NovelToon NovelToon

Cinta Suci Aerra

Awal Pernikahan

Gemerlap lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit ballroom hotel bintang lima ini terasa menusuk mata. Suara denting gelas, tawa renyah para tamu terhormat, dan alunan musik klasik yang lembut seharusnya menjadi hal terindah di hari pernikahanku. Namun, di telingaku, semua itu terdengar seperti dengungan bising yang memekakkan.

Aku, Aerra, terduduk kaku di singgasana pelaminan yang dihiasi ribuan mawar putih. Gaun pengantin rancangan desainer ternama yang membalut tubuhku terasa berat, seolah menarikku ke dasar jurang keputusasaan. Di sampingku, seorang pria yang kini resmi menjadi suamiku, tersenyum tanpa henti. Namanya Aldo. Tampan, kaya, seorang direktur utama. Paket lengkap yang diidamkan semua wanita, kecuali aku.

“Kamu capek, Sayang?” bisik Aldo lembut, tangannya yang hangat menggenggam jemariku yang terasa dingin seperti es. “Senyum kamu sedikit pudar.”

Aku memaksakan seulas senyum. “Nggak, kok, Mas. Cuma sedikit pegal aja dari tadi berdiri terus.”

Dusta. Bukan pegal yang kurasakan, tapi hampa. Jiwaku seakan tercerabut paksa dari raganya, meninggalkan cangkang kosong yang hanya bisa mematuhi perintah.

“Sebentar lagi acaranya selesai. Setelah itu kita bisa langsung pulang, istirahat,” ujarnya lagi, matanya menatapku penuh puja. Tatapan yang membuatku merasa semakin bersalah.

Bagaimana bisa aku membalas tatapan itu saat hatiku menjeritkan nama pria lain? Nama Windu.

Tiba-tiba, Mama mendekati pelaminan. Wajahnya berseri-seri, tapi sorot matanya tajam saat menatapku. “Aerra! Senyumnya mana? Jangan pasang muka kayak orang berduka gitu, dong! Ini hari bahagia kamu!” desisnya pelan, memastikan Aldo tidak mendengar.

“Iya, Ma. Aerra capek,” jawabku lirih.

“Capek, capek! Alasan! Kamu harusnya bersyukur, Nak. Lihat suamimu, lihat semua ini!” Mama menyapukan tangannya, menunjuk ke seluruh kemewahan di sekeliling kami. “Ini semua berkat Mama! Coba kalau kamu masih nungguin si Windu kere itu, kamu mau makan apa? Makan cinta?!”

Setiap kata Mama adalah belati yang mengiris luka lama. Aku hanya bisa menunduk, menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Aldo yang menyadari perubahan raut wajahku langsung angkat bicara.

“Ma, Aerra memang kelihatannya lelah sekali. Mungkin sebaiknya kita persilakan tamu untuk menikmati hidangan saja, jadi kita bisa lebih santai,” ucap Aldo dengan sopan, mencoba menjadi penengah.

Mama langsung mengubah ekspresinya 180 derajat. “Oh, iya, tentu, Aldo. Kamu benar. Aerra ini memang manja dari dulu. Maaf ya, Nak Aldo.” Ia menepuk pundak suamiku dengan ramah sebelum berbalik dan kembali menyapa tamu-tamunya dengan senyum palsu yang sempurna.

Aku menatap Aldo. “Makasih, Mas.”

“Untuk?”

“Udah… belain aku di depan Mama.”

Aldo tersenyum lagi, senyum yang bisa meluluhkan hati wanita mana pun. “Tentu saja. Kamu kan sekarang istriku. Tanggung jawabku. Apapun yang bikin kamu nggak nyaman, itu juga jadi urusanku.”

Aku terdiam. Kebaikan pria ini terasa seperti siksaan. Kenapa bukan dia yang kutemui lebih dulu? Kenapa hatiku sudah terlanjur memiliki pemilik?

Tak lama, adikku, Lika, naik ke pelaminan. Ia tampil memesona dengan gaun berwarna peach, senyumnya terkembang manis, namun matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa kubaca.

“Selamat ya, Kak Aerra, Mas Aldo,” sapanya riang. “Wah, Kakakku sekarang jadi Nyonya Direktur, nih. Hebat banget!”

“Makasih, Lika,” sahutku seadanya.

“Enak banget, ya, jadi Kakak. Nggak perlu pusing mikirin apa-apa lagi. Tinggal duduk manis, semua tersedia,” lanjutnya, terdengar seperti pujian, tapi aku tahu ada nada iri di baliknya. “Nggak kayak aku, masih harus berjuang sendiri.”

Aldo tertawa kecil. “Nanti Mas bantu kenalin kamu sama teman-teman Mas, gimana?”

Mata Lika langsung berbinar. “Beneran, Mas? Wah, baik banget, deh, kakak iparku ini. Kak Aerra beruntung banget, lho, dapetin Mas Aldo.”

Aku hanya tersenyum tipis. *Beruntung? Kamu tidak tahu apa-apa, Lika.*

Lika kemudian berfoto bersama kami sebelum akhirnya turun panggung, meninggalkan jejak perasaan tidak nyaman di hatiku. Aku tahu adikku. Di balik wajah manisnya, ia bisa menjadi ular yang paling berbisa.

Sisa acara terasa berjalan dalam gerakan lambat. Aku seperti boneka pajangan yang hanya bisa tersenyum, mengangguk, dan mengucapkan terima kasih. Pikiranku melayang jauh, kembali ke sore itu, di taman kota tempat aku dan Windu biasa bertemu.

*“Mas, sampai kapan kita begini terus?” tanyaku waktu itu, hatiku resah.*

*Windu menggenggam tanganku. “Sabar ya, Sayang. Aku lagi berusaha. Begitu tabunganku cukup untuk DP rumah dan biaya nikah, aku pasti langsung datang ke orang tuamu.”*

*“Tapi Mama… Mama udah nggak sabar, Mas.”*

*“Aku janji, Aerra. Sedikit lagi. Percaya sama aku, ya?”*

Aku percaya. Aku selalu percaya padanya. Tapi waktu dan takdir, atau lebih tepatnya Mama, tidak memberiku kesempatan untuk memegang janji itu lebih lama.

“Sayang?” Suara Aldo membuyarkan lamunanku. “Udah selesai. Yuk, kita pulang.”

Aku mengerjap, menyadari ballroom sudah mulai lengang. Para tamu terakhir sedang berpamitan dengan orang tua kami. Aku mengangguk dan bangkit berdiri, merasakan gaun ini semakin berat membebani langkahku.

Perjalanan menuju rumah baru kami—sebuah penthouse mewah di pusat kota—terasa sunyi. Aldo sepertinya mengerti aku butuh ruang, jadi ia hanya fokus menyetir sambil sesekali melirikku dengan tatapan khawatir.

Begitu pintu penthouse terbuka, aku terpana. Interiornya begitu elegan dan modern. Semua tertata sempurna. Di tengah ruang tamu, sebuah bingkai foto pernikahan kami yang berukuran besar sudah terpajang gagah di dinding.

“Gimana? Suka?” tanya Aldo, meletakkan jasnya di sofa.

“Bagus, Mas. Mewah sekali.”

“Ini rumah kita sekarang, Aerra. Rumahku adalah rumahmu,” katanya sambil mendekat. Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya. “Mulai malam ini, kita akan memulai lembaran baru. Berdua.”

Aku menelan ludah. Inilah saat yang paling kutakutkan. Malam pertama. Malam di mana aku harus menyerahkan diriku seutuhnya pada pria yang sama sekali tidak kucintai.

“Aku… aku mau mandi dulu, Mas,” kataku, mencoba mencari alasan untuk mengulur waktu.

Aldo mengangguk mengerti. “Tentu. Kamar kita di sebelah sana. Aku sudah siapkan semua keperluanmu. Aku tunggu di sini.”

Aku bergegas masuk ke dalam kamar yang ditunjuknya. Jantungku berdebar kencang, bukan karena antisipasi, tapi karena ketakutan. Di dalam kamar mandi yang lebih besar dari kamar tidurku di rumah Mama, aku menatap pantulan diriku di cermin. Wanita dengan riasan sempurna, gaun indah, dan tatapan mata yang kosong.

Setelah membersihkan diri dan mengganti gaun pengantin dengan piyama sutra yang sudah tersedia, aku memberanikan diri untuk keluar. Aldo sudah menungguku, duduk di tepi ranjang. Ia juga sudah berganti pakaian yang lebih santai. Suasana kamar terasa begitu intim dan menyesakkan.

“Sini,” panggilnya lembut, menepuk sisi ranjang di sebelahnya.

Dengan langkah berat, aku menghampirinya dan duduk dengan jarak yang canggung. Tanganku terkepal di atas pangkuan, tubuhku menegang.

Aldo meraih tanganku, merasakan getaran halus di sana. Ia menatapku lekat, mencoba membaca apa yang ada di balik benteng pertahananku.

“Aerra…” panggilnya pelan, suaranya serak. “Aku tahu ini semua terlalu cepat buat kamu. Pernikahan kita memang hasil perjodohan.”

Aku hanya bisa diam.

“Tapi aku mau kamu tahu satu hal,” lanjutnya, tatapannya begitu tulus. “Sejak pertama kali aku lihat fotomu yang diberikan ibumu, aku sudah yakin. Aku tulus mau menjadikanmu istriku. Aku akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu.”

Ia mendekatkan wajahnya perlahan, hendak menciumku. Refleks, tubuhku sedikit tersentak mundur. Gerakan kecil, hampir tak kentara, tapi cukup untuk menghentikan Aldo.

Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh gurat kebingungan dan sedikit kekecewaan. Ia menarik diri, menciptakan jarak di antara kami lagi. Keheningan yang menyiksa menyelimuti kamar megah itu.

“Kenapa?” tanyanya pelan, nadanya tidak menuduh, hanya penuh dengan pertanyaan yang tulus. “Kamu… kamu takut sama aku, Aerra?”

Apartment Mewah

Pertanyaan Aldo menggantung di udara, begitu pelan namun terasa menusuk tajam ke dalam gendang telingaku. Keheningan yang tercipta setelahnya terasa begitu pekat, seolah menyerap seluruh oksigen dari kamar mewah ini. Aku bisa melihat kekecewaan yang coba ia sembunyikan di balik raut wajahnya yang bingung.

“Bukan, Mas. Bukan gitu,” jawabku cepat, suaraku bergetar. “Aku… aku nggak takut sama Mas Aldo.”

“Lalu kenapa?” tanyanya lagi, masih dengan nada yang sama lembutnya. Justru kelembutan inilah yang membuatku merasa seperti penjahat paling keji.

Aku menunduk, menatap jemariku yang saling bertaut di pangkuan. Alasan apa yang bisa kuberikan? Kebenaran adalah pilihan yang mustahil. “Aku… cuma kaget, Mas. Semuanya terasa begitu cepat. Pernikahan ini, pindah ke sini… semuanya. Aku cuma butuh waktu buat… bernapas.”

Itu bukan kebohongan sepenuhnya. Aku memang merasa tercekik. Tapi bukan karena cepatnya prosesi, melainkan karena hatiku yang tertinggal di tempat lain.

Aldo terdiam sejenak, mencerna kata-kataku. Kukira ia akan marah atau setidaknya menunjukkan sedikit saja kejengkelan. Namun, yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaanku. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.

“Maaf,” ucapnya. “Aku yang salah. Seharusnya aku lebih peka. Tentu saja kamu butuh waktu. Aku terlalu egois, terbawa suasana.”

Ia menggeser tubuhnya sedikit menjauh, memberiku ruang. “Nggak apa-apa, Aerra. Kita punya banyak waktu. Seumur hidup, kan? Malam ini kita istirahat saja. Kamu pasti capek banget.”

Aku mengangkat wajahku, menatapnya tak percaya. “Mas… Mas nggak marah?”

“Marah? Buat apa?” Ia terkekeh pelan. “Aku marah kalau kamu sakit tapi nggak bilang. Aku marah kalau kamu sedih tapi kamu pendam sendiri. Tapi untuk hal ini? Nggak. Aku bisa nunggu. Sampai kamu benar-benar siap.”

Kebaikan hatinya adalah belati tak kasat mata yang menusuk nuraniku berkali-kali. Aku hanya bisa mengangguk pelan. “Makasih, Mas.”

“Sama-sama. Sekarang tidur, ya?” Ia menarik selimut, menyelimuti tubuhku sebatas dada dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah aku adalah porselen rapuh yang takut ia pecahkan. Ia kemudian berbaring di sisinya, memunggungiku.

Lampu tidur yang menyala menjadi satu-satunya sumber cahaya. Aku berbaring kaku, mendengarkan deru napasnya yang teratur. Harusnya aku merasa lega. Aku berhasil lolos dari malam pertama yang kutakutkan. Tapi yang kurasakan justru sebaliknya. Rasa bersalah menggerogotiku hidup-hidup. Pria sebaik ini tidak pantas mendapatkan istri sepertiku.

Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui celah gorden tebal membangunkanku. Aku mengerjapkan mata, mencoba membiasakan diri dengan lingkungan baru. Langit-langit yang tinggi, perabotan elegan, dan ranjang yang terasa terlalu besar untukku sendiri.

Sisi ranjang di sebelahku sudah kosong. Aku sontak terduduk, jantungku berdebar sedikit lebih kencang. Kemana Aldo?

Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Aldo masuk dengan nampan di tangannya. Ia sudah rapi mengenakan kemeja biru dongker dan celana bahan hitam, rambutnya tertata sempurna. Aroma parfum maskulin yang segar langsung memenuhi ruangan.

“Pagi, Sayang. Tidurnya nyenyak?” sapanya dengan senyum hangat. Ia meletakkan nampan di meja yang ada di kamar. Ada secangkir kopi hitam dan segelas jus jeruk di sana.

“Pagi, Mas. Eh… Mas Aldo nggak perlu repot-repot begini,” kataku canggung sambil merapikan rambutku yang berantakan.

“Repot gimana? Cuma bikin kopi, kok. Ini, diminum dulu. Aku nggak tahu kamu suka kopi atau teh, jadi aku siapin jus juga,” ujarnya. “Maaf ya, aku harus berangkat pagi ini. Ada meeting penting yang nggak bisa ditinggal.”

“Iya, nggak apa-apa, Mas,” jawabku. Sejujurnya, aku sedikit lega mendengar ia akan pergi.

“Nanti siang kalau kamu bosan, jalan-jalan aja. Atau mau belanja juga boleh.” Ia meletakkan sebuah kartu berwarna hitam di atas nampan. “Ini kartu buat kamu. Pakai aja sesukamu, nggak ada limitnya. Anggap aja uang jajan.”

Aku menatap kartu itu. Kata-kata Mama kembali terngiang, “Coba kalau kamu masih nungguin si Windu kere itu, kamu mau makan apa? Makan cinta?!” Kini, aku punya segalanya. Uang, kemewahan. Tapi rasanya begitu hampa.

“Nggak usah, Mas. Aku masih punya tabungan, kok,” tolakku halus.

“Aerra,” potongnya lembut, tapi tegas. “Sekarang kamu istriku. Semua yang jadi milikku, otomatis jadi milikmu juga. Jadi, tolong jangan menolak, ya? Aku justru senang kalau kamu memakainya.”

Tak punya pilihan, aku akhirnya mengangguk. “Makasih, Mas.”

“Oke, aku berangkat sekarang, ya.” Ia mendekat, lalu berhenti sejenak, tampak ragu. Akhirnya, ia hanya mengecup keningku sekilas. “Baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku.”

Setelah Aldo pergi, apartemen ini terasa semakin luas dan sunyi. Aku menghabiskan satu jam pertama hanya dengan berkeliling, dari ruang tamu ke dapur, lalu ke balkon yang menyajikan pemandangan kota dari ketinggian. Semuanya indah, sempurna, dan terasa asing.

Tepat saat aku sedang menatap hamparan gedung pencakar langit, ponselku berdering. Nama ‘Mama’ tertera di layar. Dengan malas, aku mengangkatnya.

“Halo, Ma?”

“Aerra! Gimana? Semuanya lancar, kan, tadi malam?” todong Mama tanpa basa-basi. Suaranya terdengar begitu antusias.

Aku memutar bola mataku. Tentu saja ini yang pertama kali ia tanyakan. “Lancar, Ma.”

“Bagus! Kamu harus pintar-pintar melayani suami, ya! Aldo itu aset. Jangan sampai dia nggak betah sama kamu. Ingat, tugas kamu itu memastikan dia bahagia, biar semua fasilitas ini tetap aman!” cerocosnya panjang lebar.

“Iya, Ma. Aerra ngerti.”

“Apartemennya gimana? Besar? Mewah, kan? Jauh lebih bagus dari rumah calon mertuamu yang provokator itu, kan?”

“Mama, udah, ya. Aerra mau beres-beres dulu,” potongku, muak dengan perbandingannya yang tak ada habisnya.

“Iya, iya! Jangan lupa, cepat kasih cucu buat Mama! Biar posisi kamu makin kuat!” pesannya sebelum akhirnya menutup telepon.

Aku menghela napas kasar, melempar ponselku ke sofa. Belum reda kekesalanku, ponsel itu berdering lagi. Kali ini, nama Lika yang muncul.

“Halo, Kak?”

“Iya, Lika. Kenapa?”

“Wih, galak banget pengantin baru. Hehehe. Cuma mau nanya, Kakak lagi di mana? Di penthouse-nya Mas Aldo, ya?”

“Iya.”

“Gimana rasanya jadi Nyonya Direktur? Enak, ya? Pagi-pagi udah santai, nggak perlu mikirin kerjaan. Kak, nanti kalau aku main ke sana boleh, kan? Sekalian mau lihat-lihat. Terus, hehe, Kakak kan sekarang udah kaya, bagi-bagi dikit, dong. Tas yang kemarin aku tunjukkin di mal, beliin, ya?”

Rentetan permintaannya membuat kepalaku pening. Baginya, pernikahanku hanyalah sumber uang baru untuknya. “Nanti aku transfer,” jawabku singkat, tak ingin memperpanjang percakapan.

“Asiiik! Makasih, Kakakku yang paling cantik! Sayang banget sama Kak Aerra!”

Setelah panggilan berakhir, aku merasa benar-benar terkuras. Dikelilingi kemewahan, tapi jiwaku terasa miskin. Aku berjala ke arah jendela besar, menatap kosong ke jalanan di bawah yang ramai. Di sinilah aku sekarang, terperangkap dalam sangkar emasku sendiri.

Tiba-tiba, ponselku yang tergeletak di sofa bergetar sekali. Tanda ada pesan masuk. Awalnya aku abai, mengira itu hanya pesan promosi atau mungkin dari Lika yang menagih janji transfer.

Namun, entah kenapa ada dorongan untuk memeriksanya. Dengan langkah berat, aku mengambil ponsel itu dan membuka layarnya. Sebuah notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.

Jantungku berhenti berdetak beberapa waktu membaca isinya.

Isi pesan itu singkat, hanya beberapa kata, namun cukup untuk membuat seluruh duniaku berguncang hebat.

Aerra, ini aku. Kamu baik-baik aja, kan?

Pesan Boomerang

Ponsel di tanganku terasa seberat sebongkah batu. Huruf-huruf putih di layar hitam itu seolah menari-nari, mengejek ketenanganku yang baru seumur jagung. Napasku tertahan di tenggorokan, dan detak jantungku yang tadinya tenang kini berpacu liar, menghantam-hantam tulang rusukku seperti genderang perang.

Aerra, ini aku. Kamu baik-baik aja, kan?

Hanya ada satu ‘aku’ di dunia ini yang akan mengirim pesan sesingkat itu dan berhasil membuat seluruh duniaku jungkir balik. Windu. Nama itu bergema di dalam kepalaku, membawa serta jutaan kenangan yang selama ini susah payah kutekan dalam-dalam.

Jemariku gemetar hebat. Haruskah aku membalasnya? Mengabaikannya? Menghapus pesannya dan berpura-pura tidak pernah menerimanya? Opsi terakhir terasa paling aman, paling benar. Aku adalah istri Aldo sekarang. Membalas pesan dari pria lain, apalagi cinta pertamaku, adalah sebuah pengkhianatan nyata.

Namun, jariku bergerak di luar kendali. Rasa penasaran dan kerinduan yang terpendam menjadi kekuatan yang lebih besar dari logika. Aku harus tahu. Aku hanya ingin memastikan.

“Ini siapa?” balasku singkat, berusaha terdengar sedingin mungkin, seolah aku benar-benar tidak tahu.

Balasan datang bahkan sebelum aku sempat meletakkan ponselku. Cepat sekali. Seolah dia sudah menunggu di seberang sana, menantikan respons dariku.

“Jangan pura-pura, Ra. Aku tahu kamu masih simpan nomorku. Ini aku, Windu.”

Panggilan ‘Ra’ itu. Panggilan singkat yang hanya ia yang gunakan. Rasanya seperti ada belati hangat yang menusuk tepat di ulu hatiku. Sakit sekaligus… nyaman. Aku menggigit bibir bawahku, menahan isakan yang tiba-tiba mendesak ingin keluar.

“Dapat nomorku dari mana?” tanyaku lagi, mengabaikan pernyataannya. Aku butuh mengalihkan pembicaraan dari topik yang berbahaya.

“Mama. Tadi Mama telepon, nanyain kabar. Terus Mama bilang kamu… kamu nikah.” Ada jeda yang terasa begitu panjang dalam ketikan pesannya. “Aku nggak percaya, Ra. Jadi aku minta nomormu yang baru. Kamu ganti nomor, ya?”

“Iya,” jawabku lirih, seolah ia bisa mendengarku.

“Kenapa, Ra? Kenapa secepat ini? Bukannya kamu janji mau nunggu aku?”

Pertanyaan itu akhirnya datang juga. Pertanyaan yang paling kutakuti. Air mataku akhirnya luruh, membasahi layar ponsel. Jariku kembali mengetik dengan susah payah di antara pandangan yang mengabur.

“Nunggu apa lagi, Ndu? Kamu pergi gitu aja. Nggak ada kabar, nggak ada kepastian. Mama…” Aku berhenti sejenak. Menyalahkan Mama terasa seperti mencari kambing hitam, meski memang ada andilnya. “…aku capek, Ndu.”

“Aku pergi juga buat kita, Ra! Aku dapat tawaran kerja di Swiss. Gajinya besar. Rencanaku, setahun aku kerja di sana, kumpulin uang yang banyak, terus pulang buat ngelamar kamu! Biar mamamu nggak punya alesan buat nolak aku lagi!”

Pesan itu menghantamku seperti badai. Jadi, ini alasannya? Dia pergi bukan untuk meninggalkanku, tapi justru untuk memperjuangkanku? Kenapa dia tidak pernah bilang? Kenapa dia membiarkanku menunggu dalam ketidakpastian?

“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?” suaraku bergetar saat mengetik balasan.

“Aku mau kasih kejutan. Aku pikir kamu percaya sama aku. Aku pikir kita punya ikatan yang lebih kuat dari itu. Ternyata aku salah.”

“Bukan gitu, Ndu. Kamu nggak tahu apa yang aku hadapin di sini. Tekanan dari Mama, omongan tetangga… setiap hari. Aku nggak kuat.”

“Terus kamu milih jalan pintas? Nikah sama direktur kaya pilihan mamamu? Semudah itu kamu ngebuang semua kenangan kita, Ra?”

“Bukan mudah!” Aku hampir berteriak saat membalas pesannya. “Kamu pikir ini gampang buat aku? Aku menderita, Ndu! Setiap detiknya!”

Setelah mengirim pesan itu, aku langsung menyesalinya. Aku baru saja mengakui penderitaanku pada pria lain di hari pertama pernikahanku. Aku menatap layar, menunggu balasannya dengan cemas.

“Kalau kamu menderita, kenapa dilanjutin? Ra, aku serius. Aku bisa pulang sekarang juga. Pesan tiket malam ini, lusa aku udah sampai di Jakarta. Kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku nggak peduli kamu udah nikah. Pernikahan tanpa cinta itu bukan pernikahan.”

Tawarannya begitu menggiurkan. Sebuah jalan keluar dari sangkar emasku. Bayangan wajah Windu, senyumnya, dan tawa hangatnya melintas di benakku. Harapan yang tadinya sudah kupadamkan kini menyala kembali, meski hanya berupa percikan kecil.

“Nggak bisa, Ndu. Semuanya udah terlambat.”

“Nggak ada yang terlambat kalau kita sama-sama mau berjuang! Bilang sama aku, Ra. Apa kamu masih cinta sama aku?”

Aku terdiam. Pertanyaan pamungkas itu membuatku tak bisa berkutik. Jemariku kaku di atas keyboard. Mengatakan ‘iya’ akan menjadi perang terhadap takdirku sendiri. Mengatakan ‘tidak’ akan menjadi kebohongan terbesar dalam hidupku.

Tepat saat aku dilanda dilema hebat, sebuah bunyi ‘bip’ pelan yang disusul suara pintu terbuka membuatku tersentak kaget. Jantungku serasa melompat ke kerongkongan. Aldo pulang.

Dengan gerakan panik, aku segera keluar dari aplikasi pesan dan melempar ponselku ke sisi lain sofa, seolah benda itu adalah barang bukti kejahatan. Aku buru-buru menghapus sisa air mata di pipiku dengan punggung tangan dan mencoba memasang senyum senormal mungkin.

“Mas? Kok udah pulang?” tanyaku, suaraku terdengar sedikit serak dan aneh di telingaku sendiri.

Aldo muncul dari balik pintu, senyumnya yang hangat langsung merekah saat melihatku. Di tangannya ada sebuah kantong kertas dari restoran terkenal.

“Iya, Sayang. Meeting-nya selesai lebih cepat dari perkiraan,” jawabnya sambil melonggarkan dasinya. “Aku kepikiran kamu sendirian di sini, pasti belum makan siang. Jadi aku bungkusin makanan kesukaanmu.”

Dia berjalan mendekat, meletakkan kantong itu di meja kopi. Matanya yang tajam menatapku lekat-lekat, senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh kerutan khawatir di dahinya.

“Kamu… nggak apa-apa?” tanyanya pelan.

“Eh? Nggak apa-apa, kok, Mas. Kenapa emangnya?” elakku, berusaha tertawa kecil. Tawa itu terdengar aneh dan dipaksakan.

Aldo tidak langsung menjawab. Ia mengambil satu langkah lebih dekat, tatapannya mengunci wajahku. Aku merasa seperti terdakwa di ruang sidang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku.

“Mata kamu merah,” ujarnya, nadanya lembut namun penuh selidik. “Kamu habis nangis, ya?”

“Nggak! Ini… ini tadi kelilipan debu aja, pas buka jendela di balkon,” aku merangkai kebohongan pertama dalam pernikahan kami. Rasanya begitu pahit dan menyesakkan.

Aldo terdiam, seolah menimbang-nimbang jawabanku. Aku menahan napas, berdoa dalam hati semoga ia memercayainya. Namun, alih-alih mengangguk, ia justru mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuhku, melainkan menunjuk ke arah sofa.

Pandanganku mengikuti arah jarinya, dan seketika itu juga darahku terasa berhenti mengalir. Ponselku yang tadi kulempar dengan panik, mendarat dengan posisi layar menghadap ke atas. Dan layarnya masih menyala.

Di sana, di bawah cahaya temaram ruang tamu, sebuah notifikasi pesan baru muncul di bagian atas layar, menampilkan nama pengirim dan pratinjau pesannya dengan sangat jelas.

Windu: Jawab aku, Ra. Please. Aku butuh tahu…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!