini juga si jin iseng ini ikut numpang di angkot, itu yang Aditia rasakan.

“Lepas atau kukeluarkan kerisku!” Aditia kehilangan kesabaran.

“Kalau kau keluarkan kerismu, maka kawananku akan memburumu, ingat aku bukan satu dan aku akan mengikutimu sampai akhir hayat, karena menaklukanmu akan menjadikanku panglima setan, kau harus pulang, ingat ibumu menunggu, adikmu juga, pulanglah!” Jin itu berbisik di telinga Aditia.

“Baiklah jika kau ingin kugendong, maka ikutlah bersamaku ke dalam.” Aditia berjalan perlahan karena berat menggendong jin, tapi langkahnya takkan terhenti untuk menjemput tamu istimewa dari rumah ini, tamu yang ayahnya gagal jemput setelah sekitar lima kali dikunjungi, sampai akhir hayat, ayahnya Aditia tidak mampu membawa jiwa dari penghuni rumah kosong ini.

Maka setelah dua tahun Aditia ‘bertugas’ menggantikan ayahnya, saat inilah Aditia siap menghadapi ....

“Selamat malam Nona, Ayuk pulang .... “

___________________________

Catatan Penulis :

Part ini aku fokuskan pada ayah Adit ya biar landasannya jelas, kalau yang udah pernah baca cerbungku yang judulnya KARUHUN (sudah tamat versi FB) pasti terbiasa dengan alur maju mundur khas kepenulisanku, yang kurang nyaman sama alur atau plotnya, mohon maaf memang seperti ini caraku menulis, aku tidak terbiasa menjelaskan sesuatu dengan detail memaksa si pembaca mengerti dengan alur yang halus, terkadang malah tidak ada penjelasan apapun ini bisa dilihat di creepy storyku yang sudah bertebaran, pembaca lamaku pasti sudah hafal caraku menulis, walau terkadang mereka mengeluh karena aku tidak memberi penjelasan, tapi memang begini caraku menulis.

Selamat menikmati, yang belum add akunku, add ya, karena aku pasti lebih dulu up lanjutan part di akunku.

Yang belum like jangan lupa like, yang belum coment ayo dong coment, jgn gara2 catatan penulis jadi takut coment ya, aku terbuka pada krisan, apalagi coment yang nyenengin bikin aku kebut nulis partnya.

Love kiss ....

Mukakanvas/RPs

(Bagian 3 : Nona)

Dengan langkah berat Aditia masuk ke dalam rumah dengan bangunan yang besar. Sebelum mencapai pintu masuk dia harus menaiki anak tangga yang tidak terlalu tinggi, lalu antara tangga dan pintu masuk ada halaman yang membentang sepanjang dua meter, setelahnya baru lah pintu masuk.

Kriettt ...

Aditia memutar gagang pintu bulat yang bergaya seperti tahun sembilan puluhan berwarna emas, walau tidak terawat warna emasnya masih terlihat jelas dengan pengelupasan di beberapa bagian.

“Kau benar akan bertahan di punggungku?” Aditia berkata pada jin usil yang masih ada di punggungnya.

Jin itu mengangguk saja dan tersenyum dengan taring yang tajam di kedua sisi kanan dan kiri mulutnya.

Aditia membuka pintu rumah itu lebar-lebar, begitu masuk, Aditia melihat kolam yang tidak ada air. Sepertinya ini dulu kolam ikan, kolam yang cukup besar hanya untuk tempat tinggal ikan, disana banyak debu dan batu-batu yang berserakan. Aditia terus berjalan masuk makin ke dalam, mencari Nona yang tidak mau pulang.

“Nona .... “ Tidak ada jawaban, dia melanjutkan berjalan makin kedalam, melewati beberapa pintu yang terlihat seperti pintu kamar. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada tangga menuju lantai atas, lagi-lagi gaya tangga tahun sembilang puluhan, dimana pegangan tangganya memiliki bandul disetiap anak tangga berwarna emas, bandulnya mirip kubah tapi dalam ukuran mini.

“Hei.”

Aditia menengok ke arah atas, karena dia mendengar suara itu dari sana, saat melongok dia melihat di ujung tangga ada sesosok wanita yang menghadap belakang, dengan gaun putih yang panjang hingga menutupi kakinya, bahkan gaun itu masih terhampar di beberapa anak tangga bawahnya. Wanita itu berambut panjang  bergelombang, rambutnya tergerai hingga mata kaki, Aditia perlahan naik ke atas tangga.

“Nona .... “ Aditia berusaha memanggil sosok itu, walau dia tak yakin apakah dia Nona yang dimaksud ayahnya.

Wanita itu berjalan maju, Aditia mengejarnya dengan perlahan, saat ini mereka sudah di lantai dua rumah ini, ternyata tangganya cukup tinggi dan meliuk ke arah kiri.

“Kau yakin akan membujuknya? ayahmu saja tidak mampu, apalagi kau bocah ingusan.” Jin itu berkata di telinga Aditia, dan masih saja menggendongkan diri.

“Turun kau, kalau tidak aku benar-benar akan mengeluarkan kerisku.” Aditia sudah muak dengan setan ini.

Jin itu turun karena tau Aditia sudah tidak main-main, sekarang ruang gerak Aditia lebih ringan.

Di lantai dua rumah ini ada tiga pintu yang terbuka, sepertinya kamar-kamar pemilik rumah. Pintu itu terbuka lebar, Aditia bisa melihat di kamar sebelah kiri tangga yang letaknya paling dekat tangga, ada box bayi usang, walau Aditia tidak masuk, dia bisa melihat box bayi itu dengan jelas, ada beberapa boneka yang jatuh di lantai. Lalu Aditia berjalan lagi maju kedepan, di kamar kedua sebelah kanan yang letaknya melewati kamar pertama tadi Aditia melihat tempat tidur besar yang sudah usang dan kotor, mungkin ini kamar utama melihat dari kasurnya yang besar dan ruangannya sekitar tiga kali lipat dari kamar yang ada box bayinya tadi.

Wanita bergaun putih dan berambut panjang itu masih membelakangi Aditia, jarak antara Aditia dan wanita itu hanya sepanjang tangan yang di luruskan, sudah sangat dekat, dari sini Aditia bisa mencium wangi melati.

“Nona, apa yang kau tunggu? ayo kita pulang.” Aditia mengulurkan tangannya mengajak wanita itu untuk ikut dengannya.

Wanita itu masih ditempatnya, Aditia tidak menyadari bahwa wanita itu sedang melihat ke arah depan, di mana tidak ada apa-apa di sana, tidak ada jendela, tidak ada lukisan yang biasanya akan menghiasi dinding, hanya dinding kosong yang tentu saja kotor dan mulai terlihat lapisan batu-bata di dalamnya.

“Nona .... “ Aditia memanggil lagi.

“Anakku boleh ikut?” Bersamaan dengan kata yang keluar dari mulut wanita itu, dia berbalik, Aditia terperanjat karena kaget, ternyata wanita ini sedang menggendong bayi berlumuran darah di tangannya, gaun putih kusam yang dia kenakan penuh dengan darah mulai dari dada hingga kaki, yang membuat Aditia kaget adalah karena bayi itu menangis seperti bayi pada umumnya. Wanita itu mendekati Aditia dan membuat dia terjatuh.

“Dia bayiku, bayi malangku.” Wanita itu semakin mendekat, entah kenapa Aditia merasa takut, takut yang tidak pernah dia rasakan selama puluhan tahun setelah memiliki penglihatan ketiga.

Energi wanita ini kelam sekali, wajahnya sangat tirus, tulang rahangnya terlihat jelas, matanya hitam, terdapat garis seperti akar berwarna hitam di seluruh bagian wajahnya, tangan dan kakinya hanya tinggal tengkorak. Aditia bukanlah anak baru dalam dunia Ghaib, bahkan penampakan yang lebih menjijikan pernah dia lihat. Tapi ini berbeda, ada energi yang tidak bisa dia jelaskan, yang membuat dia merasa takut dan lemas, Aditia merasa sendirian dan kesepian yang teramat sangat, hingga sesak mulai muncul di dadanya.

“Sudah kukatakan, kau tidak akan sanggup.” Jin iseng sudah berada di samping wanita itu, dia mencoba melemahkan keyakinan Aditia, sementara Aditia masih belum bisa berdiri, kakinya lemas. Dia merasa sudah membaca catatan Pak Mulyana berulang kali dan tidak menemukan catatan yang mengatakan bahwa dia memiliki anak.

Ayahnya menulis bahwa wanita ini bernama Gita, untuk menghormatinya, Pak Mulyana memanggil Gita dengan sebutan Nona, dia dan suaminya tinggal di rumah ini dari tahun 1994 sampai tahun 2000 sekitar enam tahun. Suaminya Gita seorang pengusaha kapal laut dan sekaligus kapten dari kapal miliknya sendiri, sudah bekerja dari sebelum menikah, Gita dan suaminya hidup bahagia, sampai suatu hari suaminya berlayar dan dinyatakan hilang saat kapal lautnya tenggelam pada tahun 1999.

Setelah mengetahui suaminya menjadi korban dari kapal laut yang tenggelam tersebut, Nona Gita, terjebak di rumahnya, tidak minum, tidak makan dan tidak keluar, dia mengurung dirinya sampai meninggal dunia, jasad dikuburkan tapi jiwanya masih menunggu suaminya pulang, suami yang tidak akan pernah pulang lagi selamanya.

“Anakku boleh ikut?” Nona Gita semakin dekat, hingga darah dari tubuh anaknya menetes ke tubuh Aditia.

“Siapa kamu?” Aditia merasa ada yang salah, tidak mungkin catatan ayahnya yang salah, karena pasti ayahnya telah meneliti dengan baik sebelum menjemput.

Wanita itu berjalan melewati Aditia dan berjalan ke arah tangga, Aditia bangun dan mengikuti wanita itu.

Dia berjalan dengan langkah yang tertatih karena kakinya hanya tinggal tulang saja, menuruni tangga satu persatu, tertawa cekikikan.

Langkah wanita ini terhenti di depan kolam ikan yang cukup luas, dia duduk dipinggiran kolam itu sambil berusaha menidurkan bayinya, bayi yang sudah berhenti menangis sesaat saat Aditia jatuh tadi.

“Ayahmu akan pulang segera ya nak, jangan menangis lagi, tidurlah.” Wanita itu mengayun bayinya, entah kenapa Aditia merasa yakin dia bukan Nona Gita yang ayahnya maksudkan.

Aditia berlari ke tempat dia memarkirkan mobil angkotnya, setelah sampai dia mencari buku catatan ayahnya yang dia taruh di dasboard, lalu dia membaca ulang. Buku itu berukuran 16 x 21centi meter, buku yang biasa anak sekolah pakai, tidak besar tapi cukup tebal karena Pak Mulyana menempelkan potongan koran juga di sana, sampai pada catatan tentang Nona Gita dan rumah besarnya, Aditia melihat ada artikel koran yang Pak Mulyana tempelkan, artikel itu berisi tentang berita kapal tenggelam dan dan daftar korban dari kapal tenggelam itu, ada Kapten yang bernama Pak Setiawan, dia memiliki istri yang bernama Gita. Lalu di halaman selanjutnya ada berita tentang seorang perempuan bernama Gita istri dari pemilik kapal dan juga kaptennya yang tenggelam meninggal dunia karena depresi.

Aditia merasa ada yang janggal, kalau artikel ini menjadi acuan ayahnya dalam menyangka penghuni ghaib rumah ini adalah Gita, bisa jadi ayahnya salah.

Saat dia berfikir keras, dia melihat ayahnya menuliskan Nona pada akhir artikel tentang kematian Gita yang ditempel di buku ini,  Aditia menyadari sesuatu dan berlari ke tempat di mana wanita itu duduk tadi.

Tidak ada, wanita itu menghilang bersama anak yang dia gendong, dari jendela sebelah kanan pintu masuk Aditia melihat Nona berjalan ke arah belakang rumah dari jalan samping yang berada diantara tembok pembatas lahan dan bangunan tempat tinggal, Aditia berlari mengejarnya.

Sampai di belakang rumah Aditia melihat rumput sudah tinggi bahkan hampir sepinggang, Nona masih saja berjalan tentu rumput tak menghalanginya karena dia bukanlah sesosok tubuh tapi sesosok jiwa. Aditia berlari dengan susah payah menyingkirkan rumput yang menghalangi.

“Nona .... “ Aditia memanggil wanita itu, tapi wanita itu masih terus berjalan menembus padang rerumputan.

“Mbak Nona!” Aditia berteriak dan seketika wanita itu berhenti, terusik dengan Panggilan Aditia.

Wanita itu berhenti dan mulai berbicara, “Mereka menguburku di sini.” Nona menunjuk kearah kakinya.

Aditia lega, karena akhirnya dia bisa menemukan petunjuk yang ayahnya berikan, bukan ayahnya yang salah, tapi Aditialah yang keliru mengenali perempuan yang belum terjemput ini, namanya bukan Gita, tapi namanya Nona, wanita yang meninggal itu bukan Gita istri dari pengusaha kapal laut yang tenggelam, tapi Nona, wanita yang tidak dikenal siapapun dan bisa jadi kematiannya pun sebuah misteri.

...

Tahun 1999

Seorang wanita kaya menyeret wanita lainnya ke luar rumah, rumah besar yang berdiri di lahan satu hektar. Suaminya adalah pengusaha kapal laut yang kaya raya, namanya Gita, dia menyeret pembantunya keluar rumah.

“Ampun Nyonya, ampun.” Pembantu itu ketakutan melihat kebengisan wajah nyonyanya.

“Pembantu sialan, bagaimana mungkin kau yang menjadi ahli warisnya sementara aku adalah istrinya!” Gita berteriak dengan kencang, sementara rumahnya yang begitu besar membuat teriakannya dan pembantu itu tertelan oleh deru suara kencang dari jalanan dan luasnya gerbang depan sampai ke bangunan tempat dia menyiksa pembantunya.

“Maafkan Nona, Bu Gita. Kami memang melakukan kesalahan tapi anak kami tidak bersalah, lepaskan anak kami aku tidak akan menggambil uang itu bu, aku mohon.” Nona, nama pembantu dari Gita, sang nyonya rumah. Dia memohon dengan menyentuh kaki nyonya rumahnya.

“Kau fikir aku bodoh? apa kau bilang? anak kami? anak haram itu kau sebut anak kami?” Gita makin marah, wajahnya sudah merah padam.

“Setiaji, kubur dia dan anak haramnya hidup-hidup.” Nyonya rumah memberi perintah.

“Pak Aji, bukankah dia keponakanmu juga? kenapa kau tega, dia anak kakakmu Pak Aji.” Nona memohon pada Setiaji.

“Harusnya kau pikirkan dulu sebelum berselingkuh dengan kakakku, lihat kau yang sengsara, kan?” Setiaji menendang wanita itu sampai mulutnya mengeluarkan darah.

“Bukankah kalian juga berselingkuh sampai Tuan Setiawan yang kesepian dan akhirnya mendatangiku! kau bahkan adiknya tapi kau berselingkuh dengan kakak iparmu sendiri!!!” Nona bangkit dan berteriak.

Gita Setiawan, dia adalah istri dari Kapten Setiawan, pemilik perusahaan kapal laut di jakarta, dia dan suaminya hidup bahagia sampai ketika Gita keguguran dan Kapten Setiawan terpaksa meninggalkan Gita untuk pergi berlayar, dalam duka kehilangan anak dan rahimnya karena kanker servik stadium tiga, mengangkat rahim adalah satu-satunya cara agar dia selamat pada tahun itu, akhirnya Gita terjebak pada hubungan kotor.

Gita kesepian, lalu Setiaji adik tiri Kapten Setiawan mulai mendekati kakak iparnya dengan maksud menumpang hidup, karena berbeda dengan kakak tirinya, Setiaji sangat pemalas dan hidup melajang dengan kemiskinan.

Tidak lama Kapten Setiawan bisa mencium aroma perselingkuhan mereka tapi tidak punya nyali mengungkapkan karena begitu mencintai Gita dan merasa bersalah karena meninggalkannya cukup lama dalam kesedihan kehilangan anak yang sudah dinanti hampir sepuluh tahun.

Nona, pembantu cantik yang ikut tinggal di rumah mewah itu sejak masih belia, harus terseret ke dalam hubungan rumah tangga yang rumit, dia dan Kapten Setiawan terjebak dalam kekecewaan pada takdir akhirnya melakukan hubungan gelap, hubungan kotor yang sama, yang istri dan adik tirinya lakukan, sayang muncul anak laki-laki dalam hubungan terlarang antara Nona dan Kapten Setiawan di rahim Nona.

Karena anak itu, rasa cinta Kapten Setiawan hilang pada istrinya, naas kecelakaan itu terjadi, kapal laut Kapten Setiawan tenggelam, ayah dari anak yang baru dilahirkan itu ikut menjadi korban, kekasih Nona sekaligus ayah anaknya harus meregang nyawa dalam gelapnya lautan.

Setelah mengetahui hubungan antara Nona dan suaminya, Gita meradang, apalagi Nona mampu melahirkan anak untuk suaminya, hal yang dia tidak bisa berikan untuk lelaki mana pun di dunia ini.

Kematian Kapten Setiawan membuat sakit hati Gita sedikit terobati, karena warisan dan uang asuransi akan segera menjadi miliknya, tapi malapetaka itu datang ketika pengacara Kapten Setiawan datang dan memberitahu bahwa semua harta kekayaan termasuk warisan sepenuhnya menjadi milik Nona, ibu dari anaknya.

Segera setelah kabar itu diketahui Gita, dia mempersiapkan kematian Nona dan anak suaminya, bersama dengan Setiaji, dia adalah kriminal kawakan yang bisa membantu Gita memalsukan kematiannya dan menjadikan Gita sebagai Nona, maklum pada tahun 1999 tidak ada tekhnologi canggih untuk memverifikasi identitas seseorang, ditambah Nona tidak mempunyai dokumen yang menjelaskan identitasnya, dia di bawa dari kampung oleh Gita dan dipekerjakan sebagai pembantu dari umur belia tanpa dokumen identitas.

Lalu muncul lah artikel kematian palsu Gita dan lenyapnya Nona serta anaknya yang memang tidak pernah diketahui publik.

“Pantas Ayah tidak bisa menjemputmu sampai lima kali.” Aditia berkata setelah melihat semua kejadian tadi. Tentu visual ghaib yang Nona tunjukan, dari ingatan jiwanya.

“Ayah tidak tau namamu makanya setiap kali dia menjemput kau menolaknya, sayang saat akhirnya ayah tau namamu, Tuhan keburu memanggilnya, dia hanya sempat menulis nama Nona di ujung artikel kematian Gita. Aku yang salah, karena menyangka Ayah memanggil Gita dengan sebutan Nona Gita untuk menghormatinya, tapi aku lupa Gita bukanlah Nona karena dia sudah menikah seharusnya kalau ayah mau menghormati Gita, dia memanggilnya dengan sebutan Nyonya, bukan Nona. Aku menyadarinya saat ayah menulis nama Nona di akhir artikel kematian Gita.”

Nona berbalik dan tersenyum, “Jadi, anakku boleh ikut?” Nona bertanya.

“Boleh asal kau perginya denganku.” Aditia mengulurkan tangannya.

“Setelah kita mengantarmu pulang, aku akan menggali kuburanmu yang berada tepat di bawah kakimu itu dan juga kuburan anakmu di lantai dua, di tembok yang batanya mulai terlihat itu bukan?” Aditia bertanya dan disambut anggukan oleh Nona.

“Oh ya satu lagi, aku akan memburu Gita dan Setiaji, mereka mungkin sudah sangat tua, entah masih hidup atau tidak, tapi yang pasti jika jiwa mereka tersesat, aku tidak akan membantunya pulang. Kau dan Kapten Setiawan salah karena berselingkuh biarkan Tuhan yang menghukummu, tapi yang Gita dan Setiaji lakukan jauh lebih berdosa, dengan membunuhmu dan anakmu, aku tidak akan biarkan mereka lolos.”

Setelahnya mereka naik angkot Aditia, Nona duduk di depan dengan anaknya.

“Kau tidak ikut?” Aditia bertanya pada jin iseng yang tadi minta di gendong.

“Tidak, pergi sana kau!” jin itu marah karena sekali lagi gagal membuat Aditia mengikuti maunya.

“Sudah siap pulang Nona?” Aditia mengendarai mobil angkotnya keluar dari rumah mewah yang memiliki cerita menakutkan dan memilukan. Setidaknya satu-satu amanah ayahnya tertunaikan.

...

Sudah jam 2 malam, lagi-lagi Aditia harus membuat alasan, Dita sudah menelponnya puluhan kali, Aditia sedikit ngantuk, dia berusaha tetap membuka matanya. Tapi di pertigaan jalan raya, dia terpaksa harus banting setir, ada seorang ibu yang menyebrang entah kenapa Aditia merasa tidak melihat ibu itu sebelumnya.

Aditia berusaha menyadarkan dirinya, dia membuka seatbelt dan bermaksud keluar melihat kondisi orang yang dia tabrak, tapi dia urungkan karena ....

“Kasep ... hayang milu nyak .... “ Suara yang nyaring di telinga membuat Aditia menutup kupingnya dan pingsan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!