NovelToon NovelToon

Pernikahan 1001 Malam

Permintaan Cerai

“Mari kita bercerai !”

Ucapan singkat Raka membuat selimut yang baru saja dilipat Arumi terlepas. Ia pun berbalik badan dan menatap Raka lekat-lekat.

Wajah Raka yang selalu dingin dan tanpa senyum itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa saat melihat keterkejutan istrinya.

”Aku sudah menepati perjanjian kita untuk menjadi suami pura-puramu selama 1000 hari bahkan lebih jadi sekarang waktunya kita bercerai !” tegas Raka dengan tatapan yang menusuk dan menyakitkan hati Arumi.

Sebuah amplop cokelat berukuran A4 yang disodorkan Raka terpaksa diterima Arumi dengan tangan gemetar.

Kepala Arumi menunduk, menatap amplop di tangannya yang bersih, tanpa tulisan apapun.

”Segera urus dengan pengacaramu dan jangan coba-coba menundanya. Aku tidak akan menuntut harta apapun, cukup tabungan dari gajiku selama ini.”

Arumi mendongak, menatap Raka dengan perasaan sesak karena sekuat tenaga ia harus menahan supaya tidak ada air mata yang keluar.

”Bukan seperti itu perjanjiannya,” ucap Arumi dengan nada pelan.

”Persetan dengan perjanjian, aku tidak butuh hartamu sepeser pun !”

Mata Arumi membola,’mendengar suara Raka bukan hanya naik satu oktaf tapi nadanya sedikit membentak.

“Segera selesaikan perceraian kita, jangan coba-coba mengulur waktu apalagi mempersulitnya ! Tidak usah takut digunjingkan orang karena perceraian ini.”

”Aku tidak takut dan tidak peduli,” sahut Arumi dengan nada pelan dan tenang sambll menatap mata Raka yang dipenuhi emosi membara.

Entah kekuatan darimana Arumi akhirnya berhasil menguasai diri dan mengatur emosi meski degup jantungnya masih tidak normal, detaknya lebih cepat seperti orang habis lari marathon.

Raka melengos sambil membuang muka, tangannya masih bertolak di pinggang.

”Aku akan mencari cara untuk membuat orang-orang berpikir kalau aku ini suami yang jahat dan pantas diceraikan olehmu,” ucap Raka dengan tegas namun intonasinya sudah tidak setinggi tadi.

Raka tidak bisa menahan rasa kagetnya saat melihat Arumi malah tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. Raka tidak bisa melihat perasaan kecewa atau marah atau sedih di mata Arumi.

”Tidak perlu,” Arumi menggeleng,

“Jaman sudah berubah, perceraian bukan lagi aib apalagi kita tidak memiliki keturunan meski sudah hampir 3 tahun menikah. Gunjingan mereka tidak akan lama karena menganggap semuanya wajar.”

Raka sempat mengernyit, menatap Arumi dengan wajah bingung. Sebetulnya bukan pertama kali Arumi bersikap setenang ini bahkan masih bisa tersenyum.

Selama menjalani pernikahan meski selama di rumah Raka tidak pernah sekalipun menjalani jewajibannya sebagai suami sungguhan , Arumi tidak pernah protes apalagi sampai marah-marah malah Arumi selalu melayani Raka sebagai suaminya.

“Aku berharap surat keputusannya sudah keluar sebelum minggu depan !”

Tidak sanggup berhadapan dengan Arumi yang sangat tenang, Raka pun memilih pergi ke kantor tanpa menunggu istrinya seperti biasa.

“Raka !”

Panggilan Arumi menghentikan langkah Raka yang sudah memegang gagang pintu namun ia tidak berbalik badan sama sekali.

“Kita tinggal di bawah satu atap bahkan berbagi satu tempat tidur meski tidak pernah melakukan hubungan suami istri selama 1002 hari, 1001 malam. Apa tidak pernah ada sedikit pun percikan cinta selama kita berdekatan ?”

Beberapa detik Raka terdiam bahkan ia sempat menghela nafas sebelum kepalanya menggeleng.

“TIDAK !” tegasnya tetap dalam posisi memunggungi Arumi.

“Terima kasih atas kejujuranmu. Semoga Thalia bisa membahagiakanmu.”

Mata Raka membola, sedikit terkejut saat Arumi menyebut nama itu. Raka pun bergegas membuka pintu dan menutupnya dengan sedikit kasar.

Begitu Raka keluar, Arumi berjalan ke arah nakas, mengambil handphonenya dan langsung menekan tombol panggilan cepat di layar.

“Tolong jalani sekarang, Om. Raka tidak mau memperpanjang perjanjian.”

*****

“Semoga Thalia bisa membahagiakanmu.”

Ucapan Arumi masih terngiang-ngiang di telinga Raka yang berusaha tetap fokus mengemudikan mobil ke kantor.

Dari kalimat itu, Raka berani menyimpulkan kalau Arumi sudah lama tahu mengenai kehadiran Thalia yang muncul kembali setelah 4 tahun lalu meninggalkan Raka untuk mengejar mimpinya di negeri orang.

Sebetulnya belum ada yang istimewa antara Raka dan Thalia sekalipun sudah berkali-kali perempuan itu menemuinya untuk minta maaf sambil memohon dan menangis.

Luka yang ditinggalkan Thalia tidak bisa sembuh begitu saja apalagi hinaan keluarganya 4 tahun lalu tidak hanya ditujukan pada Raka tapi juga keluarganya.

Meskipun begitu, Raka tidak bisa berdusta kalau di antara benci itu masih ada sisa cinta yang tertinggal untuk Thalia.

Indahnya jalinan kisah kasih mereka yang berjalan selama 3 tahun tidak bisa dihapus begitu saja dalam ingatan Raka.

Kehadiran Thalia ibarat oase di tengah rasa lelah yang mendera Raka karena harus menjalankan peran sebagai suami pura-pura Arumi selama 1000 hari sesuai kesepakatan bersama.

Raka kembali menghela nafas panjang sambil menyugar rambutnya.

Beberapa hari yang lalu, Raka kembali bertemu dengan Thalia atas permintaan perempuan itu.

Sungguh di luar dugaan, Thalia tidak sekedar minta maaf seperti biasanya. Sambil menangis sesunggukkan Thalia bersimpuh bahkan memeluk kaki Raka.

“Maafkan aku Raka dan menikahlah denganku. Aku tidak peduli sekalipun harus menjadi istri kedua. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku yang tidak lama lagi hanya bersamamu.”

“Apa maksudmu ?” tanya Raka dengan dahi berkerut.

“Aku akan menceritakan semuanya setelah kamu menyatakan bersedia untuk menikahiku.”

Lamunan Raka buyar karena dering handphone. Ia pun meraih benda pipih itu supaya lebih jelas melihat layar handphonenya.

Jantungnya berdegup begitu melihat tulisan “My Love” di layarnya. Meskipun bukan Raka yang menulisnya, ia langsung tahu siapa yang sedang menghubunginya.

“Halo.”

“Mas Raka ya ?”

Raka mengernyit karena bukan suara Thalia yang menjawab.

“Saya Dita, temannya Thalia. Maaf saya menghubungi Mas Raka pakai handphone Thalia. Bisa tolong datang ke rumah sakit xxxx sekarang ?”

“Thalia sakit apa ?”

“Thalia mendadak pingsan waktu lagi ngopi sama saya dan dari hidungnya keluar darah.”

Raka mulai panik apalagi teringat dengan ucapan Thalia soal hidupnya yang tidak akan lama lagi.

“Sebetulnya Thalia sakit apa ?”

Dita tidak langsung menjawab hanya terdengar helaan nafas membuat Raka mulai tidak sabaran karena ingin tahu yang diderita Thalia saat ini.

“Tolong beritahu saya ! Tidak usah khawatir soal Thalia, saya pastikan dia tidak akan marah padamu !”

“Lebih baik Mas Raka tanyakan langsung begitu ketemu Thalia. Saya tunggu di rumah sakit.”

Dita langsung menutup panggilannya sebelum Raka bertanya lagi membuat pria itu menggeram kesal sampai memukul setir.

Dengan sebelah tangan, Raka mencoba membuka peta menuju rumah sakit yang disebut Dita. Konsentrasi yang terpecah membuat Raka tidak sadar kalau kakinya malah menekan pedal gas untuk menambah kecepatan namun tidak fokus dengan lajur yang dilewatinya.

Begitu kepalanya mendongak, matanya langsung membelalak, kecepatan mobilnya tidak mungkin menghindari truk yang sedang berhenti di bahu jalan.

Semuanya langsung gelap dan Raka tidak tahu lagi apa yang terjadi pada dirinya.

Amarah Raka

Pendar cahaya yang menyilaukan membuat Raka sulit membuka mata bahkan ia sampai menutupi wajah dengan pergelangan tangan supaya bisa melihat.

Suhu di sekitarnya juga terasa dingin hingga Raka berpikir ia sudah berpindah ke dunia lain tapi perlahan indera penciumannya menghirup bau khas rumah sakit dan telinganya menangkap suara perempuan sedang berbicara.

”Syukurlah kamu sudah sadar. Sebentar aku panggilkan dokter.”

“Dimana Thalia ?”

Pertanyaan Raka membuat Arumi sempa terhenyak dan akhirnya berbalik badan lagi, menatap suaminya lekat-lekat.

“Aku tidak tahu dimana Thalia sekarang. Tiga hari yang lalu dia datang kemari tapi hanya sebentar.”

”Siapa kamu sampai berani mengusir istriku ?”

Mulut Arumi sampai terbuka saking kagetnya. Hasil pemeriksaan dokter tidak menyinggung soal amnesia tapi kenapa Raka lupa pada Arumi malah mengingat Thalia sebagai istrinya ?

“Namaku Arumi dan sampai detik ini aku…….” Arumi ragu-ragu untuk mengatakan siapa ia sebenarnya.

“Panggilkan….Aaarrggghhh” Raka yang sempat membentak ganti mengerang sambil memegangi kepalanya yang diperban.

“Raka tahan sebentar, biar aku panggilkan dokter.”

Usai menekan tombol panggilan perawat, Arumi bergegas keluar sambil mengeluarkan handphone dari saku kulotnya untuk menghubungi dokter yang menangani Raka

“Tolong datang sekarang ke kamar suami saya dokter, dia sangat kesakitan,” pinta Arumi dengan suara bergetar karena panik.

Dua orang perawat yang datang menganggukkan kepala pada Arumi sebelum masuk ke kamar untuk memeriksa Raka yang masih mengerang kesakitan.

Baru saja Arumi menekan panggilan ke nomor asistennya, terdengar teriakan Raka dari dalam kamar.

“TIDAK MUNGKIN !”

Begitu pintu terbuka, Arumi kaget melihat salah seorang perawat jatuh duduk di lantai dan selang infus yang terpasang di punggung tangan kiri Raka sudah lepas. Selain itu netranya melihat percikan darah di selimut yang menutupi kaki Raka.

“KAMU !” pekik Raka sambil menunjuk Arumi yang masih berdiri di pintu. Poisisi tempat tidur Raka sudah setengah berbaring.

“Panggilkan Thalia sekarang ! Apa yang kamu lakukan sampai kakiku lumpuh ?”

Meski rasanya sakit mendengar permintaan Raka, Arumi berusaha tetap tenang dan berjalan mendekati pria itu.

“Kakimu tidak lumpuh selamanya. Dokter sudah memastikan kamu bisa berjalan lagi asal rajin menjalani terapi.”

“Aku mau bertemu istriku sekarang !”

Kedua perawat yang ada di situ kelihatan bingung, menatap Raka dan Arumi bergantian. Mereka tahu kalau Arumi adalah istri sah Raka.

“Aku tidak tahu dimana Thalia sekarang. Tiga hari yang lalu dia memang datang tapi hanya 15 menit. Dia pergi lagi begitu tahu kamu koma dan lumpuh.”

”BOHONG ! Mana mungkin Thalia meninggalkan aku di rumah sakit bersama perempuan lain.”

Arumi menghela nafas, kesabarannya mulai terkikis gara-gara mendengar Raka terus menerus menyebut nama Thalia.

“Kamu sudah tidak sadarkan diri sejak kecelakaan 4 hari yang lalu. Sebentar lagi dokter akan datang, silakan tanyakan langsung kalau kamu tidak percaya padaku.”

Pintu kamar terbuka. Dua orang dokter didampingi seorang pria memakai baju scrub dan 2 perawat masuk dan langsung menghampiri Raka.

Setelah membalas sapaan dokter Erwin, Arumi menjauh, menunggu di sofa sambil mengetik pesan untuk asistennya.

Emosi Raka mulai reda tapi mulutnya terus mengajukan pertanyaan yang dijawab bergantian oleh kedua dokter spesialis itu.

Meski tangannya sibuk berbalas pesan, telinga Arumi tetap menyimak setiap kata yang didengarnya.

Hatinya yang sempat lega waktu melihat Raka siuman kembali berantakan karena pria itu lupa siapa Arumi dan terus menerus menyebut Thalia sebagai istrinya.

Tidak lama seluruh tirai yang mengelilingi tempat tidur Raka dibuka kembali lalu dokter Erwin memberi isyarat supaya Arumi ikut keluar.

“Mau kemana kamu ?” tegur Raka melihat Arumi berjalan ke pintu.

Tiga orang perawat masih sibuk mengurus Raka termasuk memasang kembali selang infus yang sempat dicabut paksa.

“Bertemu dokter Erwin,” sahut Arumi dengan wajah dingin.

“Bukan urusanmu membahas kondisiku dengan dokter. Hubungi Thalia dan bilang pada dokter kalau istriku akan menemuinya langsung.”

Arumi tersenyum sinis, tidak peduli dengan larangan Raka, ia tetap keluar ruangan menemui dokter Erwin.

“Bagaimana kalau kita bicara di ruangan saya ?” tanya dokter Erwin.

“Tidak masalah Om tapi Raka sendirian.”

“Devan dan seorang perawat akan mengawasinya .”

Arumi mengangguk sambil tersenyum pada pria muda yang memakai scrub medis lalu berjalan beriringan dengan dokter Erwin sedangkan dokter Fajar mengikuti di belakang mereka.

“Kenapa tidak ada yang menemanimu di sini ?”

”Mama sedang istirahat di rumah. Sudah 2 hari beliau menginap di sini tapi susah tidur karena cemas melihat kondisi Raka. Saya belum sempat memberitahu mama kalau Raka sudah siuman.”

Tidak ada hal penting yang dibicarakan sampai ketiganya tiba di ruangan dokter Erwin.

“Hasil CT Scan dan MRI pasca operasi bagus, entah apa yang menyebabkan suamimu mengalami amnesia,” ujar dokter Erwin sambil memperlihatkan hasil yang dimaksud pada layar komputernya.

“Atau jangan Raka hanya pura-pura.”

Jawaban Arumi membuat kedua dokter itu menatapnya dengan mata membola.

Arumi tersenyum getir, “Sebelum kecelakaan Raka sudah menyerahkan permohonan surat cerai untuk diproses lebih lanjut,” ujar Arumi menjelaskan.

“Lalu siapa Thalia ?” tanya dokter Erwin dengan alis menaut.

“Thalia Sukmana, putri tunggal Yongki Sukmana,” sahut Arumi sambil menghela nafas.

“Thalia dan Raka adalah sepasang kekasih yang tidak mendapat restu dari Pak Yongki karena perbedaan status sosial. Keduanya putus 4 tahun lalu dan Thalia pergi ke Perancis untuk mendalami sekolah fashionnya,” lanjut Arumi.

“Ada baiknya Raka menjalani pemeriksaan ulang untuk memastikan apakah ada cedera lain di kepalanya yang membuatnya amnesia,” ujar dokter Fajar sekalian pamit karena ada panggilan dari ruang UGD.

“Yang terbaik saja menurut dokter,” sahut Arumi sambil menganggukkan kepala.

Sekarang hanya tinggal Arumi dan dokter Erwin di ruangan itu. Dokter senior spesialis syaraf itu sudah lama mengenal Arumi dan kedua orangtuanya.

“Sebetulnya saya ingin minta bantuan sama Om soal Thalia.”

“Tentu saja Om bersedia. Masalah apa ?”

Secara singkat Arumi menceritakan percakapan Thalia dan Raka dalam pesan whatsapp yang tidak sengaja dibaca Arumi.

“Saya tidak yakin Thalia menderita sakit yang sangat serius bahkan umurnya hanya tinggal beberapa bulan lagi,” ujar Arumi.

Dokter Erwin terkekeh membuat Arumi mengerutkan dahi. “Kenapa Om tertawa ?”

”Bukankah tadi kamu bilang Raka ingin bercerai denganmu sebelum kecelakaan ? Apa kamu masih bisa menolaknya ? Untuk apa kamu mempertahankan laki-laki yang sudah tidak menginginkanmu ?”

“Tapi Om….”

“Ternyata cintamu masih saja bertepuk sebelah tangan, Ar,” canda dokter Erwin sambil tertawa pelan.

“Boleh Om kasih saran sebagai pengganti orangtuamu ?”

Meskipun ragu karena tahu apa yang akan disampaikan dokter Erwin, kepala Arumi akhirnya mengangguk.

“Buang jauh-jauh pria tidak tahu diri itu dari hidupmu, Ar. Kamu wanita cantik, pintar dan kaya. Tidak sulit mendapatkan pria yang lebih baik dari Raka. Mungkin kamu bisa pertimbangkan putranya Om Wisnu yang ingin dijodohkan denganmu sewaktu orangtuamu masih hidup.”

“Mungkin di mata banyak orang saya ini perempuan bodoh karena memaksa pria seperti Raka menjadi suami. Saya tidak peduli karena tujuan menikah muda dengan Raka bukan demi menambah kekayaan tapi ada alasan yang belum bisa saya ceritakan pada Om saat ini.”

Dokter Erwin mengerutkan dahi, menatap Arumi penuh harap agar gadis yang sudah dianggap sebagai putrinya sendiri mau terbuka tapi Arumi hanya tersenyum manis.

“Saat ini saya benar-benar membutuhkan bantuan Om soal Thalia.”

Skenario Arumi

Arumi menarik sudut bibirnya saat melihat Raka menyuruh Sapta, asisten Arumi, menghentikan kursi roda di dekat gerbang.

“Rumah siapa ini ?” tanya Raka tanpa menoleh.

“Tentu saja rumah anda, Pak Raka,” sahut Sapta dengan badan sedikit membungkuk.

Raka terdiam, memperhatikan dengan seksama setiap sudut halaman dan bangunan yang berdiri di depannya. Sesekali dahinya berkerut atau matanya menyipit lalu menautkan kedua alisnya.

“Apa mungkin Raka ingat kalau ini bukan rumahnya ? Kenapa kamu tidak membawanya pulang ke rumah kalian ?” bisik Sofia, ibu kandung Raka yang berdiri di samping Arumi.

Arumi tersenyum namun tidak lagi sinis seperti sebelumnya.

“Rumah itu memang milik Raka, Ma tapi selama perceraian kami belum sah, aku tidak mau membiarkan pelakor tinggal di sana.”

“Apa harus menyuruh Thalia berpura-pura jadi istrinya Raka ? Bagaimana kalau ingatan Raka tidak kembali dan selamanya menganggap Thalia sebagai istrinya ?”

Bukannya stres mendengar penuturan mertuanya, Arumi malah tertawa kecil.

“Mama keberatan seandainya Thalia jadi menantu mama ?”

Sofia hanya bisa menghela nafas. Meskipun ia sudah mendengar penjelasan Arumi soal usaha pengobatan Raka yang membutuhkan Thalia tapi hati kecilnya tidak setuju membiarkan ada orang ketiga di antara putra sulung dan menantunya.

Sekarang Arumi sudah berada di dekat Raka. Ia berdehem untuk memutus lamunan Raka yang masih fokus memperhatikan situasi di sekelilingnya.

Selama 3 tahun menikah, Arumi cukup paham dengan sifat dan kebiasaan Raka. Pria itu sangat hati-hati cenderung mudah curiga dan butuh waktu sedikit lama untuk menyesuaikan diri dengan suasana baru apalagi orang asing.

Tapi saat ini Arumi tidak punya pilihan. Setelah berdiskusi dengan dokter Erwin dan timnya yang memberikan diagnosa kalau amnesia Raka hanya sementara, Arumi memutuskan untuk mengikuti saran dokter melibatkan Thalia dalam proses penyembuhan Raka.

“Sebaiknya anda segera masuk karena Thalia sudah menunggu di dalam.”

“Rumah siapa ini ?” Raka mengulang pertanyaannya tapi kali ini ditujukan pada Arumi meski kepalanya tidak menoleh bahkan melirik pun tidak.

Arumi terkekeh sambil merubah posisi berdirinya hingga berhadapan dengan Raka.

“Baru sepuluh hari anda meninggalkan rumah karena harus dirawat di rumah sakit. Bagaimana anda bisa lupa dengan rumah sendiri ? Apa tidak ada ingatan sedikitpun kalau anda dan Thalia tinggal di sini ?”

Mendengar jawaban Arumi, Raka melengos kesal dan menyuruh Pras untuk mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.

Arumi tersenyum sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kecelaakaan yang dialami Raka bukan hanya membuat pria itu amnesia tapi merubah sifatnya jadi gampang tersinggung dan mudah marah.

Begitu sampai di pintu utama yang terbuka, wangi masakan menyambut kedatangan mereka tapi ekspresi wajah Raka tetap datar.

Tatapan tajamnya kembali beredar, menelisik setiap bagian rumah yang dilewati hingga akhirnya mereka sampai di ruang tengah.

“Thalia !” panggil Raka.

Thalia yang sedang menata sajian di meja makan menoleh, bibirnya langsung tersenyum lalu ia melepaskan apronnya dan menghampiri Raka.

Begitu sampai di depan Raka, Thalia terpaku beberapa saat, melirik Arumi dan Sofia bergantian, bukan hanya canggung, Thalia kelihatan bingung harus bersikap bagaimana.

“Kenapa kamu tidak ikut menjemputku ?” tanya Raka dengan nada tegas.

“Nggg… Maaf aku ingin menyiapkan kejutan untukmu lagipula sudah ada Arumi dan tan… maksudku mama yang menjemputmu.”

“Tapi kamu istriku !”

Thalia kembali salah tingkah dan kelihatan ragu-ragu, takut tindakannya menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh Arumi.

“Thalia sudah repot-repot masak untuk anda jadi sebaiknya masalah ini tidak usah diperpanjang,” ujar Arumi menengahi.

Tiba-tiba Raka menoleh ke arah Arumi yang berdiri di sisi kirinya. Tatapannya tajam dan kelihatan sedang marah.

“Belajar sopan santun !” bentak Raka. “Thalia istriku dan kamu hanya perawatku jadi panggil majikanmu dengan benar.”

Bukannya takut Arumi malah tersenyum lalu menatap Thalia sebagai isyarat supaya wanita itu yang menjawabnya.

“Aku yang minta Arumi memanggil nama saja, tolong jangan dipermasalahkan. Bagaimana kalau kita makan siang sekarang ? Aku tidak mau rawonnya dingin.”

Sebelum Raka menjawab, Thalia mengambil alih posisi Sapta dan mendorong kursi roda ke arah meja makan.

Suasana terasa canggung apalagi saat Thalia harus duduk berhadapan dengan Arumi sementara Raka di bagian ujung meja.

Sofia duduk di sebelah Thalia sedangkan Sapta di samping Arumi.

“Aku masak rawon kesukaanmu dan telur asin,” ujar Thalia sambil menyendokkan nasi ke piring Raka.

“Kenapa sayurnya dicampur ke nasi !” tegur Raka dengan sedikit keras membuat Thalia kaget dan sendok sayur di tangannya terlepas.

“Bukankah waktu dulu kamu suka makan rawon dicampur nasi ?” tanya Thalia dengan mata masih membola.

“Kamu yakin itu aku ? Aku tidak pernah makan sayuran berkuah dicampur nasi.” Raka balik bertanya dengan mata menyipit.

Thalia berpaling pada Arumi yang membuang muka, pura-pura tidak tahu membuat Thalia mengepalkan sebelah tangannya dan memaki Arumi dalam hati.

Dulu sewaktu mereka masih pacaran, Raka selalu memesan makanan berkuah dicampur nasi dengan alasan lebih enak dan murah. Hanya dalam waktu singkat kebiasaan itu berubah.

“Punya anda buat saya saja.”

Tanpa menunggu Raka mengiyakan, Arumi sudah menukar piring kosongnya ke hadapan Raka bahkan ia juga mengambilkan nasi dan menuang rawon ke dalam mangkok kecil plus telur asin yang sudah dibuang kulitnya ke piring Raka.

Thalia pun melotot dan tidak dapat menahan geram lewat ekspresi wajahnya.

“Duduk dan makanlah,” pinta Sofia pada Thalia yang terpaksa senyum karena Raka tengah melotot kepadanya.

Baru satu suap, Raka langsung mengerutkan dahi dan menatap Thalia.

“Siapa yang masak ?” tanya Raka.

“Aku sendiri yang masak. Kenapa ?”

“Kenapa rasanya beda ? Tidak seenak biasanya,” jawab Raka jujur.

Thalia terdiam dan hanya berani melirik Arumi yang sedang tersenyum mengejek kepadanya. Thalia kembali mengepalkan kedua tangannya yang ada di bawah meja namun bibirnya masih tetap tersenyum.

“Kurang apa atau malah keasinan ?” Thalia bertanya dengan nada lembut dan senyuman manis.

“Hambar dan rasanya tidak jelas, bukan rawon tapi juga bukan semur.”

Arumi menutupi mulutnya yang tersenyum puas sementara wajah Thalia memerah karena malu sekaligus kesal karena sudah masuk perangkap Arumi.

“Aku dapat resepnya dari Arumi,” gerutu Thalia tidak dapat menahan emosinya lagi.

“Arumi ?” Raka mengernyit membuat Thalia merasa tidak nyaman ditatap tajam seperti ini.

“Kamu istriku dan bukan pertama kali kamu masak rawon jadi kenapa harus tanya pada orang asing yang baru kamu kenal ?”

“Tapi Arumi bilang….”

“Cukup !” tegas Raka sambil membanting sendok garpunya di atas piring.

“Sapta tolong antar saya ke kamar.”

“Biar aku saja yang mengantar pak Raka ke kamar, Sapta belum selesai makan,” cegah Arumi yang buru-buru bangun.

Thalia ikut beranjak tapi Arumi memberi isyarat supaya wanita itu tidak usah ikut. Thalia balas melotot, emosinya sudah mulai memuncak tapi saat ini tidak mungkin ia melawan Arumi yang memegang rahasia besarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!